Sumber gambar: https://dailyoffice.files.wordpress.com/2013/03/station5-simonofcyrenecarries-duende-1000.jpg

[Hari Minggu Biasa ke XXIX, Minggu Evangelisasi: Yes 53:10-11; Mzm 33:4-5,18-22; Ibr 4:14-16; Mrk 10:35-45]

Zaman sekarang, kita banyak dimudahkan oleh banyak alat, untuk dapat sampai ke tujuan. GPS, Waze, ataupun berita di TV dan Radio, dapat memberi panduan tentang jalan tersingkat menuju suatu tempat, yang tidak macet, dengan rute yang paling lancar. Dengan mental ‘ingin cepat’ semacam ini, tak heran banyak orang zaman sekarang sering mengharapkan kemajuan ekspres dan mudah dalam kehidupan rohani. Tak sedikit pula khotbah dan pengajaran yang menekankan ‘kemenangan’ dan kebangkitan di dalam Kristus, tanpa menekankan jalan yang harus ditempuh agar dapat sampai ke sana. Pendek kata, orang lebih suka mendengar bagaimana cara termudah dan tercepat agar kita dapat dijamin masuk Surga daripada mendengar perjuangan macam apakah yang harus dilalui untuk dapat sampai ke sana. Kalau demikian, sebenarnya cara pikir kita mirip dengan cara pikir Rasul Yakobus dan Yohanes, yang kita baca dalam bacaan Injil hari ini. Mereka menginginkan jaminan dari Tuhan Yesus untuk memperoleh tempat yang paling mulia dalam Kerajaan-Nya, tanpa memikirkan susah payah yang harus mereka tempuh sebelum dapat memperoleh kemuliaan di dalam Tuhan.

Tuhan Yesus meluruskan cara pikir Yakobus dan Yohanes ini, yang mungkin juga menjadi cara pikir kita. Menarik untuk diingat, bahwa kisah permintaan Rasul Yakobus dan Yohanes ini terjadi setelah Yesus baru saja memberitahukan yang ketiga kalinya tentang penderitaan dan wafat-Nya sebelum Ia bangkit (Mrk 10:33-34). Tapi nampaknya, kedua Rasul ini belum sepenuhnya mudeng dengan perkataan Yesus itu. Mereka tidak mengerti bahwa minum cawan Yesus dan dibaptis dalam baptisan-Nya itu artinya adalah turut menderita bersama Yesus. Baru di kemudian hari, nubuat Yesus itu tergenapi. Setelah menerima Roh Kudus di hari raya Pentakosta, para Rasul memang tidak takut lagi terhadap apapun yang harus mereka hadapi untuk mewartakan Kristus. Mereka tak gentar, bahkan terhadap penganiayaan dan maut sekalipun. Kedua Rasul ini memang turut meminum cawan yang harus diminum Kristus dan dibaptis dengan baptisan yang diterima-Nya: keduanya mengalami penderitaan sebagai martir. Rasul Yakobus menjadi Rasul pertama yang dibunuh oleh Raja Herodes dengan dipenggal kepalanya; dan Rasul Yohanes, ditangkap oleh prokonsul Asia dan dikirim ke Roma, di mana ia dimasukkan ke dalam ketel minyak mendidih, namun secara ajaib ia luput dari mati. Ia lalu diasingkan ke pulau Patmos. Maka Rasul Yohanes pun meminum cawan kemartiran seperti ketiga orang muda yang dikisahkan di kitab Daniel, yang dimasukkan ke dalam tungku api, meski darah mereka tidak tertumpah di sana. Menurut St. Epifanius, Rasul Yohanes akhirnya wafat di usia sekitar 94 tahun di Efesus. Baik Rasul Yakobus maupun Yohanes memang turut menderita seperti Kristus demi iman mereka akan Dia. Namun kita percaya bahwa mereka bersama dengan para Rasul lainnya, kini telah dimuliakan Allah di Surga.

Kisah Rasul Yakobus dan Yohanes ini mengajarkan kepada kita, bahwa untuk dapat menerima kemuliaan surgawi, kita harus mau menempuh jalan yang ditempuh oleh Kristus, yaitu jalan salib. Sebab Kristus sendiri berkata, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku” (Luk 9:23). Seperti apakah menyangkal diri dan memikul salib? Nabi Yesaya dalam Bacaan Pertama turut memberikan sekilas gambarannya. Yaitu, supaya kita meniru teladan Sang Mesias yang menjadi Hamba, dan mau berkurban demi banyak orang (lih. Yes 53:10-11). Betapa gambaran ini kemudian diajarkan juga dan digenapi dengan sempurna oleh Yesus sendiri, yang mengatakan, “Barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya. Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mrk 10:44-45). Menjadi hamba. Sudahkah kita melaksanakannya?

Dalam upaya kita mengikuti teladan Kristus ini, kita perlu memohon rahmat Tuhan agar kita dapat melayani Tuhan dan sesama dengan sukacita, tanpa pamrih. Kita diundang untuk melayani orang-orang, yang bahkan mungkin tidak atau kurang menghargai pelayanan ataupun bantuan kita. Jika itu terjadi, dan kita tetap rela dan bersukacita, itu namanya kita menyangkal diri. Sebab dunia mengajarkan kita untuk mengharapkan pujian dan pengakuan akan perbuatan baik kita, tetapi Kristus melalui teladan pengorbanan-Nya di kayu salib, mengajarkan kita hal yang sebaliknya. Dan di sinilah terletak kebanggaan kita sebagai seorang murid Kristus, yaitu untuk melayani, seperti Kristus telah melayani. Ini hanya mungkin dilakukan jika dekat dengan Kristus dan dalam doa menimba kekuatan dan kerendahan hati daripada-Nya.

Sebab tak ada jalan pintas bagi kita untuk dapat menerima kemuliaan kekal, selain melalui jalan salib bersama Kristus. Karena itu, jika kita mengalami sakit hati, tidak dianggap dan diremehkan orang lain atau dicurigai, padahal kita justru ingin membantu, saat itu sesungguhnya kita sedang meniti jalan salib. Atau, saat kita harus mengalahkan keinginan kita sendiri, demi kebaikan orang lain. Atau, jika kita harus kembali menjalani tugas kewajiban kita, saat baru saja kehilangan orang yang kita kasihi. Atau, jika kita dihadapkan kepada suatu penyakit, yang kita tak tahu akankah dapat sembuh. Lewat semua itu kita mengambil bagian di dalam penderitaan Kristus. Jika kita menyatukan semua penderitaan kita dengan penderitaan-Nya di kayu salib, maka penderitaan kita itu dapat dijadikan-Nya jalan untuk mendatangkan keselamatan, baik bagi kita sendiri maupun orang-orang yang kita doakan. Sebab melalui semua itu, kita dibentuk menjadi orang yang lebih sabar dan tulus hati dalam mengasihi. Dan buah dari semua itu adalah rasa damai di hati, karena kita telah meniti jalan yang serupa dengan jalan yang ditempuh oleh Yesus sendiri untuk menebus kita. Sebab kita tahu, bahwa bersama Dia, kita akhirnya akan sampai kepada pemenuhan janji keselamatan-Nya. Pendeknya, melalui penderitaan, kita dibentuk Allah untuk menjadi semakin serupa dengan Kristus, agar kita siap untuk diubah juga menjadi serupa dengan Dia dalam kemuliaan-Nya. Untuk itu, marilah kita mengingat perkataan Mother Teresa dari Kalkuta, “Sebuah pengorbanan yang sejati harus ada harganya, harus sakit, harus mengosongkan diri kita. Buah dari keheningan adalah doa, buah dari doa adalah iman, buah dari iman adalah kasih, dan buah dari kasih adalah pelayanan, dan buah dari pelayanan adalah kedamaian.”