Sumber gambar: https://virgoclemens.wordpress.com/2014/06/21/jesus-temptations/

[Hari Minggu Prapaskah I: Kej 9:8-15; Mzm 25:4-10; 1Ptr 3:18-22; Mrk 1:12-15].

Di awal masa Prapaska ini, sabda Tuhan mengingatkan kita akan kesetiaan Tuhan pada perjanjian-Nya (lih. Kej 9:15). Mazmur hari ini juga mengumandangkannya, “Tuhan adalah kasih setia, bagi orang yang berpegang pada perjanjian-Nya” (Mzm 25:10). Maka kita diingatkan bahwa dalam perjanjian ini ada dua pihak yang terlibat. Pertama adalah pihak Allah, dan kedua, adalah pihak manusia, yaitu kita. Dari pihak Allah, Ia selalu setia, namun bagaimana dengan kita? Bagaimana dengan aku, setiakah aku pada Tuhan?

Masa Prapaska adalah masa retret agung yang setiap tahun dirayakan oleh Gereja Katolik menjelang Paskah. Masa persiapan 40 hari ini mengacu kepada masa di mana Tuhan Yesus sendiri mengawali pelayanan publik-Nya dengan berpuasa selama 40 hari di padang gurun. Di sanalah Ia dicobai oleh Iblis. Kadang aku bertanya kepada diri sendiri, mengapa, Tuhan Yesus kok mau-maunya membiarkan diri-Nya dicobai oleh Iblis? Ada suatu elemen misteri di sini. Namun Tuhan Yesus memang menghendaki agar Ia mengalami segala hal yang dialami oleh manusia termasuk berbagai kesulitannya, agar Ia dapat meninggalkan contoh bagi kita, bagaimana seharusnya kita mengalahkan pencobaan. “…. Sebab oleh karena Ia [Yesus] sendiri telah menderita karena pencobaan, maka Ia dapat menolong mereka yang dicobai” (Ibr 2:18). Bukankah kita cenderung lebih mudah menangkap pelajaran, jika kita diberi contoh soal? Tidak seperti Injil Matius dan Lukas yang mengisahkan secara rinci pencobaan yang dialami Yesus, Injil Markus hari ini hanya menyebutkan secara ringkas tentang peristiwa tersebut. Namun kita mengetahui bahwa Yesus tidak jatuh dalam pencobaan, dan bahwa akhirnya, malaikat-malaikat Tuhan melayani Dia (lih. Mrk 1:13). Dalam kelaparan, kehausan dan kesendirian-Nya di padang gurun, Tuhan Yesus tidak menyerah kepada godaan iblis yang ingin membuat-Nya terjebak dalam keinginan daging, keinginan mata dan kesombongan. Godaan-godaan serupa ini juga kita alami sekarang dalam keseharian kita. Akupun sering heran, mengapa godaan seringnya timbul pada saat aku sedang bertekad untuk tidak memikirkannya. Misalnya, biasanya aku tidak begitu suka jajan atau ngemil, tapi mengapa pada saat aku bertekad untuk tidak ngemil sama sekali, tiba-tiba perut yang biasanya tidak lapar, mendadak bisa lapar sekali. Begitu aku bertekad untuk tidak membicarakan orang lain, mengapa pas hari itu ada orang yang begitu menjengkelkan aku? Begitu aku bertekad untuk menjadi sabar, mengapa malah timbul keadaan yang membuat aku gregetan? Begitu berniat untuk lebih rendah hati, mengapa datang pengalaman diremehkan, bahkan dimarahi orang untuk suatu tuduhan yang keliru? Tetapi justru melalui berbagai kejadian itu, aku  teringat  bahwa Tuhan Yesus juga pernah mengalami pencobaan seperti yang kualami, namun tidak mengalah kepada kecenderungan berbuat dosa. Yesus, “dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita…. sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa” (Ibr 4:15). Maka pencobaan diizinkan Allah untuk membuat kita semakin teguh melawan dosa. Tuhan “mengizinkan pencobaan, dan menggunakannya untuk memurnikan kamu, untuk menguduskanmu, membuatmu lebih terlepas dari hal-hal duniawi, mengarahkan kamu kepada-Nya dan mengambil jalan yang Ia kehendaki bagimu, agar kamu bisa hidup bahagia di tengah dunia yang mungkin tidak nyaman; untuk memberikan kedewasaan iman, pengertian dan dayaguna dalam karya kerasulanmu, dan …. di atas semua itu, untuk membuatmu menjadi rendah hati…” (Salvatore Canals, Jesus as Friends). Dengan mengandalkan rahmat-Nya, kita percaya Tuhan Yesus akan membantu kita untuk hidup mengikuti teladan-Nya, yaitu dengan kerendahan hati mematahkan jerat dosa yang utama, yaitu kesombongan.

Di masa Prapaska ini kita dipanggil untuk mengikuti Kristus dan mengambil bagian dalam cara yang dipilih-Nya untuk mengalahkan kuasa dosa. “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku” (Luk 9:23). Kristus mau agar kita menyangkal diri —artinya memilih untuk tidak melakukan apa yang kita sukai dan yang sebenarnya boleh kita lakukan— agar kita dapat mengikuti jejak-Nya. Ia yang adalah Allah dan Empunya segala sesuatu, telah dengan rela merendahkan diri-Nya, mengambil rupa manusia, hidup miskin dan wafat dengan cara yang hina, demi menyelamatkan kita. Sesungguhnya apapun bentuk pengorbanan kita tak akan dapat dibandingkan dengan besarnya pengorbanan Kristus bagi kita. Namun justru  jarak tak terhingga antara pengorbanan kita dengan pengorbanan Yesus, mengingatkan kita akan betapa besarnya kasih Tuhan kepada kita. Kita diingatkan akan kesetiaan Tuhan pada perjanjian-Nya bahwa Tuhan berkehendak menyelamatkan kita, apapun harganya, asal kita mau setia berpegang kepada perjanjian-Nya, senantiasa “bertobat dan percaya kepada Injil” (Mrk 1:15). “Tuhan Yesus, di masa Prapaska ini, topanglah aku dengan rahmat-Mu sehingga aku dapat mengalahkan segala kecenderunganku terhadap dosa, terutama dosa yang begitu sering kuulangi. Bantulah aku setia kepada-Mu, sebagaimana Engkau selalu setia kepada perjanjian-Mu, untuk menyelamatkan aku. Amin.