Hermeneutika artinya adalah suatu prinsip/ katagori yang dipergunakan untuk menginterpretasikan sesuatu.
Gereja Katolik tidak menolak pendekatan secara hermeneutika untuk mendalami makna perkataan dalam Kitab Suci, sepanjang disadari adanya keterbatasan dari hermeneutika sendiri dalam menjelaskan makna Kitab Suci. Walaupun ada pandangan bahwa hubungan antara eksegesis (tentang menginterpretasikan Kitab Suci) dengan hermeneutika adalah seperti hubungan antara bahasa dengan tata bahasa (grammar); namun untuk menginterpretasikan Kitab Suci tidak hanya cukup dengan pendekatan hermeneutika, sebab masih diperlukan pengetahuan lainnya. Pendekatan hermeneutika tidak meluruskan prinsip-prinsip filosofis yang salah ataupun membuktikan keotentikan suatu teks di bentuk aslinya dan penentuan artinya, ataupun membuktikan hasil penelitian sejarah. Selain itu, hermeneutika tidak menyelidiki kebenaran obyektif dari yang ditulis penulis (apakah benar atau salah) namun hanya apa yang ingin dikatakan penulis. Oleh karena itu apa yang benar secara hermeneutika, dapat saja merupakan sebuah kesalahan secara obyektif, kecuali tulisan yang sedang diteliti secara hermeneutika tersebut mempunyai jaminan kualitas prerogatif yang tak mungkin salah. Juga, hermeneutika tidak menyelidiki otentisitas suatu tulisan, atau keaslian suatu teks ataupun karakternya, apakah suatu ungkapan itu sifatnya sakral atau profan.
Oleh karena itu penyelidikan hermeneutika untuk Kitab Suci mensyaratkan terlebih dahulu pengetahuan tentang sejarah kanon Kitab Suci, baik Perjanjian Lama dan Baru, penyelidikan teks, pengetahuan tentang inspirasi Roh Kudus dan ajaran/ dogma iman Kristiani. Maka yang perlu diketahui untuk memahami suatu teks dalam Kitab Suci adalah tata bahasa penulis, konteksnya, keadaan psikologis dan historis pada saat penulisan, dan apakah yang ditulis itu sesuai dengan fakta bahwa tulisan tersebut adalah hasil inspirasi ilahi dan sesuai dengan interpretasi Gereja. Dengan hanya mempertimbangkan ketiga unsur (bahasa, konteks dan keadaan penulis) menjadikan orang hanya menilai segalanya menurut rasio pemikiran zaman sekarang dan menutup kemungkinan untuk pemahaman akan kebenaran yang sesungguhnya terjadi pada saat itu.
Maka untuk memahami bagaimana sikap Gereja terhadap pendekatan hermeneutika untuk menginterpretasikan Kitab Suci, baik jika kita mengacu kepada Ekshortasi Apostolik dari Paus Benediktus XVI, Verbum Domini (Sabda Tuhan dalam Kehidupan dan Misi Gereja), demikian:
“Tentu saja, refleksi teologis selalu mempertimbangkan inspirasi [Roh Kudus] dan kebenaran sebagai dua konsep dasar tentang hermenuetika gerejawi untuk [menginterpreasikan] Kitab Suci” (Verbum Domini, 19)
“Di sini kita dapat menunjuk kriteria dasar hermeneutika secara biblis: kerangka dasar bagi interpretasi Kitab Suci adalah kehidupan Gereja. Ini bukan untuk mempertahankan konteks gerejawi sebagai ketentuan dari luar yang harus dipatuhi para ahli KItab Suci, tetapi sebagai sesuatu yang dituntut oleh kodrat Kitab Suci itu sendiri dan bagaimana Kitab Suci itu secara berangsur dapat terwujud…. “sebab Kitab Suci harus dibaca dan diinterpretasikan di dalam terang Roh Kudus yang sama yang melaluinya Kitab Suci dituliskan” (Dei Verbum 12) maka para peneliti Kitab Suci dan para Teolog dan seluruh umat Tuhan harus mendekatinya sebagaimana adanya ia, [sebagai] Sabda Tuhan yang disampaikan kepada kita melalui perkataan manusia (lih. 1 Tes 2:13)….”Yang terutama harus kamu ketahui, ialah bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah.” (2Ptr 1:21). Lebih lagi, iman Gerejalah yang mengenali Kitab Suci sebagai Sabda Allah; sebagaimana dikatakan St. Agustinus: “Saya tidak percaya kepada Injil, jika otoritas Gereja Katolik tidak mengarahkan aku demikian.” Roh Kudus, yang memberi hidup kepada Gereja, memampukan kita untuk menginterpretasikan Kitab Suci secara otoritatif. Kitab Suci adalah kitab milik Gereja, dan tempat dasarnya di kehidupan Gereja-lah yang mengungkapkan interpretasinya yang asli.”(Verbum Domini, 29)
Menurut Paus Benediktus XVI, kurangnya aspek iman dalam hermeneutika terhadap Kitab Suci, menjadikan aspek iman ini ditiadakan, atas dasar keyakinan bahwa Allah tidak mengintervensi sejarah manusia. Maka hermeneutika macam ini menuntut setiap elemen ilahi untuk dijelaskan dengan cara lain, dengan demikian memangkas segala sesuatunya menjadi elemen manusia, dan akhirnya menolak historisitas semua elemen ilahi (segala kejadian yang bersifat ilahi dianggap tidak terjadi). Contoh yang jelas, misalnya, pada peristiwa Yesus memberi makan lima ribu orang laki-laki (Mat 14:13-21; Mrk 6:32-44; Luk 9:10-17; Yoh 6:1-15), yang kadang dijelaskan oleh beberapa pengajar, bahwa itu terjadi bukan karena Tuhan Yesus yang memperbanyak roti, tetapi karena orang-orang itu sendiri yang saling berbagi. Interpretasi ini sesungguhnya problematik, sebab tidak ada satupun dari keempat Injil yang menuliskan kisah itu, mengatakan demikian. Yang dikatakan di sana, adalah roti itu dibagi-bagikan dan semua orang makan sampai kenyang, setelah Yesus mengucap syukur atas lima roti dan dua ikan yang diberikan kepada-Nya. Bahwa kisah ini dicatat dalam ke-empat Injil, dan oleh karena kejadian ini, orang-orang itu ingin menjadikan Yesus sebagai raja, adalah suatu fakta akan keistimewaan dan pentingnya peristiwa ini karena melibatkan mukjizat Tuhan. Sebab jika hanya peristiwa berbagi saja, tidak ada yang terlalu istimewa, yang dapat membuat orang mau menjadikan Kristus sebagai raja (Yoh 6:15). Justru karena mereka dapat makan kenyang tanpa perlu bekerja mendapatkannya, maka orang- orang itu ingin agar Yesus menjadi pemimpin mereka (lih. Yoh 6:26). Motivasi ini yang kemudian dikecam oleh Yesus, sebab Ia menghendaki agar mereka mengetahui bahwa Yesus adalah Sang Roti dari Surga yang adalah makanan rohani yang menghantar kepada kehidupan kekal.
Maka pandangan yang ingin mengeliminasi mukjizat/ segala yang ilahi dalam Kitab Suci, berbahaya bagi kehidupan Gereja, sebab orang yang percaya kepada pandangan ini dapat menganggap bahwa Kitab Suci hanya mempunyai arti rohani saja, sehingga ia tidak menghargai sifat historis yang sungguh terjadi pada pewahyuan Allah tersebut. Sebaliknya, orang yang mempunyai kehidupan rohani yang bertumbuh, umumnya tidak mempunyai kesulitan untuk memahami prinsip hermenuetika dalam Kitab Suci, sebab ia akan mempunyai kemampuan untuk memahami kejadian sesungguhnya yang dikatakan di dalam Kitab Suci. Demikianlah Gereja Katolik mengajarkan, bahwa dalam menginterpretasikan Kitab Suci, pertama-tama kita harus menerima arti literalnya terlebih dahulu, baru kemudian menerima bahwa dalam kisah yang literal tersebut, dapat terkandung makna spiritual lainnya, yaitu alegoris, moral ataupun anagogis, sebagaimana pernah ditulis di sini, silakan klik.
Pendekatan hermeneutika, menurut Paus, harusnya menunjukkan hubungan yang layak antara iman dan akal budi. Hermeneutika sekular terhadap Kitab Suci merupakan hasil akal budi yang berusaha menolak kemungkinan apapun, bahwa Tuhan dapat masuk ke dalam kehidupan manusia dan berbicara dalam bahasa manusia. Untuk memahami hal ini, sesungguhnya kita perlu memperluas ruang lingkup akal budi kita. Kalau hal ini tidak dilakukan, maka yang terjadi adalah distorsi dari apa yang sesungguhnya ingin diwahyukan Allah. Padahal, jika wahyu Allah itu dibaca dengan sikap terbuka, tanpa berkeras memasang kriteria sendiri, maka “keyakinan akan Sabda yang menjelma, jarang gagal untuk dapat diterima akal secara mendalam, bagi semua orang yang dengan tulus mencari kebenaran dan makna tertinggi dari kehidupannya sendiri dan sejarah manusia.” (Verbum Domini, 36)