Konsili Vatikan II, berdasarkan Kitab Suci, mengajarkan kepada kita, bahwa kita mengenal Tuhan melalui pewahyuan akan diri-Nya, yang kepenuhannya ada di dalam Kristus:

“Dalam kebaikan dan kebijaksanaan-Nya Allah berkenan mewahyukan diri-Nya dan memaklumkan rahasia kehendak-Nya (lih. Ef 1:9); berkat rahasia itu manusia dapat menghadap Bapa melalui Kristus, Sabda yang menjadi daging, dalam Roh Kudus, dan ikut serta dalam kodrat ilahi (lih. Ef 2:18 ; 2Ptr1:4)…..melalui wahyu itu, kebenaran yang sedalam-dalamnya tentang Allah dan keselamatan manusia nampak bagi kita di dalam Kristus, yang sekaligus adalah Pengantara dan kepenuhan seluruh wahyu.” (Konsili Vatikan II, tentang Wahyu Ilahi, Dei Verbum (DV) 2)

1. Keberadaan Allah dapat dikenal melalui karya-karya ciptaan-Nya.

Oleh wahyu Allah ini, dikatakan bahwa di dalam Kristus Sang Sabda, Allah menciptakan segala sesuatu. Maka Allah dapat diketahui keberadaan-Nya melalui karya- karya ciptaan-Nya. Konsili Vatikan II mengajarkan demikian:

“Allah, yang menciptakan segala sesuatu melalui sabda-Nya (lih. Yoh 1:3), serta melestarikannya, dalam makhluk-makhluk ciptaan senantiasa memberikan kesaksian tentang diri-Nya kepada manusia (lih. Rom 1:19-20)….” (DV 3)

Selanjutnya Allah menyatakan diri-Nya kepada manusia pertama. Setelah mereka jatuh dalam dosa, Allah tak henti- hentinya menjaga dan memelihara umat manusia. Ia memanggil Abraham, para patriarkh, Musa dan para nabi, mengajarkan hal pengetahuan tentang diri-Nya sebagai Allah yang satu, yang hidup dan sejati, dan mengajarkan manusia agar menantikan Sang Penyelamat; dan dengan demikian mempersiapkan umat manusia untuk menerima Injil, selama berabad-abad. (lih. DV 3)

2. Secara istimewa Allah dikenal melalui Putera-Nya, Yesus Kristus.

“Setelah berulang kali dan dengan berbagai cara Allah bersabda dengan perantaraan para Nabi, “…akhirnya pada zaman akhir ini Ia telah bersabda kepada kita dengan perantaraan Putera-Nya” (Ibr 1:1-2). Sebab Ia mengutus Putera-Nya, yakni Sang Sabda yang kekal, yang menyinari semua orang, supaya Ia tinggal di tengah umat manusia dan menceritakan kepada mereka hidup Allah yang terdalam (lih. Yoh 1:1-18)…. Ia [Yesus] “menyampaikan sabda Allah” (Yoh3:34), dan menyelesaikan karya penyelamatan, yang diserahkan oleh Bapa kepada-Nya (lih. Yoh 5:36 ; Yoh 17:4). Barang siapa melihat Dia, melihat Bapa juga (lih. Yoh 14:9). Oleh karena itu, Yesus menyempurnakan wahyu dengan menggenapinya melalui segenap karya-Nya yang membuat-Nya hadir dan menyatakan diri-Nya sendiri: melalui sabda maupun perbuatan-Nya, dengan tanda-tanda serta mukjizat-mukjizat-Nya, namun terutama dengan wafat dan kebangkitan-Nya penuh kemuliaan dari maut, dan akhirnya dengan mengutus Roh Kebenaran. Ia meneguhkan dengan kesaksian ilahi, bahwa Allah menyertai kita, untuk membebaskan kita dari kegelapan dosa serta maut, dan untuk membangkitkan kita bagi hidup kekal.” (DV 4)

3. Yesus Kristus memerintahkan para rasul untuk meneruskan Injil yang diwahyukan Allah kepada semua bangsa.

“Dalam kebaikan-Nya Allah telah menetapkan, bahwa apa yang diwahyukan-Nya demi keselamatan semua bangsa, harus tetap utuh untuk selamanya dan diteruskan kepada segala keturunannya. Maka Kristus Tuhan, yang di dalam-Nya kepenuhan seluruh wahyu Allah yang Mahatinggi digenapi (lih. 2Kor1:20; 2Kor3:13; 2Kor4:6), memerintahkan kepada para Rasul, supaya Injil, yang dahulu telah dijanjikan melalui para Nabi dan dipenuhi oleh-Nya serta dimaklumkan-Nya dengan mulut-nya sendiri, mereka wartakan pada semua orang, sebagai sumber segala kebenaran yang menyelamatkan serta sumber ajaran kesusilaan dan untuk membagikan kurnia-kurnia ilahi kepada mereka….” (DV 7)

4. Para rasul melaksanakan perintah Kristus untuk mewartakan Injil baik secara lisan [Tradisi Suci] maupun tertulis [Kitab Suci].

“Perintah itu dilaksanakan dengan setia oleh para Rasul, yang dalam pewartaan lisan, dengan teladan serta penetapan-penetapan meneruskan entah apa yang telah mereka terima dari mulut, pergaulan dan karya Kristus sendiri, entah apa yang atas dorongan Roh Kudus telah mereka pelajari. Perintah Tuhan dijalankan pula oleh para Rasul dan tokoh-tokoh rasuli, yang atas ilham Roh Kudus itu juga telah menuliskan amanat keselamatan.” (DV 7)

5. Para rasul mengajar umat beriman agar berpegang teguh kepada ajaran mereka yang lisan [Tradisi Suci] maupun tertulis [Kitab Suci] dan meninggalkan uskup-uskup sebagai pengganti mereka untuk mengajar [Magisterium]

“Maka para Rasul, seraya meneruskan apa yang telah mereka terima sendiri, mengingatkan kaum beriman, supaya mereka berpegang teguh pada ajaran-ajaran warisan, yang telah mereka terima entah secara lisan entah secara tertulis (lih. 2Tes2:15), dan supaya mereka berjuang untuk membela iman yang sekali untuk selamanya diteruskan kepada mereka (lih. Yud 1:3).” (DV 8)

“Adapun supaya Injil senantiasa terpelihara secara utuh dan hidup dalam Gereja, para Rasul meninggalkan Uskup-uskup sebagai pengganti mereka, yang “mereka serahi kedudukan mereka untuk mengajar“. Maka dari itu Tradisi suci dan Kitab suci perjanjian Lama maupun Baru bagaikan cermin bagi Gereja yang mengembara di dunia, untuk memandang Allah yang menganugerahinya segala sesuatu, hingga tiba saatnya Gereja dihantar untuk menghadap Allah tatap muka, sebagaimana ada-Nya (lih. 1Yoh3:2).” (DV 7)

6. Tradisi Suci, Kitab Suci dan Magisterium [Wewenang mengajar Gereja] merupakan tiga pilar yang olehnya Gereja memperoleh Sabda Allah yang seutuhnya.

“Jadi Tradisi suci dan Kitab suci berhubungan erat sekali dan berpadu. Sebab keduanya mengalir dari sumber ilahi yang sama, dan dengan cara tertentu bergabung menjadi satu dan menjurus ke arah tujuan yang sama. Sebab Kitab suci itu pembicaraan Allah sejauh itu termaktub [disampaikan secara tertulis] di bawah ilham Roh ilahi. Sedangkan oleh Tradisi suci, Sabda Allah, yang oleh Kristus Tuhan dan Roh Kudus dipercayakan kepada para Rasul, disalurkan seutuhnya kepada para pengganti mereka, supaya mereka ini dalam terang Roh kebenaran dengan pewartaan mereka memelihara, menjelaskan dan menyebarkannya dengan setia. Dengan demikian Gereja menimba kepastian tentang segala sesuatu yang diwahyukan bukan hanya melalui Kitab suci. Maka dari itu keduanya (baik Tradisi suci maupun Kitab suci) harus diterima dan dihormati dengan cita-rasa kesalehan dan hormat yang sama.” (DV 9)

Tradisi suci dan Kitab suci merupakan satu perbendaharaan keramat Sabda Allah yang dipercayakan kepada Gereja….. Adapun tugas untuk menafsirkan secara otentik Sabda Allah yang tertulis dan diturunkan itu dipercayakan hanya kepada Wewenang Mengajar Gereja yang hidup, yang kewibawaannya dilaksanakan atas nama Yesus Kristus. Wewenang Mengajar itu tidak berada di atas sabda Allah, melainkan melayaninya, yakni dengan hanya mengajarkan apa yang diturunkan saja, sejauh sabda itu, karena perintah ilahi dan dengan bantuan Roh Kudus didengarkannya dengan khidmat, dipeliharanya dengan suci dan diterangkannya dengan setia; dan itu semua diambilnya dari satu perbendaharaan iman itu, yang diajukannya untuk diimani sebagai hal-hal yang diwahyukan oleh Allah.” (DV 10)

“Maka jelaslah Tradisi suci, Kitab suci dan Wewenang Mengajar Gereja, menurut rencana Allah yang mahabijaksana, saling berhubungan dan berpadu sedemikian rupa, sehingga yang satu tidak dapat ada tanpa kedua lainnya, dan semuanya bersama-sama, masing-masing dengan caranya sendiri, di bawah gerakan satu Roh Kudus, membantu secara berdaya guna bagi keselamatan jiwa-jiwa.” (DV 10)

7. Kesimpulan

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kita dapat mengenal Allah terutama melalui wahyu Allah sendiri, yang secara sempurna digenapi di dalam diri Kristus. Di dalam Kristus-lah, Kabar Gembira (Injil) Sabda Allah ini dinyatakan dalam kepenuhannya. Kristus memerintahkan kepada para rasul agar Injil diteruskan secara penuh kepada semua orang; dan ini dilaksanakan oleh para rasul dengan memberikan ajaran lisan (yang disebut Tradisi Suci) dan ajaran tertulis (yang disebut Kitab Suci). Para rasul kemudian menunjuk para penerus mereka untuk melaksanakan Wewenang mengajar Gereja (Magisterium), yang bertugas untuk menafsirkan Sabda Allah itu, baik yang lisan maupun yang tertulis. Dengan demikian, untuk mengenal Allah, kita dapat memulainya dengan mempelajari Sabda-Nya yang disampaikan di dalam Kitab Suci, Tradisi Suci, dan Magisterium Gereja. Selanjutnya memang kita dipanggil untuk melaksanakan Sabda-Nya di dalam hidup kita, dan hal ini menjadi tanda bahwa kita mengenal dan mengasihi Allah (lih. 1Yoh 2:4-5).

2 COMMENTS

  1. Shalom
    bagaimanakah sikap kita, jika ada orang yang bersaksi pernah berhadapan muka dengan muka dengan Kristus Yesus ? Apakah hal tersebut bertentangan dengan ajaran Megistrum Gereja ?

    mohon penjelasannya,

    [Dari Katolisitas: Pengalaman itu dapat saja merupakan fenomena, yang sering dihubungkan dengan klaim wahyu pribadi. Tidak semua klaim wahyu pribadi itu otentik berasal dari Tuhan. Wahyu pribadi, sekalipun itu diakui otentik oleh pihak otoritas Gereja, tidak mengubah apapun ajaran iman. Tentang apa pengertian wahyu pribadi, silakan klik di sini.]

Comments are closed.