Pertanyaan:
Bagaimana dapat ditemukan bentuk-bentuk konkret akan penghayatan sakramen? Wans
Jawaban:
Shalom Wans,
Jika kita menghayati sakramen sebagai sungguh rahmat Allah kita perlukan untuk keselamatan kita (lih. KGK 1129), dan bahwa Kristus sendiri bekerja melalui sakramen (lih. KGK 1127) untuk memberikan rahmat-Nya kepada kita agar kita dapat mengambil bagian dalam kehidupan ilahi-Nya (lih. KGK 1129), maka kita akan mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk menerima sakramen- sakramen tersebut.
Persiapan yang paling nyata adalah dengan mempersiapkan hati dan pikiran kita sebelum menerima sakramen, dan menerima sakramen dengan disposisi/ sikap hati yang baik. Beberapa contoh konkretnya:
1. Sebelum menerima sakramen Pembaptisan, para katekumen diarahkan untuk bertobat dengan meninggalkan kehidupan mereka yang lama, untuk hidup baru bersama Yesus. Dianjurkan, sesuai dengan tradisi para Bapa Gereja, agar para katekumen berpuasa dan berpantang selama beberapa hari menjelang Pembaptisan, diiringi dengan doa- doa untuk mempersiapkan diri menjelang Baptisan. Doa dan puasa ini juga dilakukan oleh para pengajar katekumen dan para sponsor katekumen. Pemilihan nama baptis, harus didahului dengan mempelajari teladan hidup tokoh Santa/ santo yang dipilih.
2. Sebelum menerima Sakramen Tobat, mengadakan pemeriksaan batin yang baik, sehingga dapat kita dapat menyebutkan dengan jelas dosa-dosa kita, dan bahkan jika memungkinkan, berapa kali frekuensinya. Untuk pemeriksaan batin yang baik, silakan klik di sini. Dan mohonlah Roh Kudus untuk menyatakan kepada kita dosa- dosa kita sebelum kita mengaku dosa dalam sakramen Tobat. Jika kita sungguh ingin bertumbuh di dalam iman dan kerohanian, kita selayaknya mengaku dosa secara rutin dalam Sakramen Tobat minimal satu bulan sekali.
3. Selanjutnya, kesadaran persiapan rohani sebelum menerima sakramen- sakramen yang lain, merupakan bukti yang nyata akan penghayatan akan makna sakramen. Kita selayaknya menyadari bahwa dosa telah memisahkan kita dengan Allah, sehingga jika kita ingin mengalami rahmat pengudusan dan persatuan dengan Allah, kita harus bertobat dan mengaku dosa- dosa kita. Maka, pemeriksaan batin dan penerimaan Sakramen Tobat menjadi persiapan yang baik untuk penerimaan sakramen- sakramen yang lain seperti, Ekaristi, Penguatan, Perkawinan, Tahbisan Suci, Pengurapan Orang Sakit.
4. Jika pemberian Sakramen Pembaptisan disertai Sakramen Penguatan dan Ekaristi sekaligus (disebut sebagai sakramen Inisiasi) pada orang dewasa, maka sakramen Pengakuan Dosa/ Tobat umumnya juga diberikan, dan dengan demikian, berlaku point 2.
5. Khusus sebelum menerima Sakramen Ekaristi, kita harus mempersiapkan hati. Jika kita melakukan dosa berat, kita harus mengaku dosa dalam Sakramen Tobat. Selanjutnya tentang persiapan hati menjelang dan sepanjang perayaan Ekaristi, silakan klik di sini.
6. Tentang sakramen yang menentukan panggilan hidup secara khusus dalam hidup, seperti Perkawinan (untuk yang terpanggil untuk membina hidup berkeluarga) atau Tahbisan Suci (untuk yang terpanggil untuk hidup selibat bagi Kerajaan Allah sebagai imam), maka persiapan yang dilakukan harus melibatkan proses discernment yang jujur dan bijak, dengan fokus utama untuk melakukan kehendak Tuhan di dalam hidup. Persiapan ini justru didasari oleh penghayatan kita akan makna sakramen yang akan diterima. Tidak ada salahnya bagi para mudika untuk mengikuti retret terlebih dahulu sebelum memutuskan jalan yang akan ditempuh. Silakan juga membaca tanya jawab di sini, tentang hal ini, silakan klik. Kekudusan (chastity) adalah bukti yang nyata akan penghayatan sakramen (baik terhadap sakramen Perkawinan maupun Tahbisan Suci), dan inilah yang selayaknya diterapkan dalam kehidupan kaum muda, entah nantinya ia dipanggil untuk hidup menikah atau selibat bagi Kerajaan Allah. Tentang “chastity” ini menjadi topik pengajaran 2010 di link ini, silakan klik, untuk mengetahui lebih lanjut.
7. Akhirnya, sikap yang menandai penghayatan akan sakramen adalah sikap hati yang selalu mensyukuri rahmat sakramen yang kita terima, dan siap sedialah untuk membagikan rahmat Allah itu melalui kesaksian hidup kita. Bagi yang membentuk keluarga, hiduplah dalam kekudusan keluarga, dan bagi yang menjadi imam, hidup sebagai imam yang kudus. Pasangan suami istri hidup dalam kasih kesetiaan, yang selalu terbuka pada kelahiran anak-anak; para orang tua menjadi pendidik utama bagi anak-anaknya terutama dalam hal iman, dan para imam menjadi teladan kekudusan bagi umat. Di dalam kehidupan kita masing- masing, menikah atau tidak menikah, kita menjalani kehidupan sakramental, karena dalam perkawinan, suami dan istri menerapkan kehidupan kasih sakramental sebagaimana Kristus dengan Gereja-Nya (lih. Ef 5: 22-33, atau selanjutnya klik di sini). Demikian pula kehidupan antara imam dan umat, yang dengan cara yang khusus dan mendalam memberikan penggambaran tersebut secara rohani, sebab demikianlah yang dicontohkan oleh Tuhan Yesus sendiri.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org
Berkah Dalem Gusti…
Mau tanya… bgmn cara memberikan penjelasan kepada calon penerima sakramen Krisma mengenai “sakramen Inisiasi”… ?
terima kasih..
Shalom Yohanes,
Katekismus menyebutkan penjelasan singkat tentang makna sakramen Inisiasi, demikian
KGK 1212 Sakramen-sakramen inisiasi Kristen – Pembaptisan, Penguatan, dan Ekaristi – meletakkan dasar-dasar kehidupan Kristen. “Dianugerahi oleh rahmat Kristus, manusia diberi bagian dalam kodrat ilahi. Dalam hal ini terdapat keserupaan tertentu dengan jadinya, bertumbuhnya, dan dikuatkannya kehidupan kodrati itu. Dilahirkan kembali dalam Pembaptisan, umat beriman diteguhkan oleh Sakramen Penguatan dan dikuatkan oleh roti kehidupan abadi dalam Ekaristi. Jadi, oleh Sakramen-sakramen inisiasi mereka dibawa masuk semakin jauh ke dalam kehidupan Allah dan semakin mendekati cinta yang sempurna” (Paulus VI, Ap. Konst. “Divinae consortium naturae”, Bdk. OICA praenotanda 1-2).
Selanjutnya untuk menjelaskan tentang ketiga sakramen tersebut yaitu Pembaptisan, Penguatan dan Ekaristi, silakan membaca Katekismus Gereja Katolik no. 1213- 1419. Atau kalau mau sedikit rangkumannya, dapat dibaca di artikel di situs ini, silakan klik di judul-judul berikut:
Sudahkah kita diselamatkan?
Menuju Kedewasaan Iman di dalam Kristus
Sudahkah Kita Pahami Pengertian Ekaristi?
Ekaristi Sumber dan Puncak Kehidupan Kristiani
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Terima Kasih Ibu Ingrid….
Tuhan Yesus Memberkati..
Fiat Voluntas Tua ^^
________________________________________________
Anima Christi, sanctifica me.
Corpus Christi, salva me.
Sanguis Christi, inebria me.
Aqua lateris Christi, lava me.
Passio Christi, conforta me.
O bone Jesu, exaudi me.
Intra tua vulnera absconde me.
Ne permittas me separari a te.
Ab hoste maligno defende me.
In hora mortis meae voca me.
Et iube me venire ad te,
Ut cum Sanctis tuis laudem te.
In saecula saeculorum.
Amen
Perarakan Sakramen Mahakudus apakah harus mengelilingi seluruh umat baik di gereja/halaman/gedung paroki, naik atas turun lagi? atau cukup yang berada di lantai bawah gereja saja? Pengalaman saya mengikuti misa Kamis Putih perarakan sakramen Mahakudus menyanyikan “Mari kita memadahkan” sampai 3x diulang2 (4 syair lagu) +2 syair lagu pada bagian akhir. Terima kasih
Shalom Chris,
Sambil menunggu jawaban Romo Boli, ijinkan saya menanggapi. Jika nanti jawaban saya berbeda dengan jawaban Romo, silakan anda mengabaikan jawaban saya, sebab Romo Boli lebih memahami tentang hal ini daripada saya.
Pada prinsipnya, Kristus hadir secara istimewa di dalam Sakramen Mahakudus. Maka perarakan Sakramen Mahakudus tentu maksudnya adalah agar umat dapat merayakan Kristus yang hadir di tengah umat-Nya. Secara khusus pada Kamis Putih, perarakan tersebut merupakan peringatan akan besarnya kasih Tuhan Yesus yang sesaat lagi akan menyerahkan diri-Nya (Tubuh dan Darah-Nya) demi menyelamatkan kita manusia, yang kita rayakan secara istimewa pada hari Jumat Agung.
Jika kita menghayati hal ini, maka tidaklah menjadi masalah jika kita menyanyikan madah pujian yang agak panjang. Jika kita tak berkeberatan dan tak terburu- buru jika menghantar sahabat yang akan pergi meninggalkan kita, maka selayaknya kitapun tak terburu- buru dalam menghantar Kristus Sang Sahabat kita memasuki kisah sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya; sebab semuanya itu dilakukan-Nya demi kasih-Nya kepada kita. Kristus sudah mengasihi kita sehabis- habisnya; masakan kita komplain hanya karena kita menyanyi sedikit lebih panjang pada saat memperingati kasih pengorbanan-Nya bagi kita?
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Syaloom
Saya ingin menanyakan apa tantangan Gereja agar perayaan sakramen dihayati dan diyakini sebagai tanda yg kelihatan dan menyalurkan rahmat?
Terima kasih
Shalom Theodorus Yudhi,
Terus terang saya agak kurang memahami pertanyaan anda. Sebab nampaknya pertanyaan yang lebih logis adalah apakah yang harus dilakukan Gereja agar perataan sakramen dihayati dan diyakini sebagai tanda yang kelihatan dan menyalurkan rahmat?
Sebab nampaknya bukan Gereja yang ‘menantang’ tentang penghayatan akan sakramen ini. Penghayatan akan makna sakramen itu memang sudah seharusnya dimiliki oleh umat Katolik, namun faktanya karena satu dan lain hal, kita melihat sendiri, bahwa hal ini belum sepenuhnya terpenuhi pada satiap umat Katolik. Inilah yang perlu kita usahakan bersama sebagai sesama anggota Tubuh Kristus.
Walaupun saya rasa bahwa para imam juga sangat berperan dalam mengajar umat tentang penghayatan sakramen, namun tidak berarti bahwa umat awam tidak dapat berbuat apa- apa. Sebagai umat awam, kita tetap dapat mengambil bagian dalam tugas ini:
1. Mulai dari diri sendiri dan keluarga kita. Kita mempelajari akan makna ketujuh sakramen, dan kemudian berusaha menghayati maknanya, dengan mempersiapkan batin kita sebelum kita menerimanya. Khusus dalam hal ini adalah sebelum menerima Sakramen Ekaristi dan sakramen Tobat.
Silakan klik di sini untuk persiapan menyambut Ekaristi, dan klik di sini untuk persiapan mengaku dosa dalam Sakramen Tobat. Selanjutnya ajaklah seluruh keluarga anda untuk melaksanakannya.
2. Membantu dalam paroki setempat, misalnya dalam seksi katekisasi umat, ataupun dalam pertemuan lingkungan/ wilayah untuk mengadakan seminar/ pengajaran tentang makna sakramen. Silakan mengundang pastor/ pembicara yang berkompeten untuk mengajar umat di sana.
3. Membantu dalam proses katekumen, entah sebagai sponsor atau sebagai pengajar, jika anda memiliki kompetensi dalam hal ini. Semoga anda dapat membantu agar para katekumen dapat memahami pentingnya makna sakramen dalam kehidupan rohaninya.
4. Di atas semua itu ajukanlah doa- doa, baik pribadi maupun dalam kelompok untuk mendoakan pertumbuhan iman uman Katolik dan penghayatan umat akan makna sakramen.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
SELAMAT BERAPA SAJA
SAYA MAU TANYA NE APA UNSUR-UNSUR KARITATIF DARI PELAYANAN SAKRAMEN ORANG SAKIT?
Shalom Fr. Yarid,
Terima kasih atas pertanyaannya. Mungkin lebih baik kita berdiskusi. Kalau bisa, frater menyatakan pendapat terlebih dahulu, dan kemudian kita dapat mendiskusikannya. Mungkin ada baiknya hal ini dapat dikaitkan dengan dua perintah utama di Mk 12:30-31, yaitu mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama atas dasar kasih kepada Tuhan. Dan silakan juga membaca Katekismus Gereja Katolik (KGK, 1499-1532). Kalau mau membaca lebih lanjut, silakan melihat dokumen “Instruction on prayers for healing” yang dikeluarkan oleh sacred congregation for the doctrine of faith. Semoga ayat dan dokumen tersebut dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Shalom Ibu, Bapak, dan Romo.
Rubrik diatas mengingatkan saya ketika ikut pelajaran katekumen. waktu itu saya kelas 5 sd. Dan Suster pembimbing saya mengenalkan Tabernakel, mengapa Tabernakel itu harus menyala. Penjelasan Romo memberikan pengetahuan baru bagi saya yang sungguh ingin tahu akan hal tersebut.
Syalom Rm Wanta, Pak Stefanus, Ibu Inggrid,
Terima kasih untuk jawaban yang diberikan, sebagai bekal bagi kami untuk lebih dalam lagi pemahamannya terhadap tata cara Liturgi kita.
Ad Maiorem Dei Gloriam.
Syalom Pak Stefanus & Ibu Inggrid,
Pertanyaan saya seputar upacara Liturgi:
1. Dalam upacara perarakan sakramen MahaKudus pada misa Kamis putih, Selebran Utama membawa & mentahtakan Sakramen Mahakudus dalam prosesi setelah Misa Kudus, Kemudian pada upacara Jumat Agung pada saat mau pemberian Komuni, bolehkan Sakramen diambil dan dibawa oleh Prodiakon/Asisten Imam yang bertugas? sedang pada saat itu yang bertugas di Altar ada lebih dari 1 selebran? (Bila prodiakon diperbolehkan, kenapa pada saat prosesi di Kamis Putih bukan prodiakon saja yang membawa)?
2. Benarkah bila dalam prosesi awal misa atau semisal dalam upacara perarakan di Minggu Palma, dimana semua umat berkumpul didepan gereja. Para prodiakon yang sedang bertugas (berjubah) juga berkumpul bersama umat?, dan kemudian para putra altar bersama para romo berjalan beriringan dari Sakristi menuju tempat berkumpulnya umat bersama para prodiakon tadi. apakah ini sudah benar?? (bukankah secara hirarki gereja, jabatan liturgisnya seharusnya para prodiakon tsb berjalan bersama para Romo dan putra altar? Mana yang benar?
3. Dalam misa pada saat pemberian komuni umat, pada saat itu pintu Tabernakel sebaiknya dalam kondisi terbuka atau tertutup? mengingat pada saat itu sibori sedang dikeluarkan untuk pemberian Komuni umat. (bila harus terbuka/tertutup, mengapa?)
4. Bagaimanakah seharusnya sikap seorang prodiakon pada saat membagi komuni di dalam suatu upacara misa, bila yang diberi Komuni pada saat itu seorang suster? atau seorang Imam? (baik yang berjubah maupun tidak?) karena ada pendapat tetap dianggap sebagai umat biasa. (diterima dengan tangan!), karena menurut pengalaman saya ada di beberapa gereja, bila memberi Komuni seorang imam atau biarawati, maka biasanya prodiakon hanya menyodorkan Sibori kepada biarawan/ti tersebut dan “Mereka” akan mengambil sendiri.
5. Mengapa banyak terjadi ketidak samaan “ketentuan” ? bukankah seharusnya sama? Benarkah ketentuan Liturgi kita yang selama ini berlaku sebetulnya “belum mendapat persetujuan” dari Tahta Suci di Roma? bahkan cara umat menerima komuni pun kadang berbeda (masih ada yang menerima dengan lidah, bahkan pada saat Misa Kudus di Vatican).
Apakah Konsili Vatican II, belum diakui? bagimanakah dengan inculturasi?? (hal ini kami tanya kan karena adanya keinginan Bapa Uskup untuk mengembalikan kepada Tatacara Misa seperti yang berlaku di Tahta Suci).
Terima Kasih, Jesus Always Bless Us.
Budiman Yth
Jawaban pertanyaan pertama: Perayaan ekaristi hari Kamis Putih dipimpin oleh seorang imam, prodiakon/asisten imam tugasnya hanya membantu imam dalam memberi komuni kudus karena keadaan luar biasa umat yang membludak/penuh tidak seperti biasa. Prodiakon/asisten imam tidak diperkenankan memimpin dengan membawa sakramen mahakudus dalam perarakan sesudah komuni kudus, kalau membantu imam membawa sakramen mahakudus diperkenankan. Namun presiden/pemimpin upacara adalah imam karena nanti ada pentahtaan dan doa di depan sakramen Maha kudus sesudah nyanyian tantum ergo (imam sebagai pemimpinnya bukan prodiakon/asisten imam). Sedangkan memgambil sakramen Maha Kudus dari tabernakel prodiakon/asisten imam diperkenankan saat hari jumat Agung.
Jawaban pertanyaan kedua: perarakan di saat misa dimulai dengan ajuda/putra altar kemudian jika ada petugas lektor, prodiakon/asisten imam, kemudian imam. Sebaiknya prodiakon tidak berada di tengah umat sambil memakai alba, melainkan ikut hadir dan berada di tempat dekat dengan Imam (namanya asisten imam jangan jauh-jauh dari imam saat upacara berlangsung)
Jawaban pertanyaan ketiga: pintu tabernakel ketika kosong karena sudah diambil sibori sakramen mahakudus sebaiknya ditutup. Karena lebih aman dan dari segi estetis lebih baik dari pada terbuka saja.
Jawaban pertanyaan keempat: prodiakon harus percaya diri membagi komuni dengan sopan dan tertib. Mestinya tidak akan terjadi prodiakon membagi komuni kepada imam atau suster. Karena prodiakon berfungsi – bertugas ketika umat banyak tidak ada imam atau suster yang membantu membagi komuni. Inilah salah kaprahnya. Jika ada imam, seharusnya dia yang membagi komuni dan prodiakon/asisten imam istirahat tidak bertugas.
Jawaban pertanyaan kelima: TPE yang kita gunakan sekarang 2010 telah di aprobasi para Uskup Gereja Katolik Indonesia dan rekognyisi dari Vatikan. Ada beberapa perbaikan kecil-kecil dan nantinya TPE akan digabungkan dengan buku Sacramentarium (buku misa isinya doa-doa Mingguan). Ketentuan menerima komuni ada beberapa cara dengan lidah dan tangan, berlutut atau berdiri. Ketentuan ini sama di mana-mana, lihat pedoman misa. Hasil Konsili Vatikan II telah diakui dan sudah lama hanya umat kurang membaca. Inkulturasi sebagai proses masuknya Injil ke dalam budaya setempat dalam bentuk tata cara liturgi yang inkulturatif tetap berjalan dan penting bagi misi Gereja di Indonesia.
salam
Rm Wanta
Bagaimana dapat ditemukan bentuk-bentuk konkret akan penghayatan sakramen?
[Dari Katolisitas: Pertanyaan ini sudah dijawab di atas, silakan klik]
Comments are closed.