[Hari Minggu Biasa ke XXI: Yos 24:1-18; Mzm 34:2-23; Ef 5:21-32; Yoh 6:60-69]
Minggu lalu telah kita renungkan tujuan akhir kita sebagai murid Kristus. Yaitu, seperti Bunda Maria, kelak di akhir zaman kita pun akan diangkat ke Surga, tubuh dan jiwanya. Namun Minggu ini, permenungan kita adalah persyaratan untuk sampai ke sana, yaitu: asalkan kita setia melakukan kehendak Allah dalam kehidupan kita sampai akhir. Kesetiaan kepada Allah adalah suatu keputusan yang harus kita buat setiap saat. Inilah yang ditanyakan oleh Yosua kepada bangsa Israel di Bacaan Pertama, dan yang ditanyakan Tuhan Yesus kepada para murid-Nya di Bacaan Injil.
Di Injil tertulis bahwa setelah Yesus mengajar orang banyak bahwa Ia adalah sang Roti Hidup, banyak dari mereka yang bersungut-sungut, dan kemudian “mengundurkan diri dan tidak lagi mengikuti Yesus” (Yoh 6:66). Mengapa? Sebab mereka menganggap ajaran Yesus sebagai “perkataan yang keras” (Yoh 6:60). Mereka tak bisa menerima bahwa Yesus menghendaki mereka makan tubuh-Nya dan minum darah-Nya agar dapat memiliki hidup yang kekal (lih. Yoh 6:54). Namun Yesus tidak mengubah ajaran-Nya, dan bahkan mempersilakan para murid-Nya—jika mereka tidak percaya akan ajaran-Nya ini—untuk juga pergi meninggalkan Dia. Yesus bertanya kepada keduabelas rasul-Nya, “Apakah kamu tidak mau pergi juga?” Namun syukurlah, Rasul Petrus menjawab, “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal… Engkau adalah Yang Kudus dari Allah” (Yoh 6:67-69). Jawaban Rasul Petrus ini menjadi jawaban kita umat Katolik, yang mengamini perkataan Tuhan Yesus ini, dengan terus memperingati, merayakan dan menerima-Nya dalam rupa Ekaristi kudus.
Namun kita ketahui bahwa sejak awal pengajaran Yesus ini memang tidak dengan mudah diterima oleh semua orang. Uskup Agung Fulton Sheen mengatakan bahwa pengkhianatan Yudas Iskariot sesungguhnya dimulai pada saat itu. Sebab tak lama dari saat Yesus bertanya kepada para rasul-Nya, “Apakah kamu tidak mau pergi juga?” Yesus pun melanjutkan, “Bukankah Aku sendiri yang telah memilih kamu yang dua belas ini? Namun seorang di antaramu adalah Iblis.” Dan di ayat berikutnya tertulis, “Yang dimaksudkan-Nya ialah Yudas, anak Simon Iskariot; sebab dialah yang akan menyerahkan Yesus…” (Yoh 6:71). Artinya, Yesus sudah tahu bahwa Yudas Iskariot akan menyerahkan Dia, sebab Yudas termasuk bilangan dari mereka yang tidak percaya akan pengajaran yang baru saja disampaikan oleh Yesus tentang Roti Hidup itu. Dewasa ini, kita melihat bahwa ada banyak orang yang juga menyebut diri sebagai murid Kristus, tetapi tidak mengimani ajaran tentang Tuhan Yesus sebagai Roti Hidup sebagaimana yang diimani oleh kesebelas rasul, seperti dinyatakan oleh Rasul Petrus. Atau dalam arti yang lebih luas, ada banyak orang yang menentukan sendiri ajaran, menurut pemahaman sendiri. Sehingga meskipun menyebut diri Kristen, tetapi mereka menyetujui paham-paham yang secara mendasar tidak sesuai dengan ajaran Kristus, seperti yang belakangan ini marak diperdebatkan di sejumlah negara yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Mereka mulai melegalkan perkawinan sesama jenis, aborsi, euthanasia, memperbolehkan dan bahkan menganjurkan pemakaian alat-alat kontrasepsi, dan seterusnya. Gereja Katolik tidak menyetujui paham-paham semacam ini. Kini, semakin banyak gereja-gereja non-Katolik yang mulai menyetujui pandangan sekular dan mengubah ajaran Kristus. Hanya Gereja Katolik-lah yang tetap menyuarakan ajaran iman dan moral yang sama seperti yang diajarkan oleh Kristus dan dilaksanakan oleh Gereja sejak awal. Gereja Katolik tetap konsisten mewartakan Injil yang berpihak kepada kehidupan dan bukan kematian. Gereja Katolik tetap tak berubah dalam menyatakan kebenaran dan menjunjung tinggi kekudusan dan martabat manusia, dan bukan sebaliknya. Apa yang di masa lalu dinyatakan benar, sekarang pun tetap dinyatakan benar; demikian pula, yang dulu salah, kini tetap dinyatakan salah. Semoga hati nurani kita semakin diteguhkan untuk melihat betapa Gereja Katolik justru mengajarkan ajaran Kristus dalam kemurnian dan keutuhannya. Walaupun untuk melakukannya tentu diperlukan perjuangan, namun dengan mengandalkan rahmat Allah, tentu ajaran yang otentik ini lah yang akan membuahkan kekudusan dan kesempurnaan yang dikehendaki Allah bagi kita (lih. 1Tes 4:3; Mat 5:48). Tentu saja ajaran Gereja tak terbatas dalam hal moral tetapi juga dalam hal iman, seperti ajaran tentang Allah Trinitas, Inkarnasi, Yesus sungguh Allah sungguh manusia, keselamatan, arti Gereja, Tradisi Suci, sakramen-sakramen terutama Ekaristi, ajaran tentang Bunda Maria dan persekutuan orang kudus, Purgatorium, panggilan untuk hidup kudus dan seterusnya. Semua ajaran tersebut mempunyai implikasi dalam kehidupan kita sehari-hari.
Jadi nampaknya kita perlu menyadari bahwa kebebasan yang diajarkan oleh Kristus “bukanlah kebebasan untuk berbuat apa saja menurut kehendak kita, tetapi kebebasan untuk dapat memilih apa yang baik dengan cara yang bertanggungjawab” (St. Paus Yohanes Paulus II, Khotbah, 6 Juni 1988). Ajaran Gereja tidak merintangi, tetapi justru mengarahkan agar kita dapat memilih dan melakukan apa yang baik. Ini seperti jika kita pergi ke suatu tempat yang tidak kita kenal, dan kita akan terbantu dengan adanya peta, bertanya kepada penduduk setempat, dan juga melihat kepada tanda-tanda di jalan. Semua itu tidaklah merintangi, tetapi justru membantu kita sampai ke tujuan. Tuhan Yesus menghendaki kita selamat sampai di tujuan akhir yaitu Surga, dan dalam perjalanannya kita bebas merdeka dari dosa, yang memisahkan kita dari Allah. St. Paus Yohanes Paulus II mengajarkan, “Bebas dari ketidakadilan, ketakutan, paksaan dan penderitaan, akan menjadi tidak berarti kalau kita tetap menjadi hamba di kedalaman hati kita, yaitu hamba dosa. Untuk menjadi sungguh bebas, manusia perlu dibebaskan dari perhambaan ini dan diubah menjadi ciptaan yang baru. Oleh karena itu, kemerdekaan yang mendasar dari manusia terjadi di tingkat yang terdalam, yaitu dalam keterbukaan kepada Allah melalui pertobatan hati, sebab di dalam hati manusia lah ditemukan akar semua bentuk perhambaan, dan setiap pelanggaran kemerdekaan” (St. Paus Yohanes Paulus II, Pesan di Hari Perdamaian Dunia, 8 Desember 1980, 11).
Di hari Minggu ini mari kita tanyakan kepada diri kita masing-masing, apakah kiranya yang menjadi hambatan bagi kita untuk dapat menerima semua ajaran Kristus? Apakah hambatan itu berkaitan dengan pengertian diri kita sendiri yang berbeda dengan ajaran Gereja? Apakah halangan itu sebenarnya berkaitan dengan suatu kelemahan dan dosa kita? Marilah kita meminta agar Tuhan Yesus memberi pencerahan kepada kita, agar kita dapat berkata seperti Rasul Petrus, “Tuhan, ke mana aku akan pergi? Engkau memiliki perkataan hidup yang kekal…” Semoga dengan sikap yang sedemikian, kita dapat senantiasa bertobat, dan selanjutnya meletakkan kebebasan kita di dalam bimbingan Tuhan sendiri yang senantiasa mengarahkan kita kepada kekudusan, melalui Gereja-Nya. Marilah kita mengikuti teladan Bunda Maria yang menanggapi perkataan Allah yang disampaikan oleh malaikat itu, dengan mengatakan, “Aku ini hamba Tuhan. Terjadilah padaku menurut perkataanmu itu.” Semoga demikianlah juga tanggapan kita, “Aku ini hamba Tuhan. Aku mau menaati semua yang Engkau ajarkan, melalui Gereja yang Kau dirikan.” Dengan memercayakan diri kita kepada belas kasih Tuhan dan pertolongan-Nya, kita percaya Tuhan Yesus akan membimbing kita sebagai jemaat-Nya yang adalah mempelai-Nya sendiri, “dalam keadaan cemerlang, tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu tetapi kudus dan tidak bercela” (Ef 5:27).