1. Definisi Kapitalisme

Kata ‘kapitalisme’ (kapital + isme) mengacu kepada sistem perekonomian di mana para individu (dan bukan pemerintah secara kolektif seperti halnya pada sistem sosialisme dan komunisme) diperbolehkan memiliki harta milik dan bisnis. Bahwa sekarang kapitalisme mungkin dapat dikonotasikan negatif, itu karena kemudian dengan sistem itu dimungkinkan adanya individu-individu yang serakah dan ingin terus melipatgandakan harta miliknya sampai menginjak pihak yang lemah, dengan mengendalikan mekanisme pasar. Tetapi jika dilihat pengertian awalnya sesungguhnya tidak otomatis negatif.

2. Apakah Gereja Katolik menentang Kapitalisme?

Nampaknya perlu didefinisikan dahulu apakah yang dimaksud dengan Kapitalisme. Sebab jika yang dimaksud adalah sistem perekonomian yang menomorsatukan keuntungan pasar dengan mengabaikan nilai- nilai etika dan moralitas -yang umum dikenal juga dengan istilah liberal kapitalisme/ neo-liberalisme- maka tentu saja Gereja Katolik menentangnya. Sedangkan kalau maksudnya adalah sistem perekonomian yang berdasarkan keuntungan yang legitim (sah) tanpa mengabaikan nilai- nilai etika dan moralitas, maka sistem tersebut dapat diterima Gereja Katolik.

3. Apakah pandangan Gereja Katolik tentang kapitalisme?

Katekismus Gereja Katolik mengajarkan demikian:

KGK 2425     Gereja telah menolak ideologi totaliter dan ateis, yang dalam waktu-waktu akhir ini bergandengan dengan “komunisme” atau dengan “sosialisme”. Di pihak lain ia juga telah menolak individualisme dan keunggulan absolut dari hukum pasar terhadap karya manusia dalam cara kerja “kapitalisme” (Bdk. Centesimus Annus/ CA 10; 13;44). Pengaturan ekonomi secara eksklusif oleh rencana sentral merusak hubungan masyarakat secara radikal; pengaturan yang semata- mata melalui hukum pasar melawan keadilan sosial, karena “ada berbagai kebutuhan manusia yang tidak mendapat tempat di pasar” (CA 34). Karena itu harus diusahakan satu pengaturan pasar yang bijaksana dan usaha-usaha perekonomian yang diarahkan kepada tata nilai yang tepat dan kepada kesejahteraan semua orang.

Dengan demikian, walaupun nampaknya kapitalisme tidak berkaitan langsung dengan ideologi (seperti dalam komunisme), namun penerapannya yang semena- mena mengandalkan mekanisme pasar tanpa prinsip keadilan, akhirnya juga dapat mengakibatkan kepincangan keadaan ekonomi dan sosial dalam masyarakat. Praktek kapitalisme yang sedemikian ditentang oleh Gereja Katolik.

Paus Yohanes Paulus II menjawab pertanyaan tentang apakah kapitalisme dapat disarankan oleh orang- orang Katolik, demikian:

“… Jawabnya nampaknya kompleks. Jika dengan “kapitalisme” yang dimaksud adalah sistem ekonomi yang mengenal peran  bisnis secara mendasar dan positif, [peran] pasar, hak milik individu dan tanggung jawab bagi cara- cara produksi, seperti juga kreativitas bebas manusia di dalam sektor ekonomi, maka jawabnya tentu positif [Ya], meskipun mungkin lebih tepat itu disebut sebagai “ekonomi bisnis”, “ekonomi pasar” atau “ekonomi bebas.” Tetapi jika dengan “kapitalisme yang dimaksud adalah sebuah sistem di mana kebebasan sektor ekonomi tidak dibatasi di dalam kerangka yuridis yang kuat yang menempatkannya di pelayanan terhadap kemerdekaan manusia di dalam keseluruhannya, dan yang melihatnya sebagai aspek khusus dari kemerdekaan itu yang dasarnya bersifat etis dan religius, maka jawabannya tentu adalah negatif [Tidak].” (Centesimus Annus, 42)

Jika Paus Benediktus XV mengkritik Kapitalisme, nampaknya ia mengacu kepada konsep neo-liberalisme sebagaimana disebut oleh Paus Yohanes II dalam Ecclesia in America:

“Lebih dan lebih lagi, di banyak negara di Amerika, sebuah sistem yang dikenal dengan “neo-liberalisme” mencuat; berdasarkan atas konsepsi ekonomis yang murni, sistem ini menganggap keuntungan dan hukum pasar sebagai parameter satu- satunya, dengan mengorbankan martabat dan penghormatan yang layak bagi pribadi-pribadi manusia dan bangsa-bangsa. Sering sistem ini telah menjadi pembenaran ideologis bagi sikap- sikap tertentu dan tingkah laku di dalam bidang sosial dan politik, yang mengarah kepada pengabaian anggota- anggota yang lebih lemah dalam masyarakat. Memang, kaum miskin menjadi semakin banyak jumlahnya, korban- korban kebijakan- kebijakan dan struktur tertentu yang seringkali tidak adil.” (Ecclesia in America, 56)

Paus Benediktus XVI dengan tegas menyatakan bahwa jika sistem perekonomian tidak ditopang oleh moralitas yang baik, maka terdapat kecenderungan egosime yang saling bersaing untuk mencapai keuntungan sebanyak- banyaknya. Oleh karena itu, diperlukan dasar pondasi moral bagi para pelaku pasar, sehingga diperoleh rekonsiliasi antara moralitas dan efisiensi pasar, yang tidak berorientasi semata- mara kepada keuntungan maksimum, melainkan kepada pengendalian diri (self-restraint) dan pelayanan bersama (common service). Selanjutnya tentang hal ini dapat dibaca di bukunya, Market Economy and Ethics, silakan klik.

Dalam suratnya kepada para Uskup Amerika Latin, Paus Benediktus XVI menulis bahwa baik Kapitalisme (maksudnya liberal- kapitalisme) maupun Marxisme, yang mengesampingkan nilai- nilai religius- keduanya menciptakan jenjang yang semakin lebar antara kaum miskin dan yang kaya; dan kedua sistem ini menurunkan martabat manusia. Oleh karena itu, perlu dipikirkan sebuah struktur yang adil yang dapat menggabungkan nilai- nilai politik, ekonomi dan sosial, dengan memasukkan nilai- nilai moralitas yang jika diperlukan melibatkan pengorbanan, meskipun hal ini dapat bertentangan dengan kepentingan pribadi. Demikian kutipan pernyataan Paus Benediktus XVI:

Both capitalism and Marxism promised to point out the path for the creation of just structures, and they declared that these, once established, would function by themselves; they declared that not only would they have no need of any prior individual morality, but that they would promote a communal morality. And this ideological promise has been proved false. The facts have clearly demonstrated it. The Marxist system, where it found its way into government, not only left a sad heritage of economic and ecological destruction, but also a painful oppression of souls. And we can also see the same thing happening in the West, where the distance between rich and poor is growing constantly, and giving rise to a worrying degradation of personal dignity through drugs, alcohol and deceptive illusions of happiness.

Just structures are, as I have said, an indispensable condition for a just society, but they neither arise nor function without a moral consensus in society on fundamental values, and on the need to live these values with the necessary sacrifices, even if this goes against personal interest.

Where God is absent—God with the human face of Jesus Christ—these values fail to show themselves with their full force, nor does a consensus arise concerning them. I do not mean that non-believers cannot live a lofty and exemplary morality; I am only saying that a society in which God is absent will not find the necessary consensus on moral values or the strength to live according to the model of these values, even when they are in conflict with private interests.

On the other hand, just structures must be sought and elaborated in the light of fundamental values, with the full engagement of political, economic and social reasoning. They are a question of recta ratio and they do not arise from ideologies nor from their premises. Certainly there exists a great wealth of political experience and expertise on social and economic problems that can highlight the fundamental elements of a just state and the paths that must be avoided. But in different cultural and political situations, amid constant developments in technology and changes in the historical reality of the world, adequate answers must be sought in a rational manner, and a consensus must be created—with the necessary commitments—on the structures that must be established….” (Inaugural Session of the fifth General Conference of the Bishops of Latin America and the Caribbean, Address of His Holiness Benedictus XVI, 4)

Jika kapitalisme yang dimaksud adalah sistem yang mengutamakan keuntungan/ profit semata, tak mengherankan bahwa sistem ini dapat menjadi sistem yang tergantung dari kontrol absolut para kapitalis/ pemilik modal. Dalam keadaan demikian dapat terjadi hal- hal yang negatif, seperti: 1) para kapitalis menjadi penentu segalanya (me- monopoli), dan ini dapat merusak persaingan yang bebas dan memperburuk kondisi buruh; 2) negara menjadi pelayan bagi para kapitalis/ pemilik modal, 3) kebijakan nasional dapat diarahkan untuk menguntungkan orang- orang kaya, daripada mengusahakan kebaikan bersama. Ketiga hal ini secara mendasar menentang prinsip ajaran sosial Gereja Katolik, yang menekankan keadilan bagi semua pelaku pasar, mengusahakan kebaikan/ kesejahteraan bersama, menjunjung tinggi martabat manusia dan mengutamakan perhatian kepada kaum miskin.

Selanjutnya tulisan Paus Yohanes Paulus II tentang ajaran sosial Gereja yang antara lain menyampaikan kritik terhadap praktek- praktek liberal kapitalisme, adalah: Laborem Exercens (tentang Pekerjaan Manusia), Centesimus Annus (Peringatan Seratus Tahun Ensiklik Paus Leo XIII, Rerum Novarum), Sollicitudo rei socialis (Peringatan dua puluh tahun Ensiklik Paus Paulus VI, Popularum Progressio).

Sedangkan prinsip ajaran keadilan dan kasih yang ditulis oleh Paus Benediktus XVI dalam Caritas in Veritate, yang menjadi salah satu prinsip penting dalam ajaran sosial Gereja Katolik, dapat dibaca terjemahannya di sini, silakan klik.

 

6 COMMENTS

  1. Dear All .

    Ada video menarik dari BBC( 3 sesi ) yang sudah pernah diputar di BBC Knowledge (Indo vision ) mengenai kejatuhan kapitalisme barat setelah krisis 2008 – runtuhnya lembaga 2 keuangan raksasa Amerika Eropa . Video tsb juga bisa didownload di You Tube (judulnya Love of Money )
    Sangat menarik karena BBC yang jelas sekuler memberi judul : Love of Money – jadi keruntuhan kapitalis barat ( Leichman brothers etc) adalah karena “Cinta akan uang” , yang BBC ambil dari 2 Timotius 6 – Cinta akan uang adalah akar dari segala kejahatan .
    Yang jelas , kebangkrutan kapitalis barat tsb menyebabkan kerugian begitu banyak manusia , namun begitu para kapitalis sendiri tidak ikut bangkrut tetapi tetap sangat kaya raya dan sebagian besar tidak tersentuh oleh hukum .

    Nah dunia sekarang jelas diatur oleh yang kuat dan kaya (para kapitalis ) ;

    Sekarang ini krisisnya merambat ke negara dan menjadi makin berbahaya .

    Dalam bahasan Advent Keuskupan Agung Jakarta – Gereja Katolik dengan seluruh umatnya dipersatukan dalam satu persaudaraan dalam satu Tubuh , melalui Ekaristi dalam Tubuh mistik Kristus

    Gereja dan umat sebagai satu tubuh juga sedang sakit karena banyak umatnya ( bagian dari Tubuh ) di Eropa , Amerika yang Check Out ( seorang Iman dalam pertemuan mengatakan minus 6% setiap tahun ) . Inilah yang seharusnyya jadi masalah utama Gereja .

    Apakah hidup menggereja kita sudah sesuai kehendak Tuhan ? ; apakah kita , terutama yang makmur tidak akan seperti umat di eropa .

    Mungkin kita perlu membaca Surat yakobus ., Kitab Nabi Amos , dan mendengarkan Sabda 2 Tuhan , meskipun itu terasa sangat keras dan tidak cocok dengan selera kita , karena itulah yang memungkinkan kita menjadi sadar apakah yang salah pada diri kita ? .

    Paulus Sutikno

  2. Shalom,

    Saya sedang membutuhkan beberapa dokumen dan ensiklik serta Kitab Hukum Kanonik untuk tugas kuliah, di mana saya bisa mendapatkannya ya?

    Terima Kasih

    Shalom,

    Monica

    • Shalom Monica,
      Silakan klik di Ekaristi.org dan di imankatolik.or.id
      Sedangkan untuk mendapatkan ensiklik dalam edisi cetak, silakan menghubungi Toko Buku Obor di Jakarta.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  3. Salam Katolisitas

    Sy mau bertanya, sebetulnya saya sedikit bingung dng pemahaman komunis: atheis??
    Jika dikatakan komunis atheis, lalu kenapa di Cuba ttp m’akui adanya gereja Katolik, di Uni-Soviet ttp ada gereja Ortodok, lalu d Vietnam ttp percaya pd Budha dan ada Vihara…..
    Hal ini berbeda jauh dng Cina dan Korea Utara yg m’anut komunis totaliter, nah pada kedua negara inilah yg mgkn cocok di sebut atheis…..
    Lalu bagaimana dengan Demokrasi-Sosial rancangan foundhing father Soekarno-Hatta, krn dlm Demokrasi-Sosial tsb berbeda jauh dr komunisme…
    Mohon penjelasannya, krn stlah btahun’ kita yg di Indonesia ini tlah dibutakan oleh bahaya laten komunis, rancangan para ‘berkele’ neo-kolim, untuk memuluskan usaha mereka m’ngeruk smua kekayaan tanah air untuk kantong mereka dan kemakmuran golongan mereka sendiri…
    Apakah salah sbg seorang katolik sy berpandangan politik ‘demokrasi-sosial’

    Trima kasi
    Berkah Dalem

    • Shalom Michael,

      Nampaknya perlu diketahui bahwa memang paham komunisme/ sosialisme mempunyai kecenderungan untuk bertumbuh menjadi atheisme, mengingat bahwa prinsip komunisme meletakkan otoritas pengaturan segala aspek kehidupan ke tangan negara/ kelompok- kelompok tertentu yang disetujui oleh negara. Hal ini disebutkan di dalam surat ensiklik yang dituliskan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam surat ensikliknya, Centesimus annus, klik di sini. Prinsip sosialisme yang meniadakan hak milik individu dan meniadakan tanggung jawab individu dalam aspek- aspek kehidupan bermasyarakat didasari oleh paham bahwa manusia (tanpa Tuhan) dapat menentukan sendiri keteraturan dalam masyarakat, tanpa mengacu kepada martabat dan tanggung jawab setiap pribadi. Masyarakat terutama generasi muda diarahkan bahwa yang berkuasa menentukan kebahagiaan mereka adalah pemerintah dan negara, dan bukan Tuhan, dan inilah yang menyesatkan, sebab fakta membuktikan bahwa tidaklah mungkin manusia mencapai kebahagiaan sejati tanpa Tuhan. Hal ini nyata dengan tumbangnya negara pelopor komunisme yaitu Rusia (dan negara-negara Eropa Timur) di tahun 1989.

      Berikut ini saya sampaikan kutipannya dari surat ensiklik tersebut:

      “If we then inquire as to the source of this mistaken concept of the nature of the person and the “subjectivity” of society, we must reply that its first cause is atheism. It is by responding to the call of God contained in the being of things that man becomes aware of his transcendent dignity. Every individual must give this response, which constitutes the apex of his humanity, and no social mechanism or collective subject can substitute for it. The denial of God deprives the person of his foundation, and consequently leads to a reorganization of the social order without reference to the person’s dignity and responsibility. 

      The atheism of which we are speaking is also closely connected with the rationalism of the Enlightenment, which views human and social reality in a mechanistic way. Thus there is a denial of the supreme insight concerning man’s true greatness, his transcendence in respect to earthly realities, the contradiction in his heart between the desire for the fullness of what is good and his own inability to attain it and, above all, the need for salvation which results from this situation.” (CA 13) 

      “But the true cause of the new developments was the spiritual void brought about by atheism, which deprived the younger generations of a sense of direction and in many cases led them, in the irrepressible search for personal identity and for the meaning of life, to rediscover the religious roots of their national cultures, and to rediscover the person of Christ himself as the existentially adequate response to the desire in every human heart for goodness, truth and life. This search was supported by the witness of those who, in difficult circumstances and under persecution, remained faithful to God. Marxism had promised to uproot the need for God from the human heart, but the results have shown that it is not possible to succeed in this without throwing the heart into turmoil.” (CA 24)

      Maka nampaknya, di sini tergantung dari sejauh mana suatu negara menerapkan sistem sosialisme tersebut. Semakin totaliter negara tersebut menerapkan sistem sosialisme, semakin besarlah kemungkinan negara tersebut menjadi negara ateis. Kami di katolisitas tidak berkompetensi untuk menilai suatu sistem kemasyakatan dalam suatu negara, maka kami tidak dapat memberikan komentar akan suatu sistem kemasyarakatan di suatu negara tertentu, sebab kemungkinan pada suatu negara yang tidak secara total menerapkan sistem sosialisme, memang mungkin masih dimungkinkan adanya agama, namun dalam negara sosialisme yang totaliter, maka keberadaan agama berada dalam pengawasan ketat dari pemerintah, atau jika tidak, malah sepenuhnya dilarang, sehingga jika ada sekalipun, keberadaannya harus diadakan secara sembunyi- sembunyi.

      Hal sosialisme totaliter yang mengarah kepada atheisme ini berbeda dengan sistem demokrasi, sebab sistem demokrasi tidak secara semena- mena meniadakan peran individu. Dalam sistem demokrasi, pandangan individu demi kepentingan bersama bahkan dianggap sebagai kontribusi yang baik dalam mencari solusi dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Dalam hal ini, maka prinsip ini tidak bertentangan dengan ajaran sosial Gereja, yang mengajarkan prinsip keadilan dan kasih, menjunjung tinggi martabat setiap orang, dan berjuang untuk memenuhi kesejahteraan umum tanpa meniadakan tanggung jawab setiap individu.

      Paus Benediktus XVI dalam surat ensikliknya, Caritas in Veritate menuliskan tentang prinsip ajaran sosial Gereja, silakan klik di sini untuk membacanya.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  4. Shalom
    Bu Ingrid dan pak Stef, berhubung sekarang sedang terjadi demonstrasi besar-besaran menentang Capitalisme di seluruh dunia, kiranya pihak katolisitas mau memberikan ulasan mengenai Capitalisme dalam pandangan Gereja Katolik. Kemudian benarkah bahwa Gereja Katolik tidak terlalu keras menentang Capitalisme seperti halnya sosialisme komunis di era sebelumnya ? Banyak diskusi yang saya lihat menyimpulkan hal itu terjadi karena sosialisme sangat ditentang oleh GK salah satunya karena ideologi atheisnya, sementara Capitalisme tidak mencakup ideologi tersebut sehingga GK tidak terlalu merespon hal tersebut walaupun tetap memiliki dampak negatif terhadap kehidupan sosial yang sangat besar.
    Berto

    [Dari Katolisitas: Pertanyaan ini sudah dijawab di atas, silakan klik]

Comments are closed.