Ada sejumlah orang berpikir bahwa ayat Kel 22:16 dapat dipakai sebagai dasar pembenaran perbuatan poligami, karena menginterpretasikan ‘seseorang (’iyš)’ yang disebut di ayat tersebut sebagai laki-laki dalam status apapun, termasuk yang sudah menikah. Ayat tersebut berbunyi:
“Apabila seseorang membujuk seorang anak perawan yang belum bertunangan, dan tidur dengan dia, maka haruslah ia mengambilnya menjadi isterinya dengan membayar mas kawin.” (Kel 22:16)
Ayat ini ada dalam perikop yang menjelaskan tentang adanya konsekuensi yang harus ditanggung oleh pihak pencuri/ seseorang yang mengambil milik orang lain dengan tidak sah. Maka konteks ayat ini adalah mengajarkan tanggung jawab yang harus diambil oleh seorang laki-laki yang telah mengambil keperawanan seorang wanita. Memang di sana tidak tertulis, apakah seseorang itu adalah laki-laki yang lajang, atau termasuk yang sudah beristri. Namun Gereja dan para ahli Kitab Suci tidak menginterpretasikannya sebagai dasar pembenaran bagi poligami umat Kristen. Demikian pula, adanya ayat-ayat lain dalam Perjanjian Lama, yang menyebutkan bahwa sejumlah patriarkh dan raja yang mempunyai lebih dari satu istri, juga tidak menjadi dasar bahwa umat Kristen boleh meniru untuk mempunyai lebih dari satu istri. Mengapa?
1. Suatu ayat Kitab Suci tidak dapat diinterpretasikan terlepas dari ayat-ayat yang lain.
Karena membaca satu ayat saja dan melepaskan dari konteksnya dan ayat-ayat yang lain, dapat menghantar kepada pengertian yang keliru. Apa yang tertulis jelas sebagai ketentuan dalam Perjanjian Lama, kemudian diperbaharui oleh Kristus dalam Perjanjian Baru, dengan ketentuan yang berbeda, untuk menyampaikan kesempurnaan hukum Allah yang digenapi di dalam Kristus. Jika sudah diperbaharui dan disempurnakan dalam PB, maka menjadi keliru jika kita kembali mengikuti hukum PL yang tidak sempurna. Sebab Allah menghendaki agar kita menjadi sempurna, seperti Ia sempurna adanya (lih. Mat 5:48) dan Allah mempersiapkan umat-Nya secara bertahap untuk mencapai kesempurnaan itu, yang tercapai di dalam Kristus. Maka tidak mungkin, setelah Kristus menyempurnakannya, kemudian Allah kembali menyetujui hukum yang belum sempurna itu, seperti yang tertulis dalam Perjanjian Lama, seolah Kristus belum datang untuk menyempurnakannya.
Contoh: Prinsip ‘mata ganti mata’ dalam PL (lih. Im 24:20; Kel 21:24; 19:21; kemudian diperbaharui oleh Yesus, dalam PB (Mat 5:38-42). Prinsip sunat jasmani PL (Kej 17:10) digenapi dalam PB menjadi sunat rohani (Rm 2:29). Prinsip hari Sabat dalam PL menjadi hari Tuhan dalam PB. Demikian pula, hukum perkawinan yang belum sempurna di zaman PL (sebab saat itu masih dimungkinkan adanya poligami dan perceraian) telah disempurnakan oleh Kristus dalam PB, menjadi perkawinan yang monogam dan tak terceraikan (Mat 19:5-6), sebagaimana dikehendaki Allah sejak awal penciptaan (Kej 2:24).
Seperti halnya kita sebagai umat Kristiani tidak bisa kembali menyetujui prinsip ‘mata ganti mata’, demikianlah kita juga tidak dapat kembali menyetujui poligami dan perceraian, walaupun hal-hal tersebut diperbolehkan dalam PL [karena kekerasan hati manusia], sebab Tuhan Yesus sudah memperbarui ketentuan-ketentuan tersebut dalam PB. Tentang hal ini sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.
2. Allah tidak mungkin menentang diri-Nya sendiri (lih. 2 Tim 2:13).
Allah mengambil gambaran perkawinan, yaitu hubungan kasih suami istri, sebagai penggambaran kasih-Nya dengan umat pilihan-Nya. Dalam PL, diajarkan bahwa Allah menyebut bangsa Israel sebagai isteri/mempelai-Nya (lih. Yeh 16:3-14; Yes 54:6-dst; 62:4-dst; Yer 2:2; Hos 2:19; Kid 1-dst). Allah setia kepada bangsa Israel, sebagaimana sang suami terhadap istrinya. Bangsa Israel-lah yang kerap tidak setia, dengan melakukan berbagai penyembahan berhala, yang kerap disamakan dengan perzinahan di hadapan Allah (lih. Yeh 23:1-49, khususnya ay. 37). Di sepanjang PL, tercantum perjuangan jatuh bangunnya bangsa Israel dalam hal penyembahan berhala, yaitu bahwa mereka menyembah allah-allah lain. Namun, Allah sendiri tidak membalas perlakuan umat-Nya Israel dengan berpaling dari umat pilihan-Nya ini. Allah tetap memilih untuk mengutus Putera-Nya sebagai keturunan bangsa Israel ini.
Dalam Perjanjian Baru, Kristus memperbarui ketentuan ini. Gereja menjadi umat pilihan-Nya yang baru. Kasih suami istri yang menjadi penggambaran kasih Allah kepada umat Israel kini digenapi dengan gambaran kasih antara Kristus dan Gereja (lih. Ef 5:22-32). Kristus hanya mendirikan satu Gereja (Mat 16:18) yaitu Gereja yang didirikan di atas Rasul Petrus, dan Iapun menghendaki Gereja-Nya tetap satu agar menjadi saksi hidup bagi kesatuan antara Diri-Nya dengan Allah Bapa (Yoh 17:20-23). Sama seperti Kristus tidak mungkin menyangkal kesatuan antara Diri-Nya dengan Allah Bapa, Kristus juga tidak mungkin menyangkal kesatuan antara Diri-Nya dengan Gereja yang didirikan-Nya. Kristus juga tidak mungkin mendirikan banyak Gereja, sebab itu tidak sesuai dengan ajaran-Nya tentang perkawinan, yaitu bahwa seorang pria (a man) akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya (his wife, bukan wives/ istri-istrinya), sebagaimana jelas disebutkan dalam Mat 19:5, yang merupakan pengulangan dari apa yang telah ditentukan Allah sejak semula dalam Kej 2:24:
“Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Mat 19:5-6)
Demikianlah, dari ayat ini diketahui bahwa dalam perkawinan hanya dimungkinkan persatuan antara seorang suami dan seorang istri, yang keduanya akan menjadi satu. Keduanya tidak dapat diceraikan manusia, entah dengan memberikan surat cerai, atau dengan tindakan poligami, yang menentang makna perkawinan ‘antara seorang laki-laki dan seorang perempuan’. Tindakan menceraikan istri dan kawin dengan wanita lain disebut sebagai perzinahan, dan pria yang kawin dengan perempuan yang diceraikan juga berbuat zinah, demikian pula perempuan tersebut (lih. Luk 16:18, Mrk 10:12). Dan jika dalam Mat 19:9, disebutkan adanya kekecualian, maksudnya adalah dalam kasus seseorang yang menikah secara tidak sah (seperti yang umum terjadi di masa itu, yaitu entah karena menikah kedua kali padahal pasangan yang terdahulu masih hidup, atau karena perkawinan incest atau menikah dengan istri saudaranya sendiri, seperti kasus raja Herodes), maka ia haruslah menceraikan istri yang tidak sah tersebut, agar dapat kembali kepada istrinya yang sah (St. Klemens dari Aleksandria (150-216) mengajarkan maksud ajaran Yesus pada ayat Mat 5:32, 19:9, “Setiap orang yang menceraikan istrinya kecuali karena zinah…” Zinah di sini artinya adalah perkawinan antara mereka yang sudah pernah menikah namun bercerai, padahal pasangannya yang terdahulu itu belum meninggal. (Jadi, dalam hal ini, Yesus mengakui perkawinan yang pertama sebagai yang sah, dan perkawinan kedua itulah yang harusnya diceraikan agar pihak yang pernah menikah secara sah dapat kembali kepada pasangan terdahulu).” Maka bahwa Kitab Suci menasihati perkawinan, dan tidak pernah mengizinkan lepasnya ikatan tersebut, telah nyata dalam hukum: ‘Kamu tidak dapat menceraikan istrimu, kecuali karena alasan zinah.’ Dan dianggap sebagai perzinahan, perkawinan dari sebuah pasangan, di mana pihak yang diceraikan oleh salah satu dari pasangan itu, masih hidup. ‘Barangsiapa menceraikan istrinya, berbuat zinah,’ …; sebab ‘barangsiapa menceraikan istrinya, merusaknya’, sebab ia memaksa istrinya itu untuk melakukan perzinahan. Tidak saja ia [suaminya yang terdahulu] yang menceraikannya menjadi sebab dari hal ini, tetapi juga ia [pria yang kemudian mengawininya] yang mengambil wanita itu dan memberikan kepadanya kesempatan untuk berbuat dosa; sebab jika ia tidak mengambilnya, wanita itu akan kembali kepada suaminya.’ (St. Clement of Alexandria, Miscellanies 2:23:145:3; Christ the Educator, Bk. 2, Chap.23).
Seperti halnya di PL, dalam PB juga disebutkan bahwa dosa ketidakmurnian/ impurity (perzinahan dan percabulan) adalah sama dengan penyembahan berhala (lih. Kol 3:5). Dan perbuatan perzinahan ini bahkan dapat dimulai di dalam hati dengan memandang perempuan dan menginginkannya (lih. Mat 5:27-28); dan dengan demikian dosa perzinahan tidak terbatas hanya pada perbuatan yang sudah diwujudkan dalam perbuatan. Jika memandang dan menginginkan wanita saja sudah merupakan dosa perzinahan, apalagi mencemarinya dalam perbuatan perzinahan. Selanjutnya, firman Tuhan dalam PB juga mengajarkan bahwa orang-orang yang yang berbuat cabul dan berzinah ini “tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah” (1Kor 6:9).
3. Kitab Suci harus diinterpretasikan dalam kesatuan dengan Gereja yang melaluinya kita memperoleh Kitab Suci.
Telah sejak abad-abad awal, Gereja mengartikan Mat 19:5-6 tersebut sebagai dasar dari perkawinan yang monogami dan tak terceraikan. Praktek ini dilestarikan sampai sekarang dalam Gereja Katolik. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa walaupun perkawinan monogam ini diyakini oleh sebagian besar umat Kristen, namun dalam sejarahnya terdapat sejumlah orang yang mempertanyakannya. Ada sejumlah orang yang menyebut dirinya Kristen, namun menganut paham poligami/ polygyny, seperti kaum Anabaptists (abad ke-16) dan Mormonism (abad ke-19). Akal sehat menunjukkan bahwa kesaksian jemaat awal yang lebih dekat dengan zaman Kristus dan para Rasul adalah lebih kuat daripada pandangan pribadi sejumlah orang yang terpisah sekian abad dari para Rasul. Sebab jemaat perdana yang menjadi saksi bagi pengajaran Kristus, para rasul dan para penerus mereka, secara tak terputus meyakini hal perkawinan monogam adalah ajaran Kristus yang tidak dapat diubah dan ditawar-tawar. Itulah sebabnya, secara umum umat Kristen tetap berpegang kepada perkawinan yang monogami, justru karena hal itu yang secara jelas terungkap dalam keseluruhan ayat Kitab Suci.
Paham poligami/polygyny yang menentang ajaran ini, setidak-tidaknya menentang 3 hal:
1) martabat perkawinan, yang menjadi gambaran akan kasih Kristus kepada Gereja-Nya; 2) persamaan martabat antara pria dan wanita, yang dalam perkawinan memberikan diri mereka secara total, dan karena itu unik dan eksklusif, hanya untuk pria dan wanita yang bersangkutan, sebab jika ada pihak lain, maka cinta yang diberikan itu terbagi, dan tidak bisa disebut sebagai cinta yang total;
3) otoritas mengajar Gereja, menempatkan dirinya sendiri di atas para penerus Rasul yang diberi wewenang oleh Kristus untuk menginterpretasikan Kitab Suci, dalam hal ini berkenaan dengan ajaran tentang hakekat perkawinan.
Dengan kata lain, mereka yang menentang monogami, membaca Kitab Suci dan mengartikannya sendiri sesuai kehendak dan pengertiannya sendiri, sehingga sampai pada pengertian yang asing yang tidak diajarkan oleh Kristus, para Rasul dan para penerus mereka.
Akhirnya juga perlu kita sadari bahwa poligami adalah paham yang bertentangan dengan hukum kodrat. Ini nyata dari efeknya yang negatif, tidak saja bagi keluarga-keluarga yang bersangkutan (terutama akan menghambat proses pendidikan anak secara sehat dan wajar), tetapi juga bagi masyarakat luas. Itulah sebabnya praktek tersebut ditolak -terutama oleh kaum wanita sendiri- di manapun- jika mereka boleh memilih, termasuk di Indonesia. Secara umum, para wanita yang normal tidak menginginkan dirinya dimadu, dan ini sudah menunjukkan suatu kebenaran kodrati bahwa hukum ini melanggar martabat manusia, dalam hal ini martabat wanita.