Pertanyaan:

Fenomena semacam ini sangat sering terjadi di sekeliling kita ya. Hal ini tidak dapat dihilangkan, tetapi masing-masing individu dapat berkontemplasi untuk merenungkan PANGKAL dari semua fenomena yang amat seru dan ramai, serta menjadi emosional dan pasti Kontra-Produktif bagi semua pihak dalam rangka tercapainya kehidupan yang lebih baik.

Mari direnungkan beberapa point saya berikut untuk mengurai PANGKAL ke-hiruk-pikuk-an ini:

A. NAFSU MANUSIAWI (DUNIAWI) yang sering tersamar seolah-olah seperti “KEHENDAK ILAHIAH (SPIRITUAL)”
1. Ketika kita meyakini sesuatu & berusaha mengajak orang lain untuk setuju dengan apa yang kita yakini, sesungguhnya ada persentase yg signifikan bahwa ajakan itu berawal dari hasrat manusiawi kita.
2. Hal ini termasuk ketika yang kita yakini itu sifatnya illahiah. Ajakan itu-pun, sekian persennya adalah hasrat duniawi kita. Kita (sebagai manusia) merasa senang, puas, bangga, gembira, bahagia, dan rasa-rasa yang lainnya timbul ketika orang itu berhasil sepaham & mengikuti yg kita yakini.
3. Keterbatasan kita sbg manusia inilah yg akhirnya membuat RANCU output ajakan itu apakah memang illahiah atau manusiawi belaka.
4. Akhirnya keyakinan & ajakan kita kpd orang lain terkorupsi kemuliaannya menjadi sifatnya personal, psikologis, emosional, primordial, kultural, sosial, bahkan mungkin material.
5. Catatan: terminologi Duniawi maknanya bukan hanya semata material / ekonomik, tetapi segala sesuatu yang sifatnya non-ilahiah, spt: emosi, dengki, iri, bahagia, senang, bangga, sedih, benci, dll.

B. ALIRAN / AJARAN yang BERBEDA PERLU memiliki IDENTITAS & DIFERENSIASI
1. Paham, Keyakinan, atau Filosofi yang muncul dan survive hingga hari ini tentu yang memiliki IDENTITAS PEMBEDA dan POSITIONING yang UNIK terhadap ajaran-ajaran lainnya.
2. Mari berangkat dari Asumsi Positif: semua ajaran, paham, keyakinan, -isme, atau filosofi yang muncul adalah dengan itikad mulia & bermanfaat sebagai Panduan Hidup bagi pengikutnya agar lebih baik.
3. Maka identitas pembeda dan positioning tersebut adalah hal yang positif yang berfungsi sebagai Simbol / Penanda suatu komunitas tertentu.
4. Diferensiasi tsb timbul karena beberapa sebab, antara lain:
a. sebagai akibat perbedaan kultur, letak geografis, waktu munculnya, kondisi sosial setempat, dll.
b. memang di-expose (ditonjolkan) sebagai simbol pemersatu & identitas kelompok
c. di-buat atau di-rumus-kan dengan matang, agar khalayak ramai dapat membedakan satu kelompok dengan lainnya. Hal ini terjadi bila komunitas baru ini masih mengandung kesamaan dengan komunitas sebelumnya. Contohnya: antara ketiga agama Abrahamik, antara Katolik dgn Protestan, Ortodoks, Anglikan, dll.
d. Deferensiasi menjadi tidak perlu di-expose ketika memang sudah berbeda secara natural. Misalnya antara aliran Baha’i dengan Kejawen, Hindu, dll; atau antara Atheisme dengan Shinto, Confusianism, dll.
5. Identitas & Diferensiasi itu dapat berdampak Positif dan berdampak Negatif, tergantung dari MANUSIA-nya (yaitu para pemuka & para pengikut), BUKAN dari esensi ajarannya.

C. ESENSI dari ke-IMAN-an adalah sangat NON-ATRIBUTIF dan PRIVAT
1. Mari kita renungkan lebih dalam bahwa INTI dari ajaran yang kita yakini sesungguhnya lebih dalam & bermakna dari sekedar Atribut Organisasi atau Atribut Komunitas berikut tata cara ritual & struktur organisasinya.
2. Jika kita mau berpegang pada ESENSI dari iman yang kita yakini, maka segala hiruk-pikuk, kebingungan, atau kekhawatiran surga/neraka, sesat/mulia, sifat defensif / ofensif terhadap liyan, akan sangat berkurang.
3. Bila kita benar-benar implementasi ke-Iman-an kita yang secara substansial adalah hubungan privat (intim) antara kita dengan Sang Maha Tinggi, maka segala hal-hal tentang tata cara ritual yang sesat, keliru, berhala, dll, yang tadinya membingungkan kita menjadi jauh lebih ringan & berserah kepada-Nya.
4. Bila kita merasa beriman karena sudah membaca, menghapal, mendiskusi, & mendebatkan semua teks-teks dalam segala literatur yang berjuta-juta halaman, maka sesungguhnya perjalanan keimanan kita BARU SAJA DIMULAI untuk mencari ESENSI dari iman kita.

D. TUJUAN manusia HIDUP dan ber-IMAN adalah KEHIDUPAN FANA & BAKA yang LEBIH BAIK
1. Menurut saya, keyakinan ku adalah guidance saya dalam menjalani kehidupan & merupakan a never-ending effort for a better quality of (earthly & heavenly) life.
2. Mari gunakan akal budi yang telah dikaruniakan Tuhan, untuk mengolah & memproses informasi, serta berkontemplasi dengan rasa, untuk menginterpretasi & mengimplementasi keyakinan yang kita yakini.
3. Bukankah amat berdosa kita, bila akal-budi & rasa kita di-simpan saja, sebab secara membabi buta kita meng-AMIN-i maupun me-NYANGKAL-i segala informasi yang kita terima secara mentah-mentah dan harafiah.
4. Bukankah kita telah melakasanakan sebagian kecil kehendak-NYA, ketika kita ikut berkontribusi terhadap kondisi positif di masyarakat, apalagi bila mampu berbuat sesuatu bagi lingkungan di sekitar kita, walaupun berbeda keyakinan, walaupun TANPA “tujuan mulia” untuk mengkonversi keyakinan mereka (atau kerennya “menyelamatkan” mereka).

E. PILIH ALIRAN / FILOSOFI yang memberi rasa DAMAI dan NYAMAN bagi kita
1. Sejalan dengan runutan logika sederhananya: Kehidupan yang lebih baik perlu prasarana berupa kondisi jiwa & hati yang damai dan nyaman (bukan yang hiruk-pikuk & penuh emosi-ambisi)
2. Maka saya pribadi merasa nyaman dan damai untuk mengikuti ajaran yang sejalan dengan apa yang dilakukannya dalam kehidupan nyata. Misalnya:
a. Cinta Kasih yang termanifestasi dalam gagasan & perbuatan nyata, bukan hanya slogan.
b. Menyelamatkan manusia: termanifestasi dalam tindakan nyata & sederhana sehari-hari, tidak hanya muluk-muluk dalam konsep & semangatnya saja.
c. Menjadi Terang bagi Dunia: termanifestasi dalam kontribusi nyata bagi masyarakat, tetangga, & saudara (walaupun remeh & tidak extravagant), instead of reduksi konsep tsb menjadi sekedar ajakan konversi agama.
d. Dan lainnya..
3. Rasa Damai dan Nyaman itu timbul ketika kita tidak merasa Penasaran atau Gusar atau “Tergugah Semangatnya” ketika melihat orang dengan keyakinan yg berbeda, serta berusaha sekuat tenaga untuk mengajaknya convert.
Sebab keyakinan bukanlah marketing atau salesmanship, kalau itu justru wajib merasa penasaran & tergugah dalam rangka mencapai target yang dibebankan kpdnya.
Bukankah terlalu sederhana, naif & agak2 durhaka kpd Tuhan, bila kita sampai punya target dalam 1 th harus mengconvert sekian ratus orang (jiwa baru? hehe..), yg artinya kita anggap Keyakinan kita sama dengan kegiatan menjual produk / jasa?
4. Rasa Damai dan Nyaman akan kita rasakan bila ketika ada orang yang dengan gigih & pantang menyerah meyakinkan kita bahwa keyakinan kita adalah salah, kita dengan santainya tidak ikutan bingung dengan ikut dalam jalan pikirannya yang mempermasalahkan HAL REMEH-TEMEH, & hampir tidak ada pengaruhnya dengan ESENSI IMAN kita. Biarkan saja, jadi damai toh?
5. Kebetulan saya pribadi lahir di keluarga Katolik, dan kebetulan lingkungan saya membuat saya nyaman & damai, serta memungkinkan perkembangan & pengembaraan iman saya sampai saat ini.
a. Banyak juga teladan & contoh yang kebetulan beriman Katolik telah berkarya nyata bagi lingkungan;
b. Banyak pemikiran para pemuka yang amat mencerahkan (instead of memagari / membodohkan) umatnya;
c. Banyak contoh aplikasi praksis iman Katolik (setidaknya di Indonesia) yang sejalan dengan kondisi nyata kita yang plural;
d. Banyak encouragement kepada umat untuk terus meng-utilisasi karunia Tuhan yg berupa akal-budi-rasa dalam memahami & meresapi filosofi katolikism, serta pengejawantahannya dalam bentuk karya nyata di kehidupan sehari-hari, instead of text-book oriented & forced-interpretation of faith.
e. Damai dan Nyamannya, ketika saya tidak ikutan ambil pusing tentang apakah Yesus ditombak di perut sebelah kanan atau kiri-nya? apakah patung-patung karya seni indah itu termasuk berhala atau bukan? apakah memang Yesus berhidung mancung & berkulit putih serta berjambang? apakah Yesus punya keturunan dari Mary Magdalene atau tidak? apakah agamanya Abraham & Adam-Hawa? dan pertanyaan-pertanyaan sejenis lainnya; sebab hal2 tsb tidak ada dampaknya terhadap keimanan & esensi ajaran Katolik, serta IMPLEMENTASInya dlm kehidupan sehari-hari.

Maka, marilah kita berpulang pada PANGKAL-nya, mari habiskan waktu & energi kita untuk terus berkarya semampu kita bagi sesama & sekitar kita, apapun golongannya. Niscaya, dunia akan tampak jauh lebih indah di mata & hati kita.
Urusan masuk surga / neraka, gak usah dipusingkan, biar saja Tuhan yang menentukan, toh kita tdk bisa berbuat apa-apa & adalah prerogratif-Nya. Repot amat…

Syalom Alaikhem, may peace be upon us all…
Paulus Prana

Jawaban:

Shalom Paulus Prana,

Terima kasih atas tanggapannya. Berikut ini adalah jawaban yang dapat saya sampaikan:

1. Tentang Motif

Sebenarnya ajakan untuk berdiskusi tentang agama dan kebenaran adalah sesuatu yang baik. Kita sering berdiskusi tentang topik-topik yang lain, seperti ekonomi, politik, bola, ilmu pengetahuan, namun jarang berdiskusi tentang agama. Dalam berdiskusi, maka kita tidak perlu mempertanyakan dan meragukan maksud dari orang yang ingin berdiskusi, karena kita tidak tahu persis. Ini berarti kita juga tidak tahu secara persis apakah alasan berdiskusi karena hanya sekedar melayani nafsu manusia belaka atau dengan tujuan yang lebih murni, yaitu untuk mencari kebenaran. Oleh karena itu, kita harus menganggap bahwa yang mau berdiskusi ingin mencari kebenaran, walaupun disampaikan dengan cara yang berbeda-beda, baik dengan lemah-lembut maupun agak kasar.

2. Tentang ajaran yang berbeda-beda

Definisi agama adalah “In its widest sense the union of man with God. Objectively, it consists in doctrines and precepts by which man seeks to bring about this union. Religion is true when its doctrines and precepts are either dictated by right reason or revealed by God; if the former, it is called natural religion, if the latter, supernatural religion. Religion is false if, when claiming to be revealed, it is unable to show a divine guarantee, or when its dogmas and practises sin against right reason and conscience. Subjectively, religion is the attitude of the man who rules his thoughts, words, and actions according to right reason and revelation. In this latter sense religion is a special virtue allied to justice, because it prompts man to render to God what is due Him by strict right from His rational creatures. As such, religion is a strict obligation incumbent on every man. It is also the means by which man is to work out his final destiny.”

a. Dengan demikian kita melihat agama secara obyektif (terdiri dari doktrin dan pengajaran) dan subyektif (yang mengikat pikiran, perkataan, dam perbuatan), baik menurut akal budi yang benar (disebut natural religion) atau menurut wahyu Allah (disebut supernatural religion), dengan tujuan untuk mendapatkan persatuan antara manusia dengan Tuhan. Dengan dasar inilah, maka agama yang berdasarkan wahyu Allah dan tidak bertentangan dengan akal budi yang benar adalah baik, karena akan membuat manusia dapat bersatu dengan Tuhan

b. Maka tugas dari masing-masing pribadi untuk meneliti apakah kepercayaan atau agama yang dianutnya adalah berdasarkan akal budi yang benar dan Wahyu Allah yang otentik. Tentu saja perbedaan kultur, geografis, kondisi sosial juga menjadi faktor penting akan agama yang dianutnya. Namun, kita juga percaya bahwa setiap manusia, yang diciptakan menurut gambaran Allah, mempunyai kemampuan untuk mengetahui kebenaran, mengetahui dan mengasihi Penciptanya.

3. Tentang esensi iman

a. Saya hanya akan membatasi pembahasan dari sisi iman Gereja Katolik. Kalau anda ingin mengetahui pendapat iman dari agama lain, silakan bertanya kepada mereka. Iman dapat didefinisikan sebagai “firm assent of intellect and will to the truth.” Dengan demikian, seseorang yang beriman harus mempunyai suatu keyakinan akal budi yang teguh terhadap kebenaran. Nah, kebenaranlah yang didiskusikan.

b. Seperti yang anda katakan, iman menuntun kita untuk dapat mempunyai hubungan yang baik dengan Tuhan. Namun, di satu sisi lain, kasih kita kepada Tuhan membuat kita mengasihi sesama, yang berarti ingin memberikan yang terbaik bagi orang lain. Kalau keselamatan adalah hal yang terbaik (karena menyangkut keselamatan kekal), maka menjadi tugas umat beriman untuk mewartakan karya keselamatan Kristus kepada semua orang, sehingga semua orang dapat memperoleh keselamatan yang dijanjikan oleh Kristus. Dan ini juga ditegaskan oleh Kristus sendiri yang memberikan amanat agung di Mt 28:19-20 “19 Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, 20 dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” Dengan demikian, iman bukan hanya berdimensi pribadi, namun juga mempunyai dimensi sosial, karena Tuhan menginginkan bahwa semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran (1 Tim 2:4).

4. Tentang tujuan hidup dan beriman:

Iman dan akal budi tidak bertentangan, bahkan saling mendukung, karena keduanya datang dari sumber yang sama, yaitu Tuhan. Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa iman dan akal budi adalah seperti dua sayap burung yang membawa manusia kepada kontemplasi kebenaran. Jadi, dengan demikian, untuk menuju kepada kebenaran, maka kita harus menggunakan keduanya.

5. Tentang memilih aliran dan agama:

a. Dalam memilih suatu aliran atau agama, maka parameter yang terpenting adalah kebenaran, dan bukan sekedar rasa damai dan nyaman. Hal ini disebabkan karena kebenaran adalah Tuhan sendiri dan Tuhan akan membiarkan diri-Nya ditemukan oleh orang-orang yang tulus mencari-Nya. Dan kebenaran inilah yang akan memerdekakan kita (lih. Yoh 8:32).

b. Namun, tentu saja diperlukan kebijaksanaan dalam menyikapi perbedaan dan juga dalam menerangkan iman kita kepada orang lain. Kita tidak perlu merasa gundah kalau orang lain tidak menerima pemberitaan iman, karena perkara merubah hati bukanlah pekerjaan kita, namun pekerjaan Roh Kudus. Kita harus percaya, bahwa Roh Kudus sendiri akan berkarya dengan cara-Nya. Yang penting, kita harus melakukan bagian kita untuk dapat menjadi alat Tuhan dalam mewartakan kabar gembira. Jadi walaupun kita menginginkan agar semua orang turut mengasihi Kristus dan Gereja-Nya, namun kita tidak perlu membuat target. Biarlah Roh Kudus sendiri yang berkarya.

c. Sering orang hanya mereduksi perbuatan kasih dengan kegiatan sosial. Namun, bukan itu inti dari kekristenan. Kekristenan bukanlah berdasarkan pada liberation theology, namun inti dari Kekristenan adalah membawa Yesus kepada orang lain dan membawa orang lain kepada Yesus. Semua karya sosial, perbuatan kasih, pemberitaan mempunyai sumber yang satu, yaitu Kristus sendiri.

d. Kalau ada yang berusaha meyakinkan bahwa iman kita salah, maka kita tidak boleh marah. Justru ini menjadi kesempatan bagi kita untuk semakin mendalami misteri iman kita sendiri.

e. Kalau kita mengasihi seseorang, maka kita ingin mengetahui hakekat dari orang yang kita kasihi. Kalau kita mengasihi Yesus dan inti iman kita adalah Yesus, maka sudah seharusnya kalau kita juga ambil perduli akan segala sesuatu tentang Yesus. Ini juga termasuk akan hal-hal yang anda sebutkan, yang bersifat substansial. Dalam contoh yang anda ambil, terdapat beberapa yang tidak bersifat substansial, seperti Yesus berjambang atau tidak. Namun, apakah Yesus mempunyai keturunan dari Maria Magdalena, telah menyentuh hal yang substansial. Namun, yang lebih penting lagi adalah kita tidak menentukan sendiri artikel iman yang kita mau percaya, karena jika demikian, iman kita adalah bergantung pada diri kita sendiri, dan bersifat sangat subyektif. Padahal kita tahu bahwa kebenaran adalah bersifat obyektif dan manusia mempunyai kemampuan untuk mengerti dan menangkap kebenaran yang obyektif.

6. Kesimpulan

Dengan demikian, adalah menjadi tugas kita, umat Katolik untuk turut serta dan berpartisipasi dalam misi keselamatan Kristus dan menyebarkannya ke seluruh penjuru dunia, baik melalui pewartaan maupun kesaksian hidup kudus.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org

6 COMMENTS

  1. Dear pak Stef,
    Terima kasih atas tanggapannya. Saya hendak berkomentar sedikit:

    1. Mohon maaf, pemilihan kata-kata “iman berdimensi sosial” pada judul yg pak Stef berikan menurut saya dapat menimbulkan rancu bagi pembaca, sebab:
    a. poin saya dalam hubungannya dengan “sosial / sosiologi” adalah tindakan nyata sederhana & sehari-hari sebagai manifestasi keimanan
    b. yg saya tangkap, maksud bpk dalam tanggapan diatas, “dimensi sosial” adalah diseminasi informasi & keyakinan kebenaran, serta dogma yg kita yakini terhadap orang-orang lainnya.
    c. saya usul judulnya diperbaiki menjadi: “Apakah iman bersifat pribadi atau juga berkaitan dengan afiliasi seseorang dengan institusi agama/keyakinan tertentu?”

    2. Agar jelas, kelompok intra-komunitas dapat dipetakan secara sdrhana menjadi 2 gol besar, yaitu: PEMELUK agama dan PEMUKA agama.
    a. PEMUKA agama tentu berkepentingan terhadap kerberlangsungan wadah / institusi / organisasi tersebut, tentu disamping dari kualitas hidup & keimanan dari setiap individu anggotanya.
    b. PEMELUK agama berpandangan lebih sederhana, misal: Iman sebagai guidance dalam tindakan & proses pengambilan keputusan dalam hidup nyata sehari-hari & apa manfaat iman bagi lingkungan & sekitarnya.
    c. Walaupun secara formal dinyatakan bahwa setiap pemeluk wajib mewartakan kebenaran & kabar gembira (which is natural & necessary for the sake of the institution), namun pada kenyataannya kita tidak mampu untuk “memaksa” / “mendisiplinkan” / “menjamin keselamatan” umat untuk semua nya bertindak proaktif seperti halnya para Pemuka.
    d. Persentase terbesar dari anggota komunitas adalah mereka yang dpt digolongkan sbg Pemeluk.

    3. Dari point no 2 diatas, maka diskusi tentang iman, agama yg berbeda, konversi agama, debat dogma, dan lain-lain dapat lebih difokuskan:
    a. Yg bapak maksud & uraikan seluruhnya adalah sependapat dgn saya, bila saya menggunakan kacamata PEMUKA (seperti halnya Bpk & Ibu pengurus)
    b. Yg banyak sy kemukakakan adalah pendapat saya dari kacamata seorang PEMELUK biasa, yang mungkin “belum” atau “memilih untuk tidak” bersikap “pro-aktif secara institusi/organisasi (religion-wise)”, tetapi barangkali mencoba aktif & kritis secara keyakinan (faith-wise)
    c. Tentu diskusi akan lebih nyambung dengan pemetaan yg lebih jelas ini.

    Salam,

    • Shalom Paulus Prana,

      1. Terima kasih atas tanggapannya. Iman yang berdimensi sosial yang saya maksudkan adalah untuk menanggapi tulisan anda yang menekankan bahwa iman adalah urusan masing-masing pribadi dengan Tuhan yang dipilih berdasarkan rasa damai dan nyaman. Jadi, saya pikir judulnya tidak perlu dirubah, karena pembaca juga akan menangkap esensi dari diskusi ini. Sosial tidak dapat hanya diartikan sebagai perbuatan sosial, karena esensi dari sosial adalah interaksi dengan yang lain, yang hidup bersama, yang berarti iman bukan hanya masalah pribadi, namun sesuatu yang harus dibagikan.

      2. Di dalam Gereja Katolik, kita mengenal adanya dua status, yaitu klerus (uskup, imam, diaken tertahbis) dan awam. Klerus melayani awam, sehingga awam mempunyai kekuatan spiritual untuk menggarami dunia. Dan dua-duanya saling bekerja sama untuk menyebarkan kabar gembira kepada semua orang dan segala bangsa dalam kapasitasnya masing-masing. Jadi, kaum awamlah yang seharusnya mempunyai jangkauan lebih besar daripada klerus untuk menggarami dunia, karena kaum awam ada di “dalam” dunia. Konsili Vatikan II dalam “Lumen Gentium”, 30 menekankan hal ini:

      Jadi semua orang awam mengemban kewajiban mulia untuk berusaha, supaya rencana keselamatan ilahi semakin mencapai semua orang di segala zaman dan dimana-mana. Oleh karena itu hendaklah dengan cara manapun juga terbuka jalan bagi mereka, supaya mereka sendiri sekadar kemampuan mereka dan sesuai dengan kebutuhan zaman – dengan giat ikut serta melaksanakan karya keselamatan Gereja. (LG, 30)

      Sadar atau tidak, sebenarnya pada waktu kita dibaptis, maka kita turut berpartisipasi dalam tiga misi Kristus, yaitu menjadi nabi, raja dan imam. Sampai seberapa jauh umat dapat menyadari dan mengemban tugas ini, maka ini semua tergantung dari proses pembinaan katekese. Dan kesadaran untuk mengemban tugas ini bukanlah suatu paksaan, namun sebenarnya adalah suatu konsekuensi logis dari mengikuti Kristus. Dengan mengikuti Kristus, maka kita harus siap untuk melaksanakan semua perintah-Nya, dan perintah-Nya adalah termasuk menyebarkan Kabar Gembira kepada segala bangsa, seperti yang Yesus perintahkan dalam amanat agung (lih. Mt 28:19-20). Seperti yang anda cermati, memang prosentase terbesar dari Gereja Katolik adala kaum awam, yang memang sangat disayangkan tidak semuanya mempunyai kesadaran untuk mengemban amanat agung ini. Dan inilah yang menjadi tugas para klerus dan juga semua kaum awam yang menyadari tugas ini, untuk menggerakkan semua elemen dalam Gereja untuk bersama-sama membangun Gereja Katolik yang kita kasihi.

      3. Memang setiap anggota Gereja, baik klerus maupun awam mempunyai posisi yang berbeda, namun dengan tugas yang sama, yaitu membangun Tubuh Mistik Kristus. Mungkin yang perlu digunakan adalah analogi dari rasul Paulus, yang mengatakan bahwa setiap anggota Gereja adalah merupakan anggota tubuh yang sama dengan Kristus sebagai kepalanya. Dengan menyadari bahwa kita semua, termasuk awam, mengemban tugas untuk membangun tubuh yang sama, maka kita tidak hanya terfokus pada kehidupan kita sendiri, namun terfokus pada “common good“, yaitu kepentingan bersama untuk membangun Tubuh Mistik Kristus. Dengan demikian, jari tidak memikirkan untuk kepentingan jari atau mata untuk kepentingan mata, namun setiap bagian dari tubuh memberikan kontribusi kepada tubuh secara keseluruhan. Menyadari dimensi sosial atau kebersamaan dalam membangun Tubuh Mistik Kristus memberikan kesadaran bahwa masing-masing dari kita harus melakukan bagian yang dipercayakan oleh Kristus kepada kita, baik sebagai klerus maupun sebagai awam, baik sebagai pewarta, pemuka umat, istri, suami, anak, dll. Semua elemen harus saling membantu dalam amanat agung ini.

      Tugas mungkin dapat berbeda, namun satu hal yang sama adalah panggilan untuk hidup kudus, karena inilah yang diinginkan oleh Kristus. Kekudusan ini bukan monopoli kaum klerus, namun adalah untuk semuanya. Dengan hidup kudus, maka semua bagian akan semakin bersinar, yang berarti semua Tubuh Mistik Kristus akan bersinar secara keseluruhan dan menjadi refleksi Kristus sendiri.

      Akhirnya, kita tidak dapat membagi antara “religion” dan “faith“, karena iman kita tergantung dari agama yang kita peluk. Jadi, sadar maupun tidak sadar keduanya saling berkait dan tidak dapat dipisahkan.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – katolisitas.org

  2. Fenomena semacam ini sangat sering terjadi di sekeliling kita ya. Hal ini tidak dapat dihilangkan, tetapi masing-masing individu dapat berkontemplasi untuk merenungkan PANGKAL dari semua fenomena yang amat seru dan ramai, serta menjadi emosional dan pasti Kontra-Produktif bagi semua pihak dalam rangka tercapainya kehidupan yang lebih baik.

    Mari direnungkan beberapa point saya berikut untuk mengurai PANGKAL ke-hiruk-pikuk-an ini:

    A. NAFSU MANUSIAWI (DUNIAWI) yang sering tersamar seolah-olah seperti “KEHENDAK ILAHIAH (SPIRITUAL)”
    …..

    [dari katolisitas: silakan melihat jawaban di atas – silakan klik]

    Pesan ini awalnya ada di diskusi mengapa berpindah dari Gereja Katolik ke gereja lain di sini – silakan klik.

    • Salam damai sejahtera

      Pak Paulus Prana

      Anda menulis :
      URUSAN MASUK SORGA / NERAKA, GAK USAH DIPUSINGKAN, biar saja Tuhan yang menentukan, TOH KITA TIDAK BISA BERBUAT APA-APA & adalah prerogratif-Nya. Repot amat…

      Kalau kita tidak berbuat apa-apa untuk menyenangkan hati Tuhan, bagaimana kita bisa masuk Sorga ?
      Tuhan tidak pernah menentukan seorang masuk Sorga atau masuk Neraka, tapi Tuhan tau siapa yang akan masuk Sorga / Neraka.
      Kita bisa berbuat apa-apa dan berusaha (dengan beribadah kepada-Nya),supaya kita bisa masuk kedalam Kerajaan-Nya

      Salam
      Mac

      • Pak Machmud,
        Wah, maaf anda jadi salah memahami maksud kalimat saya.
        Kalau boleh saya re-phrase:

        Tindakan & kesungguhan hati kita dalam kontribusi bagi sesama dan lingkungan merupakan bentuk ibadah nyata kita. Motivasi untuk berbuat di atas pun seharusnya tidak perlu karena adanya reward Surga atau punishment Neraka, cukup secara sederhana bahwa rasa damai & bahagia kita bahwa telah mampu berbuat untuk sesama.
        Let God alone to judge the heaven-worthiness or hell-worthiness of our doings. Please be assured that no literatures, scriptures, nor any disciples, angels, nor saints could advocate, interfere, & alter HIS judgement.

        Dgn kata lain, bila motivasi utama perbuatan baik kita adalah Surga/Neraka, maka kita jadi pusing untuk selalu mencoba “comply” dengan parameter & requirement kuantitatif / kualitatif agar eligible untuk mencapai threshold minimum masuk surga / neraka.

        Padahal, dlm pandangan saya, proses decision making surga & neraka tidaklah sesederhana & senaif itu. Tuhan-lah, dengan prerogratif-Nya telah memiliki konsiderans yang maha-komprehensif & beyond-any-rationales dalam menggolongkan seseorang di kategori surga / neraka.

        Sehingga, Tidak ada gunanya sementara kita pusing2 mencoba comply dengan parameter yang selama ini kita yakini agar selamat (alias masuk surga), sedangkan malahan kita jadi LUPA akan ketulusan & kesungguhan hati ketika melakukan perbuatan-perbuatan (yang tampak) mulia tsb, yang sebenarnya merupakan manifestasi nyata dari kegiatan Ibadah.

        Barangkali (sekali lagi: mungkin), justru bila ada seseorang yang telah melakukan perbuatan baik dengan ketulusan & kontribusinya nyata bagi sesama & lingkungan, serta sedikit melakukan hal-hal tercela; sedangkan dia sendiri mungkin tidak tahu bahwa hal-hal tsb memiliki poin positif dalam rangka “road to heaven”, Mungkin justru Tuhan bisa saja menjemputnya menuju surga kan? who knows.
        Orang-orang ini kan yang sering dituding sebagai kaum ignorant ya? atau invicible ignorant ya? hanya karena sekedar tidak berafiliasi pada suatu komunitas / institusi tertentu. Lantas, kita-kita manusia ini, berdasar interpretasi kita yang finite ini, kok bisa yakin benar ya bahwa mereka tidak akan masuk surga? hehe.. are we God’s advocate?

        Demikian maksud paragraf saya diatas. Mohon maaf kalau sampai terjadi tafsiran yang berbeda.
        Salam,

        • Shalom Paulus Prana dan Machmud,

          Izinkan saya menengahi di sini, ya. Saya rasa pernyataan anda berdua sama- sama ada benarnya, walaupun penekanannya berbeda.

          Paulus melihat bahwa hal keselamatan (seseorang dapat masuk surga) adalah hal prerogatif Tuhan. Machmud melihatnya bahwa meskipun demikian, kita manusia dapat berbuat sesuatu untuk mencapainya dengan menyenangkan hati Tuhan dan beribadah kepada-Nya.

          Sejujurnya, Gereja Katolik melihat kedua pernyataan tersebut sebagai kebenaran yang saling melengkapi, dan bukannya untuk dipertentangkan. Sebab Kitab Suci sendiri menyatakan bahwa kita diselamatkan karena kasih karunia Allah oleh iman (Ef 2:8) yang adalah pemberian Allah. Maka dari sisi ini, keselamatan seseorang adalah hak Allah, sebab Allah- lah yang memberikan kasih karunia tersebut. Namun kita juga mengetahui bahwa kasih karunia dan iman ini harus disertai juga dengan perbuatan kasih, sebab tanpa perbuatan kasih, iman kita mati (lih. Yak 2: 24, 26). Di sinilah ada peran manusianya itu sendiri, yaitu mau atau tidak untuk bekerja sama dengan kasih karunia Allah yang telah diberikan kepadanya.

          Perbuatan kasih yang menjadikan iman sebagai iman yang ‘hidup’ adalah hukum yang terutama yang diajarkan oleh Tuhan Yesus, yaitu kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama (Mat 22: 34-40; Mrk 12:28-34; Luk 10:25-28). Jadi kalau kita berbuat baik, semestinya motivasi utamanya adalah karena kita ingin mengasihi Tuhan, jadi bukan semata- mata rasa damai dan bahagia telah mampu berbuat untuk sesama. Bahwa selanjutnya perbuatan- perbuatan ini akan diperhitungkan Tuhan, untuk menentukan apakah kita dapat masuk surga; itu memang adalah hak Tuhan; sebab memang pada akhirnya nanti kita semua akan diadili menurut perbuatan kita (lih. Why 20:13). Yang mengadili semua orang adalah Tuhan Yesus, sehingga memang manusia tidak dapat menentukan sendiri apakah ia ‘layak’ masuk surga atau tidak; apalagi menentukan orang lain itu masuk surga atau tidak. Biarlah Tuhan Yesus sendiri yang memutuskan; sedang di pihak kita, yang terpenting kita telah berusaha sebaik mungkin. Jika ada ajaran Gereja yang seolah menentukan parameternya, itu bukan bermaksud untuk menghakimi orang per orang secara pribadi; tetapi untuk mengajarkan tentang ketentuan beriman yang benar, sesuai ajaran Kitab Suci dan Tradisi Suci.

          Tentang invincible ignorance, sudah pernah dibahas di sini, silakan klik; dan implicit desire for Baptism (keinginan untuk dibaptis/ baptis rindu), silakan klik di sini; Baptis Rindu menurut St. Thomas Aquinas, klik di sini.

          Demikianlah, semoga diskusi ini dapat saling membangun dan memberikan manfaat kepada kita semua.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          Ingrid Listiati- katolisitas.org

Comments are closed.