Sumber gambar: http://www.rembrandtpainting.net/rembrandt's_prodigal_son.html

[Hari Minggu Biasa XXVI: Yeh 18:25-28; Mzm 25:4-9; Flp 2:1-11; Mat 21:28-32]

Suatu hari kami menerima kabar yang kurang baik dari seorang sahabat. Ia memutuskan untuk bercerai dengan suaminya. Surat gugatan sudah dilayangkan ke pengadilan, dan hari demi hari berikutnya adalah hari-hari sidang dan percekcokan yang sangat memilukan, terutama bagi anak laki-laki mereka yang saat itu berumur 7 tahun. Bocah itu diperlakukan seperti piala bergilir, yang berpindah asuhan setiap sekian hari: dari tangan ayahnya, atau ibunya atau opa dan omanya. Suatu hari, anak itu menangis dengan kerasnya saat dijemput oleh ibunya. Lalu teman saya itu berkata, “Jangan menangis, sayang. Mama sayang sama kamu….” Namun bocah kecil itu menjawab dengan terbata-bata, “Kalau Mama sayang sama aku, mestinya Mama tidak berpisah dengan Papa….”

Demikianlah, anak kecil saja sudah dapat menangkap, bahwa perkataan itu mestinya diwujudkan dengan perbuatan. Namun seringkali kita yang sudah dewasa, malah gagal memahaminya. Kita hanya perlu secara rutin memeriksa batin kita di akhir hari, untuk melihat bahwa adakalanya perbuatan kita tidak sejalan dengan perkataan kita. Hal inilah yang diingatkan kembali kepada kita, oleh sabda Tuhan hari ini. Jangan sampai, kita menjadi takabur, dan merasa sudah menjadi orang yang dibenarkan Tuhan, namun malah kemudian jatuh ke dalam dosa: gagal melakukan apa yang telah kita akui sebagai kebenaran. Betapa besarlah taruhannya, jika kita tetap berada dalam keadaan semacam ini! Sebaliknya, kalau kita bertobat, dan senantiasa bertobat, maka kita pasti akan hidup (lih. Yeh 18:27-28), sebab dengan meninggalkan dosa, kita telah beralih dari maut menuju hidup yang kekal.

Bersyukurlah kita, sebab kita memiliki Allah yang penuh dengan kasih setia. Ia baik dan mau membimbing orang-orang yang rendah hati. Jika kita sungguh bertobat, maka Allah akan mengampuni segala kesalahan kita dan tidak akan mengingat-ingat lagi dosa dan pelanggaran kita (lih. Mzm 25:7,9). Nah, maka bentuk yang paling awal dari kasih kita kepada Tuhan adalah pertobatan kita, sebagaimana ditegaskan dalam bacaan Injil hari ini (lih. Mat 21:28-32). Bekerja di kebun anggur melambangkan kesediaan untuk melaksanakan perintah-perintah Allah, sebagai tanda bukti dari pertobatan. Si anak sulung digambarkan sebagai yang seorang yang mengatakan bersedia untuk menaati perintah bapanya, tetapi lalu ia ingkar. Sedangkan si bungsu menolak pada awalnya, namun kemudian menyesal, dan akhirnya mengikuti kehendak bapanya. Demikianlah Kristus mengartikan sebagai si bungsu, mereka yang dipandang orang sebagai pendosa, namun yang kemudian bertobat dan melaksanakan perintah Allah. Sedangkan si sulung adalah para tua-tua Yahudi, yaitu mereka yang merasa dirinya sudah benar, sehingga tidak bertobat. Betapa kitapun perlu merenungkan, bagaimanakah sikap kita kepada Tuhan selama ini? Apakah kita mau untuk terus menerus bertobat? Sudahkah kita melaksanakan apa yang kita katakan? Sebab jangan sampai kita omdoomong doang– namun tidak melaksanakannya, atau kurang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk melaksanakannya. Aku bertanya kepada diriku sendiri:  “Jika aku berkata bahwa aku mengasihi Tuhan, sudahkah aku setia untuk berdoa dan mengucap syukur kepada-Nya? Dan dengan bersegera bangun dari tidur saat pagi hari, dan tidak bermalas-malas untuk berdoa? Sudahkah aku rajin memeriksa batin untuk melihat kekuranganku setiap hari? Apakah aku cukup rendah hati untuk mengakui kesalahanku dan berjuang untuk memperbaikinya? Apakah aku bersegera menolong mereka yang membutuhkan bantuan? Apakah aku akan tetap mengasihi, walaupun untuk itu aku harus rela berkorban? Sudahkah aku melaksanakan semua perintah Tuhan? O Tuhan, ampunilah aku, jika seringkali gagal dalam mewujudkan apa yang kukatakan dan kuketahui sebagai apa yang benar yang menjadi kehendak-Mu!”

Nampaknya Allah mengetahui, betapa kita sangat memerlukan teladan agar dapat belajar untuk lebih konsisten melaksanakan apa yang kita katakan.  Allah sendiri memberikan contoh yang sempurna, bagaimana mewujudkan perkataan Sabda-Nya itu, yaitu bahwa pada-Nya ada kasih mesra dan belas kasihan (Flp 2:1). Untuk kepentingan manusia yang dikasihi-Nya, Kristus Tuhan kita rela “mengosongkan diri-Nya dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib….” (Flp 2:7-9). Demikianlah yang dilakukan Kristus, sebagai bukti kasih-Nya kepada Allah Bapa dan kita manusia. Karena ketaatan-Nya itu, Kristus ditinggikan Bapa dan kepada-Nya dianugerahkan “nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada … dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa!” (Flp 2: 9-11) Semoga dengan melihat kepada teladan Kristus, kita dimampukan untuk menyelaraskan perkataan dan perbuatan kita. “Tuhanku, kumohon bantulah aku, untuk mengasihi Engkau tidak hanya dengan perkataan, tetapi  dengan perbuatan dan dalam kebenaran...”