Banyak orang mempertanyakan bagaimana Gereja Katolik menginterpretasikan Injil Matius  yang mengatakan demikian:

“Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi. Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga.” (Mat 5:17-19)

Orang lalu bertanya, apakah jika demikian artinya semua hukum Taurat itu masih berlaku dan harus dilakukan oleh umat Kristen? Bagaimana kita menjelaskannya dengan pernyataan Rasul Paulus yang sepertinya menyatakan sebaliknya?

“sebab dengan mati-Nya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya…” (Ef 2:15)

Sekilas jika dibaca, sepertinya ayat-ayat tersebut bertentangan satu sama lain. Tetapi kita percaya bahwa Sabda Allah dalam Kitab Suci tidak mungkin bertentangan, sebab tidak ada pertentangan dalam diri Allah yang mewahyukannya. Untuk memperoleh penjelasannya, tak ada cara yang terbaik, selain daripada mengacu kepada ajaran Gereja, yang diwakili oleh para Bapa Gereja, sehubungan dengan ayat-ayat ini. Sebab Kitab Suci diberikan kepada Gereja, maka hanya Gereja-lah yang dapat menginterpretasikannya dengan benar, terutama sehubungan dengan ayat-ayat yang relatif sulit dijelaskan, seperti contohnya ayat-ayat di atas.

Untuk itu, mari kita mengacu kepada ajaran  para Bapa Gereja, dalam hal ini St. Agustinus dan sejumlah Bapa Gereja lainnya:

1. Dalam tulisannya, Against Faustus, St. Agustinus menanggapi keberatan-keberatan Faustus, seorang petinggi aliran sesat Manichaeisme di zamannya, berkenaan dengan ayat Mat 5:17-19 ini, yang kerap ditanyakan kembali oleh banyak orang di zaman sekarang.

Faustus memberikan argumennya, bahwa di Kitab Ulangan, Allah memberikan peraturan, dan ini tidak boleh ditambahi ataupun dikurangi. Terhadap argumen ini, St. Agustinus mengatakan bahwa ‘menggenapi’ tidak sama artinya dengan menambahi ataupun mengurangi. Penggenapan hukum Taurat adalah kasih, yang diberikan oleh Allah dengan mengutus Roh Kudus-Nya. Hukum Taurat digenapi, baik ketika hal-hal yang diperintahkan telah dilakukan, atau ketika hal-hal yang dinubuatkan terjadi.

Faustus mempertanyakan bahwa bukankah dengan mengatakan bahwa Yesus adalah pencipta Perjanjian Baru artinya bahwa Yesus telah membatalkan Perjanjian Lama? St. Agustinus menanggapi demikian: Dalam Perjanjian Lama terdapat banyak gambaran samar- samar akan apa yang akan terjadi di masa mendatang, yang, ketika semua itu digenapi di dalam Kristus, maka gambaran yang samar-samar itu harus dibatalkan/ tidak berlaku lagi. Supaya dengan demikian, hukum Taurat dan kitab para Nabi dapat digenapi, ketika dalam kitab-kitab tersebut tertulis bahwa Allah (akan) memberikan Perjanjian Baru.

Faustus kemudian menanyakan: Bukankah orang Yahudi harus mempertanyakan kamu [St. Agustinus/umat Katolik], mengapa kamu tidak melakukan ketentuan hukum Taurat dan para Nabi, sedangkan Kristus menyatakan bahwa Ia datang tidak untuk menghapuskannya melainkan untuk menggenapinya? Dengan ayat ini konsekuensinya adalah kamu terpaksa menerima semacam takhayul kosong [Faustus menganggap Perjanjian Lama sebagai tahayul], atau menganggap perikop ini sebagai kekeliruan, atau kamu mengingkari bahwa kamu adalah murid Kristus. Terhadap tuduhan ini, St. Agustinus menanggapi: Umat Katolik tidak memiliki kesulitan terhadap perikop ini, seolah mereka tidak menaati hukum Taurat dan kitab para nabi; sebab mereka menerapkan kasih kepada Allah dan kepada sesama, di mana atas hukum inilah “tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Mat 22:40). Dan apapun yang tercantum dalam hukum Taurat dan kitab para nabi telah terlihat dalam hal-hal yang telah ada dalam ritus sakramental, maupun dalam bentuk pengajaran, yang telah digenapi di dalam Kristus dan Gereja-Nya. Oleh karena itu, kami tidak tunduk kepada tahayul yang salah, ataupun menolak perikop Kitab Suci tersebut, ataupun ingkar sebagai murid Kristus. St. Agustinus juga berkata: Mereka yang berkata bahwa ‘jika Kristus tidak meniadakan hukum Taurat dan kitab para nabi, maka ritus Musa akan masih berlaku dalam ketentuan Kristen’, biarlah juga mereka mengatakan bahwa ‘jika Kristus tidak meniadakan hukum Taurat dan kitab para Nabi, maka Ia hanya akan dijanjikan untuk lahir, menderita dan bangkit lagi’. Tetapi karena Ia tidak meniadakan, tetapi menggenapi hukum Taurat dan kitab para nabi, maka kelahiran-Nya, sengsara-Nya dan kebangkitan-Nya sekarang tidak lagi dijanjikan sebagai sesuatu yang akan terjadi di masa mendatang yang ditandai dengan berbagai sakramen hukum Taurat; melainkan Ia diwartakan sebagai telah lahir, disalibkan dan bangkit, yang sekarang ditandai oleh sakramen-sakramen yang dirayakan oleh umat Kristen. Maka jelaslah, betapa besar kekeliruan mereka yang menganggap bahwa ketika tanda-tanda atau sakramen-sakramen diubah, maka hal-hal itu sendiri menjadi berbeda. Padahal, hal-hal yang sama itu yang menurut ketentuan para Nabi adalah janji-janji, menurut ketentuan Injil adalah hal-hal yang telah digenapi.

Faustus kemudian mempertanyakan pernyataan Kristus, yang dianggapnya adalah perkataan untuk mengambil hati orang Yahudi, agar orang Yahudi mendengarkan Dia; atau kalau tidak, artinya bahwa memang Yesus bermaksud menjadikan semua orang non- Yahudi menjadi taat kepada ketentuan hukum Taurat. [Faustus cenderung kepada opsi pertama]. Faustus kemudian juga membedakan bahwa hukum Taurat ada dua macam, yaitu hukum sebelum Musa dan hukum di zaman Musa. Menurutnya yang tetap berlaku adalah hukum sebelum Musa dan yang pada zaman Musa sudah tidak berlaku. St. Agustinus menjawab bahwa apa yang disebut sebagai hukum Taurat dan kitab para Nabi yang oleh kedatangan Kristus ‘tidak dihapuskan melainkan digenapi’ dinyatakan dalam hukum Taurat yang diberikan oleh Nabi Musa. Pembedaan yang dilakukan oleh Faustus antara ketentuan para nabi sebelum Musa dan hukum Musa, dan kemudian menganggap bahwa Kristus menggenapi yang pertama tetapi membatalkan yang kedua, tidaklah benar. Kami menegaskan bahwa hukum Taurat Musa mewakili sebelum maupun sesudah zaman Musa, untuk maksud yang sementara; dan sekarang ini tidak ditiadakan melainkan digenapi oleh Kristus, sebagaimana terlihat dalam setiap hal yang khusus. Hal ini tidak dipahami oleh mereka yang berkeras dengan kekeliruan mereka, sehingga mereka mengharuskan orang-orang non- Yahudi untuk taat kepada ketentuan Yahudi…

2. Pseudo-Yohanes Krisostomus: Tetapi sebab semua hal yang harus terjadi dari awal mula dunia sampai akhir dunia, ada dalam gambaran yang dinubuatkan dalam hukum Taurat, sehingga Tuhan tidak dapat dianggap tidak tahu akan apa yang akan terjadi. Maka Ia [Kristus] di sini menyatakan bahwa surga dan bumi tidak akan berlalu sampai semua yang telah dinubuatkan dalam hukum Taurat memperoleh penggenapan nyata-nya.

3. St. Agustinus: “Dengan perkataan, ‘satu iota atau satu titikpun tak akan ditiadakan dari hukum Taurat,” kita harus memahaminya sebagai ungkapan metafor tentang kelengkapan/ keseluruhan, yang diperoleh dari huruf-huruf tulisan, di mana iota merupakan bagian terkecil dari huruf, yang dibuat dari satu goresan pena, dan sebuah titik merupakan sebuah tanda kecil di pengakhiran sebuah huruf. Maka perkataan ini menunjukkan bahwa hukum Taurat harus dipenuhi sampai hal-hal yang terkecil (Serm. in Mont. i, 8).

4. Rabanus yang Terberkati: Yesus menyebutkan ‘iota’ dalam bahasa Yunani, dan tidak mengacu kepada huruf Ibrani ‘jot’, sebab iota dalam bahasa Yunani mewakili angka sepuluh, sehingga di sini ada acuan samar-samar kepada Dekalog (Sepuluh Perintah Allah), yang tentangnya Injil adalah penggenapannya yang sempurna.

5. St. Yohanes Krisostomus: Tuhan Yesus menggenapi hukum Taurat dalam tiga cara: 1) dengan ketaatan-Nya terhadap ritus-ritus yang disyaratkan; sehingga Ia berkata, adalah layak bagi kita untuk memenuhi semua keadilan: dan siapakah yang dapat membuktikan bahwa aku berdosa? (lih. Yoh 8:46); 2) Yesus menaati hukum Taurat tidak hanya dengan ketaatan-Nya sendiri kepada hukum itu, tetapi juga dengan memampukan kita untuk memenuhinya. Adalah maksud hukum Taurat untuk membuat orang menjadi benar, tetapi dari dirinya sendiri, hukum itu terlalu lemah; maka Kristus datang untuk menjadikan manusia menjadi benar dan memenuhi maksud dari hukum Taurat. 3) Ia menggenapi hukum Taurat, dengan mengurangi semua ketentuan hukum yang lama, menjadi moralitas/ hukum moral yang lebih tepat dan kuat (Homily xvi.).

6. St. Hieronimus: Ayat-ayat ini berhubungan dengan pembahasan sebelumnya, diarahkan kepada kaum Farisi, yang mengabaikan perintah-perintah Allah dengan membuat tradisi mereka sendiri…. Namun kita juga dapat memaknainya dalam arti lain, yaitu jika pembelajaran kita dari Tuhan Yesus digabungkan dengan dosa, meskipun dosa kecil, maka akan kehilangan tempat yang tinggi. Demikian tak ada gunanya seseorang mengajarkan kebenaran, jika ia sendiri menghancurkan kebenaran dalam hidupnya. Kesempurnaan kebahagiaan adalah bagi orang yang melakukan dalam perbuatannya apa yang ia ajarkan dalam perkataannya.

7. St. Agustinus: “ia yang meniadakan perintah yang terkecil dari perintah Taurat… dan mengajarkan orang lain, akan menduduki tempat terendah….”, tetapi ia yang melaksanakan perintah-perintah terkecil ini, tidaklah untuk dianggap terbesar, namun tidak menjadi sekecil orang yang melanggarnya/ meniadakannya. Namun besarlah seseorang yang melakukan dan mengajarkan hal-hal yang diajarkan oleh Kristus.

Dengan penjelasan para Bapa Gereja ini, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Hukum Taurat tidak dibatalkan tetapi digenapi.

Namun penggenapan hukum Taurat tidak berarti bahwa seluruh hukum Taurat itu diberlakukan kembali dalam Perjanjian Baru  dengan cara yang sama seperti dalam Perjanjian Lama. Sebab maksud hukum Taurat itu adalah untuk diberlakukan sementara sampai kedatangan Kristus yang merupakan penggenapannya. Maka dengan kedatangan Kristus yang memuncak pada wafat, kebangkitan dan kenaikan-Nya ke Surga, maka segala tanda/sakramen PL yang dimaksudkan untuk mengacu kepada-Nya, diberlakukan dengan cara yang berbeda, yaitu dalam tanda/ sakramen- sakramen PB dalam Gereja, sebagaimana dikehendaki oleh Kristus. Pemberlakuan dengan cara yang berbeda ini adalah penggenapan, dan bukan pembatalan. Sebab Kristus sudah datang, maka gambaran tentang Dia dalam PL diperbaharui, dan tidak untuk dirayakan seolah-olah Kristus belum datang.

2. Hukum Taurat yang tidak berubah adalah hukum moral.

Telah sejak awal, Gereja mengenali adanya jiwa dari segala hukum Taurat dalam Perjanjian Lama yang tidak pernah berubah, yaitu hukum moral yang berpusat pada kasih. Hal ini telah diajarkan oleh para Bapa Gereja sejak abad awal, terutama oleh St. Agustinus dan St. Yohanes Krisostomus. Sedangkan ketentuan-ketentuan Yahudi lainnya, yang diturunkan dari hukum moral ini, kemudian diperbaharui oleh Kristus.

3. Ketiga jenis Hukum Taurat: hukum moral, seremonial dan yudisial

Maka pengelompokan hukum Taurat menjadi tiga jenis: hukum moral, seremonial dan yudisial, bukan semata-mata penemuan mendadak dari St. Thomas Aquinas dari Abad Pertengahan. Adanya perbedaan jenis ketentuan hukum dalam Taurat memang sudah ada sejak hukum itu diberikan. St. Thomas hanya mengidentifikasikan ketiga jenis itu untuk  membantu kita memahami hakekat hukum Taurat, agar kita tetap dapat melihat konsistensi makna dari ayat-ayat dalam KS sehubungan dengan hukum Taurat. Yaitu ketika di satu sisi dikatakan bahwa hukum Taurat tidak dibatalkan tapi digenapi (lih. Mat 5:17-19) namun di sisi lain dikatakan bahwa Kristus membatalkan hukum Taurat dan segala ketentuannya (lih. Ef 2:15). Kristus memang datang untuk memperbaharui hukum Taurat, dan pembaharuan itu mencakup mempertahankan hukum Taurat dalam hal moralitasnya (hukum moral dalam sepuluh perintah Allah), namun berbagai ketentuan lain yang tidak secara langsung berhubungan dengan hukum moral itu, tidak diberlakukan lagi dengan cara yang sama dalam PL. Namun demikian, jiwa yang melatar belakangi segala ketentuan hukum Taurat, yaitu hukum kasih, tetap berlaku bahkan diberlakukan dengan lebih tepat dan ketat, sehingga dapat dikatakan dalam ungkapan metafor bahwa apa yang ditetapkan sebelumnya dalam hukum Taurat, yang merupakan gambaran samar-samar akan kesempurnaan Kristus, tetap berlaku sampai sekecil-kecilnya.

Penjelasan selanjutnya tentang hal ini, silakan klik di sini (Silakan membaca kembali artikel tersebut, yang telah direvisi. Semoga menjadi lebih jelas.)

4 COMMENTS

  1. Dasar pekerjaan (“mission”) Tuhan adalah Taurat, Nubuatan dan Lirik (bicara dari jantungNya) (Lukas 24: 44. Baik dalam Perjanjian Lama, Perjanjian Baru & Hukuman; pekerjaan Allah Trinitas berdasarkan ketiga-tigaNya. The Divine works must be based on those three bases of holy foundations namely the Laws, Prophecies and God’s whispers (Psalms or Lyrics) Luke 24: 44. Meskipun setiap kategori adalah dapat dibezakan namun setiap kategori “asas” tersebut tidaklah bertentangan antara satu sama lain. Semuanya, secara ringkas adalah “FIRMAN.” St. John menulis, “Firman” menjadi “daging.”

    [Dari Katolisitas: Secara umum, pembagian dalam Kitab Suci PL adalah kitab-kitab Pentateukh (Kelima kitab Nabi Musa, kitab-kitab Historis, Kitab-kitab kebijaksanaan/ puisi, dan kitab-kitab nubuatan para nabi. Dan dalam PB: adalah keempat Injil dan surat-surat para Rasul. Silakan membaca pembagiannya, di sini, silakan klik. Namun Anda benar, bahwa semuanya itu termasuk dalam Kitab Suci, yaitu Firman Allah yang dituliskan.]

Comments are closed.