Kitab Suci mengajarkan kepada kita bahwa iman yang tidak disertai oleh perbuatan baik adalah iman yang mati (lih. Yak 2:17). Dengan demikian, jika dirumuskan secara positif adalah: iman yang disertai perbuatan baik adalah iman yang hidup. Iman yang hidup inilah, yang kita peroleh karena kasih karunia Allah, yang dapat menyelamatkan kita (lih. Ef 2:8-10; Tit 3:5-8; Yak 2:14-26). Dengan demikian, jika kita ingin diselamatkan kita harus mempunyai iman yang hidup, yaitu iman yang dinyatakan dengan perbuatan baik/ kasih.
Berikut ini adalah keterangan yang diterjemahkan dan disarikan dari The Navarre Bible, yang menjelaskan kaitan antara iman dan perbuatan baik, yang diambil dari penjelasan perikop surat Rasul Yakobus 2:14-26:
“Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia? (Yak 2:14)
ay. 14. Ajaran ini sangat sesuai dengan ajaran Kristus, “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.” (Mat 7:21)
Iman tanpa perbuatan tidak dapat menyelamatkan: “Tetapi tidak diselamatkan orang, yang meskipun termasuk anggota Gereja namun tidak bertambah dalam cinta-kasih; jadi yang “dengan badan” memang berada dalam pangkuan Gereja, melainkan tidak “dengan hatinya”. Pun hendaklah semua putera Gereja menyadari, bahwa mereka menikmati keadaan yang istimewa itu bukan karena jasa-jasa mereka sendiri, melainkan berkat rahmat Kristus yang istimewa. Dan bila mereka tidak menanggapi rahmat itu dengan pikiran, perkataan dan perbuatan, mereka bukan saja tidak diselamatkan, malahan akan diadili lebih keras.” (Luk 12:48, Lih. Mat 5:19-20; 7:2-22; 25:4-46; Yak 2:14) (Konsili Vatikan II, Lumen Gentium 14)
Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari, dan seorang dari antara kamu berkata: “Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!”, tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu? (Yak 2:15-16)
ay.15-16. Ini adalah contoh yang jelas yang serupa dengan ajaran dalam surat Rasul Yohanes, “Barangsiapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya?” (1Yoh 3:17). Dan kesimpulannya, “Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran.” (1 Yoh 3:18).
Maka, misalnya, perbuatan derma yang sering dipuji dan dianjurkan dalam Kitab Suci (lih. Ul 15:11; Tob 4:11; Luk 12:33; Kis 9:36; 2Kor 8:9) adalah menjadi semacam tugas. Kristus, “akan memperhitungkan perbuatan baik yang dilakukan ataupun dihindari kepada kaum miskin sebagai perbuatan yang ditujukan kepada diri-Nya sendiri […]. Barangsiapa telah menerima dari kelimpahan rahmat ilahi, bagian yang besar dalam hal berkat- berkat duniawi, apakah itu bersifat material ataupun kepandaian, telah menerimanya untuk maksud agar dapat digunakan untuk menyempurnakan kodratnya, dan pada saat yang sama, agar ia dapat mengembangkannya, sebagai pengelola penyelenggaraan Tuhan demi kebaikan sesama manusia.” (Paus Leo XIII, Rerum Novarum, 24)
Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati. (Yak 2:17)
ay. 17. Sebagaimana melibatkan ketaatan yang teguh terhadap kebenaran yang diwahyukan Allah, iman harus mempengaruhi kehidupan sehari-hari umat Kristen, dan menjadi patokan yang menjadi tolok ukur bagi perbuatannya. Ketika perbuatan-perbuatan seseorang tidak sesuai dengan imannya, maka imannya itu mati.
Ajaran Kristiani juga menjabarkan iman seseorang yang di dalam keadaan dosa berat sebagai “iman yang mati”, sebab ia tidak berada di dalam rahmat Tuhan, ia tidak mempunyai kasih sebab kasih adalah jiwa dari segala kebajikan lainnya. “Iman tanpa harapan dan kasih tidaklah menyatukan manusia dengan Kristus ataupun menjadikannya anggota yang hidup bagi tubuh-Nya. Karena itu, dikatakan dengan benar sekali bahwa, ‘iman tanpa perbuatan adalah mati’ (Yak 2:17-) dan tidak berguna” (Konsili Trente, De iustificatione, 7)
Tetapi mungkin ada orang berkata: “Padamu ada iman dan padaku ada perbuatan”, aku akan menjawab dia: “Tunjukkanlah kepadaku imanmu itu tanpa perbuatan, dan aku akan menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku.” (Yak 2:18)
ay.18 Rasul Yakobus menjelaskan dengan terang sekali bahwa iman tanpa perbuatan sangatlah tidak masuk akal sama sekali. “Kebenaran iman melibatkan tidak saja kepercayaan di dalam hati, tetapi juga pengungkapan ke luar, yang diekspresikan tidak saja dengan pernyataan iman seseorang, tetapi juga dengan perbuatan-perbuatan yang melaluinya orang itu menunjukkan imannya.” (St. Thomas Aquinas, Summa Theologiae, II-II, q.124, a.5)
Engkau percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Tetapi setan-setanpun juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar. (Yak 2:19)
ay.19. Selanjutnya Rasul Yakobus bahkan membandingkan iman tanpa perbuatan dengan semacam iman yang dimiliki oleh setan-setan, sebab mereka percaya: karena terpaksa percaya dengan bukti tanda-tanda (contoh berbagai mujizat, dan nubuat) yang mendukung ajaran Kristiani (lih. Summa Theologiae, II-II, q.5, a.2). Namun demikian iman semacam ini bukan iman yang menyelamatkan; sebaliknya menyebabkan mereka ciut/takut karena mengingatkan mereka akan keadilan ilahi dan penghukuman kekal.
Mengkomentari ayat ini, St. Bede menjelaskan bahwa ada perbedaan antara percaya Tuhan, percaya akan Tuhan, dan percaya kepada Tuhan. “Percaya Tuhan adalah percaya bahwa yang dikatakan-Nya adalah benar. Percaya akan Tuhan, artinya percaya bahwa Ia adalah Tuhan. Percaya kepada Tuhan adalah mengasihi Dia. Banyak orang, bahkan orang jahat percaya bahwa Tuhan mengatakan kebenaran, dan mereka percaya akan yang dikatakan itu sebagai kebenaran meskipun mereka tidak menginginkannya atau terlalu malas untuk mengikutinya. Percaya bahwa Ia adalah Tuhan juga adalah sesuatu yang dapat dilakukan oleh setan-setan. Tetapi percaya kepada-Nya dan mengikuti Dia hanya benar terjadi pada mereka yang mengasihi Tuhan, yaitu umat Kristen, yang tidak hanya namanya saja tanpa perbuatan dan hidup yang membuktikan hal itu. Sebab tanpa kasih, iman itu sia-sia. Dengan kasih, iman menjadi iman Kristen; tanpa kasih, iman menjadi iman setan-setan (St. Bede, Super Iac.expositio, ad loc)
Kamu lihat, bahwa iman bekerjasama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna. Dengan jalan demikian genaplah nas yang mengatakan: “Lalu percayalah Abraham kepada Allah, maka Allah memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran.” Karena itu Abraham disebut: “Sahabat Allah.” Jadi kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman. (Yak 2:22-24)
ay.22-24. Magisterium Gereja mengutip ayat-ayat ini ketika mengajarkan tentang justifikasi/ pembenaran, penghapusan dosa, yang diterima sebagai pemberian yang cuma-cuma di dalam sakramen Pembaptisan, bertumbuh di dalam kekuatan asalkan orang yang dibaptis itu menanggapi rahmat Tuhan dengan melaksanakan perintah-perintah Tuhan dan Gereja; orang yang benar dan jujur/adil, “bertumbuh di dalam keadilan yang mereka terima melalui rahmat Kristus, iman mereka disempurnakan oleh perbuatan (lih. Yak 2:22), dan mereka lebih dibenarkan lagi, sebab ada tertulis: “barangsiapa yang benar, biarlah ia terus berbuat kebenaran” (Why 22:11) […] dan lagi, “Jadi kamu lihat bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman. (Yak 2:24)” (Konsili Trente, De iustificatione, 10)
Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati.” (Yak 2:26)
ay.26. Deangan berbicara tentang roh, Rasul Yakobus mengacu kepada “nafas kehidupan”, “pernafasan”…. kita mengetahui bahwa tubuh menjadi hidup oleh karena nafas, tanpa nafas maka tubuh menjadi jasad. Demikian pula, iman yang hidup menyatakan dirinya sendiri dengan perbuatan-perbuatan, terutama di dalam perbuatan kasih.
“Seperti ketika tubuh bergerak kita mengetahui bahwa ia hidup,” kata St. Bernardus, “maka perbuatan-perbuatan baik menunjukkan bahwa iman itu hidup. Jiwa memberikan hidup kepada tubuh, menyebabkannya bergerak dan merasakan; kasih memberikan hidup kepada iman, dan menyebabkannya berbuat sesuatu, sebagaimana dikatakan oleh Rasul Paulus, “iman yang bekerja oleh kasih” (Gal 5:6). Seperti halnya tubuh mati ketika jiwanya meninggalkannya, maka iman mati jika perbuatan kasih menjadi dingin/ berkurang. Karena itu, ketika kamu melihat seseorang yang aktif melakukan perbuatan-perbuatan baik dan gembira dan bersemangat di dalam tingkah lakunya, kamu dapat yakin bahwa iman itu hidup di dalam dirinya: hidupnya jelas membuktikan hal itu.” (St. Bernard, Second Sermon on the Holy Day of Easter, 1)
Syalom Bapak/Ibu Tay,
Saya ingin meneruskan pertanyaan dari saudara Budy tanggal 27 Feb 2012, tentang pengemis. Saya membaca dari media internet bahwa fakta yang terungkap tentang pengemis di Jakarta, satu hari mereka mendapatkan penghasilan antara Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000 per harinya, tergantung seberapa tinggi tingkat ‘memelas’ mereka. Dan pernah juga saya menjumpai seorang pengemis yang menukarkan uangnya di toko depan rumah saya, sebesar Rp. 7.000.000. dan kemudian dia membawa lembaran-lembaran merah ratusan ribu entah kemana dan untuk apa. Yang saya tau, esoknya dia masih mengemis lagi di tempat biasanya.
Kemalasan adalah dosa, benar? Walau tidak semua, mengemis bukan lagi kondisi seseorang yang membutuhkan pertolongan, namun merupakan suatu ‘profesi’ yang menjanjikan. Dan itu merupakan rahasia umum yang semua orang juga mengetahuinya. Permasalahan sosial pun timbul dari profesi ini.
Jika saya mendapat penghasilan sebesar itu per harinya, saya bisa jadikan modal usaha kecil atau menengah. Atau paling tidak itulah yang dipikirkan oleh sebagian dari kita. Tetapi hal itu tidak mereka lakukan, dan tetap saja mengemis.
Nah, yang ingin saya tanyakan;
Bagaimana iman dan perbuatan kita sebagai seorang Katolik menanggapi para pengemis-pengemis seperti ini?
Kita tidak tau, apakah mereka benar-benar membutuhkan bantuan atau memang mereka malas. Kalau memberi artinya secara tidak langsung kita membuat mental mereka tetap malas, dan melestarikan budaya mengemis ini. Kalau tidak memberi, apa tanggungjawab saya kepada Tuhan nantinya.
Mohon Bapak/Ibu Tay memberi tanggapan atas fenomena ini. Jika pertanyaan saya sudah pernah dibahas, mohon link nya saja karena tadi saya mencari di kata pencarian kok tidak ketemu. Terima kasih.
Berkah dalem.
Shalom Bimomartens,
Memang kehidupan di Jakarta ini menjadi cukup kompleks dengan banyak orang yang mencoba mencari kesempatan di dalam kesempitan. Memang dewasa ini menjadi sulit untuk membedakan mana yang pengemis yang sungguh-sungguh membutuhkan atau pengemis yang sebenarnya terjadi karena kemalasan maupun yang dikoordinir. Dalam kondisi seperti ini, silakan menggunakan prudence atau kebijaksanaan. Kalau memang kita tergerak untuk membantu pengemis tersebut, maka kita dapat melakukannya karena bisa saja pengemis tersebut sungguh-sungguh membutuhkan. Kalau mereka menipu kita, maka dosanya ada di pengemis tersebut. Kita juga dapat memutuskan untuk tidak membantu pengemis tersebut, namun secara serius menyisakan uang untuk dapat membantu orang lain dengan cara yang lebih baik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Anakku, jangan menjadi pengamat perbuatan yang baik, karena itu akan membawamu pada pengidolaan (pemujaan semu=berhala).
Maksudnya apa bu Inggrid. ?
Kalau menjadi pengamat perbuatan dosa / jahat , ntar dikatakan sok suci.
Shalom Tomy King,
Bolehkah saya bertanya dari mana Anda mengutip perkataan itu? Sebab sepertinya memang tidak terlalu pas. Sebagai murid- murid Kristus, kita diajar untuk menjadi pelaku perbuatan baik, dan bukan hanya sebagai pengamat perbuatan baik. Sebab sabda Tuhan berkata, “Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri.”(Yak 1:22)
Maka menjadi pendengar ataupun pengamat memang belum cukup; sebab kita dikehendaki Allah untuk menjadi ‘pelaku’ yaitu orang yang melakukan ajaran-Nya yaitu ajaran kasih. Kalau orang berhenti sampai pada mengamati tapi tidak melakukan, maka itu belum melakukan kehendak Allah ini. Sebab segala perbuatan baik harus dilihat dalam kacamata iman, dan dilakukan dalam kesatuan dengan iman. Perbuatan baik, jika dilakukan tanpa iman, akan menjadi perbuatan yang tidak menghantar kepada Allah, karena seringkali motivasinya adalah diri sendiri (ingin dianggap baik, ingin merasa berarti, ingin melakukan sesuatu agar diingat orang, dst); kemungkinan inilah sebabnya maka orang dapat menghubungkannya dengan berhala, karena fokusnya bukan Tuhan tetapi diri sendiri maupun perbuatan tersebut.
Tetapi jika perbuatan baik dilakukan dengan kesatuan dengan iman, maka motivasinya mengarah kepada Tuhan, yaitu melaksanakan apa yang menjadi kehendak-Nya dalam hidup kita, sebagai bukti dari iman kita yang menghantar kepada kekudusan, supaya kelak Tuhan berkenan menggabungkan kita ke dalam Kerajaan-Nya di surga.
Selanjutnya, terus terang saya kurang paham mengapa pengamat perbuatan dosa dihubungkan dengan ‘sok suci’. Sebab sepertinya belum tentu berhubungan. Perlu penjelasan lebih lanjut, bagaimana seseorang mengamati perbuatan dosa. Sebab jika pengamatan ini menyeretnya sampai ikut melakukan, maka ia turut berdosa. Jika pengamatan ini tidak/ belum menyeretnya melakukan dosa tersebut, pertanyaannya, mengapa dia mengamati? Sebab pengamatan bisa terjadi disengaja, seperti seorang membawa dirinya mengamati perbuatan dosa (contoh datang ke diskotek melihat orang mabuk-mabukan), tapi bisa juga tak disengaja; seperti jika sekelompok orang yang mabuk-mabukan itu lewat di hadapannya saat ia berjalan pulang ke rumah). Dan di kedua hal itu, kondisinya berbeda.
Pada dasarnya, mengamati perbuatan dosa dapat membawa kepada beberapa pilihan: terseret mengikuti, tidak peduli, atau semakin jijik terhadap dosa tersebut. Nah jika seseorang bertumbuh dalam hidup rohani, maka seharusnya ia mempunyai sikap yang terakhir. Dan pengamatan perbuatan dosa ini sesungguhnya pertama-tama dilakukannya terhadap dirinya sendiri, yaitu saat ia memeriksa batin (setidak-tidaknya sekali di malam hari). Dalam pemeriksaan batin itu ia mengamati-amati dan memeriksa seluruh perbuatannya sepanjang hari itu, baik perbuatan baik maupun perbuatan dosa yang dilakukannya. Dengan pengamatan ini, seharusnya ia semakin bertumbuh dalam kasih kepada Tuhan sehingga semakin berketetapan hati untuk menolak dosa. Sikap yang seimbang ini seharusnya semakin membuat orang bertumbuh dalam kerendahan hati dan tidak menjadi sok suci. Tetapi jika orang hanya berhenti sebagai pengamat perbuatan dosa orang lain dan tidak mau memeriksa diri untuk melihat perbuatan dosanya sendiri, maka memang dapat saja ia terjebak dalam kesombongan rohani.
Maka mari memohon rahmat Tuhan agar Ia memampukan kita untuk memeriksa batin kita dengan jujur, agar kita dapat melihat dan mengakui kekurangan kita sendiri, supaya kita tidak terlalu cepat melihat kekurangan pada diri sesama.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
saya mendapatkan dari ekaristi.org kitab didache bab 3.
Chapter 3. Other Sins Forbidden. My child, flee from every evil thing, and from every likeness of it. Be not prone to anger, for anger leads to murder. Be neither jealous, nor quarrelsome, nor of hot temper, for out of all these murders are engendered. My child, be not a lustful one. for lust leads to fornication. Be neither a filthy talker, nor of lofty eye, for out of all these adulteries are engendered. My child, be not an observer of omens, since it leads to idolatry.
Submitted on 2012/04/25 at 11:45 am | In reply to tomy king.
saya mendapatkan dari ekaristi.org kitab didache bab 3.
http://www.ekaristi.org/dokumen/dokumen.php?subaction=showfull&id=1140106390&archive=&start_from=&ucat=1&go=headlines
Maksud saya salah satu contoh :
mengamati seorang Katolik yang mempunyai istri 2 , tetap ke Gereja dan menerima Komuni. Apakah kita tidak boleh menegurnya ?
Seorang perempuan yang jadi simpanan suami orang , tetap menerima Komuni, apakah dibiarkan saja oleh kita yang mengetahuinya.
Shalom Tomy,
Berikut ini saya coba terjemahkan keseluruhan paragraf itu:
Bab 3. Dosa-dosa lain dilarang. Anakku, hindarilah setiap kejahatan, dan segala sesuatu yang menyerupainya. Jangan menjadi cepat marah, sebab kemarahan memimpin kepada pembunuhan. Juga jangan cemburu, ataupun mudah bertengkar, ataupun cepat naik darah, sebab dari semua ini pembunuhan dapat terjadi. Anakku, jangan menjadi orang yang bernafsu, sebab nafsu memimpin kepada perzinahan. Jangan menjadi pembicara hal-hal kotor ataupun menjadi orang yang melihat hal- hal yang terlalu tinggi, sebab dari semua ini percabulan dapat terjadi. Anakku, jangan menjadi seorang pengamat ramalan (=omen), sebab itu memimpin kepada berhala.”
Catatan ‘omen’: a phenomenon supposed to portend good or evil; a prophetic sign (silakan dihubungkan dengan film Omen tentang 666)
Maka nampaknya pernyataan di atas kurang nyambung dengan contoh yang Anda sampaikan, karena maksudnya adalah pengamat ramalan/ fenomena/ tanda dan bukannya pengamatan terhadap perbuatan dosa. Tapi baiklah karena anda menanyakan bagaimana kalau kita mengetahui adanya orang- orang yang hidup dalam kondisi dosa berat, namun tetap menyambut Komuni (seperti yang Anda sebutkan di atas). Cara yang paling bijaksana menurut saya adalah memberitahukan hal tersebut kepada pastor paroki, sebagai gembala umat. Jika Anda mengetahui alamat/ nomor telpon orang tersebut, silakan memberikan informasi tersebut kepada pastor. Selanjutnya biarkanlah Pastor menindaklanjuti, sebab sudah menjadi tugas dan tanggungjawabnya untuk memimpin umat kepada keselamatan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Mengamati umat-umat yang datang terlambat , apakah diperbolehkan ?.
Sebab banyak umat tidak mengetahuinya bahwa jika datang terlambat dan sudah waktu nya Injil dibacakan , umat seyogyanya tidak boleh menerima komuni.
NB : ada yang saya beri masukan/nasehat, sudah 1 tahun ini 1 keluarga ini datang ke misa gak pernah terlambat. Yang lainnya masih belum (belum berani…hehehheeh)
Di parokiku setiap minggu pagi ada seorang yang datang saat persembahan / kadang saat Konsenkrasi, setelah menerima komuni langsung pulang (umat lain masih antri komuni sdh pulang dia).
Bagaimana mengatasi. Kalau diajak bicara sepertinya mencampuri urusan orang ….
Shalom Tomy,
Terima kasih atas perhatian dan keprihatinan Anda. Jika ada banyak orang seperti Anda ini mungkin jumlah umat yang terlambat ke gereja akan terus berkurang. Jika Anda mengenal baik keluarga yang sering datang terlambat, mungkin Anda dengan semangat kasih dapat memberi masukan, seperti yang pernah Anda lakukan. Ini baik. Namun memang harus diakui, agak sulit kalau kita mau mengingatkan kepada orang lain yang tidak kita kenal, agar jangan datang terlambat ke gereja. Untuk hal ini mungkin dapat ditempuh cara-cara lain:
1. Bicarakan dengan Romo paroki dan usulkan agar Romo menyisipkan anjuran agar jangan datang terlambat dalam homili (terutama jika temanya pas) atau pesan sebelum Misa berakhir agar diperhatikan di Minggu berikutnya, dst.
2. Bicarakan dengan pengurus majalah paroki, agar dapat mengulas hal ini di dalam majalah paroki. Jika Anda mempunyai bakat menulis, tulislah artikel pendek tentang hal ini. Mulailah dengan membagikan kisah kesaksian keluarga Anda yang datang lebih awal di gereja sebelum dimulainya Perayaan Ekaristi, sehingga mempunyai cukup waktu untuk mempersiapkan batin bagi perayaan peristiwa keselamatan yang sangat penting dan luhur itu.
3. Bicarakan dengan komsos paroki agar dibuat semacam poster yang menarik untuk mengajak umat lebih menghargai perayaan Ekaristi (misalnya dengan datang tepat waktu, berpakaian sopan ke gereja, tidak menggunakan alat komunikasi (hp, smsm, BBM) di gereja, dst.
4. Sampaikanlah keprihatinan Anda [tentang banyaknya umat yang datang terlambat] di dalam pertemuan lingkungan, agar hal ini juga dapat menjadi perhatian, minimal di lingkungan Anda. Semoga mereka akhirnya juga akan datang tidak terlambat dalam mengikuti Perayaan Ekaristi.
Demikian usulan saya, semoga dapat menjadi masukan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati-
Maaf.. kalau boleh kami juga ingin memberikan tambahan…
Memang banyak orang yang belum begitu mengerti dan Paham tentang makna sesungguhnya dari Misa Kudus (konkritnya dapat dilihat dari umat yang terlambat dan seenaknya sendiri dalam mengikuti misa kudus tersebut, seolah – olah itu hanya peristiwa biasa), dan saya rasa dengan begitu rasanya pengorbanan Kristus kurang dihargai.
tetapi kami yakin setiap manusia bisa berubah menjadi lebih baik lagi (yang berhati batu sekalipun).
tambahannya..
1. Marilah kita sepakat berdoa dan meminta kepada Allah supaya saudara kita yang kurang mengerti itu menjadi mengerti makna yang sesungguhnya tentang misa Kudus..
“Dan lagi Aku berkata kepadamu: Jika dua orang dari padamu di dunia ini sepakat meminta apapun juga, permintaan mereka itu akan dikabulkan oleh Bapa-Ku yang di sorga. Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.” (Matius 18 : 19 – 20)
2. Setelah cara yang pertama sudah kita lakukan.. Mari kita realisasikan ini… ^^, caranya kita berikan katekese mengenai makna yang sesungguhnya mengenai Misa Kudus kepada umat yang datang terlambat (ada berbagai cara:
Misalnya :
1. ketika bertemu lagi > ajak omong2 lalu arahkan pada makna Ekaristi yang sesungguhnya.
2. lewat sharing pertemuan di lingkungan/ wkt kegiatan menggereja (OMK, PIA, PIR, Dll).
3. Kalau pas Kunjungan kerumah2, bicarakan mengenai Karya Penyelamatan Allah dan arahkan pada makna sesungguhnya tentang misa Kudus ),
adapun makna Misa Kudus lewat kesaksian Catalina, silakan lihat => http://www.indocell.net/yesaya/pustaka2/id67.htm
yang perlu kita sadari, banyak orang yang sudah dewasa akan tetapi pendidikan atau pengetahuan agamanya masih setingkat sekolah Dasar..
cara yang sedang kami realisasikan sekarang ini adalah lewat pelajaran komuni pertama dan sekolah minggu..
karena penanaman sejak dini nampaknya benar2 dibutuhkan, tetapi dalam hal ini harus ekstra berhati – hati dan juga ekstra rendah hati dalam menyampaikan ini.
“Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut. ( Matius 18 : 6 )
Tetapi Yesus berkata: “Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga.” (Matius 19:14)
Deus Profidebit..
(mohon diberikan kritik dan saran apabila ada kesalahan)
semoga bisa membantu..
Berkah Dalem Gusti
Fiat Voluntas Tua^^
[Dari Katolisitas: Terima kasih atas masukan yang baik ini. Ya, adalah menjadi tugas kita semua untuk mewartakan makna Ekaristi, sehingga semakin banyak umat dapat semakin mennghayatinya dan menghargainya. Mari dengan kapasitas kita masing-masing kita melakukan tugas ini, sambil terus berjuang agar kita secara pribadi juga semakin menghayati Ekaristi. Mari kita mulai dari diri kita, keluarga kita, teman- teman dan kerabat kita, umat lingkungan kita, selanjutnya ke lingkup paroki. Semoga Tuhan memberkati usaha kita semua.]
shalom…
mungkin yang dimaksudkan sdr. Tomy King yaitu salah satu kutipan dari kitab Didakhe… dalam bahasa inggrisnya “My child, be not an observer of omens, since it leads to idolatry”…
[Dari Katolisitas: pertanyaan lanjutan Tomy sudah ditanggapi lagi di sini, silakan klik]
Fx.Slamet January 2012
Shalom.
Kalau ada penemis minta-minta ada yang memberi dengan hati yang tulus,tetapi ada juga yang karena show off saja.
Ada yang minta-minta,bukannya diberi tetapi justeru di usir disertai maki-maki.Mengapa? Mungkin karena merasa jengkel.Pikirnya:Gue kerja setengah mati dan kamu hanya mengulurkan tangan mau dapat sesuatu Enak benar. Dasar orang edan dan pemalas.
Ada yang minta-minta,tetapi tidak ada respon sama sekali.Ditinggalkan begitu saja. Mengapa?
Mungkin saja yang tidak memberi,berpikir atau pernah dengar,bahwa pengemis-pengemis pendapatan sebulannya bisa lebih dari gajih seorang staf yang kerja dikantor .Dan memang ada berita-berita tentang seorang pengemis yang meninggal dan tempat tinggalnya diperiksa,diketemukan jutaan rupiah,bahkan berita dari luar negeri mengatakan,bahwa ribuan dolar telah diketemukan.
Atau kebanyakan berpikir:Apakah si pengemis itu betul-betul hidupnya
menderita . Atau berpikir :Memberi menjadikan seseorang malas bekerja.
Jadi menghadapi peminta-minta, memang tidak mudah. Memberi bisa betul-betul membantu,tetapi juga bisa betul-betul merusak.
Kita bukan Sang Pencipta,kita tidak dapat membaca isi hati dan pikiran seseorang,tetapi saya yakin,bahwa kalau kita tahu,benar-benar tahu,bahwa si peminta itu betul-betul menderita,benar-benar butuh pertolongan, saya yakin tidak sedikit orang yang dengan tulus hati ingin membantunya.
Salam kristen
Yang aku tahu membantu / menolong seseorang harus sesuai dengan yang diajarkan YESUS yaitu orang SAMARIA menolong orang YAHUDI yang dirampok.
Dimana orang Samaria menolong sampai dibantu ke sebuah penginapan , dan masih berkata pada pemilik penginapan kalau masih kurang mintalah padanya kekurangannya. Menolong secara total.
Masih banyak diantara kita , merasa memberi sekedarnya sudah merasa menolong.
Ilustrasi :
Seorang keluarga miskin mempunyai hutang 2 juta . Anaknya mau sekolah butuh seragam. Lalu ibunya meminta bantuan pada kita. Kalau kita hanya memberi keluarga tsb uang untuk beli seragam saja itu menolong nya belum tuntas.
Harus mau memberi lebih dari 2 juta + seragam + uang sekolah setahun.
Ini menolong/membantu dengan tuntas.
Sama dengan orang Samaria , menolong yg dirampok sampai tuntas . Kalau hanya diberi pakaian dan ditinggal di penginapan menolongnya belum tuntas. Ini perintah dari YESUS sendiri.
Jadi menurutku memberi kepada pengemis lebih baik kumpulkan saja uang receh tersebut , sebulan sekali berikan pada Panti Asuhan yang masih banyak membutuhkan.
Salam Tomy King,
Konteks Injil Matius 10: 25-37 ialah tuntasnya menjadi murid Kristus yaitu kasih kepada Kristus (doa) yang terwujud pada kasih terhadap sesama (pelayanan aktif). Ahli Taurat itu bertanya dengan mengutip doa Ibrani “Shema” (ay. 27), diacu dari Ul 6:4-5: Tuhan Allah kita itu esa, kasihilah dengan segenap budi dan kekuatan. Hal ini digabungkan dengan Imamat 19:18, kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri. Penggabungan itu asli dari Yesus (lihat Mrk 12:29-31). Maka Ahli Taurat itu berusaha menjegal Yesus dengan bertanya balik sekaligus untuk membenarkan diri. Hal ini karena pernyataan Yesus itu menimbulkan perdebatan mengenai arti “sesama”. Menurut teks Imamat, “Sesama” ialah teman sebangsa Israel saja.
Perumpamaan mengenai orang Samaria yang baik hati ialah sindiran dan tentangan terhadap pemaknaan arti sesama yang egois itu. Bangsa Israel menganggap bangsa Samaria sebagai bangsa yg rendah, dicemooh, dan bukan sesama mereka. Perumpamaan ini dimaksud untuk menentang pola pikir egoisme kelompok, bahwa sesama ialah bangsa Israel sendiri. Kerajaan Allah ialah kerajaan bagi semua manusia. Pemikiran baru ini mengejutkan bangsa Yahudi dan sukar diterima. Orang Samaria sendiri pernah tidak ramah kepada Yesus karena mereka tahu Yesus mau ke Yerusalem, pusat keyahudian. Ini jelas karena mereka direndahkan oleh orang Yahudi dan memang bangsa Yahudi memang merendahkan bangsa Samaria, (lihat Luk 9:52-53).
“Sesama” tidak ditentukan oleh persamaan darah, kebangsaan, persekutuan keagamaan, namun oleh sikap kasih terhadap sesama sebagaimana Allah mengasihi semua orang ciptaanNya.
Namun perumpamaan ini tidak bisa dijadikan petunjuk teknis praktis bagaimana menolong sesama. Usulan yang Anda ajukan sebagai usulan teknis praktis itu pun pasti problematik pada tingkat praksis. Dengan menolak pengemis dan mengumpulkan uang ke panti, harus dipikirkan lebih serius dan detil, dengan peraturan pemerintah dan peraturan yayasan sosial yang berlaku. Namun semangat bahwa menolong harus tuntas dan sungguh menolong, pada prinsipnya semua setuju. Hanya di tataran praktis harus dicermati, jangan sampai kewajiban moral yang baik ini justru membawa keterpaksaan, atau justru membuat orang yang menolong malahan merasa dirugikan. Moral yang baik akan menjamin kebaikan bagi yang ditolong maupun yang menolong. Nilai keikhlasan (ikhlasnya seukuran ini bagiku dan bagimu ikhlasnya segitu), harus tetap dijunjung tinggi tanpa menghakimi.
Salam
Yohanes Dwi Harsanto, Pr
Salam kasih, untuk Pak Stefanus dan ibu Ingrid,
Kita memang sangat sering mendengar kata Iman tanpa Perbuatan adalah mati, dan banyak orang mengakui hal ini. Tetapi yang saya lihat dalam hidup sehari-hari, banyak sekali Umat yang memiliki Iman cukup, tetapi perbuatannya tidak sesuai Imannya. Yang lain ada yang menafsirkan perbuatan disini, hanya dalam bentuk ketaatan dalam beribadah atau mengikuti perintah Gereja secara baku saja. Dalam kehidupannya hampir boleh dikatakan tidak pernah menolong sesamanya atau melakukan hal lain yang menjadi wujud nyata dari Kasih Yesus yang diyakininya.
Perbuatan yang dimaksudkan dalam Kitab Suci, sudah pasti Perbuatan Baik. Sayangnya banyak orang memiliki pemahaman yang keliru tentang perbuatan baik. Mereka beranggapan, orang yang berbuat baik adalah orang yang tidak berbuat jahat. Apa benar begitu? Dalam Kenyataannya, saya melihat tidak seperti itu.
Kita bisa mengambil contoh seperti ini. Bila ada pengemis datang meminta-minta, kita bisa mengambil 3 sikap, pertama kita memberinya uang atau makanan, ini berbuat baik, kedua kita mengusirnya dan memakinya supaya pergi, ini berbuat jahat, dan ketiga kita bisa pergi begitu saja atau mendiamkannya, ini tidak berbuat apa-apa. Selama ini, sikap yang ketigalah yang dilakukan oleh banyak orang, termasuk umat Katolik, yang mengenal Kasih Yesus dan Kasih Allah Bapa.
Saya memperoleh imformasi bahwa perbandingan antara ketiga hal diatas adalah 1 : 9 : 90 , artinya dari 100 orang, hanya satu yang sungguh baik, sembilan sungguh jahat dan sembilan puluh tidak berbuat apa-apa.
Kalau anda tidak percaya? lihatlah sekitar kita…, sungguh menyedihkan.
Terima kasih pak Stef dan ibu Ingrid
Salam kasih dalam Yesus
Comments are closed.