Rasul Petrus menekankan sifat api yang memurnikan, dengan berkata, “Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu– yang jauh lebih tinggi nilainya daripada emas yang fana, yang diuji kemurnian-nya dengan api–sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya.” (1Ptr 1:7). Demikian pula, Rasul Paulus menggunakan kata api, yaitu untuk menguji dan memurnikan sehingga ia mengatakan, “… sekali kelak pekerjaan masing-masing orang akan nampak. Karena hari Tuhan akan menyatakannya, sebab ia akan nampak dengan api dan bagaimana pekerjaan masing-masing orang akan diuji oleh api itu. Jika pekerjaan yang dibangun seseorang tahan uji, ia akan mendapat upah. Jika pekerjaannya terbakar, ia akan menderita kerugian, tetapi ia sendiri akan diselamatkan, tetapi seperti dari dalam api” (1Kor 3:13-15). Dari beberapa ayat ini, terdapat dua interpretasi. Pertama, beberapa Bapa Gereja mengartikan bahwa ada api yang bersifat fisik untuk memurnikan jiwa. Namun, sejumlah teolog berpendapat bahwa api di Purgatorium adalah api yang tidak bersifat fisik seperti api yang sehari-hari kita kenal, melainkan merupakan kata kiasan. Apapun interpretasinya, Gereja Katolik tetap mengajarkan bahwa ada permurnian yang harus dialami oleh jiwa-jiwa di Api Penyucian. Apakah api itu bersifat material atau hanya kiasan, tidak didefinisikan sebagai dogma oleh Magisterium Gereja Katolik. Yang secara definitif diajarkan oleh konsili-konsili adalah adanya hukuman yang memurnikan (poena purgatoriae).