Gereja Katolik mempercayai bahwa baptisan diperlukan untuk mendapatkan keselamatan (lih. Mrk 16:16), karena dengan baptisan, maka seluruh dosa manusia – baik dosa asal maupun dosa pribadi – dihapuskan. Pertanyaanya, bagaimana nasib bayi-bayi yang meninggal sebelum dibaptis? Untuk menjawab pertanyaan tentang nasib bayi-bayi yang meninggal tetapi belum sempat dibaptis, maka kita harus mengetahui beberapa prinsip berikut ini:
1) Menjadi ajaran iman bahwa orang-orang yang meninggal dengan dosa asal (original sin) tidak dapat bertemu dengan Tuhan muka dengan muka atau mengalami “beatific vision“. Katekismus Gereja Katolik (KGK, 1257) mengatakan “Tuhan sendiri mengatakan bahwa Pembaptisan itu perlu untuk keselamatan (Bdk. Yoh 3:5.). Karena itu, Ia memberi perintah kepada para murid-Nya, untuk mewartakan Injil dan membaptis semua bangsa (Bdk. Mat 28:19-20; DS 1618; LG 14; AG 5.). Pembaptisan itu perlu untuk keselamatan orang-orang, kepada siapa Injil telah diwartakan dan yang mempunyai kemungkinan untuk memohon Sakramen ini (Bdk. Mrk 16:16.). Gereja tidak mengenal sarana lain dari Pembaptisan, untuk menjamin langkah masuk ke dalam kebahagiaan abadi. Karena itu, dengan rela hati ia mematuhi perintah yang diterimanya dari Tuhan, supaya membantu semua orang yang dapat dibaptis, untuk memperoleh “kelahiran kembali dari air dan Roh”. Tuhan telah mengikatkan keselamatan pada Sakramen Pembaptisan, tetapi Ia sendiri tidak terikat pada Sakramen-sakramen-Nya.”
2) Dalam konsep keselamatan, dosa asal diampuni lewat Sakramen Baptis, yaitu suatu cara biasa (ordinary means) yang diinstitusikan sendiri oleh Kristus. Dikatakan di KGK 1263 “Oleh Pembaptisan diampunilah semua dosa, dosa asal, dan semua dosa pribadi serta siksa-siksa dosa (Bdk. DS 1316). Di dalam mereka yang dilahirkan kembali, tidak tersisa apa pun yang dapat menghalang-halangi mereka untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah. Baik dosa Adam maupun dosa pribadi demikian pula akibat-akibat dosa, yang terparah darinya adalah pemisahan dari Allah, semuanya tidak ada lagi.”
3) Namun demikian, tidak selalu perlu unuk menerima Baptisan secara explisit (dalam hal ini Baptisan air). Hal ini dikarenakan bahwa dosa asal juga diampuni lewat keinginan yang murni (Baptisan rindu) untuk menerima Baptisan (secara eksplisit atau implisit), atau oleh baptisan darah (mati untuk Kristus). KGK, 1258 mengatakan “Gereja sudah sejak dahulu yakin bahwa orang-orang yang mengalami kematian karena iman, tanpa sebelumnya menerima Pembaptisan, telah dibaptis untuk dan bersama Kristus oleh kematiannya. Pembaptisan darah ini demikian pula kerinduan akan Pembaptisan menghasilkan buah-buah Pembaptisan walaupun tidak merupakan Sakramen.”
Namun baptisan rindu dan baptisan darah mensyaratkan seseorang untuk menggunakan akal budi, karena mensyaratkan pengambilan keputusan. Namun bayi tidak mempunyai akal budi secara aktual, hanya berupa kapasitas yang belum direalisasikan. Oleh karena itu, maka bayi tidak mungkin mengalami baptisan darah maupun baptisan rindu.
4) karena bayi-bayi tidak pernah berbuat dosa pribadi (personal), maka mereka tidak akan menderita, baik secara fisik maupun secara spiritual.
5) Sebuah kebahagiaan yang sesuai dengan kodrat manusia adalah sesuatu yang mungkin setelah kehidupan ini. Secara proposional, dengan kodrat manusia, maka manusia dapat menikmati kebahagiaan dalam permenungan Tuhan (in loving contemplation of God), melalui ciptaan-Nya. Tempat inilah yang disebut “Limbo“.
Lima hal di atas adalah alasan-alasan yang mendasari pengajaran tentang Limbo. Dokrin limbo ini melalui sejarah yang panjang, dari St. Gregory Nazianzus, St. Augustine, St. Thomas Aquinas. St. Thomas yang berpendapat bahwa Limbo adalah “natural happiness” bagi para bayi yang meninggal namun belum sempat dibaptis. Dan posisi ini kemudian didiskusikan lagi mulai dari St. Robert Bellarmine, dan mencapai ektrimnya pada “Jansenists“, yang berpendapat bahwa bayi yang meninggal dan belum dibaptis akan masuk neraka. Dan posisi dari jansenists inilah yang ditentang oleh Gereja. Pada saat ini, Gereja belum mengeluarkan dokumen secara resmi tentang Limbo. Dan Katekismus Gereja Katolik mengatakan:
KGK, 1261″Anak-anak yang mati tanpa Pembaptisan, hanya dapat dipercayakan Gereja kepada belas kasihan Allah, seperti yang ia lakukan dalam ritus penguburan mereka. Belas kasihan Allah yang besar yang menghendaki, agar semua orang diselamatkan (Bdk. 1 Tim 2:4.), cinta Yesus yang lemah lembut kepada anak-anak, yang mendorong-Nya untuk mengatakan: “Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku; jangan menghalang-halangi mereka” (Mrk 10:14), membenarkan kita untuk berharap bahwa untuk anak-anak yang mati tanpa Pembaptisan ada satu jalan keselamatan. Gereja meminta dengan sangat kepada orang-tua, agar tidak menghalang-halangi anak-anak, untuk datang kepada Kristus melalui anugerah Pembaptisan kudus.“
KGK, 1283 “Mengenai anak-anak yang mati tanpa dibaptis, liturgi Gereja menuntun kita, agar berharap kepada belas kasihan ilahi dan berdoa untuk keselamatan anak-anak ini.“
Dari beberapa dasar pro dan kontra tentang Limbo inilah, maka pada saat ini Gereja masih belum mengeluarkan secara terperinci doktrin tentang Limbo. Yang perlu kita pegang pada saat ini adalah belas kasih Allah kepada anak-anak yang tanpa dosa pribadi.
Ytk Ibu Ingrid,
Saya ingin bertanya di mana jiwa embrio, janin atau bayi yang meninggal sebelum dilahirkan, dan dengan demikian belum dibaptis sehingga dikatakan masih memiliki dosa asal. Tetapi, di lain pihak, janin yang belum dilahirkan juga masih suci sehingga seharusnya tidak berada dalam api penyucian atau purgatorium. Saya pernah mendengar bahwa ajaran gereja Katolik mengatakan arwah janin tersebut berada dalam tempat yang disebut Limbo dan keselamatannya bergantung pada Kasih Allah semata untuk tidak dimasukkan ke dalam neraka. Karena masih membingungkan, saya mohon pencerahan. Terima kasih.
Andry
[dari katolisitas: Silakan melihat tanya jawab di atas – silakan klik]
Maaf bapak Stef, mohon dijelaskan lagi apakah bedanya kebahagiaan dalam Limbo & kebahagiaan beatific vision? Apakah Limbo itu berada di surga (bagian dari surga) atau suatu tempat sendiri dimana terdapat kebahagiaan? -yg bukan dunia bukan pula surga? Apakah jiwa2 di Limbo dapat bertemu dengan jiwa2 orang dewasa yg sudah meninggal misalnya kakek buyutnya? Kemudian bagaimanakah relasi jiwa2 di Limbo dengan Allah? Mohon dijelaskan.
Sementara apabila beatific vision menurut pengertian saya dalah dimana jiwa2 sudah bersatu dengan Tuhan spt Bunda Maria & para Kudus dalam persatuan penuh dengan Allah seperti yg disebutkan dalam syahadat para rasul yaitu persekutuan orang kudus?-mohon koreksi-
Kemudian apakah Limbo itu tempat yg sementara saja ataukah selamanya jiwa2 akan tinggal di situ, ataukah ada saatnya mereka akan dapat juga menerima beatific vision atas belas kasih & rahmat Allah & juga doa-doa kita di dunia? Ataukah mereka akan masuk dalam keadaan beatific vision pada saat akhir jaman? (kedatangan Yesus yg kedua?) (Ataukah ada saatnya mereka akan pindah masuk ke dalam surga?)
Mohon penjelasannya bapak Stef. Ini sehubungan dengan putra saya yg meningal dalam kandungan saat usia kandungan saya 38 mgg. Selama ini saya selalu beranggapan bahwa dia telah ada di surga bersama Bapa. Namun saya juga tetap membawanya dalam doa pribadi & ujub misa pada peringatan kematiannya baik misa khusus di rumah ataupun intensi misa di gereja. Saya juga melakukan amal yg saya atas namakan namanya, apakah itu bisa diterima sebagai perbuatan baiknya (amalnya) yg membuatnya boleh masuk dalam beatific vision (beserta belas kasih Allah yg saya mohonkan dalam misa kudus?).
Maaf apabila pertanyaan saya banyak. Terimakasih sebelumnya.
Shalom Familia Bella,
Pengajaran tentang limbo sebenarnya berakar pada dosa asal dan keselamatan yang diperoleh lewat baptisan (lih. Mrk 16:16), baik baptisan air, darah, maupun keinginan. Seorang bayi dapat menerima baptisan air walaupun dia belum mengerti. Baptisan darah juga dapat diterima oleh bayi ketika karena Kristus mereka menjadi korban, seperti yang terjadi kepada bayi-bayi yang dibunuh oleh Herodes, karena Herodes ingin membunuh Yesus. Sebaliknya, baptisan keinginan hanya dapat diterima oleh seseorang yang telah dapat menggunakan akal budinya. Dengan demikian, ada sebagian teolog yang berpendapat bahwa bayi yang meninggal sebelum dibaptis (baik baptisan air, darah, keinginan) tidak dapat memasuki Sorga (dalam pengertian melihat Allah muka dengan muka) karena masih mempunyai dosa asal. Namun, di satu sisi, bayi-bayi ini tidak melakukan dosa pribadi. ‘Tempat’ dari bayi-bayi ini disebut ‘limbo’. Limbo digambarkan sebagai satu kebahagiaan sempurna yang proporsional dengan kodrat manusia atau disebut perfect natural happiness untuk selamanya. Kalau memang Limbo adalah perfect natural happiness dan Sorga adalah perfect supernatural happiness, maka mereka tidak saling bertemu. Di Sorga, kodrat manusia diangkat ke tingkat adi kodrati (supernatural), sehingga manusia dapat masuk dalam kehidupan interior Allah Tritunggal Maha Kudus.
Namun, apakah kemudian dalam belas kasih-Nya, Tuhan kemudian mengangkat mereka yang ada di limbo ke Sorga, kita tidak pernah tahu. Yang jelas, kita percaya akan kodrat Allah yang maha kasih dan maha adil, sehingga dengan cara-Nya, maka belas kasih Allah dan keadilan Allah dapat terwujud secara sempurna pada jiwa bayi-bayi yang belum dibaptis. Jadi, pada akhirnya, kita selalu mohon belas kasih Allah, dan kita menyerahkan jiwa para bayi yang belum sempat di baptis ke dalam kerahiman Allah. Itulah sebabnya Katekismus Gereja Katolik (KGK) menegaskannya sebagai berikut:
KGK, 1261″Anak-anak yang mati tanpa Pembaptisan, hanya dapat dipercayakan Gereja kepada belas kasihan Allah, seperti yang ia lakukan dalam ritus penguburan mereka. Belas kasihan Allah yang besar yang menghendaki, agar semua orang diselamatkan (Bdk. 1 Tim 2:4.), cinta Yesus yang lemah lembut kepada anak-anak, yang mendorong-Nya untuk mengatakan: “Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku; jangan menghalang-halangi mereka” (Mrk 10:14), membenarkan kita untuk berharap bahwa untuk anak-anak yang mati tanpa Pembaptisan ada satu jalan keselamatan. Gereja meminta dengan sangat kepada orang-tua, agar tidak menghalang-halangi anak-anak, untuk datang kepada Kristus melalui anugerah Pembaptisan kudus.“
KGK, 1283 “Mengenai anak-anak yang mati tanpa dibaptis, liturgi Gereja menuntun kita, agar berharap kepada belas kasihan ilahi dan berdoa untuk keselamatan anak-anak ini.“
Jadi, mari kita percaya akan kerahiman Ilahi dan dapat terus mendoakan mereka. Semoga dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Dear Katolisitas,
Ibu Ingrid / Bpk Stef
Mohon pencerahan.
Bagaimana nasib jiwa seseorang yg lahir idiot atau keterbelakangan mental dan dia sudah dibaptis / atau belom dibaptis setelah dewasa dia meninggal,??
satu lagi : bagaimana dengan nasib jiwa orang yang gila (gangguan jiwa) bila meninggal ??
Terima kasih.
[dari katolisitas: Dosa adalah perlawanan terhadap Allah yang dibuat secara sadar. Dengan demikian orang yang gila maupun yang mengalami keterbelakangan mental sehingga tidak dapat membuat keputusan secara sadar dan bebas, tidak dapat dikatakan berdosa. Jadi, bagi orang yang gila, yang diperhitungkan adalah apa yang dilakukannya sebelum gila dan setelah dia sembuh dari gila. Namun, kita percaya bahwa kasih Tuhan tetap dapat menyentuh mereka dengan cara-Nya yang ajaib.]
BUNUH DIRI
1.Mengapa orang Katolik yang bunuh diri tidak “berhak” di-Misakan?
2.Apakah meng-ujub-kan jiwa dari orang yang bunuh diri adalah salah?
3.Apakah orang yang bunuh diri, jiwanya tidak selamat?
4.Apa yang mesti kita lakukan bagi jiwa orang-orang yang mati bunuh diri?
[dari Katolisitas: kita dapat, boleh, dan sebaiknya tetap mendoakan dalam Misa Kudus, keselamatan jiwa sesama yang bunuh diri. Hal itu bukan sesuatu yang salah dan bahkan dianjurkan Gereja. Supaya lebih jelas, silakan membaca mengenai hal bunuh diri dalam artikel “Nasib orang yang bunuh diri dan hubungannya dengan baptisan”, klik di sini dan jawaban yang telah kami berikan dalam diskusi tanya jawab di artikel tersebut, misalnya klik di sini dan di sini]
Dear Pak Stef,
Ada sedikit masalah dengan pernyataan Ketua Lingkungan saya (mantan seminaris) yang menyatakan bahwa seorang bayi meninggal dalam kandungan (keguguran), maka jabang bayi tersebut masuk ke dalam tempat yang bernama “Limbus Invitium” (menurutnya sebagai tempat penantian). Waktu itu sempat saya katakan kepada beliau bahwa seharusnya jabang bayi tersebut langsung masuk ke api penyucian karena sang bayi sudah mengandung dosa asal (seperti penjelasan pak Stef bahwa bayi sudah mengandung dosa asal sejak dalam kandungan). Tempat penantian seperti yang dimaksudkan beliau, saya katakan sudah tidak ada setelah kenaikan Yesus ke Sorga.Jadi, tempat yang tepat untuk menyucikan jiwa sang jabang bayi adalah di api penyucian.
Saya mohon mendapatkan pencerahan dari tim katolisitas atas keraguan saya ini. bagaimana pak Stef bisa menjelaskan ini semua? Terima kasih dan GBU.
[dari katolisitas: silakan membaca terlebih dahulu pengertian limbo di atas – silakan klik.]
Ytk Bu Ingrid,
Ada anak-anak ( tepatnya embrio atau janin) yang meninggal sebelum dilahirkan baik karena lahir mati (stillbirth), abortus spontan atau bahkan karena tindakan pada KB seperti menstrual regulation (aborsi di bawah usia 3 bulan). Bu Inggrid mengatakan bahwa dalam KGK, 1283 terdapat aturan “Mengenai anak-anak yang mati tanpa dibaptis, liturgi Gereja menuntun kita, agar berharap kepada belas kasihan ilahi dan berdoa untuk keselamatan anak-anak ini.” Pertanyaan saya apakah arwah mereka perlu didoakan lewat misa arwah atau misa peringatan kematian ataukah cukup didoakan pada saat ekaristi saja?
Atas penjelasannya, saya ucapkan terima kasih.
Berkah Dalem,
andry
Shalom Andry,
Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa doa yang paling baik untuk mendoakan arwah orang yang sudah meninggal adalah dengan mengajukan intensi pada Misa Kudus:
KGK 1032 Ajaran ini juga berdasarkan praktik doa untuk orang yang sudah meninggal tentangnya Kitab Suci sudah mengatakan: “Karena itu [Yudas Makabe] mengadakan kurban penyilihan untuk orang-orang mati, supaya mereka dibebaskan dari dosa-dosanya” (2 Mak 12:45). Sudah sejak zaman dahulu Gereja menghargai peringatan akan orang-orang mati dan membawakan doa dan terutama kurban Ekaristi (Bdk. DS 856) untuk mereka, supaya mereka disucikan dan dapat memandang Allah dalam kebahagiaan. Gereja juga menganjurkan amal, indulgensi, dan karya penitensi demi orang-orang mati.
“Baiklah kita membantu mereka dan mengenangkan mereka. Kalau anak-anak Ayub saja telah disucikan oleh kurban yang dibawakan oleh bapanya (Bdk. Ayb 1:5), bagaimana kita dapat meragukan bahwa persembahan kita membawa hiburan untuk orang-orang mati? Jangan kita bimbang untuk membantu orang-orang mati dan mempersembahkan doa untuk mereka” (Yohanes Krisostomus, hom. in 1 Cor 41,5).
Jadi silakan mempersembahkan intensi misa kudus, terutama pada bulan November terutama hari arwah tanggal 2 November, atau juga pada hari peringatan kematiannya. Mendoakan arwah anak pada doa- doa pribadi, dan doa pada saat kita mengikuti Misa Kudus juga merupakan sesuatu yang baik, namun jika ingin lebih baik adalah dengan mengajukan ujud Misa Kudus.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
” Memang Gereja tidak tahu cara lain selain Sakrament Baptist ” Mana yang lebih utama pertobatan dahulu atau baptisan dahulu menurut pengasuh katolisitas? GBU
Shalom Kay Roven,
Jawabnya adalah kedua-duanya perlu. Baik pertobatan maupun baptisan asalah perlu untuk keselamatan. Sesungguhnya bukan hanya kedua hal ini saja, tetapi juga perlu adanya iman yang tak terpisahkan dari kasih.
Pada seorang dewasa yang sudah dapat menggunakan akal budi (sudah mencapai age of reason), ia perlu bertobat, sebelum dibaptis. Artinya ia harus meninggalkan cara hidupnya yang lama untuk hidup baru bersama Kristus. Sebab pertobatan sejati seperti inilah yang menjadi salah satu makna utama Pembaptisan; yaitu dimana seseorang mati terhadap dosa untuk bangkit bersama Kristus. Pembaptisan itu sendiri juga merupakan ungkapan iman kepada Allah Tritunggal Maha Kudus. Tentang perlunya Baptisan untuk keselamatan sudah pernah dibahas di dialog ini, silakan klik.
Sedangkan keselamatan bayi dan anak- anak di bawah umur (di bawah age of reason) adalah melalui Pembaptisan. Mereka belum dapat melakukan pertobatan, karena mereka belum dapat menggunakan akal budinya. Maka keselamatan sebagai rahmat Tuhan yang terbesar kepada manusia, diberikan kepada anak itu, atas dasar iman orang tuanya. Selanjutnya tentang Baptisan bayi dan dasar- dasar Alkitabnya dan Tradisi Suci, silakan anda klik di sini; dan tentang Baptis selam, baptis anak dan baptis ulang, silakan klik di sini.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Syalom…
Saya adalah saeorang seminaris di Seminari Menengah Raja Damai Keuskupan Palangkaraya.
Sewaktu saya diajak oleh Romo Rektor tourney ke salah satu stasi ada kejadian lucu yaitu, oleh Bapak Ketua Umat stasi itu saya di minta utk membabtis 2 orang bayi, saya terkejut lalu bertanya kepada Rektor saya apakahah saya boleh membabtis bayi-bayi tersebut?? lalu Romo bberkata tidak boleh… nah pertanyaan saya kenapa seorang awam atau seminaris tidak boleh membabtis dan apakah seorang Frater yang sudah menerima jubah bisa membabtis seseorang????
Terima kasih atas jawabannya.
Shalom Frater Agustinus,
Menurut Katekismus Gereja Katolik, yang bisa membaptis adalah:
Biasanya pelayan Pembaptisan adalah Uskup dan imam dan, dalam Gereja Latin, juga diaken Bdk. CIC, can. 861, ? 1; CCEO, can. 677, ? 1.. Dalam keadaan darurat setiap orang, malahan juga seorang yang belum dibaptis, dapat menerimakan Pembaptisan, asal saja ia mempunyai niat yang diperlukan: Ia harus bersedia melakukan, apa yang dilakukan Gereja , waktu Pembaptisan, dan memakai rumusan Pembaptisan yang Trinitaris. Gereja melihat alasan untuk kemungkinan ini dalam kehendak keselamatan Allah yang mencakup semua orang Bdk. 1 Tim 2:4. dan perlunya Pembaptisan Bdk. DS 1315; 646; CIC, can. 861, ? 2. demi keselamatan Bdk. Mrk 16:16.
Maka kelihatannya yang harus diperhatikan di sini adalah, apakah keadaannya begitu darurat pada saat itu, misalnya ada bahaya maut bagi bayi tersebut? Jika ya, maka siapapun dapat membaptis bayi itu asalkan melaksanakan dengan niat dan seperti yang diajarkan oleh Gereja Katolik, yaitu Pembaptisan dengan air, dalam nama Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus. Hal ini sejalan dengan pengajaran Gereja Katolik, sesuai dengan Alkitab, bahwa Allah menginginkan semua orang untuk diselamatkan (lih.1 Tim 2:4), dan bahwa Pembaptisan itu perlu untuk keselamatan (lih. Yoh 3:5)
Jika keadannya tidak darurat, memang tidak diperkenankan pembaptisan yang dilakukan tanpa pengetahuan/ izin pastor paroki yang bersangkutan. Karena semua Pembaptisan juga harus kemudian dicatatkan di data paroki, dan pastor paroki mempunyai kewajiban untuk membina iman semua umat yang dibaptis di dalam parokinya. Jadi demi keteraturan dan kebaikan bersama maka Pembaptisan sebaiknya diadakan dalam kesatuan dengan umat paroki lainnya.
Jadi masalahnya bukan karena sudah pakai jubah atau belum, tetapi apakah keadaan tersebut darurat atau tidak. Sebab jika ternyata dalam keadaan darurat bayi itu dibaptis oleh seorang awam (tentu dengan materia dan forma yang benar) kemudian bayi tersebut tidak meninggal, maka tetap paroki harus diberi tahu, dan data Pembaptisannya dicatat di paroki.
Semoga dapat dipahami.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Kadang-kadang saya bingung, mengapa Gereja Katolik (dalam arti pembuat aturannya) lebih mementingkan aturan dan administrasi daripada keselamatan jiwa?
Dalam kasus ini saya lebih setuju jika kedua bayi tersebut dibaptis, baru kemudian dilaporkan ke parokinya.
Karena kita tidak pernah tahu apakah setelah frater pulang, kedua bayi itu akan tetap selamat atau tidak.
Saya bahkan tidak pernah tahu apakah nanti malam saya masih bisa pulang ke rumah dengan selamt atau tidak. Siapa tahu setelah menulis email ini tiba-tiba terjadi gempa bumi yang dahsyat dan gedung tempat saya bekerja hancur. Atau seperti kejadian di 11/11, tidak ada yang tahu tiba-tiba ada pesawat yang menabrak gedung di siang bolong begitu.
Shalom Erika,
Jika Gereja Katolik menerapkan aturan-aturan tertentu untuk pelaksanaan Pembaptisan, itu justru karena Gereja menghargai makna Baptisan yang begitu penting. Karena begitu pentingnya, maka Gereja tidak begitu saja memberikan Pembaptisan tanpa persiapan yang memadai terlebih dahulu. Ini sesuai dengan ajaran Yesus dalam Injil agar tidak memberikan sesuatu yang kudus kepada mereka yang tidak/ kurang menghargainya (lih. Mat 7:6). Nah, agar dapat menghargai maknanya, maka Gereja mempunyai tanggung jawab di hadapan Tuhan, untuk mempersiapkan orang untuk menerima rahmat Tuhan dalam sakramen itu dengan penghayatan iman dan sikap batin yang layak. Maka umumnya untuk Baptisan dewasa, umat yang mau dibaptis harus mengikuti pelajaran katekumen selama sekitar setahun. Atau, kalau Baptis bayi/ anak, maka diperlukan semacam rekoleksi/ sesi pengajaran kepada para orang tua anak tersebut, agar dapat dipahami tugas dan tanggung jawab orang tua sebagai pendidik utama dan pertama bagi anak tersebut, untuk bersama-sama dengan Gereja, membesarkan anak tersebut secara Katolik. Dengan demikian rahmat keselamatan diterima dengan hati yang siap dan dengan kesediaan yang penuh untuk memeliharanya, dalam kesatuan dengan Gereja.
Kekecualian memang dapat diberikan, hanya kalau ada keadaan darurat, (misalnya sakit parah/ menjelang ajal, perang, bencana alam) sehingga persiapan yang memadai tidak mungkin diberikan. Maka asalkan orang yang bersangkutan (atau orang tuanya, jika itu untuk Baptisan bayi/ anak) mempunyai iman dan sikap batin yang sesuai untuk menerima Baptisan, maka Baptisan dapat diberikan, bahkan oleh siapa-pun, tidak perlu harus oleh imam ataupun uskup, asalkan mempunyai maksud yang sama dengan maksud Gereja membaptis, dan Baptisan dilakukan dengan materia (air) dan forma yang sesuai (yaitu membaptis dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus) (lih. KGK 1256).
Nah dalam kasus yang ditanyakan di atas, jika tidak dalam kasus darurat, misalnya kedua bayi itu sehat, lalu orang tua juga sehat, gereja/ stasi juga dekat, sehingga mudah bagi mereka untuk mengikuti persiapan Baptisan, maka itulah yang harusnya dilakukan oleh orang tua bayi tersebut. Sebab Baptisan anak juga mensyaratkan persiapan batin dari orang tua yang ingin membaptisnya, untuk melaksanakan tanggung jawabnya sebagai orang tua, dan mencarikan wali baptis yang dapat membantunya mendidik anak itu secara Katolik. Ini adalah hal yang tidak sepele, sebab Baptisan itu hanya sebuah awal perjalanan hidup rohani, dan bukan semacam kejadian “sekali saja lalu selesai”. Baptisan adalah peristiwa besar dalam hidup anak tersebut dan orang tuanya, yang berdampak seumur hidup; dan selayaknya mereka rayakan dalam kesatuan dengan Gereja, sebab melalui Baptisan mereka juga disatukan dengan semua anggota Gereja. Dan Gereja di bumi bersuka cita merayakan Baptisan, sebagaimana para kudus di Surga bersuka cita merayakan Baptisan/ pertobatan (lih. Luk 15:7).
Dengan demikian, dalam keadaan biasa/ tidak darurat, kunjungan frater ke rumah-rumah warga, bukan dimaksudkan sebagai kesempatan orang tua tak usah melalui proses persiapan Baptisan bagi anaknya, lalu minta agar frater langsung membaptis anaknya saat itu juga. Imam, selaku gembala umat di paroki tersebut bertanggung jawab untuk membina iman umat di parokinya, baik anak-anak maupun orang tuanya. Mari kita dengan rendah hati melihat juga bahwa ketentuan atau aturan itu dibuat untuk kebaikan dan kepentingan umat, bukan semata untuk kepentingan administratif. Orang tua itu perlu juga mengenal imam parokinya, demikian pula sebaliknya, wali baptis juga harus dicari/ dipilih dengan seksama, dan Baptisan itu layak dirayakan dengan pantas sebagai peristiwa bersama Gereja. Hal-hal semacam ini dapat saja terlewati, jika ketentuan umum untuk Pembaptisan diabaikan.
Memang kemungkinan selalu ada, bahwa ada bencana atau kecelakaan mendadak, tetapi kemungkinan yang sama juga adalah, tidak akan terjadi apa-apa, maksudnya, keadaan berjalan seperti biasa, bahkan kemungkinan ini mungkin jauh lebih besar. Nah, kalau persyaratan keadaan darurat ditetapkan untuk keadaan biasa, maka resikonya adalah bahwa Baptisan tidak diterima dengan sikap batin yang layak, wali baptis ditentukan seadanya tanpa pemikiran akan tanggung jawabnya, imam bahkan mungkin kurang mengenal umatnya yang dibaptis, karena yang membaptis orang lain, apalagi jika kemudian karena satu dan lain hal Baptisan tersebut tidak dilaporkan ke paroki. Jika keadaan macam ini marak dilakukan, lama-kalamaan penghayatan umat akan makna Baptisan akan semakin menipis, demikian juga kesadaran untuk memelihara rahmat Baptisan dalam kesatuan dengan Gereja. Keadaan ini sungguh tidak diharapkan. Sedangkan kalau yang terjadi adalah sebaliknya: taruhlah, terjadi bencana, seseorang yang ingin sekali dibaptis, namun sebelum terlaksana ia meninggal dunia maka kerinduannya untuk menerima Baptisan itu sendiri adalah Baptisan kerinduan, yang tetap dapat menyelamatkan orang itu (lih. KGK 1259-1260). Demikianlah, kita juga dapat mempercayakan jiwa anak-anak yang belum sempat menerima Baptisan kepada belas kasih Tuhan, dan berharap bahwa Tuhan tetap berkenan memberikan keselamatan kepada mereka (lih. KGK 1261), walaupun tentu dalam keadaan normal, sebagai umat beriman kita wajib mengusahakan agar anak-anak kita sesegera mungkin dapat menerima Baptisan.
Semoga kita semua dapat melihat bahwa ketentuan umum persiapan dan pelaksanaan Baptisan ini tidak dimaksudkan untuk mempersulit orang memperoleh rahmat keselamatan, namun agar orang-orang yang menerimanya dapat menerima dengan sikap batin dan penghayatan yang baik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
salam sejahtera,
saya ingin menanyakan ttg pembaptisan untuk bayi (usia 6 bln) dengan single parent (ibu) katolik yg tidak menerima sakramen pernikahan : apakah boleh anak tsb menerima sakramen baptis bayi/anak? kalo boleh mohon diberi penjelasannya dan kalo tidak boleh apa alasannya? terima kasih
Shalom Keke,
Ya, bayi tersebut dapat dibaptis di Gereja Katolik, asalkan dipenuhi alasan berikut:
Kanon 868 (Kitab Hukum Kanonik 1983) mengatakan:
§ 1. Agar bayi dibaptis secara licit, haruslah:
1) orangtuanya, sekurang-kurangnya satu dari mereka atau yang secara legitim menggantikan orangtuanya, menyetujuinya;
2) ada harapan cukup beralasan bahwa anak itu akan dididik dalam agama Katolik; bila harapan itu tidak ada, baptis hendaknya ditunda menurut ketentuan hukum partikular, dengan memperingatkan orangtuanya mengenai alasan itu.
Maka yang terpenting adalah pihak orang tua sang bayi (yaitu ibunya yang Katolik dalam hal ini) menentukan wali Baptis yang diharapkan dapat membantunya untuk mendidik anaknya itu secara Katolik. Sedapat mungkin carilah orang yang sungguh beriman dan hidup sesuai dengan iman Katolik, dan yang usianya jangan terlalu tua, sehingga masih dapat mendampingi sang anak jika anak itu beranjak dewasa.
Demikian, semoga menjadi jelas.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Bagaimana kalo proses penerimaan sakramen baptis untuk anak tersebut terhalang oleh prosedural di bagian kesekretariatan gereja misalnya karena orang tua (ibu) tidak ada/punya surat nikah secara katolik maupun sipil? Mohon penjelasan juga bila sekiranya ada dari pihak gereja yang menghalangi. Terima kasih
Shalom Keke,
Saya pikir, ada baiknya ibu itu menemui pastor/ Romo Paroki, dan mendiskusikan keinginannya untuk membaptis anaknya dengan Romo tersebut. Silakan juga untuk mengaku dosa kepada Romo, terutama jika dia belum pernah mengaku dosa sehubungan dengan fakta bahwa ibu itu (yang Katolik) tidak menikah di Gereja Katolik.
Semoga setelah Romo mengetahui duduk masalahnya, – jika perlu, kenalkan Romo dengan calon Bapa dan Ibu Baptis anak itu (Godparents)- maka akan ada kemudahan, dengan adanya persetujuan dari Romo paroki.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
trima kasih atas jawaban ibu, maaf sebelumnya kalo justru itu sebenarnya yang ingin sekali dimohon penjelasannya karena orang tua anak tersebut sudah pernah berkonsultasi (sudah mengaku dosa juga) dengan romo paroki setempat dan mendapat jawaban kalo harus menunggu anak (bayi) itu dewasa saja. padahal saya pernah dengar kotbah tentang bagaimana nasib anak/bayi yang meninggal tapi belum mendapat sakramen permandian, sangat bertentangan dengan apa yang disarankan oleh romo paroki tsb. bagaimana kiranya solusi untuk hal ini. terima kasih
Keke Yth
Prinsip yang harus dipegang dalam pembaptisan bayi dibawah umur 7 tahun adalah ada jaminan moral dan tanggungjawab moral dari wali baptis atau ibu kandung bahwa anak akan dididik secara katolik sesudah baptisan. Maka jika pastor menolah carilah pastor lain yang mungkin bisa menerima dan membaptis anak itu. Pertimbangan pastor mungkin karena jaminan dari orang tua belum ada atau diragukan (maaf), karena itu cobalah mencari pastor lain yang bisa membaptis anak itu tapi yang penting lagi mencatat dalam buku permandian paroki, sehingga jika kelak dibutuhkan datanya dapat dicari.
salam
Rm Wanta
Salam damai, Yth katolisitas.org
Ajaran gereja Katolik tentang sakramen pembaptisan/inisiasi bahwa dosa asal dan semua dosa yg dilakukan sebelum dibaptis bukan hanya di ampuni namun di hapuskan dan hubungan dengan Allah di pulihkan, walau manusia tetap ada kecendrungan utk berbuat jahat..
Ketika dua orang saling menerimakan sakramen pernikahan maka mereka hidup dalam pernikahan yang kudus seturut dgn ajaran gereja. ( tentunya kedua belah pihak menerima sakramen tobat sebelum saling memberi dan menerima sakramen pernikahan)
1) Maka buah dari cinta mereka / embrio/ janin adalah kudus di mata hukum gereja ??
2)Mengingat ajaran pembaptisan diatas apakah embrio / janin masih menanggung dosa asal ?? Mengingat kedua orang tuanya sudah dibebaskan dari dosa asal krn sakramen pembaptisan dan perkawinan dgn saling memberi dan menerimakan sakramen penikahan.
3 ) Kemanakah jiwa embrio / janin yg belum sempat lahir kedunia baik di sengaja or tidak ?
4 ) Mengingat kedua orang tuanya Katolik maka hampir dipastikan setelah lahir anaknya akan di baptis, kalau demikian apakah janin yg tdk sempat lahir kedunia tersebut menerima baptis Rindu ??
Terima kasih atas perhatian Ibu / Bp.
Semoga Kita senantiasa di bimbing Nya.
Shalom Budijanto Maslim,
Terima kasih atas pertanyaannya tentang nasib bayi yang meninggal sebelum dibaptis. Silakan membaca artikel di atas (silakan klik). Semoga tanya jawab di atas dapat menjawab pertanyaan anda. Kalau masih belum menjawab, silakan untuk bertanya kembali.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Shalom, Bu,
Maaf kalau pertanyaan saya sudah pernah dijawab sebelumnya.
Saya igin menanyakan mengenai baptisan sejak bayi…..
Berkaitan dengan seorang anak yang di baptis Katolik sejak bayi,
namun karena perceraian kedua orang tuanya sejak anak tersebut masih kanak2,
dimana sang ayah adalah seorang beragama Katolik, sedangkan sang ibu waktu perceraian masih belum memilih sebuah keyakinan (dengan setatus perkawinan secara dispensasi oleh Gereja).
dikarenakan anak tersebut sejak kecil sudah hidup bersama ibunya, sehingga setelah menginjak dewasa dan atas kemauannya sendiri, sang anak tsb menerima baptisan (baptis selam) tanpa mengetahui bahwa sejak bayi sudah pernah di baptis….
Nah, pertanyaan saya:
1. Baptisan2 yang diterima sang anak tsb apakah akan memberikan pengaruh dalam kehidupan rohaninya sebagai seorang yang percaya kepada Kristus? (yang mana sampai seusia 19th anak tsb masih tidak pernah diberi tahu bahwa sejak bayi sudah pernah di baptis).
2. Bagaimana pandangan Gereja dan ajaran Gereja terhadap kejadian seperti diatas?
3. Bagaimana caranya memberitahukan kepada sang anak tentang kebenaran dalam hal baptisan yang dialami oleh sang anak? (apakah diperlukan?)
4. Bagaimana konsekwensi bagi sang anak jika berkeinginan kembali pada Gereja Katolik?
Sekian, terima kasih atas jawabannya,
GBU
Soegiharto
Shalom Soegiharto,
Terima kasih atas pertanyaannya tentang baptisan bayi. Berikut ini adalah jawaban atas pertanyaan Soegiharto:
1) Secara prinsip, Gereja Katolik percaya akan satu Tuhan, satu iman, satu baptisan (lih Ef 4:5). Dan Sakramen Baptis adalah sakramen yang memberikan karakter kepada jiwa dan tak terhapuskan walaupun orang yang telah dibaptis melakukan dosa. Hal ini dikarenakan manusia dapat saja tidak setia, namun Tuhan akan senantiasa setia dan tidak mungkin tidak setia (lih 2 Tim 2:13). Jadi, kalau anak tersebut telah dibaptis pada waktu bayi, maka baptisan anak tersebut sejauh dilakukan dengan cara yang benar, maka tetap sah dan tak mungkin digagalkan.
Oleh karena itu, kalau dia dibaptis lagi secara selam, maka kalau dia kembali kepada Gereja Katolik, Gereja Katolik akan melihat surat baptis dia waktu dibaptis bayi dan tidak akan membaptis ulang. Semoga surat baptisnya masih ada. Kalau masih ada, surat baptis ini juga dapat ditunjukkan kepada anak tersebut. Paling baik sebenarnya kalau ditunjukkan sebelum dia memutuskan untuk “dibaptis lagi”, sehingga dia dapat mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh akan keputusannya. Hal ini perlu diberitahukan kepada anak tersebut, sehingga membuat anak tersebut berfikir dan juga menjadi kesempatan untuk mewartakan iman Gereja Katolik. Namun pemberitahuan ini harus dilakukan dengan cara yang hormat dan dengan semangat kasih. Dan setelah itu, biarkan Roh Kudus sendiri yang bekerja untuk merubah hati anak tersebut.
Kejadian ini sebenarnya hampir sama dengan umat Katolik yang telah dibaptis dan kemudian secara sadar pindah ke agama kristen non-Katolik dan kemudian dibaptis ulang. Bedanya dengan kasus yang dikemukakan Soegiharto, anak tersebut tidak tahu bahwa dirinya telah dibaptis sebelumnya. Dalam kedua kasus ini, kalau mereka kembali ke Gereja Katolik, maka mereka dapat mengaku dosa terlebih dahulu kepada pastor, dan kemudian mereka dapat berpartisipasi dalam sakramen-sakramen dan turut serta dalam membangun Gereja. Kita harus mendoakan mereka agar mereka dapat kembali kepada pangkuan Gereja Katolik. Dan kalau mereka kembali, kita harus menyambut mereka dengan sukacita.
2) Sakramen Baptis memberikan efek yang luar biasa terhadap kehidupan spiritual manusia. Secara adi-kodrati (supernatural), rahmat kekudusan menjadikan manusia berkenan di hadapan Allah. Namun semua efek baptisan pada baptisan bayi, hanya dapat dimanifestasikan secara penuh, kalau orang tua dan lingkungan dapat mendidik anak tersebut dengan iman Katolik yang baik. Inilah sebabnya, orang tua dan wali baptis mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap anak yang dititipkan oleh Tuhan kepada mereka. Adalah tugas dari mereka untuk dapat mengantar anak ini kepada kekudusan dan kebahagiaan abadi di Sorga.
Semoga uraian di atas dapat menjawab pertanyaan Soegiharto.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Dear Stefanus
KGK, 1261?Anak-anak yang mati tanpa Pembaptisan, hanya dapat dipercayakan Gereja kepada belas kasihan Allah, seperti yang ia lakukan dalam ritus penguburan mereka
KGK, 1283 “Mengenai anak-anak yang mati tanpa dibaptis, liturgi Gereja menuntun kita, agar berharap kepada belas kasihan ilahi dan berdoa untuk keselamatan anak-anak ini.”
Dari beberapa dasar pro dan kontra tentang Limbo inilah, maka pada saat ini Gereja masih belum mengeluarkan secara terperinci doktrin tentang Limbo. Yang perlu kita pegang pada saat ini adalah belas kasih Allah kepada anak-anak yang tanpa dosa.
Apakah dengan demikian bayi yang mati sebelum dibaptis tidak bisa diketahui kemana dia akan berada di Surga atau di Neraka ?
Apakah tidak mungkin mereka (bayi) tersebut di kuduskan didalam orang tuanya ?
Sehingga kalau orang tuanya adalah orang Katholik yang sungguh2, maka pasti anak bayinya yang mati dan belum dibaptis langsung masuk kedalam Surga dan sebaliknya jika orang tuanya hanya Katholik KTP maka bayinya akan terjun ke dalam Neraka.
Salam
Machmud
Shalom Machmud,
Terima kasih atas komentarnya. Bayi-bayi yang mati sebelum dibaptis tidak akan mungkin masuk neraka, namun mereka pasti akan mendapatkan kebahagiaan. Hanya yang didiskusikan oleh teolog adalah: apakah kebahagiaan mereka berupa 1) kebahagiaan yang sesuai dengan kodrat manusia – permenungan Tuhan lewat ciptaan (di Limbo), ataukah 2) kebahagiaan yang bersifat adi kodrati/super natural, yaitu bukan melihat Allah melalui ciptaan namun muka dengan muka, atau disebut "beatific vision" (di Surga).
Pernyataan Machmud "Apakah tidak mungkin mereka (bayi) tersebut di kuduskan didalam orang tuanya?" juga pernah dikatakan oleh salah satu Santo (saat ini saya lupa namanya). Permasalahan dalam pernyataan ini adalah kalau orang tuanya tidak mempunyai iman, maka seolah-olah bayi-bayi tersebut akan masuk neraka. Padahal bayi-bayi tersebut – entah datang dari orang tua yang suci atau jahat – tidak mempunyai kesalahan apapun. Mereka tidak berdosa, namun mereka mempunyai dosa asal. Oleh karena itu di dalam Katekismus Gereja Katolik ditulis "Anak-anak yang mati tanpa Pembaptisan, hanya dapat dipercayakan Gereja kepada belas kasihan Allah" (KGK, 1261).
Semoga dapat memperjelas.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
[quote] seorang anak angkat Allah (Bdk. Gal 4:5-7.; ia “mengambil bagian dalam kodrat ilahi” (2 Ptr 1:4) [unquote]
Saya ingat dalam Kitab Kejadian dikatakan manusia itu citra ALLAH. Pertanyaan : bagaimana membedakan manusia sebagai citra ALLAH versus ‘“mengambil bagian dalam kodrat ilahi'” ini ? Apakah orang yang tidak dibaptis cuma “citra” ALLAH saja tetapi tidak ambil bagian dalam kodratNYA ? atau jangan-jangan cuma eksklusif orang kristen saja yang adalah “citra” ALLAH
mohon edukasi
mohon edukasi
Shalom Skywalker,
Dalam kitab kejadian dikatakan bahwa manusia diciptakan menurut gambaran Allah, dimana dikatakan "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita" (Kej 1:26). Ini berarti bahwa Tuhan telah menciptakan manusia baik adanya, karena diciptakan menurut gambaran Allah, dimana manusia mempunyai akal budi – yang memungkinkan manusia untuk mengenal dan mengasihi Pencipta-Nya. Namun gambaran Allah ini menjadi ternoda oleh dosa.
Dan gambaran Allah yang sebenarnya telah ditunjukkan oleh Adam ke-dua, Yesus, yaitu dengan senantiasa melaksanakan kehendak Bapa. Adam pertama berdosa karena ketidaktaatan, dan Adam kedua membebaskan dosa manusia dengan ketaatan yang sempurna untuk senantiasa melaksanakan kehendak Bapa. Dan melalui penebusan Kristus, maka Yesus telah menyambung kembali hubungan yang terputus antara Allah dan manusia. Hal ini diwujudkan dengan Sakramen Baptis. Dan Sakramen Baptis ini menjadikan manusia sebagai anak-anak Allah, menerima rahmat pengudusan, karunia Roh Kudus, dan menjadi tempat kediaman Tritunggal Maha Kudus, dan berpartisipasi dalam kehidupan Allah/kodrat Allah. Partisipasi ini hanya mungkin dilakukan manusia karena misteri paska Kristus, karena Yesuslah yang menyambung hubungan yang terputus dan mengembalikan manusia ke citra Allah yang sebenarnya. Oleh karena itu, manusia yang tidak dibaptis tidak dapat berpartisipasi dalam kehidupan Allah. Atau dengan kata lain, Sakramen Baptis adalah yang menyelamatkan dan membuat manusia dapat melihat Allah muka dengan muka atau berpartisipasi secara penuh dalam kehidupan Allah di Surga. Hal ini dikarenakan, rahmat pengudusan (sanctifying grace) yang telah hilang karena dosa asal dan dikembalikan lagi lewat Sakramen Baptis, menjadikan manusia berkenan di hadapan Allah.
Oleh karena itu orang yang tidak dibaptis, baik baptisan air, baptisan rindu (ekplisit maupun implisit), maupun baptisan darah, tidak dapat melihat Allah dan oleh karena itu tidak dapat berpartisipasi dalam kehidupan Allah, yang kepenuhannya ada di Sorga.
Semoga dapat memperjelas.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
terima kasih
[quote] Oleh karena itu orang yang tidak dibaptis, baik baptisan air, baptisan rindu (ekplisit maupun implisit), maupun baptisan darah, tidak dapat melihat Allah dan oleh karena itu tidak dapat berpartisipasi dalam kehidupan Allah, yang kepenuhannya ada di Sorga. [unquote]
dengan kata lain mereka tidak akan diselamatkan ?
bagaimana dengan kisah dalam kitab suci dimana orang diterima dlaam Kerajaan Allah karena memberi makan pada orang lapar, memberi pakaian pada yang telanjang – (tidak ingat persis ayatnya) – yang mereka lakukan tidak dengan sadar – sebab bukan yang berkata Tuhan-Tuhan yang masuk Kerajaan Allah, tetapi yang melakukan kehendak Bapa
apakah implisit dalam kehendak Bapa disini adalah pembaptisan ?
mohon nasehat
Shalom Skywalker,
Terima kasih atas pertanyaannya. Memang Gereja tidak tahu cara lain selain Sakrament Baptist untuk mendapatkan keselamatan kekal.
KGK, 1257: "Tuhan sendiri mengatakan bahwa Pembaptisan itu perlu untuk keselamatan (Bdk. Yoh 3:5.). Karena itu, Ia memberi perintah kepada para murid-Nya, untuk mewartakan Injil dan membaptis semua bangsa (Bdk. Mat 28:19-20; DS 1618; LG 14; AG 5.). Pembaptisan itu perlu untuk keselamatan orang-orang, kepada siapa Injil telah diwartakan dan yang mempunyai kemungkinan untuk memohon Sakramen ini (Bdk. Mrk 16:16.). Gereja tidak mengenal sarana lain dari Pembaptisan, untuk menjamin langkah masuk ke dalam kebahagiaan abadi. Karena itu, dengan rela hati ia mematuhi perintah yang diterimanya dari Tuhan, supaya membantu semua orang yang dapat dibaptis, untuk memperoleh "kelahiran kembali dari air dan Roh". Tuhan telah mengikatkan keselamatan pada Sakramen Pembaptisan, tetapi Ia sendiri tidak terikat pada Sakramen-sakramen-Nya."
Alkitab mengatakan " ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku."(Mt 25:31-46). Ini berlaku untuk semua orang baik sebelum kedatangan Kristus maupun setelah kedatangan Kristus. Inti dari semua ini adalah kasih, karena "Kita telah mengenal dan telah percaya akan kasih Allah kepada kita. Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia." (1 Jn 4:16). Namun perbuatan kasih yang tidak didasari disposisi hati yang baik tidak akan diperhitungkan, misalkan: perbuatan kasih untuk pamer, dll. Kasih yang bersifat supernatural – kasih terhadap Tuhan dan kasih terhadap sesama demi kasih kepada Tuhan – yang diperhitungkan oleh Allah. Dan tiga kebajikan Ilahi: iman, pengharapan dan kasih, kita terima pada saat kita dibaptis.
Semoga dapat berguna.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Comments are closed.