Dewasa ini ada sejumlah orang yang mempertanyakan kebenaran Kitab Suci, atau sampai batas manakah Kitab Suci menyampaikan kebenaran. Sejumlah dari mereka berpandangan bahwa hanya dalam hal iman dan moral saja, Kitab Suci tidak mungkin salah, sedang dalam hal lainnya, misalnya dalam hal keterangan perihal sejarah dan lainnya, bisa salah. Benarkah demikian?
Secara prinsip, Gereja telah sejak awal percaya bahwa Pengarang utama Kitab Suci adalah Allah sendiri yang memberi dorongan kepada para penulis suci untuk menuliskan wahyu ilahi. Karena Allah yang memberikan inspirasi kepada para penulis itu adalah Allah yang tidak mungkin salah, maka apa yang diwahyukan-Nya juga tidak mungkin salah, baik itu dalam hal iman dan moral, maupun juga dalam hal-hal lainnya yang bersangkutan dengan hal tersebut. Berikut ini adalah ulasan yang kami sarikan dan terjemahkan dari apa yang ditulis oleh Mark J. Zia, di link Catholic Culture, klik di sini:
Gereja Katolik telah sejak awal mengajarkan bahwa Kitab Suci tidak mungkin keliru/ salah, sebagaimana telah dituliskan juga dengan jelas oleh St. Agustinus dalam salah satu suratnya kepada St. Hieronimus:
“Sebab aku menyatakan persetujuanku kepada belas kasihmu, bahwa aku telah belajar untuk mengandalkan penghormatan ini hanya kepada kitab-kitab kanonik Kitab Suci: hanya kepada kitab-kitab ini saja aku harus mengimani dengan sangat teguh bahwa para pengarangnya benar-benar seluruhnya bebas dari kesalahan. Dan jika dalam tulisan-tulisan ini aku dibingungkan oleh apapun yang nampak olehku seperti bertentangan dengan kebenaran, aku tidak enggan untuk beranggapan bahwa entah teks MS-nya ((MS= Salinan dari teks asli manuskrip Kitab Suci)) tidak sempurna, atau para penerjemahnya tidak menangkap maksud yang telah dikatakan, atau aku sendiri yang telah gagal memahaminya … Aku percaya, saudaraku, bahwa ini pula-lah yang menjadi pandanganmu, seperti pandanganku.” ((Letter 82, i, 3 in Philip Schaff (ed)., Letters of St. Augustine: The Nicene and Post-Nicene Fathers of the Christian Church, First Series, vol 1 (Grand Rapids, MI: WM. B. Eerdmans, 1994) 348.))
St. Agustinus yang begitu ahli dalam pemahaman Kitab Suci, tidak ragu untuk menunjukkan kerendahan hatinya ketika dihadapkan dengan kenyataan adanya masalah-masalah dalam bacaan ayat-ayat Kitab Suci; dengan tidak menujukan masalah itu kepada kekeliruan Kitab Suci, namun dengan mengakui keterbatasannya sendiri sebagai manusia di hadapan wahyu yang adikodrati.
Paus Leo XIII mengutip perkataan St. Agustinus ini, yang juga menjadi konsensus dari Tradisi Suci dalam surat ensiklik Providentissimus Deus (1893), ” … Semua Bapa Gereja dan para Pujangga Gereja setuju bahwa tulisan-tulisan ilahi, sebagaimana ditinggalkan oleh para hagiografer (penulis kitab), adalah bebas dari semua kesalahan …” ((Lih. Providentissimus Deus, 21.))
Maka Paus mengajarkan bahwa kebenaran (tidak mungkin salah) Kitab Suci tidak terbatas hanya dalam hal iman dan moral, namun juga secara keseluruhan, demikian:
“Tetapi adalah secara mutlak keliru dan dilarang, entah untuk membatasi inspirasi [Roh Kudus] hanya kepada bagian-bagian tertentu dalam Kitab Suci, atau untuk menerima bahwa para penulis suci telah keliru. Sebab pola pikir dari mereka yang, agar menarik diri dari kesulitan-kesulitan ini, tidak enggan untuk berpegang bahwa inspirasi ilahi hanya berkenaan dalam hal iman dan moral, dan tidak lebih dari itu, sebab (seperti contohnya mereka salah paham) dalam masalah tentang kebenaran ataupun ketidaksesuaian dari sebuah perikop, kita harus mempertimbangkan tidak hanya melulu apa yang telah Tuhan katakan sebagai alasan dan maksud yang ada dalam pikiran-Nya ketika mengatakannya — pola pikir ini tidak dapat diterima. ((Ibid., 20.))
Sebagai tambahan, untuk menekankan pentingnya ajaran tentang Kitab Suci yang tidak mungkin salah, Paus Leo XIII mengatakan:
“Dan sejauh itu tidak mungkin bahwa kesalahan dapat ada bersama-sama dengan inspirasi [Roh Kudus], bahwa inspirasi tidak hanya secara mendasar tidak dapat sejalan dengan kesalahan, namun mengeluarkannya dan menolaknya secara mutlak dan harus, sebab adalah tidak mungkin bahwa Allah sendiri, Sang Kebenaran tertinggi, dapat mengatakan apa yang tidak benar. Ini adalah iman yang sudah ada sejak lama dan tidak berubah dari Gereja, yang secara agung didefinisikan dalam Konsili Florence (Firenze) dan Konsili Trente dan akhirnya diteguhkan, serta lebih jelas dirumuskan dalam Konsili Vatikan.” ((Ibid.))
“Konsekuensinya adalah, orang-orang yang berpandangan bahwa sebuah kesalahan mungkin saja terjadi di perikop asli manapun dari tulisan-tulisan suci itu, [mereka] membelokkan pandangan Katolik tentang inspirasi [ilahi] atau menganggap Allah sebagai pengarang dari kesalahan tersebut.” ((Ibid. EB, 126-127))
Selanjutnya surat ensiklik Paus Benediktus XV, Spiritus Paraclitus, yang memperingati 1500 tahun wafatnya St. Hieronimus, yang diberi gelar “Pujangga besar” Kitab Suci, juga meneguhkan apa yang diajarkan oleh St. Hieronimus dan Paus Leo XIII dalam Providentissimus Deus, tentang inspirasi ilahi Kitab Suci. Paus Benediktus XV menyesalkan sikap sejumlah orang yang, walaupun sudah dengan jelas dijelaskan tentang ajaran ini, memilih untuk meragukan kebenaran Kitab Suci:
“Tapi meskipun perkataan Paus pendahulu Kami tidak menyisakan ruang untuk meragukan atau mempersoalkan [tentang tidak mungkin salahnya Kitab Suci secara keseluruhan], adalah hal yang menyedihkan bagi Kami untuk menemukan bahwa tidak hanya orang-orang dari luar kalangan, tetapi bahkan anak-anak dari Gereja Katolik – betapa ini adalah dukacita khusus bagi Kami, bahkan para klerus dan para pengajar dari ajaran suci – yang mengikuti pikirannya sendiri, entah secara terang-terangan menolak atau sedikitnya menyerang secara diam-diam, ajaran Gereja tentang hal ini.” ((Spiritus Paraclitus, 18.))
Paus Benediktus XV selanjutnya mengatakan tentang hal sejarah/ histori dalam Kitab Suci:
“Mereka, juga, yang berpegang bahwa hal-hal historis dalam Kitab Suci tidak berdasarkan kebenaran absolut dari fakta-fakta tetapi semata-mata dari apa yang dengan senang hati mereka sebut sebagai kebenaran relatif, yaitu, apa yang kemudian dipahami orang, berada…. di luar kesesuaian dengan ajaran Gereja, yang ditekankan oleh kesaksian St. Hieronimus dan para Bapa Gereja lainnya.” ((Ibid., 22))
Divino Afflante Spiritu, surat ensiklik terakhir sehubungan dengan studi Kitab Suci yang ditulis sebelum Konsili Vatikan II oleh Paus Pius XII tahun 1943, menyebutkan di bagian suratnya:
“Karena itu layaklah Kami memperingati perayaan ke-50 dari publikasi surat ensiklik [Providentissimus Deus], yang dianggap sebagai pegangan tertinggi dalam studi Kitab Suci, Kami, didorong oleh perhatian kepada pembelajaran yang suci yang Kami nyatakan sejak awal Pontifikat Kami, telah menganggap bahwa hal ini dapat dilakukan secara pantas dengan meneguhkan dan menanamkan kembali semua yang telah dijabarkan dengan bijaksana oleh Pendahulu Kami, dan ditentukan oleh para Penerus-Nya untuk menguatkan dan menyempurnakan karya itu, dengan menunjukkan apa yang nampaknya perlu di masa kini, agar mendorong dengan lebih kuat lagi, semua anak-anak Gereja yang membaktikan diri mereka untuk studi ini, kepada tugas yang begitu penting dan mulia ini.” ((Divino Afflante Spiritu, 2))
Tentang inspirasi ilahi dalam Kitab Suci dan Kitab Suci tidak mungkin salah, Paus Pius XII kembali menegaskan, “Ajaran ini, yang dijabarkan oleh Paus Leo XIII dengan penuh keagungan, Kami juga nyatakan dengan otoritas Kami dan Kami mendorong semua umat untuk berpegang kepadanya dengan setia.” ((Divino Afflante Spiritu, 3-4))
Prinsip tentang kebenaran Kitab Suci secara keseluruhan ini juga dinyatakan kembali oleh Konsili Vatikan II dalam Konstitusi tentang Wahyu Ilahi:
“Oleh sebab itu, karena segala sesuatu, yang dinyatakan oleh para pengarang yang ilhami atau hagiograf (penulis suci), harus dipandang sebagai pernyataan Roh Kudus, maka harus diakui, bahwa buku-buku Alkitab mengajarkan dengan teguh dan setia serta tanpa kekeliruan kebenaran, yang oleh Allah dikehendaki supaya dicantumkan dalam kitab-kitab suci demi keselamatan kita.” (Dei Verbum 11)
Dengan demikian, frasa ‘demi keselamatan kita’, itu mengacu kepada kehendak Allah [yang Allah kehendaki], yaitu untuk menyelamatkan kita, dan bukan untuk mengacu kepada ‘kebenaran’, sehingga disalahartikan untuk membatasi ruang lingkup kebenaran hanya kepada hal-hal yang berkenaan dengan keselamatan kita.
Kesimpulan
Bagaimanapun Wahyu Allah disingkapkan kepada kita di dalam sejarah umat manusia, sehingga dalam hal ini tidak ada garis pemisahan yang jelas yang memisahkan antara sejarah dan teologi, seolah keduanya terpisah satu sama lain. Konsili Vatikan II dengan jelas menyatakan hal ini:
“Tata perwahyuan itu terlaksana melalui perbuatan dan perkataan yang amat erat terjalin, sehingga karya-karya, yang dilaksanakan oleh Allah dalam sejarah keselamatan, memperlihatkan dan meneguhkan ajaran serta kenyataan-kenyataan yang diungkapkan dengan kata-kata, sedangkan kata-kata menyiarkan karya-karya dan menerangkan rahasia yang tercantum di dalamnya.” ((Dei Verbum, 2.))
Sebab peristiwa-peristiwa inti dalam iman Kristiani, yaitu Inkarnasi Yesus Kristus dan Wafat dan Kebangkitan-Nya dari kematian adalah peristiwa historis. Seperti halnya semua kejadian sejarah dalam Kitab Suci, itu semua tak akan dapat kita ketahui, jika kita katakan bahwa lingkup historis/ sejarah tidaklah penting untuk dipahami di sepanjang jalan keselamatan. Segala pernyataan kebenaran, baik itu hal iman, moral, ataupun historis sungguh ditulis dalam inspirasi Roh Kudus demi keselamatan kita, dan dengan demikian memiliki klaim yang unik tentang inerrancy (ke-tidak mungkin salah-an) yang tidak dikenal dalam literatur lainnya, baik literatur religius maupun sekular, dalam sejarah manusia.
Dear Katolisitas
1. Apakah Alkitab tidak dapat salah ?
2. Kalau ya, sampai batas manakah ketidak dapat salah-an Alkitab ? Apakah seperti doktrin Paus tidak dapat salah hanya dalam ajaran Iman dan Moral saja?
3. Apakah surat -surat Paulus tidak dapat salah dalam pengajarannya ?
Salam.
Jasen
Shalom Jasen,
1. Kitab Suci tidak dapat salah?
Gereja menyatakan bahwa Alkitab tidak dapat salah dalam menyampaikan kebenaran yang oleh Allah dikehendaki untuk disampaikan kepada kita, demi keselematan kita.
2. Sampai batas mana ketidakdapat salahan Kitab Suci? Apakah hanya dalam hal iman dan moral?
Silakan membaca artikel di atas, silakan klik.
3. Apakah surat -surat Paulus tidak dapat salah dalam pengajarannya?
Dengan prinsip bahwa seluruh Kitab Suci tidak dapat salah dalam pengajarannya, maka surat-surat Rasul Paulus yang menjadi bagian dari Kitab Suci, juga tidak dapat salah.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Bagaimana dalam hal ilmu pengetahuan? Alkitab mengklaim Bumi dikelilingi matahari. Alkitab mengklaim bumi itu datar. Apakah selama ini kita telah ditipu oleh para ilmuwan?
[dari katolisitas: Silakan untuk terlebih dahulu membaca beberapa artikel tentang hal ini – silakan klik]
Comments are closed.