Pertanyaan:
Salam damai sejahtera
Ada yang ingin saya tanyakan, mengapa doa PAULUS untuk mencabut duri yang ada dalam dagingnya tidak dikabulkan oleh Allah ?
Sedangkan kalau PAULUS mendoakan hampir semua orang yang sakit dijawab dan orang tersebut disembuhkan.
Mungkinkan disebabkan karena PAULUS terpeleset dalam ucapan seperti yang tertulis :
Turutlah teladanku seperti aku menurut teladan Kristus.
Memang kalimat diatas kalau kita baca sepintas lalu tidak ada yang salah, namun apabila kita renungkan baik2 ada sifat kesombongan tersirat didalamnya, dan Allah tidak berkenan akan hal itu. Dan apakah mungkin karena itu maka doa PAULUS tidak dikabulkan. Sebab Tuhan sendiri menjawab kepadanya : justru didalam kelemahanmulah kuasaKU boleh bekerja.
Seperti MUSA yang kesalahan bicara sedikit saja, maka berakibat fatal Musa tidak boleh masuk ketanah Perjanjian. Sebab Musa tahu banyak tentang Allah, sebab itu Musa dituntut banyak, demikian juga PAULUS. (Itulah kekerasan/ketegasan Allah terhadap dosa).
Jadi kalau begitu apakah kita tidak perlu tahu banyak2 akan rahasia Firman Allah ? tentu saja tidak.
Sebab kalau kita mengerti lebih banyak akan Firman Allah, maka kita bisa mencocokkan hidup ini dengan FirmanNya dengan kehendakNya, dan dengan demikian kita semakin tahu akan rencanaNya didalam kehidupan kita.
Mungkin barangkali PAULUS seharusnya berkata begini :
Turutlah teladan Kristus seperti aku menurut teladanNYA.
Salam
Machmud
Jawaban:
Shalom Machmud,
Izinkan saya meringkas pertanyaan anda:
Anda bertanya mengapa doa Rasul Paulus untuk mencabut duri yang ada dalam dagingnya tidak dikabulkan oleh Allah. Dan anda berpikir bahwa kemungkinan Allah tidak mengabulkannya karena Rasul Paulus ‘terpeleset lidah’ dengan mengatakan ‘Turutilah teladanku’ yang menyiratkan kesombongan sehingga Tuhan tidak berkenan. Anda menghubungkannya dengan Musa yang juga ‘salah bicara’ sehingga Tuhan tidak mengizinkannya masuk ke Tanah Perjanjian.
Berikut ini saya tuliskan apa yang saya ketahui tentang pertanyaan anda:
Pada dasarnya, Gereja Katolik mengajarkan agar jika kita membaca Alkitab, kita harus mengiterpretasikan ayat yang satu dalam kaitannya dengan ayat yang lainnya dalam keseluruhan Alkitab (lihat KGK 112). Kita juga membaca Alkitab dengan terang Tradisi Gereja, dan tulisan dari Bapa Gereja. (KGK 113). Dengan prinsip ini, maka kita merenungkan ayat tersebut:
1) Apakah itu artinya ‘duri’ dalam daging Rasul Paulus (lih. 2 Kor 12:7-9)
- Dalam A Catholic Commentary on Holy Scripture ed. Dom Orchard, p.1110 dikatakan bahwa duri dalam daging tersebut kemungkinan adalah penyakit, seperti yang disebutkannya dalam Gal 4:13-14. Kemungkinan penyakitnya adalah nervous disorder/kelainan yang menyebabkan gugup, opthalmia/ kelainan mata, dan malaria. Utusan Iblis yang disebutkan di sini mengacu kepada kenyataan bahwa segala bentuk kelainan dan penyakit dihubungkan dengan Iblis.
- Dalam The Navarre Bible, the Letters of St Paul, p. 341, dikatakan bahwa St.Paulus menunjukkan kerendahan hatinya, dengan mengatakan bahwa Tuhan mengizinkan ia mengalami hal ini agar ia tidak menjadi sombong walaupun ia banyak dikaruniai karunia-karunia supernatural. Adalah tidak mungkin untuk memastikan apakah arti persis dari ‘duri dalam daging ini’, dan berikut ini pandangan para Bapa Gereja:
– St. Augustinus: ‘duri’ ini mengacu pada penyakit tubuh yang memalukan(lih. Gal 4:13-14)
– St. Yohanes Krisostomus: ‘duri’ ini mengacu pada penderitaan/ sakitnya selama penganiayaan.
– St. Gregorius Agung: ‘duri’ ini mengacu pada pencobaan yang mengganggu hati nurani.
Kenyataan bahwa Tuhan tidak mengabulkannya, karena Ia ingin menunjukkan pada Rasul Paulus bahwa dalam kelemahan dan penganiayaan yang dialaminya, ia malah menjadi kuat, dengan adanya berkat supernatural dari Tuhan.
– St. Thomas Aquinas dalam komentarnya pada perikop ini, mengajarkan bahwa ada kalanya Tuhan mengizinkan terjadinya kejahatan (evil) untuk mendatangkan kebaikan yang lebih besar: contohnya, agar menjaga orang dari kesombongan [yaitu dosa yang terbesar], Ia sering mengizinkan orang-orang pilihan-Nya untuk ‘dipermalukan’ dengan penyakit, kelemahan, atau bahkan dengan dosa berat, supaya orang yang diajar untuk rendah hati tersebut dapat menyadari bahwa ia tak dapat berdiri teguh dengan usahanya sendiri….
Dengan demikian kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa Allah membiarkan ‘duri dalam daging’ Rasul Paulus, dengan maksud untuk mengajarkan kepadanya dan kepada kita semua untuk rendah hati dan mengakui bahwa kita tidak dapat mengandalkan diri sendiri dalam segala sesuatu. St. Alfonsus mengajarkan sehubungan dengan ayat ini, sebagai berikut:
“Kita harus bermegah di dalam pengetahuan akan kelemahan kita sendiri, agar kita dapat memperoleh kekuatan yang berasal dari Kristus, yaitu kerendahan hati yang kudus, tanpa menyerah ke dalam kekurangan kepercayaan diri, seperti yang diinginkan Iblis, dan jatuh ke dalam dosa yang lebih serius.” (St. Alfonsus, Treasury of Preaching Material, 2,6, seperti yang dikutip oleh the Navarre Bible, the Letters of St. Paul, (New York: Scepter Publishers, 2003, p. 342).
2) Namun apakah ‘duri’ dalam daging ini merupakan ‘hukuman’ karena Rasul Paulus ‘terpeleset lidah’/ sombong dengan mengatakan “Jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus.” (1 Kor 11:1)?
Sebenarnya selayaknya kita tidak terlalu cepat beranggapan demikian. Mari kita melihat konteks kalimat tersebut. Perkataan Rasul Paulus itu diucapkannya sesudah pengajarannya tentang hal makanan sembahyangan. Ia mengajarkan agar kita jangan jadi batu sandungan dalam hal makan dan minum (lih. 1 Kor 10:18-33), baik terhadap orang Yahudi maupun Yunani. Dia mengajarkan agar umat tidak berpartisipasi dalam persembahan kepada roh-roh jahat (ay. 20-22), namun umat dapat tetap memakan daging yang dibeli di pasar walaupun mungkin itu berasal dari daging persembahan kuil, [asalkan umat tak terlibat dalam mempersembahkan kurban di kuil], dan sepanjang tidak menjadi batu sandungan dari orang lain. Karena pada dasarnya semua makanan adalah baik dan berkat dari Tuhan.
Hal ini memang khas ajaran Rasul Paulus, dan ia mengambil prinsip pengajaran dari Kristus, “bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang.” (Mat 15:11).
Maka jika kita melihat konteksnya, sebenarnya kita dapat melihat bahwa nampaknya maksud Rasul Paulus bukan untuk menyombongkan diri. Ia hanya mau menjelaskan pengajaran yang relevan pada saat itu di Korintus, (yang pada jaman Kristus hidup belum secara rinci diajarkan) dengan mendasarinya dengan prinsip pengajaran Kristus. Maka ‘jadilah pengikutku’ di sini maksudnya adalah untuk menanggapi masalah yang terjadi saat itu, di mana ia mendasari sikapnya dari ajaran Kristus. Lebih lanjut tentang diskusi perihal makanan sembahyangan ini, dapat dilihat di sini (silakan klik).
Dari kedua buku referensi di atas, ada satu hal yang perlu kita kita ketahui: yaitu bahwa ayat 2 Kor 12:7-9 itu berkaitan dengan ayat sebelumnya yaitu 2 Kor 12:2-6. Dikatakan di sana bahwa Rasul Paulus mengetahui seseorang yang diangkat ke sorga empat belas tahun yang lalu. Para Bapa Gereja tidak meragukan bahwa yang dibicarakan di sini adalah diri Rasul Paulus sendiri. Rasul Paulus hanya tidak mengatakannya, justru karena ia ingin merendahkan diri, supaya jangan sampai orang memperhitungkan kepadanya lebih dari yang mereka lihat padanya (ay. 6). Pengalaman istimewa ini terjadi kemungkinan pada tahun 43-44, saat Rasul Paulus tinggal di Tarsus (lih. Kis 9:30), Antiokhia (Kis 11:25-dst, 13:1-3) atau di Yerusalem (Kis 11:30). Kita ketahui bahwa kalau orang tidak rendah hati dan kudus, tidak mungkin ia dapat melihat Allah (lih. Ibr.12:14). Justru karena pengalaman spiritual yang istimewa inilah maka, sesudahnya, Allah membiarkan tetap adanya kekurangan dalam tubuh Rasul Paulus, agar ia tetap tinggal dalam kerendahan hatinya.
3) Apakah Musa juga ‘salah bicara’ sehingga dihukum Tuhan?
Musa menerima konsekuensi tidak dapat masuk ke Tanah Terjanji, karena kurang percaya dan tidak taat. Kurang percayanya Musa nampak ketika ia mengeluh kepada Allah tentang sikap bangsa Israel terhadapnya. Mazmur 106: 32-33 mengatakan, “Mereka (orang Israel) menggusarkan Dia (Allah) dekat air Meriba, sehingga Musa kena celaka karena mereka; sebab mereka memahitkan hatinya, sehingga ia teledor dengan kata-katanya.”
Namun juga, ketidaktaatan Musa nampak pada waktu ia tidak menaati persis apa yang diperintahkan Tuhan kepadanya untuk mendatangkan air dari batu di Meribah. Tuhan memerintahkan pada Musa untuk ‘menyuruh’ batu itu (dalam Bil 20:8-dst, katakanlah … kepada batu itu) untuk mengeluarkan air di depan bangsa Israel, namun yang dilakukan oleh Musa adalah ia memukulkan tongkatnya dua kali atas batu itu (ay. 11), dan akibatnya Allah mengatakan, “Karena kamu tidak percaya kepada-Ku…. di depan mata orang Israel, itulah sebabnya kamu tidak akan membawa mereka ke negeri yang Kuberikan kepada mereka.” (ay.12).
Namun demikian, jangan kita lupa bahwa Musa merupakan seorang nabi yang besar. Dikatakan dalam Kitab Suci bahwa hanya dengan Nabi Musalah Allah berhadapan muka, dan tidak ada lagi nabi yang bangkit di antara orang Israel yang melakukan tanda dan mukjizat dengan segala kekuatan dan kedasyatan seperti yang dilakukan oleh Musa di depan bangsa Israel (lih. Ul 34:10-12).
Saya pribadi, jika merenungkan tokoh-tokoh Alkitab, merasa bahwa betapa jauhnya saya jika dibandingkan dengan mereka dalam hal iman dan kasih mereka kepada Allah. Terus terang, saya tidak berani mengkritik mereka, sebab saya tahu bahwa meskipun sama-sama manusia biasa, mereka jauh lebih kudus daripada kebanyakan dari kita.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org
PS: Melalui pengalaman Rasul Paulus ini memang Tuhan mengajarkan pada kita untuk berdoa dengan sikap batin yang baik. Silakan membaca rangkaian artikel berikut tentang doa ini:
Doa menjadi bagian yang terpisahkan dari kehidupan seorang Kristen. Namun ada tiga kesalahan persepsi tentang doa yang dinyatakan oleh St. Thomas Aquinas. Tiga kesalahan tersebut dapat dilihat pada tulisan berikut ini: 1) Tuhan tidak campur tangan, 2) Tuhan sudah menakdirkan segalanya sehingga doa tidak diperlukan, 3) Kita dapat merubah keputusan Tuhan dalam doa. Kemudian sebagai kesimpulan dijelaskan 4) konsep doa dengan mengambil definisi doa menurut St. Teresia kanak-kanak Yesus.
mohon penerangannya mengenai tingkatan-tingkatan surga menurut Alkitab terima kasih.
berkah dalem
Shalom Vian,
Di dalam Kitab Suci, tingkatan sorga disebut oleh Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus (lih. 2 Kor 12:2). Para Bapa Gereja percaya bahwa orang yang disebutkan di ayat tersebut adalah Rasul Paulus sendiri. Tentang hal ini sudah pernah dibahas di sini, silakan klik. Disebutkan di sana bahwa orang itu [yaitu Rasul Paulus sendiri] diangkat ke tingkat surga yang ketiga. Menurut para ahli Kitab Suci, tingkat ketiga ini mengacu kepada suatu keadaan/ tempat di mana para kudus berada, memandang Tuhan dalam keadaan-Nya yang sebenarnya (lih. 1 Yoh 3:2). Namun ada pula ahli Kitab Suci yang menginterpretasikannya bahwa tingkat ketiga ini merupakan kelanjutan tradisi Yahudi yang menginterpretasikan surga tingkat pertama sebagai atmosfir di dunia, surga tingkat kedua adalah langit/ alam semesta perbintangan, dan surga tingkat ketiga sebagai tempat kediaman Tuhan (lih. the Navarre Bible, p. 340).
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Dear, Bpk Stef, katolisitas.org
Mohon, penjelasan 2 Korintus 12 : 7-10 , terima kasih.-
Salam kasih.-
Adnilem Sg
Shalom Adnilem,
Perikop 2 Kor 12:7-10 sudah pernah dibahas dalam tanya jawab di atas ini, silakan klik.
Mohon anda membacanya terlebih dahulu, dan jika ada yang belum jelas silakan bertanya kembali.
St. Alfonsus mengajarkan sehubungan dengan ayat ini, sebagai berikut:
“Kita harus bermegah di dalam pengetahuan akan kelemahan kita sendiri, agar kita dapat memperoleh kekuatan yang berasal dari Kristus, yaitu kerendahan hati yang kudus, tanpa menyerah ke dalam kekurangan kepercayaan diri, seperti yang diinginkan Iblis, dan jatuh ke dalam dosa yang lebih serius.” (St. Alfonsus, Treasury of Preaching Material, 2,6, seperti yang dikutip oleh the Navarre Bible, the Letters of St. Paul, (New York: Scepter Publishers, 2003, p. 342).
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Pertanyaan Sdr Machmud berbau paham protestantisme: [1] penderitaan adalah hukuman Tuhan, dan [2] doa org yang sungguh2 beriman pasti dikabulkan oleh Tuhan. Byk org Katolik skrg tercemar oleh paham simplistis seperti itu.
/a. tukiran
Terima kasih Ingrid atas pencerahannya
Salam
Machmud
[quote} Terus terang, saya tidak berani mengkritik mereka, sebab saya tahu bahwa meskipun sama-sama manusia biasa, mereka jauh lebih kudus daripada kebanyakan dari kita. [unquote]
apakah dengan sendirinya pertanyaan berarti kritik ? bukankah seorang pujangga gereja berkata – “aku ingin memahami apa yang aku imani” – apa yang salah dengan bertanya ?
mohon koreksi
Shalom Skywalker,
Tentu saja bertanya atau mempertanyakan itu boleh saja, apalagi disertai dengan ‘good faith‘ untuk mendapatkan jawabannya yang sesuai dengan pengertian iman kita. Hal ini yang disebut dengan ‘faith seeking understanding‘. Tetapi yang saya maksud di sini dengan mengkritik adalah, sebelum mencari tahu penjelasannya, kita sudah cepat-cepat menghakimi, misalnya dengan mengatakan, Rasul Paulus ini kelihatannya sombong, sebab ia mengatakan “turutilah teladanku”, maka doanya agar duri dalam dagingnya diambil, tidak dikabulkan Tuhan. Di sini, saya berkesan, sepertinya yang berkomentar sudah terlelu cepat membuat kesimpulan, sebelum mencari tahu sebabnya kenapa Rasul Paulus berkata demikian. Walaupun tentu saja, bisa saja ia yang berkomentar demikian, tidak bermaksud buruk.
Nah, saya hanya mau mengungkapkan di sini sikap saya. Anda boleh setuju, boleh tidak, saya tidak berkeberatan. Menurut saya, alangkah baik, jika sebelum berkomentar terhadap ajaran para rasul, kita lihat dulu konteksnya, sehingga lebih bisa kita pahami maksud ayat Alkitab itu. Sesungguhnya sikap ini berlaku juga dalam kehidupan sehari-hari: alangkah baiknya jika kita tidak bergegas menghakimi berdasarkan dari yang kelihatan dari luar sebelum mengetahui alasan dan latar belakang seseorang mengatakan sesuatu.
Itu saja, ya. Semoga anda memahami maksud saya, bahwa tak selamanya pertanyaan itu kritik, tetapi kalau nadanya sudah memvonis, itu bisa dikatakan kritik. Dan jika kritik diberikan tanpa motivasi kasih yang membangun, itu dapat menjadi tidak sehat, baik bagi yang mengkritik maupun yang dikritik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Salam damai sejahtera
Ada yang ingin saya tanyakan, mengapa doa PAULUS untuk mencabut duri yang ada dalam dagingnya tidak dikabulkan oleh Allah ? Sedangkan kalau PAULUS mendoakan hampir semua orang yang sakit dijawab dan orang tersebut disembuhkan. Mungkinkan disebabkan karena PAULUS terpeleset dalam ucapan seperti yang tertulis : Turutlah teladanku seperti aku menurut teladan Kristus. Memang kalimat diatas kalau kita baca sepintas lalu tidak ada yang salah, namun apabila kita renungkan baik2 ada sifat kesombongan tersirat didalamnya, dan Allah tidak berkenan akan hal itu. Dan apakah mungkin karena itu maka doa PAULUS tidak dikabulkan. Sebab Tuhan sendiri menjawab kepadanya : justru didalam kelemahanmulah kuasaKU boleh bekerja. Seperti MUSA yang kesalahan bicara sedikit saja, maka berakibat fatal Musa tidak boleh masuk ketanah Perjanjian. Sebab Musa tahu banyak tentang Allah, sebab itu Musa dituntut banyak, demikian juga PAULUS. (Itulah kekerasan/ketegasan Allah terhadap dosa). Jadi kalau begitu apakah kita tidak perlu tahu banyak2 akan rahasia Firman Allah ? tentu saja tidak. Sebab kalau kita mengerti lebih banyak akan Firman Allah, maka kita bisa mencocokkan hidup ini dengan FirmanNya dengan kehendakNya, dan dengan demikian kita semakin tahu akan rencanaNya didalam kehidupan kita. Mungkin barangkali PAULUS seharusnya berkata begini : Turutlah teladan Kristus seperti aku menurut teladanNYA. Salam Machmud
[Dari Admin: Pertanyaan ini sudah dijawab di atas – silakan klik]
Comments are closed.