Pengantar dari editor:
Sesungguhnya setiap suka dan duka hidup manusia dapat menceritakan kebesaran Allah Tuhan kita yang Maha Besar dan Maha Memelihara. Dalam setiap episode sukacita maupun derita manusia, Ia yang menciptakan kita dengan penuh kasih, tidak pernah meninggalkan kita dan menyertai kita dengan cara-Nya yang unik dan kadang tidak terduga. Tuhan bahkan sudah melalui semua penderitaan yang mungkin dialami manusia lewat sengsara dan wafat Kristus di kayu salib, demi kebahagiaan kita semua. Maka Ia adalah juga Allah yang Maha Memahami kita. Dan di atas segalanya, di akhir cerita kehidupan manusia, adalah kehidupan kekal penuh bahagia bersamaNya yang Ia rancang bagi setiap kita. Di bawah ini saudari kita Susana Karim menceritakan kekayaan pemeliharaan Tuhan dalam hidupnya dan pertolongan-Nya yang mengagumkan, khususnya dalam kehidupan penuh tantangan yang dirintisnya di negeri orang dan kesembuhan suaminya yang tercinta dari kanker dan gagal ginjal, dengan perjuangan luar biasa. Kiranya semua kisah ini sekali lagi mengingatkan kita untuk bersyukur atas kasih-Nya yang selalu menyertai kita. Bersyukur atas penyelenggaraan-Nya yang memampukan kita untuk makin beriman dalam sukacita dan harapan, apa pun juga tantangan yang kita alami, karena Ia adalah Allah yang setia.
Bagian satu: Janji Itu Sungguh Diuji
Pada saat kami, Andre dan saya, berdiri di depan altar, di hadapan Pastur 20 tahun yang lalu untuk mengucapkan Janji Pernikahan kami untuk selalu setia, dalam sakit dan sehat, dalam susah dan senang, dalam untung dan malang, tidak pernah terpikirkan atau terbayangkan hal yang jelek, semuanya terasa akan begitu indah dalam bahtera rumah tangga yang akan kami lalui.
Seperti pasangan yang lain tentunya, kami juga mengharapkan mempunyai keturunan. Pada saat belajar agama sebelum pernikahan, di hari terakhir, kami berdua berjanji akan tetap bersama, saling setia, walaupun seandainya kami tidak dikaruniai anak, dan kami berdua menandatangani janji itu.
Waktu berjalan dalam rumah tangga kami, banyak masalah yang timbul, karena kami berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda, terlebih lagi di saat saya keguguran dan akhirnya dinyatakan oleh dokter tidak mungkin mempunyai keturunan, sungguh sangat menyedihkan dan cukup menggoyangkan keutuhan rumah tangga kami.
Walaupun terseok-seok kami tetap berusaha untuk mempertahankan rumah tangga kami. Suatu hari kakak Andre mengusulkan kami untuk pindah ke Australia. Saya sangat tertarik, tetapi tidak demikian dengan Andre, namun akhirnya kami memutuskan untuk mencoba saja dulu, semuanya ini kami lakukan demi keutuhan rumah tangga kami.
Sambil menunggu proses pengurusan visa ijin tinggal di Australia, kami memutuskan untuk pergi berlibur ke Australia, untuk lebih mengetahui dan mengenal keadaan, situasi kehidupan, serta budayanya, sambil belajar bahasa untuk mengisi waktu.
Kebersamaan yang biasanya di Jakarta sulit untuk kami dapatkan, ternyata di sini waktu kami untuk bersama full 24 jam sehari. Hal ini yang membuat kami dapat mengenal lebih dekat pribadi dan sifat satu sama lain, yang sebelumnya selama 6 tahun pernikahan, kami seperti dua orang asing yang tinggal di bawah satu atap, namun tidak saling mengenal sifatnya, semua hanya kulit luarnya saja yang terlihat.
Kehidupan kami di sini sangatlah sederhana, jauh sekali berbeda dengan kehidupan kami di Jakarta. Tidur pun kami hanya beralaskan kasur pompa yang dipinjamkan oleh teman yang kebetulan diperkenalkan kepada kami dari Jakarta. Buku yellow pages (buku iklan halaman kuning-red) menjadi kursi saat kami menerima tamu, dan sebuah mobil Ford tua yang kuat membawa kami sampai ke Sydney.
Tetapi di sinilah pertama kali kami merasakan begitu kasih-Nya Tuhan kepada kami berdua. Dia tidak ingin kami berpisah, tetapi ingin kami mengenal lebih dekat lagi satu sama lain.
Setelah 7 bulan kami tinggal di sini dan studi kami juga sudah selesai, agen yang mengurus visa tinggal kami menyarankan kami untuk kembali ke Indonesia, karena kami mengajukan visa dari sana, jadi kami harus menunggu di Indonesia sampai visa ijin untuk tinggal tetap, disetujui.
Kami kembali ke Jakarta, memulai lagi hidup kami dari awal, mencari pekerjaan baru, cukup melelahkan karena bidang kami adalah advertising. Selama berada di Australia kami sudah tertinggal dengan berbagai kemajuan di dunia advertising, jadi tidak mudah untuk mendapatkan pekerjaan di bidang itu lagi.
Namun bersyukur melalui seorang teman, akhirnya Andre mendapatkan pekerjaan di Prudential Bank Bali sebagai Creative Designer untuk bagian in-housenya. Dan akhirnya saya harus menerima tawaran di bidang marketing untuk asuransinya.
Sebenarnya saya tidak menyukai bidang marketing, tetapi karena mereka memiliki produk yang bagus untuk dipasarkan, saya tertarik untuk bergabung. Tidak mudah bagi saya, karena saya harus terjun ke pasar-pasar bertemu dengan orang–orang yang sama sekali tidak saya kenal, untuk membuat mereka mengenal dan tertarik untuk mempunyai asuransi. Benar- benar iman dan kesabaran saya diuji oleh Tuhan, karena seringkali saya ditolak oleh mereka.
Hal itu membuat saya patah semangat dan tidak percaya diri, namun saya sungguh bersyukur mempunyai seorang atasan yang sungguh-sungguh dapat menjadi contoh dan motivator bagi diri saya serta teman-teman yang begitu kompaknya, saling mendukung, dan kami saling belajar untuk dapat maju bersama-sama.
Akhirnya segala jerih payah, kelelahan, pengorbanan, serta ratap tangis saya terbayar dengan hasil yang cukup menggembirakan dalam dua tahun berturut-turut saya mendapatkan Award Quality Club dari perusahaan. Semuanya ini adalah karena campur tangan Tuhan di dalam kehidupan saya, sungguh luar biasa Tuhan telah mengubah saya. Dia menjadikan saya seorang yang percaya diri, optimis, serta positif dalam hidup dan selalu mempunyai harapan. Melalui atasan serta teman-teman saya, Tuhan telah bekerja mengubah saya.
Namun apa yang telah kami raih selama dua tahun di Jakarta itu harus kami tinggalkan, karena visa tinggal tetap kami di Australia telah disetujui. Kami mendapatkan kabar saat kerusuhan besar terjadi di Jakarta pada bulan Mei 1998. Dan dalam waktu tertentu kami harus berangkat ke Australia. Pada tanggal 19 Maret 1999, kami tiba di Australia, untuk memulai kehidupan yang baru.
Saat itu sekitar dua minggu kami tinggal bersama teman yang kami kenal sewaktu pertama kali datang ke Brisbane, sambil mencari tempat tinggal untuk disewa. Kami pindah setelah kami menemukan rumah sewaan. Dengan bantuan teman itu juga saya memulai usaha catering rumahan, hanya ada 4 orang saja pelanggan saya pada saat itu, termasuk teman saya dan tantenya.
Beberapa bulan kemudian Andre pun mendapat pekerjaan dengan bantuan seorang teman sebagai graphic designer di sebuah perusahaan makanan yang cukup besar di daerah Wynuum. Karena saat itu saya belum dapat mengendarai mobil, maka usaha catering kami tidak dapat dilanjutkan lagi, sebab tidak ada yang membantu saya mengantarkan makanan.
Kehidupan kami mulai kelihatan stabil dan melalui beberapa teman akhirnya kami dapat bersekutu di gereja ICF (Indonesian Catholic Family). Kami senang sekali dapat berkumpul dengan teman-teman dari Indonesia, kami jadi tidak merasa seperti orang asing lagi. Rasa kekeluargaan yang erat dan hangat juga kami rasakan, sungguh menghibur kami yang tidak mempunyai keluarga di sini.
Melalui pertemuan dengan teman-teman di gereja, akhirnya saya berkenalan dengan Tante Shinta, dia mengajak saya untuk bergabung dengan perusahaan multi level yang menjual perlengkapan memasak buatan Australia. Karena saya suka memasak, saya tertarik untuk bergabung. Dengan bekal sedikit pengalaman di bidang marketing dari Indonesia, saya merasa lebih yakin untuk memulai usaha ini. Kebetulan Tante Shinta memiliki kendaraan jadi saya tidak ada masalah transportasi. Kami bekerja dalam tim saling menolong, sehingga usaha yang kami lakukan ini dapat berjalan dengan baik.
Setelah hampir 1 tahun berada di Australia, dengan kehidupan yang sudah mulai teratur, timbul kerinduan kami untuk memiliki rumah sendiri. Hampir setiap minggu saya mengambil koran lokal dan majalah real estate dari agen. Kami mulai melihat-lihat rumah yang sesuai dengan budget kami.
Kebahagiaan rumah tangga kami mulai terusik ketika pada suatu hari saya melihat ada keanehan pada leher sebelah kiri Andre. Tadinya saya tidak begitu memperhatikannya, tetapi semakin jelas terlihat benjolan itu semakin membesar. Saya mulai cemas, dan memintanya untuk memeriksakan ke dokter, tetapi dia katakan itu tidak apa-apa. Begitu juga ketika saya utarakan kepada maminya, itu mungkin hanya karena gigi yang abses saja, menurut maminya. Masih tidak puas dengan jawaban itu, saya lantas meminta bantuan beberapa orang tante dari gereja, untuk berbicara kepada Andre agar dia mau memeriksakan diri ke dokter. Akhirnya bantuan mereka membuahkan hasil, Andre mau memeriksakan dirinya ke dokter.
Kami menemui seorang dokter umum, dia meminta Andre melakukan beberepa tes, termasuk X ray. Beberapa hari kemudian hasil tes keluar, dokter mengatakan bahwa benjolan itu bukan kanker, tetapi hanya kelenjar yang membesar saja dan tidak berbahaya. Hal itu membuat kami merasa tenang.
Tetapi justru dokter prihatin dengan hasil tes urin Andre, karena menurut hasil tes urin banyak sekali ditemukan protein di dalamnya, yang menandakan ada sesuatu yang tidak beres pada ginjalnya. Untuk itu dokter memberikan pengantar kepada Andre untuk menemui dokter spesialis ginjal di sebuah rumah sakit besar. Selain itu untuk memastikan benjolan itu bukanlah kanker, dia juga memberikan pengantar agar Andre menemui dokter spesialis kanker di rumah sakit lain yang paling besar di Brisbane.
Setelah bertemu dengan dokter -dokter spesialis itu, ada beberapa pemeriksaan dan tes lagi yang Andre harus jalani dan kami harus menunggu lagi hasil tesnya. Sungguh hal ini membuat kami resah, yang dapat kami lakukan hanya berdoa saja. Akhirnya hasil tes ginjal keluar, kami tidak pernah membayangkan hal yang paling buruk terjadi, di saat dokter mengatakan bahwa Andre terkena Immunoglobulin A (IgA) nephropathy disease, yang membuat ginjalnya makin hari makin kecil dan lama kelamaan tidak akan dapat berfungsi lagi, yang disebut sebagai gagal ginjal. Ini tidak ada obatnya, dan hanya dengan cuci darah si penderita akan survive. Dokter memvonis Andre dalam waktu 1,5 tahun dia akan menjalani cuci darah. Sungguh berita ini amat meluluhlantakkan jiwa serta semangat kami berdua, terutama Andre sendiri.
Belum sadar dari mimpi ini, seminggu kemudian mimpi yang lain pun datang menerpa kami yaitu Andre dinyatakan mengindap kanker thyroid. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Hati saya menjerit saat itu, Tuhan apa yang terjadi, mengapa ini terjadi. Saya menangis setiap hari, tetapi saya tidak mau Andre tahu kalau saya sedih, saya tidak menangis di hadapannya. Saya tahu hatinya sangat hancur saat itu. Namun dia juga berupaya tegar di hadapan saya.
Sekali lagi kami bersyukur bahwa kami tidak sendiri menghadapi semua ini, semua saudara / i kami dalam ICF, selalu datang menghibur kami. Hampir setiap minggu ada doa Rosario di rumah. Sungguh hal ini sangat menguatkan kami berdua, hanya berdoa dan berpasrah kepada kehendak Tuhan saja yang dapat kami lakukan.
Ternyata gelombang badai yang datang itu belum berhenti. Karena Andre harus menjalani beberapa treatment untuk kankernya, maka dia diberhentikan oleh perusahaan tempatnya bekerja. Segala impian kami untuk mempunyai rumah pupuslah sudah. Sungguh sedih dan hancur hati kami, seperti batu karang yang hancur berkeping-keping terhantam ombak yang tak pernah berhenti.
Andre mulai bertanya kepada Tuhan, apa salahku? Mengapa Engkau menghukum aku? Dia mulai meragukan Tuhan dan menjauh dari padaNya, karena menganggap ini tidak adil. Saat ke gereja dia tidak mau menerima Ekaristi lagi.
Melihat hal ini hati saya semakin sedih, tetapi saya tidak mau terus terpuruk dalam kesedihan itu, maka saya katakan pada diri saya sendiri bahwa saya harus bangkit untuk menguatkan Andre. Hanya Tuhan yang membuat saya kuat untuk bangkit kembali dan Dialah penghibur kesedihan saya. Kupercaya bahwa kekuatan Tuhan hadir bagiku dan Andre melalui doa, dengan tak putus-putus ku berdoa dan berserah mengharap belas kasih-Nya untuk memberikan semua yang terbaik bagi kami.
Kebetulan ada seorang tante yang akan berangkat ziarah ke Lourdes, maka kutitipkan juga doa. Kami pun mendapatkan dukungan yang begitu besar dari semua saudara/ i ICF, mereka tidak pernah putus membawa kami di dalam doa, baik melalui doa Rosario maupun permohonan doa umat setiap Minggu dalam perjamuan Ekaristi.
Ketekunan dalam doa serta kepasrahan dalam penantian ternyata mulai memberikan titik terang dalam kehidupan kami, walaupun operasi kanker Andre yang pertama mengalami kegagalan, karena dokter membuka sisi yang salah sehingga mereka tidak menemukan benjolan yang akan diambil. Kami tidak menuntut pihak rumah sakit karena kesalahan operasi itu, meskipun pihak rumah sakit tidak keberatan bila kami menuntut. Menyadari bahwa kesehatan Andre lebih penting daripada mengajukan tuntutan, dan seorang dokter juga hanyalah manusia biasa yang dapat membuat kesalahan, maka yang kami mintakan dari pihak rumah sakit hanya untuk segera mengadakan operasi kembali untuk pengangkatan sel kanker itu.
Akhirnya dengan bantuan seorang oom di gereja yaitu Yoseph Serantak yang saat ini telah bersama Bapa di Surga, pihak rumah sakit menyetujui permintaan kami. Dua minggu kemudian operasi kedua dilakukan kembali oleh dokter yang sama dan kali ini berhasil dengan baik. Kami sangat bersyukur kepada Tuhan, satu masalah telah berlalu.
Selanjutnya adalah operasi besar untuk mengangkat semua sel kanker, dengan resiko pita suaranya akan hilang atau rusak yang membuat dia tidak dapat berbicara lagi atau suaranya berubah. Namun kami hanya dapat berpasrah saja pada kehendak-Nya, kerena kami percaya Tuhan tahu apa yang terbaik bagi kami. Puji Tuhan, saat dia siuman saya dapat mendengar suaranya kembali dan masih seperti dulu tidak berubah.
Oohhh… Tuhan itu sungguh luar biasa, dia tetap Andreku yang dulu. Setelah 3 hari di rumah sakit dia boleh pulang. Tindakan berikutnya yaitu dia harus menjalani terapi radiasi untuk membunuh semua sel kanker yang ada. Selama 5 hari dia harus diisolasi, di suatu kamar yang tidak boleh dikunjungi oleh siapa pun termasuk saya, karena dia diberi pil radiasi. Pil ini membuat rasa mual dan membuat lidahnya kehilangan rasa.
Operasi dan treatment radiasi membuahkan hasil yang baik, Andre dinyatakan bebas dari kanker, tetapi tetap harus menjalankan check-up rutin 6 bulan sekali.
Kondisi Andre suamiku sudah mulai membaik dan akhirnya dia dapat bekerja kembali, kali ini pekerjaan sebagai pengemudi taksi pun dijalaninya, untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup kami. Karena saat itu tidak mudah untuk mendapatkan pekerjaan di dunia advertising kembali, sebab Brisbane kota yang kami tinggali belum semaju Sydney atau Melbourne yang telah menjadi pusat bisnis perusahaan-perusahaan besar.`
Sementara dia mengemudikan taksi sejak jam 3 pagi hingga jam 3 sore, saya bekerja di restoran, hanya 3 kali seminggu waktu yang saya dapatkan. Meskipun dengan gaji yang di bawah standar, tetap saya jalani. Untuk tambahannya saya menerima pesanan makanan dan berjualan sayuran setiap minggu di market bersama seorang teman dimulai dari jam 1 pagi sampai jam 12 siang, hasilnya kami bagi dua.
Impian kami untuk mempunyai rumah idaman yang pernah pupus saat suamiku terdiagnosa kanker thyroid dan gagal ginjal mulai tumbuh kembali. Delapan bulan berjalan, kami memberanikan diri untuk mulai menilik-nilik rumah yang dipasarkan sesuai dengan budget.
Akhirnya kami menemukan sebuah rumah yang sesuai budget. Saat itu kami mengajukan pinjaman melalui sebuah bank. Sudah hampir 1 bulan berjalan kami tidak menerima kabar apa pun dari bank tersebut, apakah pengajuan pinjaman kami diterima atau tidak.
Pada hari itu sudah hari Jum’at jam 3 sore, saya dan suami pergi ke bank untuk menanyakan persoalan pengajuan dana pinjaman kami, karena hari Senin adalah batas untuk serah terima. Kami ingin mendengar keputusan dari bank tersebut bagaimana dengan pengajuan pinjaman kami tersebut. Ternyata mereka mengatakan bahwa pengajuan pinjaman kami ditolak, namun mereka tidak memberi tahukan sama sekali selama satu bulan itu. Hancur dan sedih hati kami saat itu, kecewa karena tidak mungkin kami akan mendapatkan rumah idaman itu.
Meskipun sedih dan kecewa, kami berusaha bersikap tenang, berusaha mencari jalan keluarnya. Saya katakan kepada petugas bank, apa boleh saya minta semua berkas pengajuan pinjaman, dan mereka memberikannya. Tanpa membuang waktu kami langsung pergi ke bank lain yang tidak begitu jauh dari situ. Kami dipertemukan dengan manajer bagian pinjaman di situ. Kami ceritakan sejujurnya apa yang telah terjadi. Setelah interview selesai dan semua berkas kami serahkan, manajer tersebut meminta kami untuk datang kembali pada hari Senin jam 9 pagi.
Kami hanya dapat berdoa dan berpasrah kepada Tuhan agar terjadi sesuai dengan yang Dia inginkan saja, selama menunggu hari Senin. Sesuai perjanjian hari Senin, kami datang ke bank itu jam 9 pagi. Sesampai di sana saya melihat banyak tumpukan kertas sudah berada di atas meja meeting, dan kemudian manajer bank mengatakan kepada kami “Congratulation..pengajuan pinjaman kalian sudah diterima”. Sungguh saya tidak dapat menahan emosi saat itu. Rasa haru bercampur tetes air mata…sekali lagi karya Tuhan dinyatakan kepada kami, hanya dalam beberapa hari semua yang tidak mungkin itu dijadikanNya mungkin. Sungguh luar biasa kuasa-Nya, kami hanya dapat mengucap syukur untuk segala kasih serta kebaikan-Nya itu.
Manajer bank mengatakan kepada kami sebenarnya pada hari Jum’at itu juga setelah selesai interview ia hendak mengatakan bahwa pinjaman kami sudah disetujui, tetapi karena ia harus menyiapkan semua paper work terlebih dahulu untuk ditandatangani, ia harus menunggu sampai hari Senin. Terima kasih ..terima kasih… kata-kata yang dapat kami ucapkan kepadanya. Tuhan telah bekerja melalui dia, untuk menjadikan semuanya mungkin bagi kami. Sungguh luar biasa.
Tuhan sungguh berkarya bagi kita yang percaya “Bagi manusia hal itu tidak mungkin, tetapi bukan demikian bagi Allah. Sebab segala sesuatu adalah mungkin bagi Allah.” (Mrk 10:27)
Bagian dua: Gelombang Itu Tak Pernah Berhenti Menerpa
Kami sangat bersyukur dan bersuka cita memiliki rumah yang kami impikan, rumah yang kami dapatkan dari hasil jerih payah dan cucuran air mata ini dapat memberikan tambahan untuk membantu kehidupan rumah tangga kami. Kami membuat tambahan dua kamar dan kamar mandi yang kemudian disewakan kepada anak-anak Indonesia yang belajar di Brisbane.
Waktu terus berjalan, suamiku akhirnya memutuskan untuk berhenti menjadi supir taksi, sebab pekerjaan itu memang terasa sangat berat untuknya, yang masih dalam keadaan sakit dan kankernya masih harus memerlukan terapi radiasi. Sebagai ganti untuk menambah penghasilan kami, karena cicilan rumah masih harus dibayar, maka kami memutuskan untuk memulai lagi usaha katering di rumah yang pernah terputus beberapa waktu lalu. Usaha katering ini hanya kami jalankan dua kali dalam seminggu saja. Puji Tuhan pelanggan kami dari hari ke hari semakin bertambah sampai akhirnya mencapai 40 orang yang terdiri baik para pelajar maupun keluarga Indonesia, bahkan ada juga keluarga-keluarga dari Singapore dan Malaysia. Tak jarang saya juga menerima pesanan nasi tumpeng serta makanan lainnya seperti risoles, combro, lemper, pempek, serta batagor.
Suamiku sangat membantu dalam usaha ini. Bila aku selesai memasak, dia yang bertugas menempatkannya di take-away container. Ketika semua sudah selesai, kami berdua pergi mengantarkan pesanan-pesanan itu. Begitulah hidup kami berlangsung dari hari ke hari, dan biasanya setiap hari Sabtu kami selalu berkumpul dengan keluarga-keluarga dari lingkungan Gereja yang kebetulan saat itu masih sangat sedikit. Namun hubungan kami satu sama lain sangat dekat dan akrab seperti satu keluarga layaknya, sehingga kami tidak merasakan kesepian atau pun homesick meskipun perjuangan hidup kami di sini cukuplah keras.
Beberapa waktu berselang, di awal tahun 2004, kami mencoba membuka usaha resto sendiri dengan nama “Dapur Bali”. Usaha kami maju pesat tanpa harus membayar biaya iklan, dari mulut ke mulut banyak orang tahu tentang resto kami yang menyajikan makanan halal authentic Indonesia, sehingga kami juga sering mendapat pesanan untuk tour bagi orang-orang dari Singapura dan Malaysia. Kami bersyukur sekali semua orang yang membantu di resto sangatlah loyal dan pekerja keras. Mereka ibu-ibu Indonesia yang kebetulan para suaminya sedang studi PhD di Brisbane.
Di akhir tahun pertama usaha resto kami membuahkan hasil memuaskan. Sebagai rasa syukur kepada Tuhan, kami memutuskan untuk melakukan ziarah ke Lourdes sesuai dengan kerinduanku dalam surat yang kutulis kepada Bunda Maria. Sebagai tanda terima kasih bila suamiku sembuh dari penyakit kankernya, dan kami mendapatkan juga rumah yang diimpikan serta bila diberi rejeki, di mana semuanya itu Tuhan telah genapi, maka kami percaya bahwa Inilah saatnya untuk membalas kasih-Nya yang begitu besar yang telah dilimpahkan kepada kami.
Sungguh suatu suka cita kami dapat mengunjungi Lourdes. Saat itu hujan deras turun dan udara sangat dingin karena itu adalah bulan Desember. Namun kami sangat bersyukur karena dapat sampai di dalam groto dan berdoa di sana. Saat itu sangat sepi. Ketika menyalakan lilin, selain membawa ucapan syukur kepada Bunda Maria yang telah meneruskan doa permohonan kami kepada Putranya, saya juga membuat permohonan baru untuk kesembuhan Andre dari penyakit gagal ginjalnya. Meski saat itu dia belum menjalani cuci darah, namun fungsi kedua ginjalnya sudah mulai menurun hanya tinggal 30% saja, sehingga dia cepat merasa lelah dan kakinya sering bengkak.
Waktu terus bergulir, di bulan Mei 2006 suamiku mendapat surat panggilan dari dokter kanker untuk tes ulang karena mereka mendeteksi sesuatu di lehernya yang diperkirakan itu sel kanker. Saat itu yang dapat aku lakukan hanyalah berdoa dan menguatkan suamiku. Hasil tes yang ke-dua menunjukan bahwa benar benjolan pada leher suamiku itu adalah kanker, sehingga dia harus menjalani operasi lagi dan radiasi setelah itu. Puji Tuhan akhirnya suamiku dinyatakan bebas dari kanker di awal 2007.
Namun kebahagian ini tidaklah berlangsung lama. Kedua ginjal suamiku keadaannya sudah semakin parah dan fungsinya hanya tinggal 10% saja. Maka dokter ahli ginjal mengharuskan suamiku untuk menjalani cuci darah. Untuk cuci darah ini suamiku harus menjalani training terlebih dahulu seminggu tiga kali di rumah sakit selama enam jam sehari. Hal ini sangat tidak mudah bagi dia karena dia mempunyai needle phobia (ketakutan akan jarum suntik ). Karena ketakutannya ini sering kali tangannya menjadi bengkak dan membiru bahkan beberapa kali dia sempat tidak sadarkan diri. Dengan keadaan suamiku ini, aku juga mengalami dampaknya dalam usaha yang kami jalani, karena suamiku tidak dapat lagi membantu secara penuh usaha kami ini, karena keadaannya yang mulai melemah.
Akhirnya kami memutuskan untuk menutup usaha resto. Karena sudah tidak ada waktu untuk menjualnya, kebetulan juga masa sewa tempat sudah akan berakhir, maka kami memutuskan untuk tidak memperpanjangnya lagi. Cukup berat bagi kami harus kehilangan usaha sebagai mata pencaharian, namun saat itu kesehatan suamiku adalah yang utama, dan kami percaya Tuhan pasti mempunyai jalan yang terbaik.
Setelah usaha resto kami tutup, aku berusaha untuk mencari pekerjaan. Melalui koran lokal aku mendapatkan informasi bahwa rumah sakit pemerintah sedang membuka lowongan untuk chef. Aku mencoba menghubungi mereka, namun ternyata lowongan itu telah terisi. Lantas orang di seberang sana mengatakan bahwa ada posisi lain yang masih tersedia, juga di bagian makanan, karena itu memang bidangku. Apakah kamu mau untuk melamar di posisi itu? tanyanya. Kesempatan ini tidak aku sia-siakan. Mereka lalu mengatur waktu untuk aku datang interview. Dua orang yang menginterviewku saat itu, kebetulan ada satu orang lagi yang juga menjalani interview bersamaku. Sungguh bersyukur kami berdua lulus interview, namun belum berarti diterima, karena kami harus melalui police check terlebih dahulu sebab rumah sakit tempatku melamar itu adalah rumah sakit pemerintah terbesar di Queensland dan pekerjaan kami akan berhubungan dengan para pasien meskipun tidak secara langsung, sehingga mereka harus memastikan bahwa kami tidak pernah terlibat tindak kriminal apapun.
Tiga hari setelah interview aku mendapat kabar bahwa aku diterima bekerja di sana. Semua ini hanya karena kasih Tuhan kepadaku, namun kebahagian ini tidak berlangsung lama. Baru dua minggu bekerja di sana aku sudah tidak mendapat jam kerja lagi, karena aku melaporkan ke manajer, seorang supervisor yang rasis dan semena-mena. Saat itu aku tidak tahu kalau manajer itu adalah kekasih dari supervisor. Karena saat itu aku hanya pegawai casual (dipanggil bekerja hanya bila ada pekerjaan), maka aku tidak dapat menuntut hak untuk tetap dipekerjakan di sana.
Namun Tuhan selalu punya jalan-Nya yang unik, tanpa sengaja ketika sedang berada di sebuah shopping centre untuk berbelanja kebutuhan harian, di eskalator aku bertemu dengan suster perawat rumah sakit di tempat suami melakukan cuci darah. Saat itu dia menanyakan bagaimana kabarku, dan apakah suka dengan pekerjaan yang baru. Aku ceritakan apa yang terjadi, lalu dia mengatakan bahwa restoran tempat suaminya bekerja sedang membutuhkan pembantu juru masak (chef assistant). Melalui dirinya aku melamar ke sana dan setelah melalui interview aku diterima bekerja dengan masa kontrak selama tiga bulan.
Ketika kontrak kerja hampir berakhir, mereka menawarkan untuk memperbaharui kontrak, tetapi aku menolak. Sebab bila aku memperpanjang kontrak, berarti seorang kitchen hand yang cukup dekat hubungannya denganku, dia sudah agak lanjut usianya serta berkerja cukup lama di sana, harus keluar. Hal ini karena pemilik resto harus menambah $ 1 dollar uang gajiku setiap jam, sebab saat itu gajiku masih di bawah ketentuan yang digariskan oleh pemerintah sebagai seorang chef. Dengan alasannya itu mereka katakan tidak sanggup membayar gaji untuk dua orang, aku merasa hal ini tidak adil, dan lebih baik aku yang mengundurkan diri.
Di saat aku dalam keadaan bingung untuk mencari pekerjaan baru, tiba-tiba aku dihubungi oleh seorang ibu bernama Donna, dari rumah sakit tempatku pernah bekerja sebelumnya. Dia manajer yang baru kembali dari cuti panjangnya. Dia meminta aku untuk datang bekerja sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Karena saat pertama kali kembali bekerja aku bertugas siang hari, maka aku tidak sempat bertemu dengannya. Kami hanya sempat berkomunikasi melalui telepon saja. Baru ketika aku bekerja di hari selanjutnya aku bertemu dengan dia. Ibu Donna sempat bertanya apakah aku pernah bekerja di sana sebelumnya? Pernah, jawabku, tetapi saat itu tidak mendapat jam lagi karena masalah yang terjadi dengan supervisor saya. Ooh, itu kamu? tanyanya. Saya sudah mendengar kabar ini, katanya. Kemudian dia menawarkan aku pekerjaan part time enam jam sehari dari Senin sampai dengan Jum’at. Dia juga menunjukkan kepadaku ruang di mana saya akan bekerja dan makanan apa yang harus saya buat. Bila saya suka, dia meminta saya untuk mulai bekerja keesokan harinya.
Kaget bercampur senang saat itu karena mendapatkan tawaran yang tidak disangka-sangka. Memang saya tidak langsung mengiakan tawarannya karena saya meminta waktu untuk mendiskusikan hal ini dengan salah seorang manajer yang pernah menginterviewku saat melamar pertama kali. Ketika bertemu dengannya di siang hari dia menyarankanku untuk mengambil tawaran yang baik itu. Keesokan harinya aku datang di pagi hari dan mulai bekerja.
Keadaan ekonomi kami dapat dikatakan pas-pasan saat itu, karena hanya saya yang bekerja sedangkan suamiku sudah menjalani cuci darah di rumah seminggu tiga kali selama enam jam sehari, sehingga dia tidak mungkin lagi untuk bekerja. Semua anak kos yang tinggal bersama kami yang dapat membantu memberi tambahan penghasilan uang harian, saat itu sudah selesai studi. Karena aku bekerja dari Senin sampai Jumat dan harus mengurus suami di rumah, maka kami memutuskan untuk tidak menerima anak kos lagi.
Menjalani cuci darah di rumah cukup membuat suami saya stres, karena selain dia memiliki needle phobia (ketakutan akan jarum suntik ), dia juga harus mengurus dan mensterilkan semua mesin dan alat yang dipakai. Saat menjalani cuci darah dia sering mendapat masalah karena phobianya itu, seperti kesulitan untuk memasukkan jarum cuci darah, yaitu satu jarum untuk darah keluar yang kotor dan satu jarum untuk darah masuk yang sudah bersih, sehingga mengakibatkan tangannya membengkak dan membiru. Atau kadang dia lupa menutup klep dari selang cuci darah yang mengakibatkan darahnya menyembur dari selang. Untuk menenangkan dan memberi rasa nyaman kepada suami, setiap kali dia akan menjalani cuci darah, aku akan selalu menemani dia, hanya dengan diam memperhatikan apa yang dilakukannya dan membantu bila dia memerlukan bantuan. Setelah semua proses selesai baru aku dapat melakukan tugas rumah tangga dan menikmati makan malam sendiri, karena suami menjalani cuci darah sepanjang malam sampai pagi selama 8 jam.
Hal ini berlangsung kurang lebih selama satu tahun. Karena tidak merasa nyaman melakukan cuci darah di rumah sebab sering bermasalah, akhirnya suamiku mengajukan untuk menjalani cuci darah di rumah sakit yang kebetulan saat itu baru membuka ruangan bagi orang-orang yang tidak dapat menjalani cuci darah di rumah. Puji Tuhan suamiku mendapat tempat di sana. Dia sangat senang sekali, begitu juga dengan aku, karena kami dapat kembali menikmati makan malam berdua dan dapat rileks di rumah, sebab suamiku menjalani cuci darah hanya 6 jam sehari, tiga hari dalam seminggu yaitu Selasa dan Kamis di saat aku bekerja, dan Sabtu.
Suamiku menjalani cuci darah dengan penuh suka cita, dia tidak pernah mengeluh dengan keadannya. Di rumah sakit dalam satu ruangan cuci darah itu ada lima orang pasien lainnya. Mereka sering bertukar cerita. Bila ada yang berulang tahun para suster di sana akan menghiasi tempat tidur mereka dengan balon dan happy-birthday banner dan menyanyikan lagu happy birthday serta menikmati kue bersama. Mereka dibuat senyaman mungkin selama berada di sana. Dengan penuh kasih kesabaran para suster merawat para pasien ini. Tempat cuci darah itu juga sudah seperti rumah kedua saya, setiap hari Sabtu karena tidak bekerja saya pasti akan berada di sana ketika mengantar dan menjemput suami, sehingga saya mengenal hampir setiap perawat dan pasien. Tak jarang kami juga menikmati makan bersama, dengan share food, yang membuat begitu terasanya suasana kekeluargaan di sana.
Melalui pasien lain yang pernah menerima donor ginjal tetapi gagal, suamiku mendapat kesan bahwa lebih baik menjalani cuci darah saja daripada mendapat donor, karena akan ada resiko penolakan dari tubuh untuk ginjal yang baru itu serta ada kemungkinan ginjal tidak dapat bekerja dengan baik.
Bila ginjal tidak bekerja, maka akan dilakukan operasi ulang untuk mengangkatnya. Agar tubuh tidak menolak ginjal yang baru, pasien harus memakan obat anti penolakan seumur hidupnya. Dengan mengkonsumsi obat-obat ini pasien akan mendapat efek samping, di antaranya kencing manis, darah tinggi, moon face, tulang menjadi rapuh.
Mendengar hal itu suamiku menjadi takut, meski saat itu dia sudah masuk dalam daftar tunggu untuk mendapat donor ginjal. Dia katakan kepadaku, Susan, aku sudah menerima keadaanku saat ini meskipun aku harus menjalani cuci darah seumur hidup. Aku sudah pasrah kepada Tuhan dan bahagia melakukannya. Hanya satu permintaanku bila Tuhan ijinkan, katanya, agar aku dapat menikmati waktu bersama-sama dengan kamu setiap hari Sabtu, karena saat itu aku harus menjalani cuci darah sehingga kita tidak dapat menikmati waktu bersama untuk santai di rumah atau berjalan-jalan. Sungguh terharu aku mendengar apa yang dikatakannya.
Hampir tiga setengah tahun aku memohon dalam doa kepada Tuhan agar suamiku boleh mendapatkan donor ginjal, sehingga dia dapat hidup normal lagi. Mendengar apa yang diucapkannya, doaku kepada Tuhan pun berubah total dan berpasrah akan keadaan suami saya seperti apa yang diinginkannya, untuk tetap menjalani cuci darah saja. Keinginan suami saya untuk berpindah hari cuci darah dari hari Sabtu ke hari kerja tidaklah mudah, karena setiap mesin sudah terisi dengan pasien yang terdaftar untuk menjalaninya, dari Senin sampai Sabtu. Hal itu mungkin terjadi bila ada salah seorang dari mereka yang menjalani cuci darah pada hari Senin, Rabu dan Jum’at itu mendapat donor ginjal. Dengan tidak berkecil hati, suamiku tetap mencoba mendaftarkan diri untuk itu. Sungguh luar biasa, beberapa waktu kemudian suamiku mendapat kabar bahwa dia dapat mulai menjalani cuci darah hari Senin, Rabu, dan Jumat karena salah satu pasien telah mendapat donor ginjal.
Kami berdua sangat bersukacita mendengar hal ini, selama hampir tiga setengah tahun kami tidak pernah menikmati waktu untuk bersantai bersama pada hari Sabtu. Akhirnya apa yang suami dan aku harapkan telah Tuhan jawab. Suamiku mengatakan padaku, “Tiada hal yang lebih membahagiakanku selain dapat meluangkan waktu berdua bersamamu”.
Memasuki minggu yang kedua, saat itu hari Jumat. Setelah suamiku menjalani cuci darah aku mengajaknya pergi ke toko buku Katolik milik Gereja Katedral. Kebetulan saat itu aku perlu mencari hadiah pembaptisan anak seorang teman. Di sana suamiku melihat sebuah salib yang sangat indah (salib St. Fransiskus dari Assisi). Suamiku bukanlah seorang yang suka dengan ziarah, tetapi saat itu sangat mengherankan bahwa dia ingin sekali memiliki salib itu, sampai aku menyakinkan lagi benar kamu mau, sebab salib itu juga tidak murah. Iya aku mau, katanya. Dan memang kebetulan salib itu hanya satu yang ukurannya seperti yang dia inginkan. Akhirnya kami membeli salib itu dan kebetulan dapat langsung diberkati oleh pastur yang sedang bertugas di sana saat itu.
Masih pada hari Jum’at, 5 Juni 2010, tengah malam saat kami sedang tertidur lelap, telepon genggam suami berdering. Setengah mengantuk kami berdua terbangun, sejenak aku mendengarkan dengan seksama percakapan suami dengan pemilik suara di seberang sana, lalu melompat dengan kaget berdiri di sisi tempat tidur suami yang masih berusaha memastikan kabar yang didengarnya. Sebuah kabar yang sungguh mengagetkan kami berdua yaitu suamiku diminta segera datang ke rumah sakit karena akan menjalani operasi cangkok ginjal esok paginya. Aku yang masih dalam keadaan bingung masih sempat bertanya apakah itu penipuan? Tetapi suamiku telah mendapatkan kepastian dari si penelepon yang adalah seorang dokter ahli bedah ginjal, bahwa hal ini benar dan dia harus datang ke rumah sakit segera.
Saat itu hampir jam satu pagi ketika kami tiba di rumah sakit. Karena masih bingung suamiku tidak ingat nama dokter yang menghubung, ketika ia ditanya pihak rumah sakit, sebab data-data suami pun belum ada di situ. Sambil menunggu untuk segala persiapan, aku sempat bertanya kepada suami apakah ia bahagia mendengar kabar ini. Dia katakan ia takut, karena memang dia sudah berpasrah untuk menjalani cuci darah semur hidupnya serta telah merasa bahagia karena keinginannya untuk dapat bersamaku setiap hari Sabtu sudah dijawab oleh Tuhan. Namun ternyata Tuhan mempunyai rencana yang lain yang aku percaya pasti rencana yang lebih indah bagi kami berdua. Aku berusaha untuk menenangkannya dan menyakinkan dia tentang hal itu. Yang dapat aku lakukan sambil menunggu panggilan untuk persiapan operasi hanyalah berdoa Rosario sambil memegangi tangan suamiku agar kami berdua menjadi tenang.
Entah berapa puluh kali aku mengulangi doa Rosario itu sampai waktunya suami harus masuk ke kamar operasi. Saat itu dia sudah merasa tenang dan tidak takut lagi. Aku sertakan juga Rosario itu bersamanya saat masuk ke ruang operasi. Dokter meminta aku pulang saja, karena tidak ada tempat untuk menunggu di sana, dan mereka akan memberi tahuku bila sudah selesai. Di rumah yang dapat aku lakukan juga hanya berdoa, memohon kepada Tuhan agar operasi berjalan dengan baik seturut kehendak-Nya saja. Teringat kepada salib yang dibelinya kemarin, aku percaya bahwa salib itu membawa mukjizat, salib yang memiliki kekuatan ilahi. Melalui salib itu Tuhan telah bekerja mengubah yang mustahil menjadi mungkin.
Tanggal 6 Juni, sekitar jam 4 sore dokter mengabarkan bahwa operasi telah berjalan dengan baik dan suamiku pun sudah sadar kembali meskipun masih dalam keadaan lemah. Aku sangat senang dan bersyukur kepada Tuhan untuk segala kebaikan-Nya. Selain operasi yang berhasil, ginjal barunya pun bekerja dengan baik. Para dokter dan suster juga sangat gembira melihat hasilnya. Semua ini hanya karena kasih dan kebaikan Tuhan. Melalui pendonor yang berhati mulia itu Tuhan telah memberikan kehidupan baru kepada suamiku, meski kami tidak mengenalnya, karena jati dirinya dirahasiakan oleh pihak rumah sakit. Namun dia telah menjadi bagian dalam tubuh suamiku dan hidup kami, yang dapat kami lakukan hanyalah berdoa untuk ketenangan jiwanya dan keluarga yang di tinggalkan boleh mendapat kekuatan serta penghiburan selalu dari Tuhan.
Ketika suamiku mendapatkan donor ginjal, berita suka cita ini juga kubagikan kepada pastur, suster dan saudara/i di komunitas Indonesia yang selalu membawa kami dalam doa dan memberi support kepada suamiku yang telah menderita sakit lebih dari 10 tahun serta kepada semua keluarga dan sahabat yang berada di Australia maupun Indonesia.
Saat itu ada seorang teman yang tidak kuberi tahu, karena tidak mau mengecewakan dirinya. Dia seorang bapak yang juga menderita gagal ginjal dan sudah lima tahun menunggu untuk mendapatkan ginjal, tetapi saat itu malah suamiku yang terlebih dahulu mendapatkannya. Aku tidak mau hal ini membawa kesedihan baginya. Yang dapat kulakukan saat itu hanya berdoa untuknya, memohon kepada Tuhan bila mungkin dia juga mendapatkan donor ginjal seperti suamiku.
Suamiku sendiri setelah operasi berhasil masih diwarnai keraguan apakah ginjal barunya akan dapat terus bertahan. Tuhan yang mahatahu akan keraguannya ini tidak membiarkannya begitu saja, Dia mengirimkan seorang teman yang pernah menjalani operasi cangkok hati untuk meyakinkan suamiku bahwa semuanya akan baik jadinya. Melalui cerita teman ini, suamiku menjadi sangat tenang dan dapat menerima semuanya dengan kepasrahan.
Sudah hampir seminggu suami di rumah sakit, waktu itu hari Kamis, saatnya dia keluar dari rumah sakit, karena keadaannya yang sudah sehat. Dalam perjalanan menuju rumah sakit untuk menjemputnya, ibu mertuaku memberi tahu bahwa bapak yang sakit ginjal itu dalam perjalanan ke rumah sakit yang sama untuk menjalani operasi cangkok ginjal. Sukacita bercampur haru ketika aku mendengar kabar itu. Tuhan itu sungguh ajaib, Dia sungguh mengerti apa yang dibutuhkan umat-Nya dan Dia memberikan semuanya tepat pada waktunya.
Pada hari Sabtu, aku dan suami mengunjungi teman kami itu di rumah sakit, karena saat itu suamiku juga harus menjalani training pasca operasi untuk memastikan ginjalnya tidak ada masalah serta berfungsi dengan baik, sebab masa tiga bulan pertama setelah operasi adalah masa yang paling riskan, karena masih akan ada resiko untuk mengalami kegagalan. Sangat sukacita ketika kami bertemu. Kami saling berpelukan dan berbagi kegembiraan di sana. Tidak seperti suamiku yang mendapat donor ginjal dari seorang yang meninggal karena kecelakaan, teman kami ini mendapat donor dari seorang pendonor yang masih hidup karena ginjalnya terpaksa harus diangkat satu agar tidak terkena infeksi. Saat itu keadaannya tidak sebaik suamiku, karena kadar potassiumnya masih tinggi sekali, tetapi suamiku menyakinkan dia bahwa semuanya pasti oke.
Dalam masa training tiga bulan ini kami dikejutkan dengan meninggalnya salah seorang teman yang hanya berbeda satu hari mendapat donor ginjal dari suamiku, karena jahitan operasinya yang tidak kunjung mengering dan kekebalan tubuhnya yang menurun sehingga dia terkena infeksi paru-paru. Hal ini sempat membuat shock suamiku dan teman-teman yang lainnya.
Bersama berjalannya waktu suamiku mulai menampakkan perubahan-perubahan terutama dalam hal makanan. Dia yang dulunya orang Indonesia sekali, kalau belum makan nasi artinya belum makan, saat itu dia tidak suka nasi sama sekali. Dia lebih suka makanan western, seperti pasta, sandwich, stew yang mengandung cream atau cheese. Aneh juga melihat perubahan ini, dan aku sempat diwarnai pertanyaan bagaimana organ yang kecil itu dapat mengubah selera makan dan sifat seseorang. Hal ini aku bawa dalam diskusi dengan para pasangan yang istri atau suaminya mendapat donor ginjal, ternyata mereka juga mengalami hal yang sama.
Ada yang tadinya tidak suka jeruk sekarang suka sekali minum juice jeruk, ada yang tidak pernah minum bir tiba-tiba minta bir dan lainnya. Karena belum begitu memahami makanan apa yang dapat diterima oleh tubuh suamiku, maka beberapa kali dia sempat dirawat di rumah sakit untuk diinfus dan disuntik pain killer (penghilang rasa sakit) untuk menghilangkan rasa sakit di lambungnya. Sebelum mendapat donor, suamiku tidak pernah mempunyai masalah bila memakan tomat, buah, ataupun makanan yang sedikit mengandung rasa asam seperti salad. Namun saat itu tubuh suamiku tidak dapat menerima makanan itu. Maka saya sangat berhati-hati membuatkan makanan untuknya.
Dua setengah tahun berlalu. Ginjal suamiku bekerja dengan baik, dan dia sudah mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan delivery spare parts mobil, atas rekomendasi seorang teman di gereja. Dia sangat senang sekali, setelah beberapa tahun tidak bekerja dan dapat bekerja lagi, sehingga dia dapat merasakan fungsinya kembali sebagai seorang kepala rumah tangga. Beberapa bulan bekerja dia mengalami kecelakaan jatuh dari truk ketika sedang menaikkan barang, yang mengakibatkan tulang belakangnya bergeser dan menjepit syaraf, membuatnya susah untuk berjalan. Dokter mengatakan tidak ada yang dapat mereka lakukan karena operasi hanya akan membawa resiko baginya.. Yang dapat dilakukan hanya physiotherapy dan acupuncture. Usaha pengobatan ini pun memakan waktu berbulan-bulan, namun suamiku tetap semangat bekerja meskipun harus menjalaninya dalam keadaan sakit dengan terseok-seok saat berjalan serta ringisan di wajah bila terasa sakit yang tak tertahankan.
Hampir enam bulan baru keadaan suami menampakkan kemajuan. Sakitnya mulai berkurang dan akhirnya dia dapat berjalan dan melakukan aktivitas dengan normal tanpa rasa sakit. Namun sekali lagi kebahagian ini tidak berlangsung lama, kesehatannya mulai diwarnai adanya keluhan pada penglihatannya, yang semakin hari semakin memudar. Aku sudah menyarankan untuk menemui dokter, tetap dia katakan tidak apa-apa. Sampai pada satu hari ketika sedang bekerja dia sudah tidak dapat lagi melihat nomer kendaraan yang ada di depannya. Takut terjadi sesuatu dia langsung menghubungi dokter. Setelah dilakukan pemeriksaan, dokter menemukan kadar gula darahnya sangat tinggi yaitu 50, yang seharusnya untuk ukuran normal 4-6. Kamu harus ke rumah sakit sekarang, kata dokter, dan suami tidak boleh menyetir lagi. Mereka membawanya dengan ambulans ke rumah sakit. Sampai di rumah sakit suamiku langsung diberi asupan insulin melalui selang, karena tubuhnya sudah tidak dapat menghasilkan insulin sendiri. Suamiku terkena diabetes. Ini adalah efek samping dari obat anti penolakan ginjal yang harus dikonsumsinya. Keadaan ini sempat membuat dia down, tetapi kami masih bersyukur karena ia masih dapat terselamatkan dari kebutaan, meski dia harus memakai kaca mata untuk sementara waktu sampai penglihatannya pulih kembali, terutama di saat mengendarai mobil.
Untuk mengontrol kadar gula darahnya, dia harus disuntik dengan insulin empat kali sehari. Hal ini membuat suamiku menderita karena dia memiliki needle phobia, namun sekali lagi dia berusaha untuk melawan itu dengan sekuat tenaganya, karena semua itu demi kesehatan dirinya meski sambil mengaduh-aduh dan menahan sakit sehingga mengakibatkan banyak memar biru membekas di perut atau bagian pahanya. Tetapi tetap saja setiap hari dia tidak pernah melewatkan untuk suntik insulin.
Penutup: Kasih Tuhanku, Harapanku Selalu
Suamiku seorang yang luar biasa, dia selalu positif, optimis, dan selalu menyikapi semua yang terjadi dengan kepasrahan, meski terkadang sebagai manusia tak jarang diwarnai juga keraguan dan ketakutan serta kekecewaan, tetapi dengan cepat dia akan bangkit kembali, karena dia tidak mau membuat kesusahan bertambah pada dirinya serta penderitaan bagiku istrinya, sebab dia begitu mengasihi aku.
Kami sungguh bersyukur kepada Tuhan meskipun gelombang demi gelombang terus datang menghempas, kami masih terus dapat menikmatinya dengan senyum dan suka cita sebab Tuhan yang mahabaik selalu melimpahi kami dengan kekuatan kasih-Nya. Puji Syukur kepada Tuhan karena saat ini suamiku hanya harus menjalani suntik insulin dua kali sehari yang sebelumnya empat kali sehari. Sampai saat aku menuliskan kisah ini, suamiku belum terlepas dari cobaan, saat ini dia menderita penyakit lainnya yaitu vertigo, sehingga harus mengkonsumsi obat bila sakitnya ini datang. Aku sendiri masih bekerja di rumah sakit dan sudah mendapat pekerjaan full time di sana. Teman kami yang mendapatkan donor ginjal juga keadaannya sangat sehat, lebih sehat dari suamiku dan sudah bekerja kembali.
Pergumulan kami tak akan pernah berakhir karena kami masih harus memikul salib Tuhan sampai akhir hayat, tetapi kasih Tuhan akan selalu menguatkan kami, selalu itulah yang kami yakini. Kasih Tuhan senantiasa memberi kami harapan dalam setiap kesukaran, dan harapan itu tak pernah sia-sia. Semoga kisah hidupku dan suami yang tidak sempurna ini dapat menjadi inspirasi, motivasi, serta kekuatan bagi sahabat terkasih semuanya.
Serahkanlah segala kekuatiranmu kepadaNya, sebab Ia yang memelihara kamu (1 Petrus 5 : 7)
Diceritakan oleh Susana Karim.