Sumber gambar: http://fr.forwallpaper.com/wallpaper/nativity-scene-the-birth-476099.html

[Hari Pesta Keluarga Kudus Yesus, Maria, Yusuf: Kej 15:1-6;21:1-3; Mzm 105:1-9: Ibr 11:8-19; Luk 2:22-40]

Kandang Natal. Di tengah-tengah dekorasi Natal yang meriah, mataku tertuju kepada kandang Natal. Di sanalah terbaring Bayi Yesus, Sang Juruselamat kita, dikelilingi oleh St. Yusuf dan Bunda Maria, dan para gembala. Dalam keheningan dan kemiskinan, Sang Putera Allah telah lahir bagi kita. Ia menyembunyikan segala kebesaran dan kemuliaan- Nya, dengan mengambil rupa seorang bayi mungil, dari keluarga miskin. Ia lahir di kandang, tidur di tempat makanan hewan, suatu keadaan yang mungkin tidak pernah dialami, bahkan oleh orang yang paling miskin sekalipun. Tapi itulah cara yang dipilih-Nya untuk datang ke dunia, untuk menunjukkan betapa besar kasih-Nya kepada kita, sampai Ia rela meninggalkan segala-galanya. Walaupun sebenarnya Ia tidak tergantung oleh siapapun dan tidak membutuhkan siapapun, Tuhan Yesus memilih untuk datang sebagai seorang anak kecil, agar sungguh menempuh perjalanan hidup sebagai manusia dan mengalami kebersamaan dalam sebuah keluarga.

Adakah Kristus tinggal dalam keluarga kita? Sebab jika demikian, kita turut mengambil bagian dalam mewujudkan rencana Allah. Dalam rencana keselamatan-Nya, telah sejak awalnya Allah melibatkan manusia, secara khusus, keluarga. Di Bacaan Pertama hari ini, dikisahkan bagaimana Allah melibatkan Abraham dan Sara, di usia mereka yang telah lanjut, untuk melahirkan Ishak, sang anak perjanjian (lih. Kej 21:2-3). Ishak inilah yang kemudian menurunkan Yakub yang menjadi bapa bagi keduabelas suku bangsa Israel, bangsa yang melaluinya Allah mengutus Kristus Putera-Nya. Maka kisah Abraham menjadi kisah iman, terutama, bahwa setelah Ishak lahir dan beranjak remaja, malah Allah meminta Abraham untuk mengorbankannya bagi-Nya. Bagaimana mungkin, Allah menyuruh Abraham, sebagai seorang bapa, untuk mengorbankan anaknya sendiri? Namun Abraham tetap taat sebab ia mempunyai iman yang teguh, bahwa jika Allah mampu mengaruniakan anak kepadanya di usianya yang nampak mustahil di mata manusia, tentu Allah yang sama ini mampu menghidupkan anaknya kembali (lih. Ibr 11:19). Dengan kata lain, Abraham percaya, bahwa Allah tetap akan memenuhi janji-Nya untuk menjadikannya bapa banyak bangsa. Memang, Ishak tidaklah mati, sebab Allah kemudian menggantikannya dengan kurban anak domba yang disediakan-Nya. Kisah ini dimaksudkan Allah untuk menjadi gambaran samar-samar akan Diri-Nya sendiri, yang mengorbankan Kristus Putera Tunggal-Nya, untuk menebus dosa-dosa umat manusia.

Di dalam Kristuslah, Sang Anak Domba Allah, keselamatan yang dari Allah dinyatakan kepada kita (lih. Luk 2:30). Demikianlah Yusuf, Maria dan Yesus disebut Keluarga Kudus, sebab Yesus tinggal di sana dan senantiasa menguduskan mereka. Demikian pula, Kristus mau hadir dalam keluarga kita untuk menguduskan kita. Ya, panggilan untuk hidup kudus tidaklah terbatas hanya kepada para pastor, suster, atau segelintir orang saja di dalam Gereja, tetapi kepada semua orang, termasuk bagi yang hidup berkeluarga. Kita semua dipanggil untuk mengikuti teladan St. Yusuf dan Bunda Maria, yang memberikan diri mereka sepenuhnya untuk mengasihi Kristus yang hadir di tengah keluarga mereka. St. Yohanes Paulus II mengingatkan agar setiap keluarga dapat kembali ke rencana Allah sejak awalnya, yaitu untuk membentuk persatuan yang erat dalam kehidupan dan cinta kasih. Sebab di dalam keluargalah, kita pertama-tama belajar mengasihi dan dikasihi. Dalam keluargalah, kasih kita kepada Tuhan diuji, sebab kesetiaan melaksanakan peran kita dalam keluarga adalah bukti kesetiaan kita kepada Tuhan. Dalam keluargalah, kita sebagai orang tua dipanggil untuk mempersembahkan anak-anak kita kepada Tuhan, dan mendidik mereka untuk mengasihi Tuhan dan sesama. Dalam keluargalah, kita dipanggil untuk menjadi saksi kepada dunia, bahwa kasih setia sampai akhir itu mungkin dilakukan, sebab Kristus yang tinggal di tengah keluarga kita akan memampukan kita. Bukankah sabda-Nya mengatakan, “Jika kita saling mengasihi, Allah tetap di dalam kita…” (1Yoh 4:12)? Dan jika Allah bersama kita, maka tiada yang mustahil. Kita akan dimampukan oleh-Nya untuk memperjuangkan kesetiaan, menghadapi segala kesulitan, rela berkorban dan memberi pengampunan. Melewati semuanya itulah kita diteguhkan dan dikuduskan dalam kasih.

Maka, lanjut  St. Yohanes Paulus II, “Untuk menjadi saksi bagi nilai yang tak terukur dari perkawinan yang setia dan tak terceraikan, adalah salah satu tugas yang teramat berharga dan penting bagi pasangan suami istri Kristiani di zaman ini…. Keluarga mempunyai tugas untuk menjaga, menyatakan dan menyampaikan kasih, dan ini adalah cerminan yang hidup dari partisipasi nyata di dalam kasih Allah kepada umat manusia, dan kasih Kristus Tuhan kepada Gereja… ” (Familiaris Consortio, 20, 17). Di hari Keluarga Kudus ini, marilah kita memohon kepada Tuhan Yesus agar meneguhkan setiap keluarga Kristiani, agar dapat melaksanakan tugas panggilan mereka, yaitu untuk menjadi tempat kediaman kasih Allah di dunia ini, untuk menyinari kegelapan dan menyebarkan kebaikan kepada semua orang.