Dalam pendekatan hermeneutika untuk menyelidiki perkataan Yesus dalam Injil, Bart Erhman dan banyak orang yang skeptis lainnya hanya mau mempelajari tata bahasa, konteks dan keadaan eksternal dan internal penulis pada saat penulisan, namun mengabaikan sama sekali kemungkinan adanya inspirasi ilahi pada saat penulisan, apalagi memperhitungkan ajaran Gereja. Akibatnya, mereka hanya mau menganggap teks itu benar sejauh mana secara umum hal itu dapat dipahami secara logis dan historis. Sebaliknya, segala sesuatu yang nampaknya tidak logis/ terjadi secara mukjizat (atas inspirasi ilahi) dianggap tidak otentik. Selanjutnya tulisan para Bapa Gereja (yaitu para penerus Rasul) yang mendukung teks Injil yang sedang diamati juga dianggap tidak penting.

Dr. William Lane Craig, salah seorang kritikus Bart Ehrman, yang juga mendalami bahasa Yunani adalah juga salah seorang ahli Kitab Suci yang juga mendalami prinsip hermeneutika. Dalam salah satu kuliahnya, Dr. Craig pernah mengkritisi teori Ehrman, yang kalau diringkas sebagai berikut:

1. Secara umum Ehrman tidak menyampaikan fakta yang obyektif tentang konsistensi Kitab Suci, dalam hal ini Perjanjian Baru.

Ehrman menulis di banyak tulisannya maupun dalam kuliahnya, bahwa seolah-oleh ada banyak sekali kesalahan ataupun ketidaksesuaian dalam teks Perjanjian Baru, maka kesimpulannya teks tersebut tidak otentik. Tetapi nyatanya, dalam Perjanjian Baru terdapat kira-kira 138,000 kata Yunani, dan hanya sekitar 1,400 kata varian- jadi 99% teks PB itu akurat. [Akurasi ini jauh melebihi karya tulis apapun pada zaman itu, dan hal ini sudah pernah dijabarkan di sini, silakan klik].

2. Ehrman berusaha merekonstruksi Yesus atas dasar pengetahuan tentang-Nya di zaman sekarang, tanpa memperhatikan tulisan-tulisan lain tentang Yesus yang lebih dekat dengan zaman Yesus.

Melalui teorinya, Ehrman berusaha merekonstruksi Yesus berdasarkan apa yang dapat diketahui tentang-Nya dalam catatan sejarah (tentang seleksi catatan ini-pun Erhman tidak memberikan patokannya, sebab ia sesungguhnya bukan ahli sejarah, tetapi ahli bahasa Yunani), dengan mengatakan bahwa apa yang diketahui dari catatannya itulah Yesus yang sebenarnya. Padahal kita ketahui, bahwa seseorang, yang terkenal sekalipun -misalnya Napoleon, ataupun tokoh lainnya- tidak dapat dikenal sepenuhnya hanya melalui catatan sejarah. [Apalagi jika seleksi catatan sejarah yang dijadikan patokan juga tidak memperhitungkan tulisan-tulisan yang lebih dekat kepada zaman Yesus- seperti tulisan dari para Bapa Gereja. Ini ibaratnya seperti kita ingin merekonstruksi pribadi kakek dari kakek kita, dengan kriteria kita sendiri, tanpa mau memperhatikan sumber yang lebih dekat dengan kakek dari kakek kita sendiri, seperti dari ayah kakek ataupun dari kakek kita sendiri yang mempunyai kemungkinan lebih besar mengenal secara lebih dekat dan akurat tentang pribadi kakek dari kakek kita]

3. Rumusan kriteria yang disusun oleh Ehrman untuk menilai keotentikan teks tidaklah tepat, maka penerapannya juga tidak tepat.

Kriteria yang disebutkan oleh Ehrman untuk otentisitas suatu teks Kitab Suci adalah:

1. “Independent attestation“, definisinya menurut Ehrman: “Sebuah kejadian yang disebut dalam beberapa dokumen yang independen adalah lebih mungkin terjadi secara historis, daripada sebuah kejadian yang disebut hanya di dalam satu dokumen.”

Lalu untuk menjelaskan kriteria ini, Ehrman mengambil contoh dua kejadian yang berbeda, yang satu ditulis di beberapa dokumen, sedang kejadian yang lain hanya di satu dokumen.

Namun, sesungguhnya penerapan prinsip ini tidak logis. Karena dapat terjadi, walau satu kejadian hanya ditulis dalam satu dokumen, namun karena dalam banyak kriteria yang lain kejadian itu memenuhi syarat keotentikan, maka kejadian tersebut mempunyai peluang yang sama, bahwa itu sungguh terjadi secara historis.

Maka kriterianya harusnya berbunyi: “Sebuah kejadian yang disebut dalam beberapa dokumen yang independen adalah lebih mungkin terjadi secara historis, daripada jika kejadian yang sama itu disebut hanya di dalam satu dokumen.” Atas dasar paham ini maka semakin banyak suatu kejadian ditulis oleh sumber-sumber yang independen/ tak berhubungan satu sama lain (tidak saling meng-copy) maka kejadian tersebut mempunyai kemungkinan yang lebih besar bahwa sungguh terjadi/ bukan rekayasa.

Sehubungan dengan prinsip ini, maka harusnya hal kelahiran Yesus dari seorang perawan (virgin birth of Jesus) dapat diterima, sebab terdapat dua sumber independen yang mencatatnya yaitu Injil Matius dan Lukas [belum lagi jika memperhitungkan teks nubuatan di Perjanjian Lama dan tulisan para Bapa Gereja]. Namun Ehrman menolak fakta ini, dengan mengatakan seharusnya ada lebih banyak sumber yang mencatat demikian- [baginya tulisan nubuatan PL dan tulisan Bapa Gereja tidak termasuk ‘sumber’]. Alasan yang sama dikemukakannya atas kejadian Yesus dielu-elukan di Yerusalem, walaupun kejadian itu dicatat di Injil Markus dan Yohanes. Maka di sini saja sudah terlihat ketidak-konsistenan Ehrman dalam menerapkan kriteria ‘independent attestation‘ itu, sebab walaupun sudah jelas ada lebih dari satu dokumen yang independen yang mencatat kejadian-kejadian tersebut , tetap saja kejadian-kejadian itu dipertanyakan secara historis oleh Ehrman.

2&3. “Dissimilarity & embarrassment“, definisi menurut Ehrman: “Apapun tradisi Yesus yang tidak sama persis ataupun yang bertentangan dengan tradisi yang oleh jemaat/ Gereja dipertahankan, mempunyai lebih besar kemungkinan benar secara historis.”

Tapi rumusan kriteria ini juga mempunyai kelemahan, sebab mengisyaratkan kesimpulan bahwa: pokoknya apa yang sungguh dilakukan Yesus secara historis, harus merupakan hal yang tidak ada pengaruhnya sama sekali terhadap para murid-Nya di kemudian hari.

Kesalahan kriteria ini disebabkan karena di dalamnya Ehrman mencampur adukkan prinsip “dissimilarity & embarrassement” yang harusnya dirumuskan secara positif dan bukannya negatif seperti yang disampaikan Ehrman.

Maka, yang benar menurut Dr. Craig adalah: tradisi Yesus yang berbeda (dissimilar) dengan tradisi Yahudi atau yang berbeda (dissimilar) dengan yang kemudian dilakukan oleh jemaat, mempunyai kemungkinan lebih besar bahwa itu benar dari Yesus, karena tradisi tersebut bukan sekedar meng-copy kebiasaan Yahudi, ataupun hasil rekayasa dari jemaat.**Tetapi kalau ditekankannya bahwa harus tradisi yang bertentangan dengan kebiasaan jemaat saja yang benar secara historis, atau ‘pokoknya asalkan tidak sama persis dengan tradisi jemaat’, baru tradisi tersebut mempunyai kemungkinan besar terjadi secara historis, maka kriteria ini menjadi bias. Kemungkinan di sini Ehrman mengacaukannya dengan kriteria “embarrassment“, yang maksudnya adalah: apapun tulisan yang nampaknya memalukan mempunyai kemungkinan lebih besar secara historis, sebab secara logis jemaat tidak akan merekayasa tulisan yang nampaknya memalukan, jadi tulisan tersebut besar kemungkinan memang benar berasal dari Kristus sendiri. [Contohnya misalnya, ajaran tentang memberi pipi kanan, saat ditampar pipi kiri (lih. Mat 5:39), atau ajaran tentang memakan “tubuh dan darah” Kristus (lih. Yoh 6), yang mungkin terdengar aneh dan memalukan bagi orang kebanyakan pada saat itu].

**Catatan: Dr. Craig adalah seorang Kristen non- Katolik, sehingga besar kemungkinan ia tidak memperhitungkan kemungkinan bahwa jemaat/Gereja perdana justru berusaha untuk mempertahankan sedapat mungkin tradisi yang Kristus ajarkan. Sehingga aspek ‘dissimilarity‘ (perbedaan/ketidaksamaan) ini selayaknya dicermati dengan sikap kritis. Sebab memang ada kemungkinan tradisi dilakukan tidak sama persis, tetapi yang penting prinsipnya sama, sebab ‘benih’-nya diperoleh dari pengajaran Yesus. Contoh: Tradisi pencucian kaki tidak diterapkan setiap kali perayaan Ekaristi, tetapi hanya pada perayaan peringatan Perjamuan Terakhir di hari Kamis Putih. Pencucian kaki ini tidak dilakukan terhadap semua orang yang hadir, namun hanya kepada 12 orang wakil umat. Jadi dalam hal ini, pelaksanaan tradisi pencucian kaki dalam liturgi ini dilakukan tidak sama persis seperti yang dilakukan Tuhan Yesus, tetapi ‘benih’-nya diambil dari ajaran Yesus.

3. “Textual credibility“, menurut definisi Ehrman: “Apapun tradisi tentang Yesus yang tak dapat mungkin terjadi di konteks kehidupan orang Palestina saat itu, kemungkinan tidak terjadi secara historis.”

Nah, pernyataan ini juga tidak tepat. Seharusnya menurut Dr. Craig, adalah: Tradisi tentang Yesus yang dapat koheren dengan baik dengan fakta-fakta yang sudah jelas terjadi tentang Yesus, mempunyai kemungkinan besar benar-benar terjadi secara historis.

Untuk menjelaskan hal ini, Dr. Craig mengambil contoh, misalnya, bahwa Ehrman menganggap bahwa ketika Yesus mengatakan “Anak Manusia” maksudnya adalah mengacu kepada orang lain, dan bukan kepada diri-Nya sendiri, dengan patokan ayat Mrk 14:62, “Akulah Dia, dan kamu akan melihat Anak Manusia duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa dan datang di tengah-tengah awan-awan di langit.”

Di sini, Ehrman sepertinya mengabaikan bahwa di banyak kesempatan Yesus menggunakan kata “Anak Manusia” untuk mengidentifikasikan diri-Nya sendiri (sekitar 80 kali); dan penggunaan kata ini dimaksudkan-Nya untuk menunjukkan bahwa Ia adalah penggenapan dari nubuat Nabi Daniel, tentang Anak Manusia yang akan datang kembali di akhir zaman untuk mengadili segenap umat manusia. Kalau Ehrman menduga bahwa yang ‘memaksakan’ untuk menggunakan istilah tersebut pada Yesus hanya para rasul/jemaat perdana, maka seharusnya istilah tersebut marak disebut di surat-surat para rasul. Tapi nyatanya, istilah itu hanya muncul sekali di Kisah para Rasul (Kis 7:56).

Dr. Craig kemudian memberikan contoh ayat yang secara eksplisit menunjukkan bahwa Yesus mengatakan “Anak Manusia” itu untuk mengidentifikasikan diri-Nya sendiri (dan ayat tersebutpun diakui oleh Erhman sebagai otentik), dalam Mat 8:20 (Ketika orang-orang mau mengikuti-Nya, Yesus mengatakan, “Serigala mempunyai liang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat meletakkan kepala-Nya), Mat 19:28 (Ketika Yesus mengatakan bahwa di akhir zaman kedua belas rasul-Nya akan menghakimi kedua belas suku Israel, maka Anak Manusia yang disebutkan di sini tidak mungkin orang lain, tetapi Yesus sendiri), Mat 26:64 (Ketika di hadapan Sanhedrin Yesus menyatakan bahwa Ia adalah Anak Manusia yang duduk di sebelah kanan Yang Maha Kuasa dan datang di atas awan-awan di langit).

Anehnya Ehrman tidak melihat hal ini, sehingga ia menyimpulkan bahwa hasil pengadilan di Sanhedrin sebetulnya sukar dipahami, sebab, menurutnya, tidak ada salahnya seseorang mengaku sebagai Mesias dan mengatakan bahwa seorang ‘Anak Manusia’ akan datang. Ehrman sepertinya lupa bahwa justru itulah masalahnya, karena Yesus mengaku sebagai Mesias dan Anak Manusia, Ia menyatakan diri-Nya setara dengan Allah Yang Maha Kuasa, dan karena itulah Yesus dihukum mati oleh mereka, atas tuduhan menghujat Allah.

Terlihat di sini sepertinya Ehrman terbelenggu dalam kesimpulan atas asumsinya sendiri, dan bukannya menyimpulkan berdasarkan atas fakta-fakta yang tertulis dalam ayat-ayat lainnya dalam Kitab Suci, yang dengan jelas menjelaskan bahwa Yesus itulah Sang Anak Manusia yang menggenapi nubuatan para nabi, yaitu Ia yang akan datang menghakimi seluruh umat manusia di akhir zaman nanti.

Contoh berikutnya adalah keraguan Ehrman akan kebangkitan Yesus. Menurutnya tidak ada bukti historis yang dapat membuktikan kebangkitan Yesus, maka kesimpulannya, kebangkitan Yesus tidak sungguh terjadi. Menurut Dr. Craig, kesimpulan ini tidak benar, justru karena Ehrman sesungguhnya mengakui dalam beberapa pertemuannya dengan sesama ahli Kitab Suci, bahwa empat fakta yang tertulis dalam Kitab Suci, yang berkaitan dengan kejadian setelah wafat Kristus, dapat dikatakan benar secara historis, yaitu: 1) Yesus benar-benar dikubur oleh sahabat-Nya, Yusuf dari Arimathea, 2) Pada hari ketiga, kubur Yesus itu ditemukan kosong oleh para wanita yang mengunjunginya, demikian pula oleh Petrus dan Yohanes; 3) Yesus kemudian menampakkan diri kepada para murid-Nya setelah kematian-Nya; 4) Itulah asal mulanya para murid mewartakan ajaran Kristiani.

Melihat kebenaran 4 fakta ini, maka sebenarnya Ehrman tidak dapat mengatakan bahwa tidak ada bukti sama sekali bahwa Kristus tidak bangkit. Sebab sebaliknya, Ehrman juga tidak dapat menjelaskan, seandainya Kristus tidak bangkit, bagaimana menjelaskan adanya ke-empat fakta tersebut. Memang sebagai argumennya, Ehrman mensyaratkan bahwa latar belakang kejadian itu harus sangat mendukung, baru kemudian suatu kejadian itu dapat dikatakan mempunyai kemungkinan besar terjadi secara historis. Dalam hal kebangkitan Kristus, menurut Ehrman, latar belakangnya lemah, karena faktanya orang yang mati umumnya tidak bangkit/ hidup lagi, maka kemungkinan Yesus dapat bangkit dari kematian itu kecil/ tidak ada.

Selanjutnya Ehrman mengatakan: ahli sejarah tidak dapat mendasarkan kesimpulannya dari mukjizat. Ya, memang pernyataan ini secara umum benar, tetapi dalam kasus Kristus, terdapat faktor-faktor lain yang khusus, yang tidak pernah terjadi dalam sejarah manusia. Tidak ada seorangpun yang pernah menyatakan dengan perkataan dan perbuatan-nya bahwa Ia adalah Allah, seperti yang dikatakan dan dilakukan oleh Yesus. Sehingga dengan kekhususan Kristus itu, sesungguhnya bukannya tidak mungkin kebangkitan itu dapat terjadi, apalagi jika kita memperhitungkan akan adanya keberadaan Allah yang Maha Kuasa, yang melatarbelakangi segala sesuatu yang dikatakan dan dilakukan oleh Kristus dalam penjelmaan-Nya di dunia. Dari kesimpulan ini, terlihat bahwa Ehrman sudah sampai pada kesimpulannya sendiri tanpa memperhitungkan 4 fakta yang dapat menjelaskannya. Untuk mendukungnya, ia menunjukkan banyak perbedaan cara penyampaian di keempat Injil tentang peristiwa kebangkitan itu. Namun betapapun disampaikan dengan cara penulisan yang tidak persis sama, semua Injil itu tetap dengan jelas menyatakan ke-4 fakta tersebut: Yesus dikubur, lalu kuburnya ditemukan kosong, Yesus berkali-kali menampakkan diri-Nya setelah wafat-Nya, dan kebangkitan Kristus Putera Allah ini menjadi asal mula pewartaan para Rasul.

Kesimpulan:

Agaknya harus diterima juga suatu fakta bahwa Kitab Suci adalah milik Gereja, karena Kitab Suci diberikan Allah kepada Gereja, dan Kitab Suci pun terbentuk karena penentuan Gereja. Jadi pandangan yang melepaskan konteks iman dan kehidupan Gereja dalam mengartikan Kitab Suci akan menghasilkan interpretasi yang keliru, karena secara mendasar menolak prinsip dasar Kitab Suci itu sendiri.

Maka benarlah sesungguhnya yang diajarkan oleh Konsili Vatikan II dan yang dikutip dalam Katekismus Gereja Katolik tentang tiga kriteria untuk menginterpretasikan Kitab Suci sesuai dengan Roh Kudus yang sama yang mengilhami penulisannya, yaitu:

KGK 112    1. Memperhatikan dengan saksama “isi dan kesatuan seluruh Kitab Suci“. Sebab bagaimanapun bedanya kitab-kitab itu, yang membentuk Kitab Suci, namun Kitab Suci adalah satu kesatuan atas dasar kesatuan rencana Allah yang pusat dan hatinya adalah Yesus Kristus. Sejak Paskah hati itu sudah dibuka (Bdk. Luk 24:25-27.44-4).:

Ungkapan ‘hati (Bdk. Mzm 22:15) Kristus’ harus diartikan menurut Kitab Suci yang memperkenalkan hati Kristus. Hati ini tertutup sebelum kesengsaraan, karena Kitab Suci masih gelap. Tetapi sesudah sengsara-Nya Kitab Suci terbuka, agar mereka yang sekarang memahaminya, dapat mempertimbangkan dan membeda-bedakan, bagaimana nubuat-nubuat harus ditafsirkan” (Tomas Aqu., Psal. 21,11).

KGK 113    2. Membaca Kitab Suci “dalam terang Tradisi hidup seluruh Gereja“. Menurut satu semboyan para bapa “Kitab Suci lebih dahulu ditulis di dalam hati Gereja daripada di atas pergamen [kertas dari kulit]”. Gereja menyimpan dalam tradisinya kenangan yang hidup akan Sabda Allah, dan Roh Kudus memberi kepadanya penafsiran rohani mengenai Kitab Suci… “menurut arti rohani yang dikaruniakan Roh kepada Gereja” (Origenes, hom. in Lev. 5,5).

KGK 114    3. Memperhatikan “analogi iman” (Bdk. Rm 12:6). Dengan “analogi iman” dimaksudkan hubungan kebenaran-kebenaran iman satu sama lain dan dalam rencana keseluruhan wahyu.

6 COMMENTS

  1. syalom, menanggapi tanggapan yang masuk pada artikel diatas, cukup menarik perhatian. Karena prinsip “kesatuan dan persatuan” orang yang percaya dalam persekutuan dengan Roh Allah itu sangat penting, menurut saya.
    Jika memang kita percaya Allah adalah Alfa dan Omega, Maha Kuasa, Maha Tahu, dll. Maka kita juga seharusnya percaya bahwa kita juga berada di dalam kemampuan Allah tersebut.

    [Dari Katolisitas: Sebagai manusia, kita tidak akan dapat berada dalam kemampuan Allah. Kemampuan Allah sebagai Sang Pencipta itu tiada terbatas, sedangkan manusia sebagai manusia ciptaan itu terbatas. Allah memang mewahyukan diri-Nya kepada manusia, sehingga dalam keterbatasan kita, kita dapat menangkap apa yang diwahyukan Allah itu. Tetapi tidak berarti bahwa kita kita secara tuntas dapat mempunyai pemahaman/ kemampuan Allah.]

    Jika tidak maka kita akan mudah terguncang dan murtad, terlebih pada jaman kesusahan.

    [Dari Katolisitas: Jika kita dengan teguh mengimani apa yang diwahyukan oleh Allah itu, kita tidak akan mudah terguncang ataupun murtad]

    Menurut saya bisa saja di jelaskan kronologi suatu peristiwa secara persis seperti kejadian sebenarnya, kalau kita semakin memahami kemutlakan Tuhan.
    Semoga kita juga bisa mendekati yang mutlak tsb.

    [Dari Katolisitas: Kita dapat mendekati Allah, kita dapat disatukan dengan Allah, tetapi kita tidak dapat menjadi sama dengan Allah].

    Salam damai,
    Pardohar

  2. di argumen pertama Dr. Craig menyatakan bahwa ” ……dalam Perjanjian Baru terdapat kira-kira 138,000 kata Yunani, dan hanya sekitar 1,400 kata varian- jadi 99% teks PB itu akurat.” melihat bahwa katolisitas mengutip ini sebagai argumen, maka wajar jika saya berasumsi bahwa katolisitas menerima dan menyetujui pernyataan Dr. Craig. setahu saya bible adalah kitab suci, meski misalnya ada ketidak akuratan 1% di dalam bible tetap itu merupakan inakurasi. tentunya 1% yang tidak akurat ini punya potensi menjadi kesalahan yang fatal. mohon tanggapannya. terima kasih

    [Dari Katolisitas: Nampaknya perlu dipahami di sini keberadaan kata-kata varian, yang terdapat dalam berbagai salinan manuskrip Kitab Suci. Kata-kata varian tersebut tidak mengubah ajaran keseluruhan Kitab Suci. Manuskrip Injil ditemukan sekitar 30 tahun setelah wafat Kristus, dan bahwa terdapat 5000 manuskrip asli dalam bahasa Yunani (dan sekitar 20,000 non-Yunani) yang eksis. Banyaknya teks asli Perjanjian Baru tidak mendukung perkiraan bahwa teks tersebut dipalsukan. Kitab Injil dan Perjanjian Baru yang asli seluruhnya dituliskan dalam bahasa Yunani, karena bahasa Yunani pada saat itu merupakan bahasa yang umum dipakai, bahkan oleh kaum Yahudi. Banyaknya manuskrip Yunani yang asli tersebut dapat membantu mengidentifikasi adanya kelainan teks (jika ada kelainan/ varian dalam hal penyalinan) dan dengan demikian dapat diketahui teks yang sebenarnya. Dari teks asli yang sebenarnya inilah -yang keseluruhannya benar dan akurat- kemudian Kitab Suci diterjemahkan dalam berbagai bahasa].

    • Dengan hormat,

      terima kasih sebelumnya atas tanggapan katolitas. namun saya masih kurang jelas tentang konsep “teks asli” dan “teks asli yang sebenarnya” dari jawaban katolisitas. setahu saya, yang namanya teks asli ya cuma satu, sedangkan yang lainnya adalah turunan atau salinannya. setahu saya, manuscript PB yang asli dari penulisnya tidak/belum ditemukan. yang ada hanya manuscript yang merupakan turunan/salinan dari yang asli. yang dianggap terbaik (tertua dan terlengkap) setahu saya ada 3 yaitu codex Vaticanus, Alexandria dan Sinaiticus yang mana berdasarkan penelitian dibuat sekitar abad 3-4M.
      pertanyaan saya berikutnya adalah tentang pernyataan dalam jawaban katolisitas yang menyatakan bahwa ada manuscipt yang ditemukan yang dibuat 30 tahun setelah wafatnya kristus. mohon penjelasannya.

      terima kasih.

      • Shalom Jbro,

        Nampaknya di sini perlu dibedakan antara pengertian tentang naskah asli ‘original‘ yaitu yang ditulis oleh pengarang kitab; dan naskah asli ‘authentic‘, yaitu walaupun merupakan salinan, namun otentik/ asli sesuai dengan naskah yang ditulis oleh pengarangnya.

        Nah, naskah original dari kitab-kitab dalam Kitab Suci yang dituliskan oleh sang pengarang itu sendiri, memang telah hilang/ tidak ada, mengingat bahwa bahan/ material yang digunakan untuk menulis ayat-ayat itu adalah kertas papyrus yang rentan dimakan usia, dan karena digunakan lama-kelamaan hancur. Selain itu, penganiayaan umat Kristen di zaman abad-abad awal juga disertai pembakaran Kitab-kitab Suci Kristiani, sehingga saat itu kitab-kitab yang asli dihancurkan/ dibakar oleh para penguasa dalam hal ini pemerintahan Romawi, seperti yang dilakukan di zaman Diocletian di tahun 313. Hal ini dicatat oleh Eusebius dalam bukunya Church History, 8.2.1 dan 4.

        Menurut para ahli sejarah, seperti Eusebius, Theophlact, Euthymius Zigabenus dan Nicephorus Callistus, Injil asli ‘original‘ yang pertama ditulis oleh Matius, yaitu Injil Matius, di sekitar tahun 38-45, sedangkan  Lukas dan Markus sekitar 62-68 AD (dituliskan hampir bersamaan), dan Yohanes tahun 90-100 AD.

        Walau teks original ini tidak ada yang survive, demikian juga teks original kitab-kitab lainnya dalam Kitab Suci, namun demikian, ada salinan dari kitab-kitab tersebut yang telah dinyatakan otentik/ asli, sebagaimana diketahui dari tulisan para Bapa Gereja. Salinan tersebut merupakan penggabungan dari manuskrip-manuskrip kuno (sekitar abad-4), dan ini misalnya nyata dalam beberapa salinan Codex, seperti Codex Vaticanus, Sinaiticus, Alexandrinus, Bezae, dst. Codex tersebut menyampaikan teks otentik dari Kitab Suci. Adanya ketidaklengkapan di satu Codex, dilengkapi di Codex lainnya, sehingga kita dapat memperoleh pemahaman akan teks-teks yang sebenarnya dan selengkapnya. Hal ini contohnya pernah dibahas dalam kasus beberapa ayat, seperti keotentikan ayat Mrk 16:9-20, klik di sini dan di sini; dan Yoh 7:53-8:11 tentang Perempuan yang berzinah, silakan klik.

        Teks otentik dari manuskrip-manusrip kuno tersebut kemudian dikumpulkan, dirangkum dan diterjemahkan ke dalam bahasa Latin yang menjadi bahasa resmi Gereja di abad ke-4, oleh St. Hieronimus. Kitab Suci Latin ini dikenal sebagai Kitab Suci Vulgata. Teks Kitab Suci Vulgata inilah yang menyampaikan teks asli (otentik) yang sebenarnya/ yang selengkapnya. Dari sinilah kemudian Kitab Suci diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, di abad-abad berikutnya.

        Di atas semua itu, agama Kristiani bukan melulu agama yang tergantung dari Kitab Suci. Sebab yang menjadi sumber ajaran iman Kristiani, pertama-tama adalah Pribadi Kristus itu sendiri. Kristus adalah Sang Firman yang menjelma menjadi manusia (lih. Yoh 1:14), karena itu iman akan Kristus Sang Firman itu, dan bukanlah iman yang hanya berdasarkan atas huruf-huruf dalam Kitab Suci, sebab Firman Allah itu tidak dapat dibatasi hanya oleh huruf-huruf dalam Kitab Suci. Kitab Suci memang ditulis oleh umat Allah/ Gereja, untuk Gereja, sehingga Gerejalah yang berhak mengajarkannya, dan mengartikannya, sesuai dengan maksud Kitab Suci itu dituliskan.

        Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
        Ingrid Listiati- katolisitas.org

  3. bagaimana pandangan ibu Inggrid tentang pendekatan hermeneutika yang digunakan dalam penafsiran perjanjian baru? khususnya berkaitan dengan salah satu buku yang pernah saya baca yang judulnya “Misquoting Jesus” karya Bart D. Ehrman yang mengkritisi tentang otentisitas New Testament?
    terima kasih sebelumnya atas tanggapannya.

    • Shalom Jbro,

      1. Pendekatan hermeneutika dalam eksegesis (interpretasi teks Kitab Suci)

      Silakan membaca artikel ini, silakan klik.

      2. Pengaruh pendekatan hermeneutika pada pandangan Bart Ehrman dalam Misquoting Jesus

      Silakan membaca artikel di atas ini, silakan klik

      Mohon maaf atas keterlambatan jawaban ini.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

Comments are closed.