Ada yang menuliskan bahwa, untuk menjalani kehidupan agamanya ia merasa tidak perlu sulit-sulit, tidak mau repot harus begini dan begitu. yang penting bagi dia adalah hidup baik, tidak berbuat dosa, tidak mau menyalahi aturan duniawi, dll. Kalau sekiranya ia merasa salah, ia bertekad untuk tidak mengulanginya. Bagi dia itu saja sudah cukup. Memang kalau kita melihat konsep keselamatan terlihat adanya dua ekstrim yang kedua-duanya bertentangan dengan ajaran Katolik: 1) yang pertama, adalah beriman saja dan tidak perlu ada perbuatan baik dan 2) yang ke-dua adalah perbuatan baik saja cukup dan tidak perlu yang lainnya, termasuk menyingkirkan dimensi iman dan segala konsekuensi kehidupan orang beriman. Jawaban untuk sola fide, telah dituliskan di sini – silakan klik, yang dapat menjerumuskan seseorang pada konsep sekali selamat tetap selamat – dan telah dijawab di sini – silakan klik. Sedangkan untuk ekstrim yang lain, yang mengedepankan perbuatan baik dan mengenyampingkan dimensi iman, maka berikut ini adalah empat alasan untuk menolak anggapan ini:
1. Kita dibenarkan oleh Kristus melalui pengorbanan-Nya di kayu salib dan rahmat yang mengalir dari misteri Paskah diberikan secara biasa pada Sakramen Baptis.
Untuk dapat selamat, maka berarti kita dibenarkan oleh Allah. Bagaimana kita dapat dibenarkan oleh Allah? Dengan mati di kayu salib maka, Kristus yang menjadi pengantara antara manusia dan Tuhan, telah menebus dosa kita, dan memberikan rahmat (grace), yang memungkinkan manusia dapat diselamatkan. Ini adalah meritorious cause keselamatan manusia, yaitu pengorbanan Kristus yang menghasilkan rahmat berlimpah. Dan kalau ditelusuri, maka hal ini disebabkan oleh efficient cause, yaitu belas kasih Allah, yang tidak membiarkan manusia untuk tetap terpisah dari Allah. Nah, kasih Allah dan pengorbanan Kristus telah terjadi. Bagaimana manusia mendapatkan rahmat yang mengalir dari pengorbanan Kristus? melalui instrumental cause – yaitu Sakramen Baptis, yang berarti untuk orang dewasa diperlukan iman. Melalui Sakramen Baptis ini, memungkinkan manusia untuk dibenarkan oleh Allah, karena manusia memperoleh rahmat pengudusan (sanctifying grace). Dan inilah yang disebut the formal cause. Dan pada akhirnya rencana keselamatan ini akan membawa kemuliaan bagi nama Tuhan dan keselamatan manusia (disebut final cause).
Kalau disederhanakan: manusia berdosa, sehingga kehilangan keselamatan kekal. Keselamatan kekal ini adalah the final cause. Namun Allah tidak membiarkan itu terjadi karena belas kasih Allah yang tak terhingga bagi manusia (the efficient cause), sehingga Dia memberikan Putera-Nya untuk menebus dosa manusia dengan cara mati di kayu salib dan memberikan rahmat (the meritorious cause). Rahmat ini diterima oleh manusia secara normal (the ordinary means) melalui Sakramen Baptis (the instrumental cause). Dan karena rahmat pengudusan atau sanctifying grace diterima pada saat pembaptisan, maka manusia berkenan dan dibenarkan di hadapan Allah (the formal cause – yaitu keadilan Allah).
2) Tanpa iman tidak ada yang dapat menyenangkan hati Allah.
Pada point nomor 1, maka kita melihat pentingnya baptisan, yang menuntut persyaratan adanya iman (pada baptisan dewasa), karena dengan baptisan, kita menerima rahmat pengudusan yang mengalir dari misteri Paskah Kristus (penderitaan, kematian, kebangkitan dan kenaikan Kristus). Dan tentang pentingnya iman, surat kepada jemaat di Ibrani mengatakan “Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia.” (Ibr 11:6). Sebaliknya, hanya iman saja tanpa ada perbuatan kasih, maka iman tersebut adalah mati (lih. Yak 2:26). Hal ini juga ditegaskan oleh Yesus yang mengatakan “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.” (Mk 7:21).
3) Beriman berarti ketaatan.
Iman mensyaratkan ketaatan kepada yang memberi wahyu. Katekismus Gereja Katolik merumuskan sebagai berikut:
143. Melalui iman, manusia menaklukkan seluruh pikiran dan kehendaknya kepada Allah. Dengan segenap pribadinya manusia menyetujui Allah yang mewahyakan Diri (Bdk. DV 5.). Kitab Suci menamakan jawaban manusia atas undangan Tuhan yang mewahyukan Diri itu “ketaatan iman” (Bdk. Rm 1:5; 16:26.)
144. Taat [ob-audire] dalam iman berarti menaklukkan diri dengan sukarela kepada Sabda yang didengar, karena kebenarannya sudah dijamin oleh Allah, yang adalah kebenaran itu sendiri. Sebagai contoh ketaatan ini Kitab Suci menempatkan Abraham di depan kita. Perawan Maria melaksanakannya atas cara yang paling sempurna.
Dengan demikian, kalau kita mengatakan bahwa kita beriman, maka ketaatan ini menjadi bagian penting dari manifestasi iman. Bahkan Rasul Yohanes mengatakan bahwa ketaatan untuk menjalankan perintah Kristus, disebut sebagai bukti akan kasih kita kepada Kristus (lih. 1Yoh 5:3). Perintah yang mana? Rasul Yohanes mengatakan semua perintah-Nya (lih. 1Yoh 3:24) dan Yesus mengatakan hal yang sama sebelum Dia naik ke Sorga (lih. Mt 28:20). Jadi, kalau kita tahu bahwa kita harus menjalankan semua perintah-Nya, maka kita tidak boleh memilih perintah-Nya menurut interpretasi kita sendiri, dalam hal ini hanya menjalankan perbuatan baik.
4. Perintah Kristus adalah termasuk menerima sakramen-sakramen dan masuk dalam Gereja Katolik.
Kalau kita membaca Alkitab secara cermat, maka kita akan dapat melihat bahwa Kristus telah memberikan tujuh sakramen kepada umat Allah. Dan Sakramen, yang menjadi cara yang dipilih oleh Kristus untuk menyalurkan rahmat-Nya, harus diterima dengan penuh rasa syukur dan sudah sepantasnya kita berpartisipasi dalam sakramen-sakramen, terutama Sakramen Ekaristi dan Sakramen Tobat (bagi yang telah dibaptis). Ini berarti, ke Gereja untuk turut berpartisipasi dalam Sakramen Ekaristi menjadi manifestasi akan kasih kita kepada Allah dan juga cara untuk menerima rahmat Allah. Dengan demikian, kalau kita beriman secara Katolik, maka sudah seharusnya kita juga turut berpartisipasi dalam Sakramen ini dan tidak cukup hanya dengan mengandalkan perbuatan baik.
Dalam keselamatan, selain melalui Kristus (Kristosentris), juga berkaitan dengan melalui Gereja (ekklesiosentris). Katekismus Gereja Katolik mengajarkan:
Lebih lanjut Katekismus Gereja Katolik (KGK, 1741)mengatakan “Pembebasan dan keselamatan. Dengan salib-Nya yang mulia, Kristus telah memperoleh keselamatan bagi semua manusia. Ia telah membebaskan mereka dari dosa yang membelenggu mereka. “Kristus telah memerdekakan kita” (Gal 5:1). Di dalam Dia kita mengambil bagian dalam “kebenaran” yang memerdekakan (Yoh 8:32). Kepada kita diberi Roh Kudus, dan “di mana ada Roh Allah, di situ ada kemerdekaan” (2 Kor 3:17), demikian santo Paulus mengajarkan. Sejak sekarang kita bermegah bahwa “kita telah masuk ke dalam kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah” (Rm 8:21).“
KGK 270 – “Penciptaan adalah “awal tata keselamatan”, “awal sejarah keselamatan” (DCG 51) yang berpuncak pada Kristus. Sebaliknya misteri Kristus adalah terang misteri penciptaan yang menentukan; ia menyingkap tujuan, untuk apa Allah menciptakan “pada mulanya… langit dan bumi” (Kej 1:1). Sejak awal Allah telah memikirkan kemuliaan ciptaan baru di dalam Kristus (Bdk Rm 8:18-23).”
KGK, 846: “Bagaimana dapat dimengerti ungkapan ini [EENS: Extram Ecclesiam Nulla Salus/ Di luar Gereja Tidak ada Keselamatan] yang sering kali diulangi oleh para bapa Gereja? Kalau dirumuskan secara positif, ia mengatakan bahwa seluruh keselamatan datang dari Kristus sebagai Kepala melalui Gereja, yang adalah Tubuh-Nya:
“Berdasarkan Kitab Suci dan Tradisi, konsili mengajarkan, bahwa Gereja yang sedang mengembara ini perlu untuk keselamatan. Sebab hanya satulah Pengantara dan jalan keselamatan, yakni Kristus. Ia hadir bagi kita dalam Tubuh-Nya, yakni Gereja. Dengan jelas-jelas menegaskan perlunya iman dan baptis, Kristus sekaligus menegaskan perlunya Gereja, yang dimasuki orang melalui baptis bagaikan pintunya. Maka dari itu andaikata ada orang, yang benar-benar tahu, bahwa Gereja Katolik itu didirikan oleh Allah melalui Yesus Kristus sebagai upaya yang perlu, namun tidak mau masuk ke dalamnya atau tetap tinggal di dalamnya, ia tidak dapat diselamatkan” (Lumen Gentium 14).“
5. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, maka kita dapat melihat bahwa seluruh keselamatan umat manusia berpusat dan bersumber pada misteri Paskah Kristus. Iman akan misteri Paskah ini memberikan keselamatan kepada umat manusia. Namun, iman menuntut ketaatan iman, yaitu melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh Kristus. Dan perintah-perintah-Nya adalah termasuk menjadi anggota Tubuh Mistik Kristus atau Gereja Katolik, bertumbuh dalam sakramen-sakramen. Dan rahmat yang mengalir dalam sakramen-sakramen ini memampukan seseorang untuk dapat berbuat kasih yang bersifat adikodrati, yaitu mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama berdasarkan kasih kepada Tuhan. Tanpa rahmat Allah, kita tidak mungkin dapat setia terhadap kehidupan kristiani kita sampai pada akhirnya. Jadi, hanya dengan berbuat baik saja, tidak secara otomatis akan membawa kita pada keselamatan kekal, karena keselamatan kekal bukanlah merupakan hak kita, namun merupakan anugerah. Semoga jawaban ini dapat diterima.
Syarat Masuk Sorga hanya satu Yaitu ; Bertobat dan percaya bahwa Yesus telah mati dikayu salib menghapuskan Dosa Saya dan Saudara dan Imanilah itu sampai Yesus datang kembali menjemput saudara .
Karena saudara Sudah mengimani itu dan menjalani pertobatan , yakinlah saudara kapanpun saudara mati maka saudara pasti masuk sorga
Karena saudara sudah mengimani itu maka sebelum saudara mati wajiblah saudara bersyukur kepada Tuhan Yesus dengan rajin keGereja , membantu sesama dan menolong sesama serta menginjili sesama bahwa masuk surga hanya dengan pertobatan dan percaya kepada penyaliban dosa saudara yg harusnya saudaralah yg disalibkan karena dosa saudara amin
[dari katolisitas: Jangan lupa juga bahwa iman tanpa perbuatan adalah mati. Silakan melihat diskusi ini – silakan klik]
Ysh Romo / Tim Katolisitas.org,
Setau sy semua yg kita perbuat skrg adalah kehendak bebas yg diberikan Tuhan,,, Pemahaman saya mjd, jika terjadi sesuatu yg tidak menyenangkan/ tidak kita sukai (dlm segala hal fisik / jasmani), itu adalah mmg akibat dari keteledoran kita sendiri, dan sebaliknya bila ada tindakan/ucapan orang yang menghina kita juga adalah kehendak bebas mereka tapi akan mereka pertanggung jawabkan nti pd hari penghakiman.
Disisi lain dikatakan, Tuhan akan ikut serta bila kita meminta (Cari, Minta, Ketoklah).
Yg mjd pertanyaan Pertama, apakah Tuhan ikut berperan dalam doa orang yg membenci kita? (Sekalipun doa mereka itu bukan permintaan kpd Tuhan utk memberi hukuman
kpd saya; mksdnya dlam doa tsb mereka meminta agar saya mendapatkan “petunjuk”). Apakah Tuhan akan membalas kejahatan saya saat masih didunia ini dgn mendatangkan “sesuatu”? Kan orang itu sudah berdoa/meminta kpd Tuhan.
Jujur saya masih lebih mempercayai apa yg saya tulis d paragraf I.
Pertanyaan kedua; Tapi kenapaaaa, ujung2nya koq boleh ada pengecualian, hanya dgn bertobat utk dosa2 kecil, mereka yg telah menghina tetap bisa masuk surga/ dosa berat pun bisa kayaknya ? Apakah menghina adalah dosa yg bisa diampuni ? Jika bisa saya pun mungkin akan melakukannya, kan bisa bertobat nantinya. Berarti kita ga ada beda dgn Protestan ya? Sekali selamat ttp selamat seperti
nama biskuit, n bisa berbuat semaunya asalkan bertobat sebelum ajal.
Saya tak mampu utk hidup Kudus…
Tolong teguhkan saya dalam Iman Katolik, Iman orang percaya.
Sbmnya terima kasih buat Romo/ Tim Katolisitas.org.
Syalom,
The Believer
Shalom The Believer,
Terima kasih atas pertanyaan anda. Dalam hal ini kita perlu membedakan apa yang datang dari kita dan apa yang datang dari Allah. Karena menjadi kodrat Allah bahwa Dia adalah benar, baik dan indah, maka semua hal yang bertentangan dengan hal ini adalah bukan dari Allah. Namun hal tersebut harus dihubungkan dengan tujuan akhir. Dengan kata lain, semua hal yang baik, benar dan indah yang menuntun manusia ke Sorga adalah dari Allah. Sedangkan semua hal yang menghalangi manusia menuju ke Sorga bukanlah dari Allah, melainkan dari diri sendiri atau dari setan. Prinsip yang lain juga harus kita pegang, bahwa semua hal yang terjadi adalah atas seizin Allah.
Dengan dua prinsip tersebut, maka Tuhan dapat saja mengizinkan suatu kejahatan (evil) terjadi dalam kehidupan kita, baik jasmani maupun rohani. Namun, Tuhan tidak pernah menginginkan kejahatan rohani (dosa) terjadi pada manusia, karena dosa dapat membawa manusia pada penderitaan abadi, yaitu neraka. Di satu sisi, Tuhan senantiasa dapat mendatangkan kebaikan dari sesuatu yang terlihat tidak baik. Sebagai contoh, dosa Adam memberikan Sang Penebus kepada dunia. Kejahatan atau penderitaan jasmani bukanlah dosa dan tidak menjauhkan kita dari tujuan akhir.
Kalau ada orang yang berbuat sesuatu yang menyakitkan hati kita, maka sudah selayaknya kita mengampuni mereka, sesuai dengan pengajaran Kristus dalam doa Bapa Kami. Kita mempercayakan penghakiman pada Tuhan, karena penghakiman adalah milik Tuhan (lih. Ul 32:35; Rom 12:19; Ibr 10:30) Kejahatan seseorang dapat dihukum oleh Tuhan di dunia ini atau pada saat pengadilan khusus maupun pengadilan umum.
Kita mempunyai kesempatan untuk lepas dari neraka selama kita masih berada di dunia ini. Orang yang meninggal dalam kondisi dosa berat dan tidak bertobat sampai akhir hidupnya tidak dapat diselamatkan. Dengan demikian, Tuhan senantiasa membuka pintu pertobatan kepada umatnya, walaupun pada detik-detik terakhir hidupnya, seperti yang dialami oleh penjahat yang bertobat yang disalibkan bersama Yesus. Dosa yang tidak dapat diampuni adalah dosa menghujat Roh Kudus, yang penjelasannya dapat dilihat di sini – silakan klik. Namun, tidak berarti seseorang harus menunggu akhir hidupnya untuk bertobat, karena ada kemungkinan bahwa orang ini tidak mengalami pertobatan sebelum dia meninggal, seperti kematian mendadak. Jadi, mari kita mulai pertobatan dari sekarang. Masa Adven ini adalah saat yang tepat untuk mengaku dosa. Kita bersama-sama berjuang dalam kekudusan, karena kekudusan adalah suatu proses yang harus kita lakukan terus-menerus dengan terus bekerjasama dengan rahmat Allah.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Shalom Pak Stef / Romo sekalian,
Terima kasih atas balasannya pak…
Wah saya mgkin ke neraka y, soalny sy pernah bbrpa kali mlakukan “kejahatan rohani” 3 tahun yg lalu, tapi sy sudah bertobat sungguh2 dgn berdoa Devosi Kerahiman Ilahi disertai puasa & pantang slma sebulan lebih yg mnrut sy lebih ekstrim dri yg dilakukan kpercayaan tetangga; ttpi masalahny s.d saat ini sy belum pernah mengaku dosa lgsg kpd Romo sejak SMP/SMA, Apakah dosa sy bisa terampuni wlaupun bukan mengaku dosa kpd Romo ?
Sy sangat menderita saat ini, 2 tahun belakangan ini sy mendapat banyak “ujian” bukan hanya dari rekan kerja/ masyarakat tapi juga dari keluarga saya. Yg terbaik & yg diminta sudah saya berikan (pdhal itu dari seluruh keterbatasan, kekurangan dan sekalipun sy pun sgt mmbutuhkan juga) bagi keluarga saya, tapi apa yg sudah sy berikan itu menguap & sy didustai demi kepentingan mereka, malah apa yg sya beri harus sy tanggung sbgai hutang 3 tahun ke depan tanpa ada hasil apa2. Setiap weekend sy pulang k rumah, yg ada hanya kebencian sy kpd mereka. Sy pun melakukan kebaikan pd rekan kerja saya, sklipun mereka terus2 menerus “meneror” saya. Saya datang dari keluarga kurang mampu, tapi semua rekan kerja saya menganggap latar belakang saya sama dgn mereka yg sudah settle. Mereka semua non-Katolik, yg lebih parah lagi malah ada tetangga d rumah yg Katolik rajin masuk gereja ttpi justru menjatuhkan/ menyakiti & seakan mengusir keluarga saya.
Saya merasa sangat sendiri di dunia ini. Beberapa bulan yg lalu sy sering berpikir & sdh berencana utk mengakhiri saja perjuangan hidup ini.
Sy sempat membuat Devosi Kerahiman Ilahi sklipun smntra bekerja tp ttp diusahakan tepat pd pukul 03.00 slma 9 hari penuh, namun akhirnya tak lama kemudian kembali lagi trsiksa. Mengulang lagi berdoa Rosario di bulan oktober terakhir sendirian, hanya 1 minggu saja kmudian sy menderita lagi.
Hikzzz, terharu sy mmbca tulisan bapak…. Sy bingung apkah yg terjadi pd saya adalah karena hukuman dosa sy sblmnya ATAU Tuhan ingin menguji sejauh mana percayanya saya kpd Dia ATAUKAH ingin memberikan pelajaran/ pengalaman hidup yg mmg direncanakan/ diarahkan utk menuju apa yg saya cita2kan/ kebaikan yg sblmny pun sy tidak tau ?
Apakah dgn stlh melakukan pertobatan, dijamin kita tidak akan dihukum oleh Tuhan ?
Oh Tuhan, sy tidak pernah berbuat kejahatan kpd orang lain, sy tidak pernah berbicara menyakiti perasaan orang lain, tapi kenapa ini semua yg harus sy hadapi ? Jujur, sy tidak pernah mengharapkan pamrih dari mereka yg saya bantu, yg sy inginkan mereka bersikap biasa2 sj kpd saya. Apkah mmg Tuhan sudah memberikan “evil” itu ijin utk merusak saya ?
Kalau anak terlahir cacat, dosa apa yg sdh d perbuat anak itu ? Kalau ada anak balita yg menghadapi kondisi kemelaratan ekonomi keluarganya dan harus hidup menderita d masa kecil s.d dewasanya, itu akibat dari dosa apa juga ya yg sudah diperbuat balita tsb ?
Apakah itu adalah sebuah rancangan yg baik utk anak itu ?
Apakah ada yg tau nama2 tokoh yg telah memberi harta/pengabdiannya kpd orang lain dari seluruh keterbatasan/kekurangan (kemiskinan) yg dia punya dan dgn pemberian itu DIA HARUS HIDUP MENDERITA & DIHINA namun tetap saja dihadapinya dgn tulus tanpa bersungut2 (tentu saja selain Tuhan Yesus/ Bunda Maria/ Janda yg mmberi derma/ para martir) ?? (kalau boleh dgn cerita singkatnya).
Banyak orang melakukan kebaikan setelah hidupnya terjamin/ min. berjalan seimbang saja.
Sebenarnya apa yg sy rencanakan & dicita2kan sdh akan tercapai (itupun dgn permohonan semoga Tuhan memberkati rencana sy itu), namun trnyata masih begitu berat bagi saya melewati hari2 ini.
Saya merasa 2 tahun ini sperti 20 tahun penantian.
Hati sya sudah membatu bagi semua orang di sekitar sy. Apalahi kpd orang tua laki2 yg masih mnyembah dewa2 konghucu, dan selalu bertindak kasar dalam keluarga.
Saya mohon maaf sblmnya bila forum ini mjd t4 curhat saya (karena sudah tdk ada sesuatu pun lagi di dunia ini yg bisa menerima saya). Sesuai nick yg d pakai, sy akan segera percaya bila yg dijelaskan bnyak berdasarkan pd bukti dari tradisi tertulis gereja. Mohon bantuannya.
Oh God, jngan pernah lepaskan genggamanMu dari pikiranku lagi. Apa salahku padaMu sebenarnya ?
Skali lagi Thnx buat tim Katolisitas.org yg sudah mau membimbing sy.
Mohon maaf bila ada salah2 kata dari saya.
Warm Regards,
The Believer
Shalom The Believer,
Kitab Suci mengatakan bahwa hanya ada satu dosa yang tidak dapat diampuni, yaitu dosa menghujat Roh Kudus. Tentang hal ini sudah pernah diulas di sini, silakan klik
Maka, jika Anda sudah sungguh bertobat atas dosa-dosa yang pernah Anda lakukan di masa lalu, maka nampaknya Anda tidak termasuk dalam golongan mereka yang tidak terampuni; hanya saja jika Anda Katolik, maka pertobatan yang tulus itu mestinya dinyatakan dengan Anda mengaku dosa dalam sakramen Pengakuan Dosa, dan di sanalah Anda akan menerima rahmat pengampunan Tuhan. Tentang mengapa kita perlu mengaku dosa di hadapan imam, silakan membaca di artikel Masih Perlukah Pengakuan Dosa, bagian 2, silakan klik; dan bagian 3, silakan klik. Sedangkan untuk pemeriksaan batin sebelum Pengakuan dosa, klik di sini.
Membaca sekilas tulisan Anda nampaknya Anda mempunyai luka batin yang cukup dalam, sehingga mungkin ada baiknya jika Anda mengikuti retret luka batin. Atau jika Anda belum pernah mengikuti reret, ikutilah retret Awal terlebih dahulu. Silakan klik di sini untuk mengetahui jadwal retret di Lembah Karmel (Rm. Yohanes Indrakusuma O Carm) di Cikanyere, Puncak.
Penderitaan/ pergumulan/ pencobaan yang kita alami di dunia ini memang dapat merupakan akibat dari keputusan atau kesalahan kita sendiri; namun juga dapat datang dari luar diri kita. Dalam doa Bapa Kami, kita memohon agar Tuhan menjauhkan kita dari segala cobaan, namun adakalanya Tuhan mengizinkan cobaan terjadi dalam kehidupan kita. Jika demikian, janganlah kita menganggapnya sebagai hukuman, tetapi sebagai ujian untuk memurnikan iman dan kasih kita kepada Tuhan. Tentang topik Mengapa Tuhan membiarkan penderitaan, silakan klik di sini.
Maka, mari melihat kehidupan ini secara lebih positif. Yaitu jika kita sungguh mengasihi Tuhan, maka kita percaya bahwa segala sesuatu, bahkan keadaan yang terburuk sekalipun, dapat mendatangkan kebaikan bagi kita (lih. Rom 8:28) walau mungkin kita harus bersabar untuk menerima penggenapan janji itu. Allah kadang mengizinkan kita mengalami ujian hidup, agar kita bertumbuh di dalam iman, sebagaimana dialami oleh Hany, yang kesaksiannya dapat dibaca di sini, silakan klik.
Mengenai contoh kisah orang kudus yang tetap bertahan dalam ujian hidup, dihina dan dicemooh orang setelah memberikan segala- galanya untuk Tuhan dan sesama, itu banyak dicatat dalam riwayat para Santo/Santa. Sebagai contohnya adalah St. Fransiskus Asisi yang berasal dari keluarga terpandang, namun ia meninggalkan segala- galanya untuk mengabdikan hidup kepada Tuhan dan sesama. Ia dicemooh orang karena hidup dalam kemiskinan. Namun ia tetap bertahan, dan bahkan dicatat bahwa St. Fransiskus adalah seorang yang sangat bahagia dalam menjalani cara hidup yang dipilihnya. Ia dapat bersyukur dalam segala hal, menganggap segala ciptaan sebagai saudaranya, bahkan terhadap hewan dan alam sekitarnya. Demikian juga dengan Mother Teresa. Ia meninggalkan tanah kelahirannya, kaum kerabatnya dan segalanya demi melayani Tuhan Yesus yang hadir di dalam kaum yang termiskin dan papa di Kalkuta. Ia bertahan dan tetap setia meski tak sedikit orang yang mencibirnya, oleh karena kemiskinan dan kesederhanaannya. Silakan Anda membaca riwayat hidup orang kudus seperti yang ada di situs Yesaya, silakan klik, dan temukanlah bahwa ada banyak kisah orang kudus yang memberi inspirasi.
Akhirnya, jika boleh saya menyarankan, mohonlah rahmat Tuhan, agar Anda diberikan kerendahan hati dan kekuatan untuk dengan tulus mengakui dosa dan kesalahan Anda di masa lalu dalam sakramen Pengakuan Dosa; agar Anda dapat memperoleh rahmat kesembuhan rohani. Semoga dengan rahmat Allah itu, Anda dimampukan untuk melihat kehidupan dengan lebih positif. Dengan demikian walau keadaannya mungkin sama, namun Anda mampu menghadapinya secara berbeda, yaitu dengan kekuatan yang dari Allah. Dan inilah yang mengubah Anda dalam menyikapi kehidupan ini dan melihat hidup ini sebagai anugerah yang indah sebab Anda menjalaninya bersama Tuhan; dan karena Anda telah sungguh meninggalkan dosa dan kehidupan Anda yang lama, untuk hidup baru bersama Kristus (lih Rom 6:11).
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Buat Mas Aris dan teman2 katolisitas.
memang bahasan anda sangat menarik. Saya yang membaca buku Spiritualitas tanpa Tuhan oleh Andree Comtee filsuf modern Perancis yang dulunya Katolik, beliau mencoba menampilkan 2 alternative yang populer sekarang ini :
a. menjadi atheis, (tidak ke gereja, tidak berdoa / beribadah) dsb tetapi bertekad akan hidup dengan moral dasar Kristiani (KASIH), ini menurut AC telah sangat populer di dunia barat yang semula Kristen / Katolik.
b. menjadi agamis (ke gereja, beribadah dsb) akan tetapi hidupnya tetap saja sesak dengan dunia modern : menjadi manusia pintar, berkuasa, kaya raya .
Nah kira2nya yang lebih sesuai dengan kehendak Tuhan yang mana ?? Mungkin kita merenung sendiri dan mencari jawabnya sendiri.
Dalam buku AC tsb seorang biarawan Katolik yang mendengarkan uraian AC lebih senang dengan item a karena melihat item b tidak mempunyai harapan, sedangkan item a mungkin akan membawa kembali si atheis menjadi manusia yang mempunyai kasih, sesuai dengan kehendak Tuhan. Apakah benar?
paulus
Shalom Paulus,
Terima kasih atas tanggapan anda. Yang menjadi masalah dari dua kesimpulan tersebut adalah disajikan dengan tidak adil dan berdasarkan premis yang salah atau minimal perlu diuji kebenarannya. Kalau benar dia menyajikan dua hal tersebut, maka seharusnya akan lebih fair, kalau dia memberikan dua alternatif: (1) menjadi ateis yang penuh kasih, atau (2) menjadi pemeluk agama yang penuh kasih. Dengan demikian, dia dapat membandingkan apel dengan apel. Jadi, dia dapat mencari ateis yang dapat mencapai tingkatan kasih seperti Bunda Teresa dan memberikan argumentasi yang lebih baik. Saya tidak membahas dua kesimpulan tersebut sebelum kita membahas premis yang digunakan dalam dua kesimpulan tersebut. Semoga dapat diterima.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Salam sejahtera Katolisitas
Saya terlahir sebagai Katolik tetapi di saat saya SD saya beragama Islam dan setelah kelas 6 SD ada Suster yang membawa saya lagi ke Katolik. Saya baptis bayi dan sekarang saya masih Katolik dan menikah juga dengan istri Katolik. Iman saya kepada Yesus selalu naik turun kadang saya percaya kepada Yesus sebagai Tuhan dan kadang saya meragukannya.
Ada teman saya Muslim dia orang Lebanon dan berdiskusi dengan saya, dia bilang ke saya jika Yesus berkorban untuk menebus dosa manusia, kamu gak perlu minta pengampunan dan sudah tidak berdosa, dan itu doesnt make it sense, kadang saya berpikir juga kalau kita benar juga kata dia, kalau kita berdosa kita mohon ampun saja ke Tuhan langsung. Di dalam Islam diajarkan agama Tauhid dan sangat simple hanya ada satu Tuhan yaitu Allah yang maha segalanya dan Yesus diakui sebagai nabi. Doktrin Trinitas bagi saya agak susah diterima ditambah lagi dengan Devosi kepada Bunda Maria. Tapi saya percaya akan berkat2 yang Tuhan Yesus berikan.
Mohon pencerahannya agar iman saya dikuatkan dan benar2 percaya Yesus adalah Tuhan.
Terima Kasih
Salam
Toni
Shalom Toni,
Terima kasih atas pertanyannya tentang iman Katolik. Anda dibaptis bayi, kemudian menjadi Muslim dan kemudian berbalik lagi ke Katolik, dan sekarang anda ragu-ragu terhadap iman Katolik. Usul saya adalah silakan menggunakan kesempatan ini untuk benar-benar mempelajari iman Katolik, sehingga anda tidak meragukannya lagi. Kita tidak perlu takut untuk mempertanyakan kebenaran iman kita.
Ada banyak orang yang salah paham dengan apa yang sebenarnya diajarkan oleh Gereja Katolik, salah satunya tentang Kristologi. Menjawab pernyataan teman anda, maka secara prinsip memang Yesus datang ke dunia untuk menebus dosa manusia. Namun, Gereja Katolik tidak pernah mengatakan bahwa setelah kita beriman kepada Yesus, maka kita pasti diselamatkan. Gereja Katolik mengajarkan bahwa kita diselamatkan karena baptisan , yang berarti mensyaratkan iman (bagi yang dibaptis dewasa) dan mensyaratkan rahmat yang mengalir dari penebusan Kristus. Rahmat baptisan ini memberikan tanda di dalam jiwa seseorang untuk menjadi anak Allah, yang berarti dapat berbahagia bersama dengan Allah di dalam Kerajaan Sorga. Namun, sama seperti ada anak raja ada yang bertindak bukan sebagai anak raja, maka ada sebagian orang yang dibaptis dan telah menerima tanda sebagai anak Allah, namun juga tidak mencerminkan tindakan sebagai anak Allah. Orang-orang seperti ini adalah seperti orang-orang yang telah dibaptis namun tidak setia terhadap perintah Allah dan tidak bertumbuh dalam kasih, sehingga tidak dapat diselamatkan. Dengan demikian, keselamatan adalah suatu proses, sehingga orang yang berdosa memang harus minta ampun kepada Tuhan, karena walaupun Tuhan telah mengirimkan Putera-Nya, namun manusia terus berbuat dosa. Walaupun semua dosa – dosa asal dan dosa pribadi sampai waktu baptisan – telah dihapuskan pada waktu pembaptisan, namun manusia harus tetap minta ampun kepada Tuhan, karena setelah dibaptis manusia masih berbuat dosa.
Dalam mencari kebenaran, maka yang terpenting bukanlah mencari yang mudah. Baik mudah atau sulit harus kita cari, karena kebenaran itu akan membebaskan kita. Oleh karena itu, saya menyarankan agar anda dapat membaca beberapa artikel tentang kristologi di sini – silakan klik, tentang Maria di sini – silakan klik, dan tentang Trinitas di sini – silakan klik. Kalau setelah membaca beberapa artikel ini dan anda masih mempunyai pertanyaan, silakan untuk bertanya kembali. Semoga dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Yth. Bp. Stef
Sehubungan dengan topik di atas, saya ingin bertanya mengenai beberapa hal tentang gerakan Yansenisme yang ditentang keras oleh Gereja Katolik pada abad XVIII, terutama di Prancis:
1. Apa sih isi ajaran mereka (karena saya hanya mengetahuinya sekilas)?
2. Mengapa Gereja begitu menentangnya dengan keras?
3. Mengapa Gereja pada zaman dahulu begitu keras dalam menganggapi berbagai gerakan, bahkan sampai-sampai terjadi pemusnahan secara fisik, memangnya kita boleh “membunuh” dengan alasan demikian?
Maaf jika pertanyaan saya terlalu banyak…tapi saya benar-benar bingung…
Terima kasih…
[dari katolisitas: Anda dapat mencari di fasilitas pencarian di pojok kanan atas, dan memasukkan kata “Jansenisme”. Dan kemudian anda akan mendapatkan link ini- silakan klik]
Salam damai Kristus, Pak Stef. Saya hanya ingin tahu siapa sebenarnya Hj.Irena Handono yang berkotbah dalam u-tube yang saya lihat dalam Iman Katolik Site. Apakah benar dakwaan beliau berkenaan kegiatan gereja di sekitar Jakarta itu benar. Tolong jelaskan jika Pak Stef rasanya tidak keberatan. Terima kasih.
Shalom Nikso,
Terima kasih atas pertanyaannya. Beliau mengaku bahwa dia adalah mantan biarawati dan pernah belajar teologi. Sampai seberapa kebenarannya, bukanlah pekerjaan kita untuk membuktikannya. Yang kita tidak tahu, apakah sebelum beliau pindah, dia telah benar-benar mengkaji iman yang dipercayainya, dalam hal ini iman Gereja Katolik. Kalau saya dengar sekilas, maka pembahasan oleh professornya di fakultas teologi tentang Trinitas dan kristologi yang begitu lemah dan dipandang tanpa dasar membuat dia pindah ke agama lain. Namun, saya sendiri tidak habis pikir, dalam sekolah teologi seorang professor atau teolog menerangkan Trinitas dengan menggambar segitiga.Keterangan tentang Trinitas yang digambarkan segitiga adalah seperti menerangkan kepada anak-anak sekolah Minggu dan tidak mungkin menjadi fokus penjelasan dalam sekolah tinggi teologi. Ditambah lagi, dia mengatakan bahwa Legio Maria bertujuan untuk membawa domba-domba yang sesat, yaitu kaum non-Katolik. Namun, hal ini kurang tepat, karena Legio Maria lebih berfokus pada doa, mengunjungi orang sakit, membantu tugas-tugas paroki, dan juga berjuang dalam kekudusan. Bahwa ada orang yang tertarik karena melihat cara hidup mereka, maka itu adalah buah dari karya kerasulan mereka. Anda dapat melihat keterangan tentang Legio Mariae di sini – silakan klik, atau ini – silakan klik. Tentang kegiatan-kegiatan Gereja Katolik seperti yang diklaim oleh beliau, saya tidak tahu di daerah mana dan di paroki mana. Setahu saya, evangelisasi yang dilakukan oleh Gereja Katolik dengan non-Katolik sungguh berbeda. Mungkin beliau menggabungkan semua Kristen, dan tidak memandang dari Katolik maupun non-Katolik.
Akhirnya, kita tidak perlu memperpanjang masalah tentang kesaksian beliau. Ada juga yang benar-benar pastor maupun suster yang pindah dari Gereja Katolik. Pertanyaannya sama: Mengapa mereka pindah? dan apakah mereka telah benar-benar mengkaji iman Katolik yang sebelumnya mereka percayai? Apakah mereka benar-benar menempatkan kebenaran di atas kepentingan pribadi? Usaha apakah yang mereka lakukan untuk benar-benar mengerti akan kebenaran iman Katolik? Hanya Tuhan yang tahu persis motif mereka. Dan biarlah kita serahkan pada keadilan Tuhan. Di satu sisi, menjadi tugas kita untuk benar-benar mencoba mengetahui dan mengasihi iman Katolik, sehingga dalam kapasitas kita masing-masing, kita dapat juga mempertanggungjawabkan iman kita.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
salam sejahtera,
mau bertanya :
Tuntutan, perintah, atau himbauan atau hendaknyalah… sempurna, kudus, tidak bercela, murah hati.
seperti dalam
Matius
5:48 “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.”
Imamat
19:2 “Berbicaralah kepada segenap jemaah Israel dan katakan kepada mereka: Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, kudus.
11:44 Sebab Akulah TUHAN, Allahmu, maka haruslah kamu menguduskan dirimu dan haruslah kamu kudus, sebab Aku ini kudus, dan janganlah kamu menajiskan dirimu dengan setiap binatang yang mengeriap dan merayap di atas bumi.
11:45 Sebab Akulah TUHAN yang telah menuntun kamu keluar dari tanah Mesir, supaya menjadi Allahmu; jadilah kudus, sebab Aku ini kudus.
Ulangan
14:21 Janganlah kamu memakan bangkai apapun, tetapi boleh kauberikan kepada pendatang yang di dalam tempatmu untuk dimakan, atau boleh kaujual kepada orang asing; sebab engkaulah umat yang kudus bagi TUHAN, Allahmu. Janganlah kaumasak anak kambing dalam air susu induknya.”
18:13 Haruslah engkau hidup dengan tidak bercela di hadapan TUHAN, Allahmu.
1 Petrus
1:16 sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.
Lukas
6:36 Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati.”
apakah itu dapat dicapai?
karena yang sempurna, kudus, tidak bercela, murah hati, baik hati, itu ALLAH.
tetapi kalau tidak dapat dicapai, mengapa ada Tuntutan, perintah, atau himbauan atau hendaknyalah… sempurna, kudus, tidak bercela, murah hati.
apakah karena manusia itu dicipta segambar dan secitra ALLAH, maka Tuntutan, perintah, atau himbauan atau hendaknyalah… sempurna, kudus, tidak bercela, murah hati.tersebut tidaklah berlebihan.
mohon pencerahan seperti halnya si buta yang dimelekkan oleh YESUS hari ini.
terima kasih.
salam bahagia damai sejahtera.
hendro.
03.04.2011.
Shalom Hendro,
Jika kita membaca Kitab Suci dengan seksama, maka kita akan mengetahui bahwa pada saat mengajarkan kepada manusia tentang kekudusan, Allah menggunakan kata “harus” dan bukan “hendaknya”. Artinya, Tuhan memerintahkan kepada kita untuk hidup kudus. Tentu ini perjuangan, dan kita tidak dapat hanya mengandalkan diri sendiri untuk menjadi kudus. Kita membutuhkan rahmat Tuhan yang menguduskan. Itulah sebabnya kita perlu menerima rahmat Tuhan, yang secara khusus kita terima melalui sakramen- sakramen dimulai dari sakramen Baptis. Nah, sesudah menerima rahmat Allah dalam sakramen- sakramen itu, kita harus berjuang untuk hidup kudus, yaitu dengan menaati perintah- perintah Tuhan, menghindari dosa, dan berakar dalam doa dan firman Tuhan. Jika kita terus bertekun melaksanakan hal ini, maka kita akan bertumbuh dalam kekudusan.
Jadi kekudusan yang nampaknya begitu ‘jauh’ itu sesungguhnya merupakan proses, dan kita dapat memulainya sejak saat ini, saat kita masih hidup di dunia. Apakah akhirnya dapat terwujud? Gereja Katolik mengajarkan, ya dapat, contohnya yang jelas terlihat adalah pada orang- orang kudus (Santa- Santo), seperti pernah dibahas di sini, silakan klik. Namun demikian, ada kemungkinan bagi orang- orang lain yang juga hidup kudus, walau tidak melewati proses beatifikasi tersebut. Nah, kita semua dipanggil untuk hidup kudus, dan inilah salah satu pesan yang terpenting yang diserukan oleh Konsili Vatikan II, Lumen Gentium bab V.
Jika anda tertarik tentang topik kekudusan ini, silakan membaca beberapa artikel berikut, silakan klik di judul- judul ini:
Apa itu kekudusan?
Semua orang dipanggil untuk hidup kudus
Refleksi praktis tentang kekudusan
Kerendahan hati, dasar dan jalan menuju kekudusan
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Terima kasih banyak
salam sejahtera & penuh rasa syukur.
Shalom katolisitas.org,
Saya ingin bertanya mengenai keselamatan:
Ada statement berikut, dimana saya ragu dan merasa ada kejanggalan, dan mohon tanggapannya. Terima kasih.
Keselamatan disebabkan oleh kepercayaan yang sejati yang bekerja sama dengan anugerah Allah. Orang yang sudah benar-benar percaya, bila suatu saat jatuh ke dalam dosa, pasti Allah akan menyadarkan dan “memukul” orang itu, sehingga pasti kembali ke jalan yang benar. Bila tidak, maka dapat dipertanyakan apakah orang itu benar-benar percaya atau tidak. Dengan itu, maka dapat disimpulkan bahwa orang yang benar-benar percaya (sejati) pasti diselamatkan
Hal ini didukung oleh pengertian yang demikian. Bila seseorang dibaptis (dalam hal ini percaya dan menerima Kristus dengan sungguh-sungguh) ia akan menerima karunia Roh Kudus (bdk. Kis 2:38). Dan karunia tersebut tidak dapat diambil oleh kuasa manapun (mohon maaf, saya lupa letak ayatnya, mungkin anda sekalian lebih mengerti dimana letak ayat yang memiliki inti seperti itu). Maka, saya orang percaya (sungguh-sungguh) itu jatuh ke dalam dosa, Roh Kudus tidak akan tinggal diam dan pasti menyadarkan orang itu kembali ke jalan Allah.
Kesimpulannya, orang yang sungguh-sungguh percaya tidak munkin 180 derajat berbalik dari hadapan Allah, karena selalu akan disadarkan, maka ia pasti diselamatkan. Bila ia tidak kembali ke jalan Allah, maka dipertanyakan kepercayaannya itu.
Pertanyaannya:
1) Bagaimana menanggapi dan menjelaskan statement ini?
2) Pertanyaan kepada pemahaman di atas, apakah seseorang dapat mengetahui sendiri apakah ia sendiri memiliki iman/kepercayaan yang sejati atau tidak? Atau hanya Allah yang tahu?
*Bila memungkinkan, mohon diberikan pula dasar-dasar Alkitabnya, tentu bila tidak merepotkan.
Terima kasih atas semua jawaban yang anda berikan.
Semoga Tuhan memberkati karya kerasulan anda selalu.
Shalom Yohanes,
Pertama- tama, kita memang harus menerima, bahwa apakah seseorang pasti dapat diselamatkan, pada akhirnya merupakan keputusan Tuhan. Yang dapat kita ketahui adalah apa yang menjadi syarat- syaratnya, seperti yang telah dinyatakan oleh Tuhan di dalam Sabda-Nya. Namun sejauh mana tiap- tiap pribadi memenuhi ketentuan itu, sesungguhnya hanya Tuhan yang dapat mengetahuinya, dan pengetahuan Allah ini nampaknya akan tetap merupakan misteri bagi kita manusia.
Maka terhadap pernyataan anda yang mengatakan, “orang yang benar-benar percaya (sejati) pasti diselamatkan“, saya ingin bertanya, menurut anda, apakah definisi ”orang benar- benar percaya yang sejati” itu? Sebab jika yang dimaksudkan adalah orang yang percaya, dan yang setia melaksanakan semua perintah Tuhan sampai akhir hidupnya, maka benar, orang yang demikian ini pasti diselamatkan oleh Tuhan. Namun jika ‘orang yang benar- benar percaya sejati’ didefinisikan hanya sebagai orang yang sudah dibaptis, menerima Kristus dan karunia Roh Kudus, tapi tanpa dilanjutkan dengan ketahanan iman untuk melaksanakan perintah- perintah Tuhan, maka sesungguhnya orang yang demikian ini belum tentu dapat diselamatkan.
Jadi agaknya, tergantung dari definisi yang dipakai sebagai acuan. Sebab memang benar, tak ada kuasa yang dapat menghapus meterai di jiwa yang Tuhan berikan kepada kita orang percaya melalui Pembaptisan, namun meterai ini harus dijaga sampai akhir hidup kita agar kita dapat diselamatkan.
Dengan demikian, memang meterai di jiwa ini tidak mungkin terhapuskan (lih KGK 1272, 1280), namun meterai ini harus dipertahankan sampai akhir, dengan menjauhkan diri dari dosa berat. Sebab dosa berat dapat memisahkan seseorang dari Tuhan, sehingga ia tidak dapat masuk ke dalam kehidupan yang kekal bersama Tuhan. Untuk hal ini Katekismus mengajarkan:
Terus terang saja, adalah suatu anggapan yang terlalu tergesa- gesa, jika mengatakan bahwa seseorang yang sudah percaya tidak mungkin lagi melakukan dosa. Mengapa? Rasul Yohanes mengatakan, “Jika kita berkata bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita. Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia [Tuhan] adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.” (1 Yoh 1:8-9). Rasul Paulus juga mengajarkan agar kita tidak tergesa- gesa menganggap bahwa diri kita pasti tidak mungkin ‘jatuh’ ke dalam dosa. Kita harus dengan berjaga- jaga, dengan takut dan gentar terus memperjuangkan keselamatan itu. Rasul Paulus mengatakan:
Dengan demikian, kita melihat, bahwa Rasul Paulus sendiri mengajarkan agar sebagai umat beriman, kita hidup memperjuangkan kekudusan sampai akhir hidup kita, dan tidak boleh hanya menganggap diri sudah “percaya sejati” hanya dengan menerima Baptisan. Kita harus terus memperjuangkannya, agar dapat dikatakan sebagai seseorang yang “percaya sejati”. Rasul Paulus sendiri berusaha mengandalikan tubuhnya untuk hidup kudus agar jangan ia sendiri ditolak oleh Tuhan, setelah ia menjadi percaya dan memberitakan Injil. Maka fokusnya di sini adalah bukan bahwa “saya pasti selamat”, tetapi “bagaimana agar saya bisa tetap setia beriman sampai akhir (sehingga layak disebut sebagai orang percaya sejati), agar dapat selamat.”
Jadi “percaya yang sejati” itu, selain diperoleh karena kasih karunia Tuhan, melibatkan juga perbuatan kasih yang menjadi bukti dari iman yang hidup yang harus dipertahankan sampai akhir hidup kita. Berikut ini adalah ayat- ayat lain yang mendukung: lih. Rom 2:4-8; Mat 7:21-23; Mat 19:16-17; Mat 24:13; Mat 25:34-36; Luk 6:27-36, 46-49; Ef 2:8-10; Gal 5:6; Yak 1:22-25, 2:14-26; 2 Pet 2:20-21; 1 Yoh 3:7; 5:3.
Demikianlah, Yohanes, tanggapan saya, semoga berguna.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom katolisitas.org,
Terima kasih atas jawabannya yang begitu baik. Namun masih ada sedikit pertanyaan bagi saya. Sebelum itu, yang saya maksudkan dengan “orang yang percaya dengan sejati” itu adalah orang yang benar-benar percaya, bukan hanya sekedar dari mulut saja, atau hanya sekedar dibaptis, namun secara sungguh-sungguh.
Nah, kemudian, bila materai itu tidak bisa hilang, mengapa harus dipertahankan? Apa yang akan terjadi dengan meterai itu bila kita berdosa berat?
Apakah sebenarnya definisi dari meterai itu? KGK 1274 mengatakan bahwa Meterai Tuhan adalah “meterai yang dengannya Roh Kudus telah memeteraikan kita ‘untuk hari penyelamatan'”, namun apakah pengertian dari “meterai” itu sendiri?
Kemudian, yang ketika anda mengatakan “Terus terang saja, adalah suatu anggapan yang terlalu tergesa- gesa, jika mengatakan bahwa seseorang yang sudah percaya tidak mungkin lagi melakukan dosa”, yang saya maksud adalah apakah orang yang benar-benar percaya, tidak mungkin 180 derajat berbalik dari Allah (bukan berarti tidak mungkin berdosa; mungkin, namun tidak sampai menolak Allah)?
Dan pada akhirnya, kesimpulannya adalah seseorang tidak dapat mengetahui apakah dirinya benar-benar percaya (sejati) atau tidak, hanya Tuhan yang tahu. Betulkah pengertian ini? Dari manakah dasar pengertian ini?
Terima kasih atas semua jawabannya.
Semoga Tuhan memberkati karya kerasulan anda.
Shalom Yohanes,
Meterai di jiwa yang diberikan oleh Tuhan sewaktu Baptisan memang sifatnya tetap, artinya tidak terhapuskan. Meterai itu menjadi ‘tanda’ bahwa kita adalah milik Allah. Namun bukan berarti meterai di jiwa itu adalah jaminan kita pasti masuk surga. Tanda itu ada, supaya jika sekalipun kita berdosa berat melawan Allah, namun lalu kita bertobat, kita masih tetap mempunyai status ‘anak’ Allah. Analoginya adalah kisah perumpamaan Anak yang hilang. Walaupun anak yang bungsu itu telah berdosa berat, namun setelah ia bertobat dan kembali pulang ke rumah bapa, ia tetap dianggap anak, bukan sebagai hamba; dan ia tidak perlu dinobatkan lagi sebagai anak (karena selamanya ia tetap anak sang bapa). Seandainya saja, sekali lagi seandainya, ia tidak pulang, maka ia memang tetap anak sang bapa, tetapi ia memilih jalannya sendiri menuju kehancuran; dan inilah analogi dari seseorang yang sudah dibaptis, namun jatuh dalam dosa berat, dan tidak bertobat sampai akhir hidupnya, sehingga ia memilih sendiri neraka sebagai tujuan akhirnya.
Mari kita lihat kembali keseluruhan teks KGK 1272 dan 1274 yang menerangkan tentang hal itu, dalam kaitannya dengan KGK 1861:
KGK 1272 Orang yang dibaptis menjadi serupa dengan Kristus, karena melalui Pembaptisan ia digabungkan bersama Kristus (Bdk. Rm 8:29). Pembaptisan menandai warga Kristen dengan satu meterai [character] rohani yang tidak dapat dihapuskan, satu tanda, bahwa ia termasuk bilangan Kristus. Tanda ini tidak dihapuskan oleh dosa mana pun, meskipun dosa menghalang-halangi Pembaptisan untuk menghasilkan buah keselamatan (Bdk. DS 1609-1619). Karena Pembaptisan diterimakan satu kali untuk selamanya, maka ia tidak dapat diulangi.
KGK 1274 Meterai Tuhan (“Dominicus character“: Agustinus, ep. 98,5) adalah meterai yang dengannya Roh Kudus telah memeteraikan kita “untuk hari penyelamatan” (Ef 4:30, Bdk. Ef 1:13-14; 2 Kor 1:21-22). “Pembaptisan adalah meterai kehidupan abadi” (Ireneus, dem. 3). Orang beriman, yang mempertahankan “meterai” sampai akhir, artinya setia kepada tuntutan yang diberikan bersama Pembaptisannya, dapat mati “ditandai dengan meterai iman” (MR, Doa Syukur Agung Romawi 97), dalam iman Pembaptisannya, dalam harapan akan memandang Allah yang membahagiakan – penyempurnaan iman – dan dalam harapan akan kebangkitan.
KGK 1861 Dosa berat, sama seperti kasih, adalah satu kemungkinan radikal yang dapat dipilih manusia dalam kebebasan penuh. Ia [dosa berat] mengakibatkan kehilangan kebajikan ilahi, kasih, dan rahmat pengudusan, artinya status rahmat. Kalau ia tidak diperbaiki lagi melalui penyesalan dan pengampunan ilahi, ia mengakibatkan pengucilan dari Kerajaan Kristus dan menyebabkan kematian abadi di dalam neraka karena kebebasan kita mempunyai kekuasaan untuk menjatuhkan keputusan yang definitif dan tidak dapat ditarik kembali. Tetapi meskipun kita dapat menilai bahwa satu perbuatan dari dirinya sendiri merupakan pelanggaran berat, namun kita harus menyerahkan penilaian mengenai manusia kepada keadilan dan kerahiman Allah.
Maka pertanyaan anda berikutnya: apakah jika orang benar- benar percaya tidak mungkin 180 derajat berbalik dari Allah? Nampaknya memang tidak dapat dijamin pasti bahwa seseorang yang benar- benar percaya tidak mungkin berdosa berat. Kita melihat hal ini pada contoh Rasul Yudas yang mengkhianati Tuhan Yesus, atau Rasul Petrus yang pernah menyangkal Yesus tiga kali, atau rasul- rasul lainnya yang meninggalkan Yesus saat Ia disalibkan. Walaupun mereka belum menerima Roh Kudus pada saat itu, tetapi mereka hidup dengan Tuhan Yesus sendiri, sepanjang hari selama tiga tahun, bersama dengan Dia dalam suka dan suka, mendengarkan pengajaran-Nya, makan, berbincang-bincang dan memandang Dia (yang merupakan kepenuhan Allah sendiri, Kol 2:9) dengan begitu dekat dan akrab, toh mereka masih dapat berdosa berat juga. Demikian kita dapat melihat dalam kehidupan sehari- hari, pemuka/ pemimpin umat yang sungguh beriman pada Tuhan Yesus dan hidupnya baik, dapat juga jatuh dalam dosa yang berat, entah itu perselingkuhan, perceraian, korupsi, kemarahan/ tidak mau mengampuni, dst. Kita tak perlu menunjuk siapa orangnya, karena kita sama- sama mengetahuinya, bahwa hal ini mungkin terjadi. Kita tidak dapat langsung menghakimi mereka bahwa dengan demikian berarti sebelumnya mereka sebenarnya tidak beriman dengan betul, dst, seolah kita ini lebih tahu isi hatinya daripada Tuhan. Itulah sebabnya Rasul Paulus mengingatkan kita, “Sebab itu siapa yang menyangka, bahwa ia teguh berdiri, hati- hatilah supaya ia jangan jatuh!” (1Kor 10:12).
Selanjutnya, tentang pertanyaan anda yang terakhir: apakah seseorang dapat mengetahui bahwa dirinya benar- benar percaya sejati atau tidak (artinya benar- benar melaksanakan semua perintah Tuhan)? Jawabnya adalah, jika pada saat ini (sekarang), memang kita dapat mengetahuinya, dengan jujur memeriksa diri sendiri, apakah kita bebas dari dosa berat, dan apakah kita sudah melaksanakan kasih sebagai buah yang tak terpisahkan dari iman. (Meskipun demikian, pengetahuan ini terbatas, karena bisa saja kita tidak menyadari bahwa ada hal- hal tertentu yang kita lakukan itu tidak sesuai dengan kehendak Tuhan). Namun yang lebih tidak bisa kita ketahui adalah untuk waktu- waktu berikutnya sampai kita wafat, apakah kita dapat terus mempertahankan iman kita ini. Hal ini hanya dapat diketahui oleh Tuhan. Kita dapat mempunyai kehendak yang kuat untuk tetap setia, dan mempunyai pengharapan yang besar untuk diselamatkan, tapi kita tidak dapat mengetahui dengan pasti, dijamin 100%, bahwa kita tidak mungkin jatuh dalam dosa berat. Itulah sebabnya, Rasul Paulus, orang yang sudah jelas- jelas kudus dan dekat dengan Tuhan Yesus, tetap mengajarkan agar kita berjuang untuk hidup kudus dengan sikap ‘takut dan gentar’ (yang artinya kita tidak boleh terlalu yakin bahwa kita sudah pasti selamat. Sebab, jika seseorang sudah ‘take it for granted‘ sudah pasti selamat, maka ia dapat menjadi terlalu cepat berpuas diri, tak rajin memeriksa kelemahan sendiri dan memperbaikinya, karena menganggap diri sudah kudus):
Saya mengundang anda untuk membaca lebih lanjut dalam artikel: Sekali selamat tetap selamat? silakan klik, jika anda tertarik untuk mengetahui prinsip ajaran Gereja Katolik tentang keselamatan ini.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Yth katolisitas.
Saya sering menemukan ungkapan sbb: “Lebih baik beriman tetapi tidak beragama daripada beragama tapi tidak beriman.” Biasanya ungkapan ini (dugaan saya) muncul sebagai reaksi atas kekerasan yg mengatasnamakan agama.
Bagaimana pandangan katolisitas ditinjau dari iman Katolik. Mungkinkan kita bisa beriman tanpa harus beragama?
Terima kasih. GBU
Shalom Ryan10,
Terima kasih atas pertanyaannya. Implikasi dari kalimat “Lebih baik beriman tetapi tidak beragama daripada beragama tapi tidak beriman.” adalah mensyaratkan bahwa iman dapat dipisahkan dari agama. Mau orang beragama maupun tidak beragama, kalau dia ingin beriman, maka dia harus mendefinisikan iman yang seperti apa. Dia dapat mendefinisikan sendiri dan mengimplementasikannya tanpa mengikuti agama tertentu, dengan konsekuensi apa yang dia definisikan adalah sesuai dengan kemampuan akal budi yang dapat salah dan sering bercampur dengan kepentingan diri sendiri. Dapat terjadi bahwa apa yang terlihat enak dan gampang serta dipandang masuk akal, dia jalankan dan sebaliknya kalau sesuatu yang tidak enak dan sulit menjadi tidak perlu dijalankan. Iman seperti ini bukanlah iman yang ilahi, namun iman manusia, karena yang menjadi dasar apa yang dia percayai adalah diri sendiri. Dan karena diri sendiri sering salah, maka imannya tersebut juga dapat salah.
Bahwa ada oknum-oknum agama yang tidak mencerminkan apa yang diajarkan oleh agama tersebut, bukanlah alasan untuk tidak mempunyai agama. Oknum-oknum ini harus dikaji, apakah mereka melakukan hal-hal tersebut karena tidak menjalankan apa yang diajarkan oleh agamanya atau agamanya mengajarkan hal demikian. Kita harus melihat cermin ideal dari suatu agama dari orang-orang yang sungguh menjalankan agamanya. Dalam hal agama Katolik, kita dapat bercermin pada santa-santo, yang sungguh-sungguh telah membuktikan diri mereka untuk mengikuti apa yang diajarkan oleh Gereja Katolik, sehingga mereka dapat mengasihi Allah dan mengasihi sesama atas dasar kasih mereka kepada Allah. Semoga dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Halo,
Beberapa pertanyaan:
Fakta yang kita pahami bersama: Untuk masuk ke surga, orang harus suci, tidak boleh ada dosa sedikitpun.
Di Katolik diajarkan bahwa jika dibaptis dosa asal dan dosa SAMPAI sebelum dibaptis dihapuskan. Yang artinya dosa sesudahnya tidak (harus melalui ekaristi dan atau pengakuan dosa).
Ini dasarnya dari mana (bahwa yang diampuni hanya dosa sampai dibaptis saja).
Karena kalau dibaca di
1 Petrus 3:18: Sebab juga Kristus telah mati sekali untuk segala dosa kita, ….
yang kemudian ayat itu berlanjut ke arah pembaptisan.
Ilustrasi kasus:
Si A dibaptis, kemudian 10 tahun dia hidup taat dan berbuat baik dalam kasih sesuai ajaran Yesus; pada suatu hari dia karena suatu kondisi berbuat dosa (boleh ringan boleh berat), sayangnya 1 menit sesudah dia berbuat dosa itu dia meninggal (belum sempat ikut ekaristi maupun pengakuan dosa).
Apa yang terjadi padanya? Ke surga? Neraka? Purgatory?
Terima kasih.
Shalom Arif,
Terima kasih atas pertanyaannya tentang keselamatan. Sebagai umat Allah, kita memang dituntut menjadi sempurna, seperti Bapa adalah sempurna (lih. Mt 5:48). Mari sekarang kita melihat pertanyaan anda:
1. Apa dasar mengapa dosa pribadi yang diampuni adalah dari awal sampai pada saat dibaptis? Kita mengingat apa yang dikatakan oleh rasul Petrus “Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing memberi dirimu dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu, maka kamu akan menerima karunia Roh Kudus.” (Kis 2:38). Baptisan mensyaratkan pertobatan, yaitu berputar haluan, dari jalan kegelapan ke jalan terang. Pertobatan dan penyesalan mengacu kepada apa yang telah diperbuat dan bukan kepada perbuatan di masa depan. Penyesalan apakah yang merujuk ke masa depan atau perbuatan yang belum dilakukan? Apanya yang disesali dari perbuatan di masa depan? Penyesalan senantiasa mensyaratkan perbuatan yang disesali, yang berarti yang telah diperbuat. Inilah sebabnya, dosa yang diampuni dalam baptisan adalah dosa yang telah dilakukan. Kalau anda mengambil 1Pet 3:18 “Sebab juga Kristus telah mati sekali untuk segala dosa kita, Ia yang benar untuk orang-orang yang tidak benar, supaya Ia membawa kita kepada Allah; Ia, yang telah dibunuh dalam keadaan-Nya sebagai manusia, tetapi yang telah dibangkitkan menurut Roh,” maka pertanyaannya, mengapa orang yang telah dibaptis masih terus berbuat dosa? Apakah dengan demikian, kematian Kristus tidak membawa rahmat yang cukup sehingga manusia masih berbuat dosa?
2. Dalam kasus yang anda berikan, maka si A dapat berada di neraka, atau purgatorium yang membawanya ke Sorga. Akan berada di neraka kalau si A melakukan dosa berat dan tidak mempunyai penyesalan. Akan berada di Purgatorium , kalau si A melakukan dosa ringan atau si A melakukan dosa berat namun disertai dengan sesal sempurna. Sesal sempurna ini adalah penyesalan yang bukan disebabkan oleh takut akan hukuman Tuhan namun penyesalan karena telah menyedihkan hati Tuhan. Dan penyesalan sempurna ini juga disertai dengan keinginan untuk mengaku dosa secepatnya. Namun, karena si A tidak sempat menerima pengampunan dosa walaupun dia menginginkannya (karena meninggal), maka dosanya telah diampuni dengan pertobatan sempurna.
Semoga uraian singkat di atas dapat menjawab pertanyaan anda.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Terima kasih atas jawabannya Pak Stef,
Namun ada beberapa hal yang saya masih belum jelas; Di bawah ini dikutip dari kitab Roma (TB, LAI)
Jika perbuatan baik = melakukan hukum Taurat, mengapa Paulus berkata:
3:20 Sebab tidak seorangpun yang dapat dibenarkan di hadapan Allah oleh karena melakukan hukum Taurat, karena justru oleh hukum Taurat orang mengenal dosa.
3:23 Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah,
namun oleh kasih karunia (grace) telah dibenarkan dengan cuma2:
3:24 dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus.
Kemudian ditegaskan bahwa bukan berdasarkan perbuatan. Dua ayat di bawah ini juga menegaskan hubungan erat antara perbuatan dan melakukan hukum taurat.
3:27 Jika demikian, apakah dasarnya untuk bermegah? Tidak ada! Berdasarkan apa? Berdasarkan perbuatan? Tidak, melainkan berdasarkan iman!
3:28 Karena kami yakin, bahwa manusia dibenarkan karena iman, dan bukan karena ia melakukan hukum Taurat.
Tapi juga dikatakan bahwa bukan berarti dengan pembenaran atas kasih karunia/iman itu hukum Taurat jadi batal (perbuatan jadi tidak perlu).
3:31 Jika demikian, adakah kami membatalkan hukum Taurat karena iman? Sama sekali tidak! Sebaliknya, kami meneguhkannya.
Kemudian di sini Paulus memberi contoh apa yang dikatakan Daud:
4:6 Seperti juga Daud menyebut berbahagia orang yang dibenarkan Allah bukan berdasarkan perbuatannya:
4:7 “Berbahagialah orang yang diampuni pelanggaran-pelanggarannya, dan yang ditutupi dosa-dosanya;
4:8 berbahagialah manusia yang kesalahannya tidak diperhitungkan Tuhan kepadanya.”
Dari ayat di atas dimaksudkan bahwa orang berdosa, tapi ditutupi dosanya; orang bersalah, tapi tidak diperhitungkan.
Dan berdasarkan pemahaman baptis = sunat roh; ditegaskan di bawah bahwa meterai kebenaran berdasarkan iman itu pun diterima sebelum bersunat.
4:11 Dan tanda sunat itu diterimanya sebagai meterai kebenaran berdasarkan iman yang ditunjukkannya, sebelum ia bersunat. Demikianlah ia dapat menjadi bapa semua orang percaya yang tak bersunat, supaya kebenaran diperhitungkan kepada mereka,
Di sini dijelaskan hubungan antara dosa asal, dan pengorbanan Yesus yang melahirkan pembenaran
5:18 Sebab itu, sama seperti oleh satu pelanggaran semua orang beroleh penghukuman, demikian pula oleh satu perbuatan kebenaran semua orang beroleh pembenaran untuk hidup.
Dan lagi2 ditegaskan, bahwa bukan berarti pembenaran itu memperbolehkan kita bertekun dalam dosa (seperti yang disebutkan oleh Martin Luther). Dan menurut hemat saya, Luther hanya mengatakan contoh ekstrim supaya orang paham mengenai konsep pembenaran ini. Bukannya mengajak orang untuk bebas2 saja berbuat dosa. Sama seperti Paulus di bawah ini.
6:1. Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah kasih karunia itu?
6:2 Sekali-kali tidak!
Di sini yang PALING JADI PERTANYAAN SAYA: disebutkan kematian Yesus adalah kematian terhadap dosa, satu kali dan untuk SELAMA-LAMANYA…. Jadi pengorbanan Yesus, pembenaran yang kita peroleh, pengampunan dosa kita: berlaku selamanya atas satu kali pengorbanan Yesus tersebut?
6:10 Sebab kematian-Nya adalah kematian terhadap dosa, satu kali dan untuk selama-lamanya, dan kehidupan-Nya adalah kehidupan bagi Allah.
Dan lagi2 ditegaskan, bukan mengajak kita berbuat dosa:
6:15 Jadi bagaimana? Apakah kita akan berbuat dosa, karena kita tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia? Sekali-kali tidak!
Dan kabar gembiranya adalah:
8:1. Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus.
8:2 Roh, yang memberi hidup telah memerdekakan kamu dalam Kristus dari hukum dosa dan hukum maut.
8:3 Sebab apa yang tidak mungkin dilakukan hukum Taurat karena tak berdaya oleh daging, telah dilakukan oleh Allah. Dengan jalan mengutus Anak-Nya sendiri dalam daging, yang serupa dengan daging yang dikuasai dosa karena dosa, Ia telah menjatuhkan hukuman atas dosa di dalam daging,
8:4 supaya tuntutan hukum Taurat digenapi di dalam kita, yang tidak hidup menurut daging, tetapi menurut Roh.
Dan sepanjang Ibrani 10: 1-18 dijelaskan tentang PERSEMBAHAN YANG SEMPURNA. Dengan tiga ayat yang juga menegaskan di atas:
P. Baru: Ibrani: 10
10:1. Di dalam hukum Taurat hanya terdapat bayangan saja dari keselamatan yang akan datang, dan bukan hakekat dari keselamatan itu sendiri. Karena itu dengan korban yang sama, yang setiap tahun terus-menerus dipersembahkan, hukum Taurat tidak mungkin menyempurnakan mereka yang datang mengambil bagian di dalamnya.
10:10 Dan karena kehendak-Nya inilah kita telah dikuduskan satu kali untuk selama-lamanya oleh persembahan tubuh Yesus Kristus.
10:18 Jadi apabila untuk semuanya itu ada pengampunan, tidak perlu lagi dipersembahkan korban karena dosa.
Lalu mengapa kita masih bisa berbuat dosa? Karena hukum Taurat yang juga berasal dari Tuhan berlaku di dunia ini. Dijelaskan oleh Paulus sbb:
P. Baru: Roma: 7
7:15 Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat.
7:16 Jadi jika aku perbuat apa yang tidak aku kehendaki, aku menyetujui, bahwa hukum Taurat itu baik.
7:17 Kalau demikian bukan aku lagi yang memperbuatnya, tetapi dosa yang ada di dalam aku.
7:18 Sebab aku tahu, bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik. Sebab kehendak memang ada di dalam aku, tetapi bukan hal berbuat apa yang baik.
7:19 Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat.
7:20 Jadi jika aku berbuat apa yang tidak aku kehendaki, maka bukan lagi aku yang memperbuatnya, tetapi dosa yang diam di dalam aku.
7:21 Demikianlah aku dapati hukum ini: jika aku menghendaki berbuat apa yang baik, yang jahat itu ada padaku.
7:22 Sebab di dalam batinku aku suka akan hukum Allah,
7:23 tetapi di dalam anggota-anggota tubuhku aku melihat hukum lain yang berjuang melawan hukum akal budiku dan membuat aku menjadi tawanan hukum dosa yang ada di dalam anggota-anggota tubuhku.
7:24 Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini?
7:25 Syukur kepada Allah! oleh Yesus Kristus, Tuhan kita. (7-26) Jadi dengan akal budiku aku melayani hukum Allah, tetapi dengan tubuh insaniku aku melayani hukum dosa.
Kalau menilik penjelasan awal thread ini mengenai dua ekstrim; saya percaya ajaran Luther memang berkata: iman saja; tapi lanjutannya seharusnya bukan: sehingga bebas berbuat dosa = tidak perlu berbuat baik. Iman saja ya iman saja; tidak ada lanjutannya…. Mengenai berbuat baik itu seperti dijelaskan Yakobus sbb:
Namun benar juga yang dikatakan dalam surat Yakobus 2:14-26
Bahwa iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong.
Perbuatan adalah perwujudan dari iman. Namun bukan berarti kalau orang tidak berbuat karena belum sempat sama sekali (misal baru dibaptis lalu langsung mati) berarti tidak diselamatkan. Perbuatan ini untuk menyempurnakan dan menghidupkan iman.
P. Baru: Yakobus: 2
perbuatan digunakan untuk menunjukkan iman:
2:18 Tetapi mungkin ada orang berkata: “Padamu ada iman dan padaku ada perbuatan”, aku akan menjawab dia: “Tunjukkanlah kepadaku imanmu itu tanpa perbuatan, dan aku akan menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku.”
Iman menjadi sempurna dengan perbuatan:
2:22 Kamu lihat, bahwa iman bekerjasama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna.
2:26 Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati.
Maaf kalau di atas ini cukup panjang lebar; hanya saja saya kok merasa tidak yakin mengenai konsep keselamatan berdasarkan perbuatan; karena berarti seolah-olah:
– saya berbuat baik adalah untuk saya, supaya saya selamat. Saya menolong orang, sebenarnya bukan untuk Tuhan tapi untuk saya, supaya saya selamat. Dan akhirnya kita ibarat menunjukkan ke Tuhan: Tuhan, Tuhan, lihat nih lho saya udah berbuat baik X, Y, dan Z, saya layak selamat ya?
Sayangnya dengan tegas Yesus bilang:
P. Baru: Matius: 7
7:22 Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga?
7:23 Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!”
Sebelumnya saya sangat yakin dengan pandangan ini:
kita dibenarkan oleh iman akan kematian Yesus yang menghapus dosa kita, yang merupakan anugerah keselamatan yang diberikan secara cuma2 sebagai kasih karunia Tuhan. Tapi bukan berarti kita bebas berbuat dosa, tapi justru kita harus mengerjakan keselamatan yang sudah diberikan; mengerjakan keselamatan, bukan mengejar keselamatan…. Mengerjakan keselamatan sebagai wujud iman kita dan kasih kita pada Tuhan. Jadi ketika kita berbuat baik kita benar2 melakukan untuk Tuhan, bukan untuk diri sendiri, berbeda dengan yang di atas. Mengapa? Karena kita diberi dengan cuma2.
P. Baru: Matius: 10
10:7 Pergilah dan beritakanlah: Kerajaan Sorga sudah dekat.
10:8 Sembuhkanlah orang sakit; bangkitkanlah orang mati; tahirkanlah orang kusta; usirlah setan-setan. Kamu telah memperolehnya dengan cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma.
Coba bandingkan Matius 10:8 ini dengan Matius 7: 22-23, yang keduanya adalah kata2 Yesus sendiri.
Dan akhirnya kembali ke Ilustrasi saya;
jika si A yang sepanjang hidupnya melakukan perbuatan baik, dan sudah dibaptis; yang sayang sekali pada suatu hari setelah berbuat dosa berat tiba2 meninggal saat itu juga (kalau mau ekstrim matinya ketika sedang berbuat dosa tersebut), yang jelas tidak mungkin dia menyesal / bertobat (meskipun mungkin kalau ada waktu 5 menit saja dia menyesal–tapi sayangnya tidak ada), berdasarkan jawaban Pak Stef si A ini pasti masuk neraka?
Terima kasih.
Shalom Arif,
Terima kasih atas tanggapan anda. Perbuatan baik tidaklah sama dengan melakukan hukum taurat. Perbuatan baik yang dapat mengantar kita kepada keselamatan adalah perbuatan baik yang bersifat adi-kodrati (supernatural), yaitu perbuatan baik berdasarkan kasih kita kepada Tuhan dan sesama atas dasar kasih kita kepada Tuhan. Perbuatan baik seperti ini mensyaratkan iman, percaya bahwa Tuhan ada dan Dia akan memberikan upah kepada siapa yang mencari Dia (lih. Ibr 11:6). Jadi, dalam perbuatan yang bersifat supernatural, maka Tuhan adalah penggerak utama yang ditanggapi oleh manusia. Pertama, Dia menuntun seseorang kepada pertobatan dan kemudian Baptisan, sehingga menerima rahmat pengudusan dan membuat jiwa orang tersebut berkenan pada Allah. Namun, keselamatan adalah suatu proses yang harus terus diperjuangkan, yaitu dengan terus bekerjasama dengan rahmat Allah. Dengan demikian, perbuatan baik yang bersifat adi kodrati mensyaratan rahmat Allah yang bekerja secara terus menerus, sehingga membawa seseorang kepada kesetiaan sampai akhir. Dalam Kitab Suci kita dapat melihat bahwa untuk diselamatkan, kita dihadapkan pada banyak hal, seperti: rahmat Allah, pentingnya baptisan, pentingnya iman, diadili menurut perbuatan, dll. Kalau anda tertarik dengan diskusi panjang tentang hal ini, anda dapat melihatnya di sini – silakan klik, dilanjutkan dengan ini – klik, Dan ini – Link yang lain: (BAGIAN 1, BAGIAN 2, BAGIAN 3, BAGIAN 4).
Dengan menerima semua elemen-elemen keselamatan yang disebutkan dalam Alkitab (rahmat, baptisan, perbuatan baik, iman), maka kita tidak akan bingung, karena semua hal tersebut berkerja sedemikian rupa sehingga dapat menuntun umat Allah kepada keselamatan. Gereja Katolik menerima semua elemen tersebut, sehingga tidak dapat menerima pernyataan “HANYA / SOLA” – seperti sola fide – karena memang Kitab Suci tidak pernah menyebutkan itu. Bahwa iman mutlak untuk keselamatan, maka Gereja Katolik menerimanya. Namun, Gereja Katolik juga menerima pentingnya baptisan untuk keselamatan (lih. Mk 16:16), dan juga perbuatan baik (lih. Why 20:12).
Yang menjadi masalah dari pernyataan Luther adalah, apakah seseorang dapat dengan yakin mengatakan bahwa dia “pasti” masuk Sorga, karena dia beriman kepada Kristus? Konsep Sola Fide dapat menyesatkan orang, karena seolah-olah kalau seseorang merasa dirinya beriman, maka dia pasti selamat, tanpa mempertimbangkan ketaatan iman untuk memperoleh keselamatan (lih. Rm 1:5). Kalau seseorang mempertimbangkan ketaatan iman, maka dia akan tahu bahwa yang dituntut dari ketaatan adalah bukan ketaatan satu kali atau sesaat, namun seterusnya sampai orang tersebut dipanggil Tuhan. Dengan demikian, kita tidak dapat mengatakan bahwa kita pasti masuk Sorga (once saved always saved). Kita dapat menaruh pengharapan yang begitu besar akan kasih dan pengampunan Tuhan, namun kepastian bahwa kita pasti masuk Sorga hanya Tuhan saja yang tahu.
Kalau tentang dibenarkan (justification), maka memang secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa kita dibenarkan oleh rahmat Allah yang mengalir dari misteri Paskah, yang dimanifestasikan dalam iman dan perbuatan kasih. Namun, dalam diskusi yang mendalam, kita harus membedakan justification tersebut, sehingga tidak sampai salah. Sebagai contoh, karena kita dibenarkan karena iman, maka baptisan tidak perlu dan perbuatan baik tidak perlu. Berikut ini adalah dogma Gereja yang berhubungan dengan justifikasi:
1) Internal supernatural grace is absolutely necessary for the beginning of faith and salvation.
2) Without the special help of God, the justified cannot persevere to the end in justification.
3) The causes of Justification. (Defined by the Council of Trent) :
a) The final cause is the honour of God and of Christ and the eternal life of men.
b) The efficient cause is the mercy of God.
c) The meritorious cause is Jesus Christ, who as mediator between God and men, has made atonement for us and merited the grace by which we are justified.
d) The instrumental cause of the first justification is the Sacrament of Baptism. Thus it defines that Faith is a necessary precondition for justification (of adults).
e) The formal cause is God’s Justice, not by which He Himself is just, but which He makes us just, that is, Sanctifying Grace.
4) The justification of an adult is not possible without faith.
5) Besides faith, further acts of disposition must be present.
6) Baptism confers the grace of justification
Jadi, saya mohon agar anda dapat membaca diskusi di link-link yang saya berikan, agar tidak terjadi pengulangan argumentasi, yang memang sudah didiskusikan secara panjang lebar. Menjawab ilustrasi yang anda berikan, maka kita mengingat bahwa orang yang mati dalam kondisi dosa berat dan tidak menyesali dosanya, maka dia akan masuk neraka. Hal ini diajarkan dalam Katekismus Gereja Katolik sebagai berikut:
Jadi, kunci pada diskusi ini adalah jangan melihat keselamatan dari satu sudut pandang, sehingga menghilangkan yang lain. Kita harus menerima bahwa oleh rahmat Allah saja kita diselamatkan, oleh iman (bukan iman saja), menerima baptisan, dimanifestasikan dalam perbuatan kasih. Menonjolkan yang satu dan menghilangkan yang lain membuat dimensi keselamatan menjadi tidak lengkap dan bahkan dapat menyesatkan. Semoga dapat diterima.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Yth. Bp. Stef,
Maaf jika pertanyaan saya ini salah tempat karena saya tidak tahu bagaimana harus memasukkannya.
Saya ada masalah begini:
Seorang katolik pernah bersaksi bahwa untuk menjalani kehidupan agamanya ia merasa tidak perlu sulit-sulit, tidak mau ribet harus begini dan begitu. yang penting bagi dia adalah hidup baik, tidak berbuat dosa, tidak mau menyalahi aturan duniawi, dll. Kalau sekiranya ia merasa salah, ia bertekad untuk tidak mengulanginya. Bagi dia itu saja sudah cukup. Lalu pernah saya kejar dengan pertanyaan, bagaimana bapak dengan kewajiban ke gereja? Ia menjawab gampang, “ngapain ke gereja. Yang penting bagi dia ya seperti apa yang dikatakannya di atas. Memang bapak ini sudah tua dan anak-anaknya sudah “mentas” semua, tinggal menikmati masa tua di rumah.
Kelihatannya prinisp hidup si bapak ini sederhana sekali, tetapi saya tidak tahu. Apakah memang harus sesederhana itu kita harus hidup, pak Stef? Mohon jawabannya. Terima kasih dan Tuhan memberkati pelayanan pak Stefanus dan tim katolisitas.
Salam,
Aris
[dari katolisitas: silakan melihat jawaban di atas – silakan klik]
Comments are closed.