Konsili Vatikan II dalam Konstitusi tentang Wahyu Ilahi menyatakan:

“Oleh sebab itu, karena segala sesuatu, yang dinyatakan oleh para pengarang yang ilhami atau hagiograf (penulis suci), harus dipandang sebagai pernyataan Roh Kudus, maka harus diakui, bahwa buku-buku Alkitab mengajarkan dengan teguh dan setia serta tanpa kekeliruan kebenaran, yang oleh Allah dikehendaki supaya dicantumkan dalam kitab-kitab suci demi keselamatan kita“. (Dei Verbum 11)

Banyak ahli menginterpretasikan bahwa Konsili melalui Dei Verbum 11, menyatakan bahwa ‘inerrancy’  hanya terbatas kepada kebenaran-kebenaran yang menyangkut keselamatan saja, sedangkan pada hal-hal lainnya -tentang sejarah, geografi dan hal-hal non-religius lainnya bisa salah- dengan demikian membatasi bahwa Kitab Suci tidak mungkin salah hanya dalam hal iman dan moral saja. Namun sebenarnya, jika kita melihat kepada perumusan kata-kata Konsili Vatikan II tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa bukan maksud Konsili untuk mengubah ajaran dengan meninggalkan kontinuitas ajaran para Paus sebelumnya tentang ‘unlimited inerrancy‘ artinya dalam hal-hal lainnya-pun Kitab Suci tidak mengandung kesalahan. Artinya, walaupun dapat terjadi perbedaan-perbedaan teks dalam Codex, maupun antara suatu ayat tertentu dalam kitab yang satu dengan kitab lainnya, namun secara keseluruhan semuanya tetap menyampaikan kebenaran, karena Kitab Suci ditulis atas inspirasi Roh Kudus. Pertimbangannya adalah demikian (lih. Scott Hahn, Catholic Bible Dictionary, (New York: Double Day, 2009), p. 388-391):

1. Istilah “demi keselamatan kita” (dalam bahasa Latin, nostrae salutis causa) adalah frasa preposisi yang menjelaskan kata ‘dicantumkan’ (Latin: consignari). Artinya, frasa itu menunjukkan alasannya mengapa Tuhan menghendaki agar kebenaran dicantumkan dalam Kitab Suci. Jadi frasa itu bukan merupakan adjective (kata sifat) yang membatasi kata ‘kebenaran’ (veritatem). Maka perkataan Konsili tersebut dimaksudkan untuk menjelaskan maksud kebenaran itu dituliskan, dan bukan untuk membatasi lingkup kebenaran yang dinyatakan.

2. Di belakang pernyataan Dei Verbum 11 tersebut dinyatakan kutipan yang cukup panjang, bahkan terpanjang dari semua kutipan dalam Konstitusi Dei Verbum tersebut, yaitu pernyataan-pernyataan dari St. Agustinus, St. Thomas Aquinas, Konsili Trente, Paus Leo XIII, Pius XII, dan semua kutipan itu meneguhkan tentang inspirasi ilahi dari Kitab Suci dan bahwa Kitab Suci seluruhnya bebas dari kesalahan. Karena semua catatan kaki yang ada di dokumen tersebut menekankan kesinambungan dengan ajaran Gereja sebelumnya, maka besar kemungkinan pernyataan “demi keselamatan kita” tidak dimaksudkan untuk meninggalkan ajaran-ajaran Gereja sebelumnya yang mengajarkan ‘unlimited inerrancy‘ (tidak ada kesalahan dalam keseluruhan Kitab Suci).

3. Paus Leo XIII menyebutkan tentang ajaran ‘unlimited inerrancy‘ sebagai “the ancient and unchanging faith of the Church/ iman yang sudah lama dan tidak berubah dari Gereja” (Providentissimus Deus, 41). Ini adalah pandangan para Bapa Gereja, teolog zaman Abad Pertengahan, dan diajarkan oleh Paus Leo XIII, Benediktus XV, dan Pius XII. Maka terdapat garis kesinambungan garis pengajaran dari jemaat awal, sampai Abad Pertengahan, bahwa Kitab Suci bebas dari kesalahan. Tentulah para Bapa Konsili Vatikan II mempunyai tanggungjawab yang besar untuk menjelaskan kepada semua umat beriman, jika maksud mereka adalah untuk memberikan pengertian baru terhadap istilah ‘bible inerrancy‘ ini. Bahwa mereka tidak melakukannya, merupakan suatu indikasi bahwa yang mereka maksudkan bukanlah untuk mengubah posisi klasik ajaran Gereja Katolik tentang hal ini.

Maka dapat disimpulkan bahwa ada penekanan baru tentang rumusan ‘bible inerrancy’ ini- yaitu bahwa maksudnya adalah demi keselamatan kita, namun bukan untuk memberikan pengajaran baru yang meninggalkan keyakinan yang terdahulu, bahwa Kitab Suci seluruhnya bebas dari kesalahan.

Akhirnya, ajaran bahwa Kitab Suci seluruhnya bebas dari kesalahan bukan merupakan penyangkalan akan adanya kesulitan-kesulitan yang tetap ada dalam menginterpretasikan Kitab Suci. Ada banyak perikop yang nampaknya bertentangan satu dengan yang lainnya, banyak yang nampaknya berbeda dengan sumber-sumber yang non-biblis,….namun masalah-masalah ini bukanlah kekeliruan pengungkapan, yang menjadikannya tidak benar. Adanya perbedaan-perbedaan itu adalah undangan yang mengajak kita untuk semakin rendah hati [termasuk untuk terus mencari kemungkinan interpretasi yang mungkin untuk memahami perbedaan-perbedaan tersebut]. St. Agustinus mengungkapkan prinsip ini, ketika ia mengalami kesulitan saat menemukan adanya perbedaan-perbedaan di dalam Kitab Suci. Ia menganggap bahwa entah terjadi kesalahan manuskrip (kekeliruan penyalinan), atau bahasa aslinya keliru diterjemahkan (sang penerjemah gagal memahami artinya) atau ia sendiri yang tidak mengerti (lih. Letter 82, 3). Tetapi dalam segala keadaan, tidaklah benar mengklaim bahwa Kitab Suci itu salah karena pengarangnya salah menyampaikan kebenaran yang ingin disampaikan.