Pertanyaan:
Dear Katolisitas, mohon tanggapannya atas artikel ini yang didalamnya banyak mengutip ayat2 injil dan membenarkan penggunaan Kontrasepsi. Bagaimana tanggapan Katolisitas?
Salahkah Menggunakan Kontrasepsi?
BAGAIMANA menurut Anda? Salahkah bila pasangan yang sudah menikah menggunakan kontrasepsi? Jawaban Anda kemungkinan besar bergantung pada keyakinan agama Anda. Gereja Katolik mengajarkan bahwa upaya apa pun yang dirancang untuk menghambat dihasilkannya keturunan ”pada dasarnya jahat”. Dogma Katolik mendukung gagasan bahwa setiap hubungan seks antara suami dan istri tidak boleh menutup kemungkinan terjadinya kehamilan. Maka, bagi Gereja Katolik, kontrasepsi ”tidak bisa dibenarkan secara moral”.
Banyak orang merasa bahwa sudut pandang ini sulit diterima. Menurut laporan sebuah artikel di Pittsburgh Post-Gazette mengenai pokok tersebut, ”lebih dari 75% orang Katolik di Amerika Serikat mengatakan bahwa gereja seharusnya mengizinkan penggunaan kontrasepsi. . . . Dan, setiap hari jutaan orang tidak menggubris larangan itu”. Salah seorang di antara mereka, Linda, ibu tiga anak, terus terang mengakui bahwa ia menggunakan kontrasepsi. Namun, ia mengatakan, ”Menurut hati nurani saya, sejujurnya saya tidak percaya bahwa saya telah berdosa.”
Apa yang diajarkan Firman Allah mengenai hal ini?
Kehidupan Itu Berharga
Allah menganggap kehidupan seorang anak berharga, bahkan pada tahap-tahap paling awal perkembangannya. Raja Daud dari Israel menulis di bawah ilham, ”Engkau menaungi aku dalam perut ibuku. . . . Matamu melihat bahkan ketika aku masih embrio, dan semua bagiannya tertulis dalam bukumu.” (Mazmur 139:13, 16) Pada saat pembuahan, mulailah suatu kehidupan yang baru, dan menurut Hukum Musa, orang bisa dimintai pertanggungjawaban karena mencederai anak yang masih dalam kandungan. Malah, Keluaran 21:22, 23 menyatakan secara spesifik bahwa jika seorang wanita yang hamil atau anaknya yang belum lahir mengalami kecelakaan fatal akibat perkelahian dua pria, masalah itu harus disampaikan kepada hakim-hakim yang terlantik. Mereka harus mempertimbangkan keadaan dan tingkat kesengajaannya, tetapi hukumannya bisa ”jiwa ganti jiwa”, atau kehidupan ganti kehidupan.
Prinsip tersebut berlaku untuk kontrasepsi karena ada metode keluarga berencana (KB) yang ternyata mengakibatkan keguguran. Metode kontrasepsi itu tidak selaras dengan prinsip ilahi tentang merespek kehidupan. Namun, kebanyakan kontrasepsi tidak mengakibatkan keguguran. Bagaimana dengan penggunaan metode KB semacam itu?
Tidak ada ayat Alkitab yang memerintahkan orang Kristen untuk beranak cucu. Kepada pasangan manusia pertama dan keluarga Nuh, Allah berfirman, ”Beranakcuculah dan bertambah banyak dan penuhilah bumi.” Namun, perintah ini tidak diulangi kepada orang Kristen. (Kejadian 1:28; 9:1) Karena itu, pasangan yang sudah menikah bisa memutuskan sendiri apakah mau mempunyai keturunan, berapa banyak anak yang diinginkan, dan kapan ingin mempunyai anak. Alkitab juga tidak mengutuk KB. Jadi, dari sudut pandang Alkitab, pasangan suami istri itulah yang harus memutuskan apakah akan menggunakan suatu metode kontrasepsi atau tidak. Namun, mengapa Gereja Katolik mengutuk penggunaan kontrasepsi?
Hikmat Manusia versus Hikmat Ilahi
Menurut sumber-sumber Katolik, baru pada abad kedua M, orang yang mengaku Kristen untuk pertama kalinya mengadopsi sebuah aturan Stoa bahwa satu-satunya tujuan yang sah untuk hubungan seks dalam perkawinan adalah menghasilkan keturunan. Jadi, pandangan ini didasarkan atas penalaran filosofis dan bukan penalaran Alkitab. Dasarnya bukanlah hikmat ilahi, melainkan hikmat manusia. Falsafah ini terus bertahan selama berabad-abad dan dikembangkan oleh para teolog Katolik. Akan tetapi, ajaran ini mencetuskan gagasan bahwa hubungan seks untuk kenikmatan seksual semata adalah dosa dan, karena itu, hubungan seks yang menutup kemungkinan untuk menghasilkan keturunan adalah amoral. Namun, gagasan ini tidak diajarkan Alkitab.
Dengan bahasa puitis, buku Amsal dalam Alkitab menggambarkan keintiman seksual yang patut antara suami dan istri, ”Minumlah air dari perigimu sendiri, dan aliran kecil dari dalam sumurmu sendiri. . . . Biarlah sumber airmu diberkati, dan bersukacitalah dengan istri masa mudamu, rusa betina yang menimbulkan perasaan kasih dan kambing gunung yang memesonakan. Biarlah buah dadanya memabukkan engkau pada segala waktu. Dengan cintanya, semoga engkau senantiasa memiliki perasaan yang meluap-luap.”—Amsal 5:15, 18, 19.
Hubungan seks antara suami dan istri adalah karunia dari Allah. Namun, tujuannya bukan semata-mata untuk menghasilkan keturunan. Hubungan seks juga memungkinkan pasangan yang sudah menikah untuk menyatakan kelembutan dan cinta kasih. Jadi, jika ada pasangan suami istri yang memutuskan untuk mencegah kehamilan dengan menggunakan suatu bentuk kontrasepsi, itu adalah hak mereka, dan tidak ada yang boleh menghakimi mereka.—Roma 14:4, 10-13.
[Catatan Kaki]
Baru pada abad ke-13, Gregorius IX memberlakukan apa yang New Catholic Encyclopedia sebut sebagai ”undang-undang universal pertama yang dikeluarkan oleh seorang paus yang melarangkan kontrasepsi”.
PERNAHKAH ANDA BERTANYA-TANYA?
▪ Apakah hubungan seks antara suami dan istri adalah dosa?—Amsal 5:15, 18, 19.
▪ Apa yang harus diingat orang Kristen jika mereka menggunakan kontrasepsi?—Keluaran 21:22, 23.
▪ Bagaimana orang-orang lain hendaknya menyikapi pasangan suami istri yang menggunakan kontrasepsi?—Roma 14:4, 10-13.
[Blurb di hlm. 11]
Kepada pasangan manusia pertama dan keluarga Nuh, Allah berfirman, ”Beranakcuculah dan bertambah banyak dan penuhilah bumi.” Namun, perintah ini tidak diulangi kepada orang Kristen
Sumber : majalah Sedarlah Bulan September 2007 halaman 10 – 11.
Mohon tanggapan dari pengasuh Katolisitas, Tuhan memberkati!
Dela
Jawaban:
Shalom Dela,
Pertama- tama harus dipahami terlebih dahulu bahwa sampai sekitar tahun 1930 semua Gereja, baik Katolik maupun non- Katolik, menyetujui bahwa penggunaan alat kontrasepsi, walaupun itu tidak mengakibatkan pengguguran, merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan secara moral. Baru pada sekitar tahun 1930, didahului dengan konferensi Lambeth (1920), gereja- gereja non- Katolik mulai memperbolehkannya, dimulai dari gereja Anglikan.
Pertanyaannya, apakah sampai sekitar 1920 seluruh gereja disesatkan oleh hikmat manusia? Saya rasa tidak. Justru fakta ini menunjukkan bahwa manusia modernlah yang berusaha untuk “menyesuaikan” praktek ini menurut hikmatnya sendiri dengan memperhatikan segi kepraktisan dan keinginan mereka, sehingga mulai memilih- milih ayat yang dipandangnya mendukung pemahamannya dan tidak mengindahkan ayat- ayat yang lain yang nampaknya sulit dan menentang kehendaknya. Sebab ajaran yang melarang pemakaian alat kontrasepsi itu sudah ada sejak abad- abad awal, dan diajarkan oleh para Bapa Gereja, seperti pernah diulas di artikel ini, yaitu di no. IX.2, silakan klik. Para pendukung pemakaian alat kontrasepsi kerap memberikan argumen bahwa larangan kontrasepsi diperoleh dari pengaruh ajaran Stoa (Stoicism) yaitu aliran filosofi Yunani, yang mendasarkan ajaran atas kodrat akal budi manusia, dan karena itu dianggap bukan hikmat ilahi. Anggapan ini keliru, sebab pandangan ini mempertentangkan antara kodrat akal budi dan iman, seolah- olah keduanya bertolak belakang. Padahal baik akal budi maupun iman berasal dari Allah, maka pemahaman akan keduanya akan saling melengkapi dan saling mendukung satu sama lain. Bahwa ajaran Stoicism yang berkembang di abad ke-3 sebelum Masehi sudah melarang kontrasepsi, justru semakin memperkuat bahwa sejak dahulu manusia sudah dapat memahami bahwa penggunaan kontrasepsi itu bertentangan dengan akal sehat dan kodrat manusia. Baru setelah Kristus datang ke dunia, ajaran tersebut semakin diperjelas, dengan dimensi iman, yaitu bahwa perkawinan itu harus merupakan gambaran pemberian diri yang total antara suami kepada istrinya sebagaimana pemberian diri Kristus yang total kepada Gereja (lih. Ef 5:22-33). Kasih yang total ini tidak menahan sebagian, atau menolak sebagian pemberian diri pasangan, dalam hal ini adalah karunia kesuburan (the gift of fertility) pasangan. Katekismus mengajarkan:
KGK 1643 “Cinta kasih suami isteri mencakup suatu keseluruhan. Di situ termasuk semua unsur pribadi: tubuh beserta naluri-nalurinya, daya kekuatan perasaan dan afektivitas, aspirasi roh maupun kehendak. Yang menjadi tujuan yakni: kesatuan yang bersifat pribadi sekali; kesatuan yang melampaui persatuan badani dan mengantar menuju pembentukan satu hati dan satu jiwa; kesatuan itu memerlukan sifat tidak terceraikan dan kesetiaan dalam penyerahan diri secara timbal balik yang definitif, dan kesatuan itu terbuka bagi kesuburan. Pendek kata: itulah ciri-ciri normal setiap cinta kasih kodrati antara suami dan isteri, tetapi dengan makna baru, yang tidak hanya menjernihkan serta meneguhkan, tetapi juga mengangkat cinta itu, sehingga menjadi pengungkapan nilai-nilai yang khas Kristen” (Familiaris Consortio 13).
Jadi, adalah keliru jika kita menyangka Gereja Katolik hanya menekankan aspek pro-kreasi dalam hubungan suami dan istri. Tidak demikian. Katekismus Gereja Katolik mengajarkan:
KGK 1601 “Perjanjian Perkawinan, dengan mana pria dan wanita membentuk antar mereka kebersamaan seluruh hidup, dari sifat kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-isteri serta pada kelahiran dan pendidikan anak; oleh Kristus Tuhan Perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat Sakramen” (KHK kan. 1055, 1).
Oleh karena itu, ada dua aspek yang tidak terpisahkan dalam hubungan suami istri, yaitu aspek union (persatuan suami istri) dan pro-creation (kemungkinan menghasilkan keturunan), sebab memang demikianlah sejak awal mula ditentukan Tuhan. Hubungan seksual suami istri yaitu persatuan total yang melibatkan bersatunya tubuh suami dan istri direncanakan Allah sedemikian, selain untuk mempererat kasih mereka, namun juga untuk melibatkan mereka dalam karya penciptaan-Nya. Dengan demikian, Gereja Katolik tidak menentang keintiman suami istri seperti yang dilukiskan dalam Ams 5:18-19; maka hubungan seksual antara suami dan istri bukanlah perbuatan dosa. Namun pada saat yang sama, Gereja Katolik tetap mengakui perintah Allah agar manusia beranak cucu dan menaklukkan bumi (Kej 1:28); dan tidak mengatakannya bahwa itu bukan pesan untuk umat Kristen. Perintah untuk berkembang biak masih merupakan perintah yang valid sampai sekarang, karena anak- anak merupakan berkat bagi orang tua (lih. Mzm 127:4) dan dengan keturunan-lah suatu bangsa akan tetap eksis di dunia ini dan memberikan kontribusinya untuk menaklukkan bumi. Maka, jika dilakukan menurut kehendak Tuhan, yaitu sebagai ungkapan kasih yang total dan terbuka untuk kelahiran, hubungan suami istri bukan hanya tidak merupakan dosa, melainkan merupakan suatu yang kudus, sebab hubungan itu membuka kesempatan bagi Tuhan untuk melaksanakan salah satu karya-Nya yang termulia, yaitu menganugerahkan kehidupan manusia yang baru sebagai buah kasih yang total itu. Dengan demikian, kesatuan suami istri menjadi gambaran yang semakin menyerupai kesatuan ketiga Pribadi dalam Allah Tritunggal, di mana kasih yang total antara Allah Bapa dan Putera, menghembuskan Roh Kudus.
Jadi jika Gereja Katolik mengajarkan larangan penggunaan kontrasepsi itu bukannya karena memberikan aturan baru dari manusia, tetapi melestarikan ajaran yang memang sudah diajarkan oleh Gereja sejak awal mula. Magisterium Gereja yaitu Paus dan para Uskup, selaku penerus para rasul memang bertugas mengajar umat Tuhan (lih. Mat 16:19, 18:18); dan yang harus diajarkan adalah segala sesuatu yang diperintahkan Yesus (lih. Mat 28:19-20). Dengan demikian, sudah sejak awal mula para Bapa Gereja melaksanakan perintah ini, antara lain dengan mengajarkan tentang larangan penggunaan kontrasepsi, yang selain bertentangan dengan akal sehat dan hukum kodrat, juga bertentangan dengan hakekat kasih yang total antara suami istri, sebagaimana diajarkan oleh Kristus.
Selanjutnya, tidak kontekstual untuk menghubungkan ayat Rom 14:4, 10-13 dengan ajaran Gereja Katolik tentang larangan kontrasepsi. Gereja Katolik melalui Magisterium mempunyai tugas untuk mengajar umat Tuhan, dan bahkan seluruh bangsa (lih. Mat 28:29-20). Tugas Magisterium itu seumpama wasit dalam pertandingan, ia bertanggungjawab untuk memimpin pertandingan dengan menyatakan mana yang benar dan salah. Maka keberadaannya justru untuk menegakkan kebenaran, agar tidak terjadi kekacauan karena masing- masing pihak menginterpretasikan sendiri peraturan pertandingan. Pada akhirnya, keputusan memang ada di tangan para suami istri itu sendiri, tetapi jika mereka mempunyai kerendahan hati, tentunya mereka bisa melihat keotentikan ajaran Gereja Katolik. Sebab sejak alat kontrasepsi marak digunakan (mungkin sekitar tahun 1960-an), yang terjadi bukan buah- buah positif bagi pasangan, melainkan buah- buah negatif dan bahkan buah negatif ini meluas ke masyarakat dan dunia. Setelah satu generasi berlalu buah negatif ini makin nyata: Angka perceraian bertambah, semakin banyaknya istri yang merasa tidak dikasihi sebagai pribadi, namun hanya sebagai obyek pemuasan kebutuhan suami, bertambahnya aneka jenis penyakit sehubungan dengan organ reproduksi terutama bagi kaum perempuan, meningkatnya jumlah aborsi, merosotnya nilai- nilai moral dalam masyarakat, terutama yang disebabkan oleh seks bebas, yang dilakukan bahkan oleh anak- anak remaja, dan turunnya angka kelahiran dalam negara- negara maju, sampai ke level memprihatinkan sehingga mereka terancam punah dalam 50-100 tahun ke depan, jika keadaan tidak diubah. Silakan membaca selanjutnya dalam artikel Humanae Vitae itu benar!, silakan klik.
Jika kita memakai rumus yang diajarkan oleh Kristus sendiri dalam Mat 7:16- 20, maka kita akan mengenal manakah ajaran yang berasal dari hikmat manusia, dan mana yang sungguh otentik berasal dari Allah, dengan melihat buahnya. Pendapat dunia menghalalkan segala bentuk kenikmatan daging, sedangkan Tuhan mengajarkan kita untuk mengatasinya, dengan penguasaan diri. Dalam perkawinan penguasaan diri dinyatakan oleh suami dan istri dengan menghilangkan rasa saling mementingkan diri sendiri -’musuh’ dari cinta sejati- dan memperdalam rasa tanggung jawab (HV 21). Gereja Katolik tidak melarang suami istri untuk menyatakan kasih mereka, namun silakan menyatakannya dengan cara yang wajar dan tidak menentang kodrat. Juga, jika diperlukan, Gereja Katolik memperbolehkan pengaturan kelahiran, namun pelaksanaannya harus secara alamiah, dan tidak melanggar prinsip pemberian diri yang total antara suami dan istri. Tentang metodanya, sudah pernah dibahas di sini, silakan klik. Dengan demikian, pasangan suami istri memperlakukan tubuh mereka sesuai dengan kehendak Tuhan, dan bukan atas kehendak mereka sendiri. Ini adalah bukti bahwa mereka memuliakan Tuhan dengan tubuh mereka (lih. 1 Kor 6:19-20), sebab setelah ditebus oleh Kristus maka tubuh kita bukan milik kita sendiri lagi, tetapi milik Tuhan, sehingga kita harus memperlakukan tubuh kita sesuai dengan kehendak Tuhan. Jika pasangan suami istri melaksanakan prinsip yang diajarkan oleh Gereja Katolik, yaitu menjaga kemurnian kasih di antara mereka, dengan tidak memisahkan kedua tujuan dalam hubungan suami istri (union dan procreation), maka buahnya adalah kasih kerukunan, kesetiaan, dan kebahagiaan sejati di dalam keluarga, walaupun jalannya mungkin sulit dan membutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit dari pihak orang tua (suami dan istri tersebut). Melalui kasih dan pengorbanan itu, suami istri dibentuk menjadi semakin menyerupai Kristus, dan semakin menemukan makna hidup yang sesungguhnya.
Akhirnya Dela, tak perlu risau. Ajaran Gereja Katolik tentang larangan penggunaan alat kontrasepsi mempunyai dasar yang kuat. Memang ada alat kontrasepsi yang sifatnya abortif, dan ada yang tidak, namun pada prinsipnya alat kontrasepsi yang arti harafiahnya adalah “anti konsepsi/ anti kehidupan” tidak pernah sesuai dengan pesan Injil yang merupakan Injil kehidupan (the Gospel of life) sebab Kristus sendiri adalah Sang Hidup (Yoh 14:6). Pilihlah kehidupan, maka kita akan hidup (lih. Ul 30:19), pilihlah berkat dan bukan kutuk. Ajaran ini adalah Sabda Tuhan, yang walaupun tertulis di Kitab Perjanjian Lama (Kitab Ulangan) namun masih berlaku bagi kita umat Kristen di jaman sekarang.
Selanjutnya tentang dasar ajaran Gereja Katolik tentang Kemurnian di dalam Perkawinan, silakan klik di sini.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom Katolisitas,
Saya baru saja kembali menekuni ajaran Gereja Katolik setelah 30 tahun hanya menjadi Katolik KTP. Saya banyak bergaul dengan teman-teman seiman dari luar negeri, terutama Amerika. Mereka berpandangan pro-life dan mempunyai pemahaman agama yang lebih baik dibandingkan saya. Salah satu hal yang mencemaskan saya, adalah pandangan KWI mengenai KB, yang tertuang dalam buku berjudul “Membagun Keluarga Sejahtera dan Bertanggung Jawab Berdasarkan Perspektif Agama Katolik”. Buku ini diterbitkan Komisi Keluarga KWI bersama BKKBN dan UNFPA (Dana Kependudukan Dunia). Dalam buku itu dijelaskan pandangan KWI mengenai KB, yang bagi saya mengejutkan. Bagaimana bisa KWI menyatakan bahwa “mereka (umat) bisa bertindak secara tanggung jawab dan tidak perlu merasa berdosa apabila menggunakan cara lain. Asal, cara tersebut tidak merendahkan martabat suami atau istri, tidak berlawanan dengan hidup manusia (pengguguran dan pemandulan), dan dapat dipertanggungjawabkan secara medis” (Romo Jeremias Balapito Duan MSF).
Sedangkan menurut yang saya baca dari Humanae Vitae dan Casti Connubii, alat kontrasepsi segala bentuk ditentang penggunaannya oleh Gereja Katolik.
Mohon pencerahannya. Saya bingung, apakah Gereja Katolik Indonesia lebih liberal dibandingkan Gereja Katolik di belahan dunia lain? Bagaimana pula KWI membuat pengecualian semacam itu, yang bisa jadi karena tekanan dari pemerintah? Bagaimana dengan kemurnian ajaran Gereja?
Terima kasih, Pax Christi.
Sdri. Paulina yang baik,
Terima kasih atas email anda mengenai buku yang pernah diterbitkan oleh Komisi Keluarga KWI yang pada waktu itu diminta oleh BKKBN dan UNFPA menuliskan ajaran Gereja mengenai KB. Buku yang anda baca itu, kalau tidak salah diterbitkan pada tahun 2006 atau 2007. Pada tahun 2008 Komisi Keluarga melakukan koreksi dan revisi, terutama mengenai hal yang anda kritisi tersebut. Sampai sekarang ini, bila BKKBN menerbitkan buku dengan judul yang sama, hal yang membuat anda terganggu dan bingung itu tidak dituliskan. Kemudian, pada tahun 2011 KWI menerbitkan Pedoman Pastoral Keluarga, yang juga menjelaskan persoalan KB sangat jelas dan terperinci.
Ketika saya bertugas di Komisi Keluarga KWI, dan melakukan koreksi tersebut, saya tidak menerima atau mengalami tekanan dari pihak manapun, termasuk pemerintah. Dan setiap kali saya diminta untuk menyampaikan ajaran Gereja mengenai KB dalam pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan BKKBN, menjadi kesempatan bagi saya untuk menyampaikan ajaran Gereja yang pro-life.
Semoga penjelasan singkat ini dapat membantu anda.
In amore Sacrae Familiae
Agung P. MSF
Dear Katolisitas dan para pembaca,
Sekadar sharing. Awalnya saya bertanya apa salahnya dengan alat kontrasepsi (yang non abortif)? Namun akhirnya (setelah membaca penjelasan katolisitas dan membaca buku Scott Hahn– karena Scott dan Kimberly sendiri tidak mau menggunakan alat kontrasepsi) saya berpikir bahwa memang inilah yang dikehendaki Allah (Gereja Kudus)
Saya jadi yakin, seperti Scott, bahwa Gereja (Katolik) itu kemungkinannya cuma benar atau salah. Dan berbicara tentang ajaran moral dan iman bagi saya Gereja tidak mungkin salah karena Gereja didirikan oleh Kristus sendiri. Jadi dalam ajaran moral kehidupan (sekitar kontrasepsi ini), saya yakin 100 persen bahwa Gereja benar.
Ini memang menjadi tantangan buat saya untuk kembali ke metode KB alami.
Saat saya berpikir bahwa ini susah/ribet/repot karena harus berpantang saat masa subur atau istri harus repot mengamati lendir, saya jadi teringat akan penderitaan Kristus dan ajakanNya untuk mengikuti Dia memanggul salib. Jadi saya berpikir saya harus berjuang agar bisa memanggul salib yang kecil/ringan–berpantang saat subur– bila dibanding salib/penderitaan Kristus. Semoga saya mampu kembali ke ajaran Gereja yang benar.
[dari Katolisitas: syukur kepada Tuhan jika Anda dapat menemukan arti usaha dan pengorbanan dalam menjalankan KBA demi memenuhi kehendak Tuhan ini di dalam terang teladan pengorbanan yang begitu besar yang telah ditunjukkan Kristus dalam penderitaanNya di kayu salib bagi keselamatan kita. Semoga sharing Anda ini memberi semangat dan kekuatan bagi para pasutri lainnya dalam menerapkan KBA]
Dear Katolisitas,
Tadi malam saya sampaikan pada istri agar tidak usah minum pil kb lagi. dia tanya kenapa? sya jawab singkat bahwa itu berdosa karena Gereja dan banyak Paus yang melarang penggunaan alat kontrasepsi; bahwa itu bisa menyebabkan kanker; bahwa kalau kita sudah tahu itu berdosa namun tetap dilakukan maka kita berdosa (namun kemarin tidak berdosa karena belum tahu). Puji Tuhan istri diam saja dan saya tahu diamnya itu adalah diam setuju. Saat saya ketik ini saya masih menyimpan sisa pil kb dalam saku saya karena belum sempat buang.
salam
Shalom Yusuf Sumarno,
Menjadi satu keputusan yang berani untuk tidak mau memakai kontrasepsi, karena dapat dikatakan bahwa pengajaran ini adalah salah satu pengajaran yang sulit dilaksanakan. Walaupun sulit, namun dengan bantuan rahmat Allah, maka kita dapat melakukannya. Keputusan tidak memakai kontrasepsi mensyaratkan kepasrahan keluarga untuk menerima rencana Allah secara penuh. Walaupun dari sisi manusia, kita dapat mengatur dengan KB Alamiah, namun pada akhirnya dibutuhkan sikap: apapun yang diberikan oleh Tuhan harus kita terima dengan sukacita. Pengajaran ini juga menuntut pengorbanan dari suami dan istri. Namun, pengorbanan ini tidaklah sia-sia, karena suami dapat belajar untuk menyalurkan kasih tidak hanya dari hubungan seksual, namun dalam bentuk yang lain. Dengan menjalankan metode KB Alamiah, maka istri bukan dipandang sebagai obyek pemuas nafsu, namun menjadi sosok yang dikasihi. Dan kalau hal ini dijalankan secara konsisten, dibarengi dengan komunikasi yang baik, maka hubungan suami istri dapat lebih mendalam dan kasih suami istri juga dapat dimurnikan. Jadi, saran saya, bicarakan dengan istri secara terbuka, sehingga Anda berdua dapat menjalankannya dengan sukacita, karena tidak melakukan kontrasepsi adalah benar, indah dan baik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Pak Stef,
Banyak terima kasih atas dukungan ini. Ini bisa terjadi krn katolisitas yg sdh dg setia mewartakan kebenaran kebenaran Gereja. Sy hnya berpikir sderhana, bhwa jika 99,9 persen ajaran gereja benar, maka sisanya (soal larangan alat kontrsepsi ini, yg selama ini sy ragukan kebenarannya) pastilah benar. Seperti Scott Hahn katakan, “Gereja hanya mungkin benar atau salah”. Bagi saya yg yakin bhwa Paus adalah wakil Kristus, mka jka bnyak Paus melarang kntrspsi (terutama beato John Paul II), itulah kebenarannya.
Saya sdh print semua materi ttg ini, utk sy berikan pd istri untuk lbih myakinkan dia. Mhon doa agar kami setia pd jln ini.
Salam damai dlm Kristus.
Dengan zaman semakin modern, kenapa Gereja Katolik tidak menggunakan alat test kesuburan, bukankah itu lebih simple dan praktis?
Thanks
[dari Katolisitas: mengenai penggunaan alat tes kesuburan, silakan melihat kembali pembahasan kami untuk pertanyaan serupa di link ini]
Dear Mbak Inggrid,
Menarik sekali mengikuti diskusi ini. Saya mengutip KGK yang Mbak kutip, “KGK 1601 “Perjanjian Perkawinan, dengan mana pria dan wanita membentuk antar mereka kebersamaan seluruh hidup, dari sifat kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-isteri serta pada kelahiran dan pendidikan anak; oleh Kristus Tuhan Perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat Sakramen” (KHK kan. 1055, 1). Dari sini Mbak mengatakan bahwa ada dua aspek yang tidak terpisahkan dalam hubungan suami istri, yaitu aspek union dan pro-creation. Pertanyaan saya:
1. Apakah dalam aspek union itu terkandung juga nilai rekreasi?
Saya mengutip juga penyataan Mbak, “Sebab sejak alat kontrasepsi marak digunakan (mungkin sekitar tahun 1960-an), yang terjadi bukan buah- buah positif bagi pasangan, melainkan buah- buah negatif dan bahkan buah negatif ini meluas ke masyarakat dan dunia. Setelah satu generasi berlalu buah negatif ini makin nyata: Angka perceraian bertambah, semakin banyaknya istri yang merasa tidak dikasihi sebagai pribadi, namun hanya sebagai obyek pemuasan kebutuhan suami, bertambahnya aneka jenis penyakit sehubungan dengan organ reproduksi terutama bagi kaum perempuan, meningkatnya jumlah aborsi, merosotnya nilai- nilai moral dalam masyarakat, terutama yang disebabkan oleh seks bebas.” Data ini menjadi salah satu alasan pelarangan alat kontrasepsi. Pertanyaan saya:
2. Benarkah naiknya perceraian disebabkan oleh penggunaan kontrasepsi? Apakah benar istri hanya sebagai obyek seksual suami dengan pemakaian kontrasepsi? Benarkah pemakaian kontrasepsi membuat bertambahnya jenis penyakit kelamin? Sungguhkah aborsi semakin meningkat karena alat kontrasepsi?
Saya belum bisa memahami logikanya. Karena dalam akal sehat saya, justru sebaliknya. Mohon penjelasannya.
Sekian dan terima kasih!
Shalom Brian,
Terima kasih untuk pertanyaannya, ijinkan saya turut membantu menjawabnya. Untuk pertanyaan pertama, jawabannya adalah ya, karena hubungan suami istri dalam hal ini hubungan seksual antara suami istri dengan sendirinya dari kodratnya adalah juga hubungan yang melibatkan unsur rekreasi (bersifat memberikan kegembiraan hati, kesegaran dan hiburan, menurut kamus bahasa Indonesia). Hal ini juga tersirat dalam kutipan KGK 1601 yang juga Anda tuliskan di atas, di mana disebutkan “kebersamaaan seluruh hidup” (termasuk di dalamnya tentu hubungan seksual suami istri) dari sifat kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-isteri…..dst”
Untuk pertanyaan kedua. Penggunaan alat kontrasepsi memang tidak langsung mengakibatkan perceraian, namun nyata berpengaruh meningkatkan potensi ketidaksetiaan kepada pasangan, karena alat pencegahan kehamilan tersebut dapat berpotensi digunakan juga kepada pasangan yang bukan istri atau suaminya. Penggunaan kontrasepsi pada dasarnya menghalangi kemungkinan terjadinya kehamilan secara alamiah, maka ia memberi sarana pada saat orang ingin menghindari terjadinya kehamilan secara alamiah yang terjadi dari sebuah hubungan di luar perkawinan. Sarana ini turut memicu terjadinya (menjadi lebih intensnya) ketidaksetiaan di dalam perkawinan yang tidak jarang mengakibatkan perceraian.
Mengapa penggunaan kontrasepsi juga berpotensi menjadikan istri hanya sebagai objek pemenuhan kebutuhan seksual suami, sudah dinyatakan alasannya dalam artikel yang dituliskan Ibu Ingrid dalam “Humanae Vitae itu benar!”, silakan klik). Di situ antara lain dinyatakan, “Sebab dengan mental kontraseptif, sedikit demi sedikit suami cenderung menjadikan istri sebagai objek untuk pemuasan diri daripada menghormatinya sebagai pasangan yang terkasih. Lama kelamaan respek kepada istri akan hilang, dan suami akan menjadi kurang/ tidak peduli dengan kesehatan fisik dan mental istri (HV 17).”
Seiring dengan hubungan di luar perkawinan yang dipicu tersedianya alat-alat kontrasepsi juga dapat membuat bertambahnya jenis penyakit kelamin, karena alat kontrasepsi seringkali mempunyai keterbatasan dalam melindungi seseorang terpapar penyakit menular akibat hubungan seksual yang dilakukan dengan lebih dari satu orang (tidak hanya dengan pasangan sahnya). Alat kontrasepsi mendorong sebagian orang merasa makin mudah melakukan hubungan seks bebas karena merasa konsekuensi kehamilan sebagai buah dari hubungan seks di luar nikah itu bisa diatasi dengan alat kontrasepsi, sehingga jika sampai terjadi kehamilan karena kegagalan alat kontrasepsi, maka kecenderungan untuk mengaborsinya juga jadi semakin besar.
Demikian penjelasan singkat yang dapat turut saya berikan, semoga menjawab pertanyaan Anda.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan
Triastuti – http://www.katolisitas.org
Ibu Triastuti yang baik,
Terima kasih atas jawabannya. Bolehkan saya berdiskusi menyambung pertanyaan nomor 1 tadi dan dikaitkan dengan alat kontrasepsi.
Ibu mengakui bahwa dalam aspek union ada unsur rekreasi. Saya berkesimpulan bahwa seks untuk rekreasi tidak dosa. (Apakah kesimpulan saya salah?). Nah, bagaimana jika suami isteri sama-sama mau rekreasi tapi mereka takut terjadi kehamilan, dapatkah mereka menggunakan alat kontrasepsi?
Salam,
Brian
Shalom Brian,
Walaupun unsur rekreasi sendiri bukan merupakan dosa, tetapi unsur rekreasi tidak untuk dipisahkan dengan unsur prokreasi. Karena tujuan seks suami dan istri yang mulia yang dikehendaki Tuhan menyangkut penyatuan seluruh jiwa dan raga (union) dan keterbukaan kepada kehidupan (prokreasi). Aspek rekreasi yang secara alamiah ada di dalam suatu hubungan seksual bukan merupakan tujuan untuk dilayani, melainkan merupakan salah satu aspek yang melayani tujuan utama dari hubungan seksual yang kudus itu di dalam ikatan perkawinan yang sah. Kedua aspek utama itu tidak pernah boleh ditinggalkan. Bila hubungan suami isteri hanya ditujukan demi aspek rekreasi tetapi menyingkirkan salah satu atau kedua aspek utama, apalagi dengan pemakaian alat kontrasepsi yang secara intrinsik sudah merupakan dosa (silakan membaca kembali artikel Humanae Vitae itu Benar!), maka tujuan kudus dari hubungan seksual itu tidak dipenuhi dan menjadi perbuatan dosa. Kasih yang sejati selalunya terbuka kepada kehidupan, sedangkan kontrasepsi adalah “contra conception” atau melawan konsepsi (melawan pembuahan, awal dari kehidupan).
Salam kasih dalam Kristus Tuhan
Triastuti – katolisitas.org
Ibu Triastuti,
Selama ini saya menggunakan KB alami (Billings) dan berhasil. Kami sudah memiliki 3 anak dan itu sudah cukup bagi kami.
Masalahnya saat ini istri tidak mau lagi menggunakan metode ini karena dia tidak mau repot repot lagi dalam mendeteksi lendir (karena sudah kecapean kerja di kantor), dg kata lain ia mau yang praktis aja yaitu minum pil kb (bukan yang lain).
Di satu sisi saya ingin agar tetap kb alami namun di sisi lain saya sangat memahami istri yang sudah cape dan tidak mau repot.
Pertanyaan saya, apakah metode pil ini pun membuat kami berdosa?
Bagi saya yang berdosa adalah metode IUD (karena itu mencegah nidasi/penempelan embrio pada rahim), namun saya berpikir dan bertanya apa salahnya dengan minum pil?
Mohon tanggapan Ibu, terima kasih.
Shalom Yusup Sumarno,
Kami turut bersyukur kepada Tuhan atas keputusan Anda dan istri menggunakan metode KB alamiah dengan berhasil dan telah dikaruniai Tuhan dengan tiga orang anak. Semoga keputusan indah Anda berdua dalam menjalankan KB alamiah tetap bisa dipertahankan dan diberikan rahmat kekuatan oleh Bapa.
Metode KB non alami (kontrasepsi) yang manapun, termasuk pil KB, melanggar prinsip menghargai kehidupan yang diajarkan Gereja. Karena semua metode KB non alami menghalangi pertemuan sel telur dengan sperma dan dalam banyak metode, juga menghancurkan pertemuan kedua sel yang sudah menjadi bakal embrio. Supaya lebih jelas, silakan membaca artikel Kemurnian di dalam Perkawinan dan Efek-efek Negatif Kontrasepsi . Dalam artikel itu dinyatakan bahwa pil KB sebenarnya juga menyebabkan terjadinya aborsi dini.
Selain itu, menurut berbagai penelitian, pil KB yang dikonsumsi dalam jangka waktu lama membawa dampak negatif bagi kesehatan wanita, saya kutip sebagian efek penggunaan pil KB dari artikel di atas , yaitu “tekanan darah tinggi, pembekuan darah, stroke, serangan jantung, depresi, kenaikan berat badan, dan migren. Beberapa wanita yang berhenti minum pil KB ternyata siklus haidnya tidak kunjung kembali, sampai selama setahun bahkan lebih. Walau pil KB mengurangi resiko kanker rahim dan kanker indung telur, ia meningkatkan resiko kanker payudara, kanker liver, dan kanker leher rahim.” Patut menjadi perenungan kita bersama, bagaimana kasih seorang suami kepada istrinya dapat dipertanggungjawabkan jika ia memberikan diri istri menantang resiko yang membahayakan kesehatannya. Atau apakah itu kasih dan penghormatan kepada Tuhan, jika sebagai wanita kita tidak menghargai tubuh ciptaan Tuhan, sehingga demi kemudahan atau kesenangan sesaat, kita merusak tubuh kita sendiri.
Ya memang secara umum penggunaan metode KB alamiah lebih repot, memerlukan kesabaran serta usaha yang lebih dibandingkan dengan KB non-alami. Namun jika kita sungguh ingin mengikuti ajaran Gereja Katolik mengenai kehendak Tuhan akan kehidupan yaitu untuk menghormati dan menjaganya dari sejak mulainya pada tahap sangat awal di saat pembuahan hingga meninggalnya secara alami, maka keputusan untuk menjalankan KB alamiah dengan segala tantangannya yang memang kurang mudah itu akan menjadi keputusan yang sangat membahagiakan. Suami isteri juga akan mendapat kesempatan untuk bertumbuh dalam kekudusan karena belajar saling menghargai seutuhnya dan belajar saling menahan diri, sambil menemukan cara-cara lain yang sehat untuk saling mengungkapkan cinta kasih.
Menurut ibu Maria Brownell, kalau pasangan sudah sering mengamati lendir kesuburan itu, maka akan lebih mudah. Prinsip dasarnya adalah selama ada lendir, apapun jenisnya, walaupun sedikit, silakan berpantang. Maka pada dasarnya, kalau tidak mau mengamati dengan teliti, masa pantangnya lebih panjang.
Kita adalah mitra Allah yang diciptakan secitra denganNya untuk mengawal kehidupan, dan betapa bahagianya jika kita bisa ikut melakukan tugas mulia itu dengan sukacita demi kasih kita kepada Tuhan, yang sudah terlebih dahulu mengasihi kita dengan kasih yang tidak terbatas dan menganugerahkan segala yang baik kepada kita. Semoga sharing pandangan dan penjelasan ini dapat bermanfaat bagi Pak Yusup dan istri. Kami ikut mendoakan Anda berdua, salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Triastuti-katolisitas.org
Ibu Triastuti,
terima kasih banyak atas balasan Ibu lewat email saya.
banyak salam dari papua untuk Ibu dan team Katolisitas.
[dari Katolisitas: salam kasih kembali dari kami semua di Katolisitas untuk Anda dan keluarga, salam kasih persaudaraan dalam Kristus bagi saudara-saudara di Papua]
Dear Ibu Triastuti
Terima kasih atas jawaban. Ternyata begitu berat tuntutan menikah. Karena itu benar apa kata murid-murid kepada Yesus “Jika demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin.” (Mat 19: 10).
Salam,
Brian
[dari Katolisitas: terima kasih kembali. Tentang ayat tersebut, dikatakan para murid dalam konteks kesetiaan pasangan suami istri, di mana perkawinan kudus di dalam Tuhan adalah tak terceraikan oleh kehendak manusia. Itulah sebabnya Gereja Katolik sangat menghormati perkawinan dan berbagai tanggung jawab besar yang dipercayakanNya kepada orang-orang yang dipanggil untuk menikah.]
Ibu Triastuti yang baik,
Jika penggunaan kondom saat melakukan hubungan seks berdosa (bahkan seks terputus juga), meski itu dilakukan atas suka sama suka dan mau sama mau antara suami dan isteri, nah, apa kira-kira sanksi dari Gereja? Apakah mereka ini diekskomunikasi?
Saya bertanya ini karena banyak teman-teman saya (pasangan suami istri) melakukan hubungan seks dengan menggunakan kondom dan/atau membuang sperma di luar menjelang klimaks. Saya ingin memberitahu mereka bahwa itu dosa. Tapi apakah mereka itu langsung diekskomunikasi? Karena dari antara mereka ada juga pasangan yang baik, rukun dan harmonis.
Salam,
Brian
Shalom Brian,
Sangsi ekskomunikasi diberlakukan atas pelanggaran berat, umumnya yang menyangkut otoritas Gereja dan mempengaruhi iman banyak orang secara tidak sehat, misalnya penyebaran ajaran yang tidak sesuai ajaran Gereja, ketidaktaatan dalam memimpin umat Tuhan sesuai ajaran Gereja, dan dosa berat lainnya. Namun sebagaimana diajarkan dalam Mat 18:15-18 sebagai salah satu dasar dari hukuman ekskomunikasi, sangsi ini umumnya tidak dijatuhkan secara langsung melainkan ada tahapannya. Anda tentu juga sudah membaca mengenai ekskomunikasi di artikel terkait, silakan klik.
Dosa-dosa pribadi semacam pemakaian alat kontrasepsi tentu tidak dengan mudah dapat diketahui oleh masyarakat dan Gereja, sehingga sifatnya tidak secara langsung mempengaruhi iman umat secara luas. Tetapi dosa karena pemakaian kontrasepsi, yang dengan sadar sepenuhnya tetap dilakukan walaupun sudah tahu alasannya mengapa dilarang oleh Gereja, adalah tetap dosa yang serius dan memerlukan pertobatan dengan menerima Sakramen Pengakuan Dosa dan mau meninggalkan sepenuhnya praktek atau sarana pencegah kehamilan tersebut.
Untuk dosa aborsi yang sejatinya adalah pembunuhan, berlaku hukuman ekskomunikasi latae sententiae (yaitu berlaku otomatis, berkenaan dengan dilakukannya suatu perbuatan tersebut), sehingga untuk absolusinya, yang bersangkutan perlu mengaku dosa kepada bapa Uskup atau kepada imam tertentu yang telah ditunjuk oleh bapa Uskup agar dapat memberikan absolusi dosa aborsi. Hal ini pernah dijelaskan oleh Rm Wanta di link ini
Untuk membuat Anda semakin memahami mengenai ekskomunikasi, ada dua situs yang baik untuk dibaca dan untuk dimengerti, yaitu klik di sini dan di sini. Kekecualian untuk situs yang kedua (for dummies) adalah pernyataan bahwa banyak uskup mendelegasikan absolusi untuk aborsi kepada semua imamnya, nampaknya ini lebih berlaku di Amerika, tapi tidak di Indonesia, sebab menurut Rm. Wanta di Indonesia tidak semua imam diberi delegasi oleh Uskup untuk dapat memberikan absolusi dosa aborsi (Romo Wanta juga sudah pernah menerangkan mengenai hal ini kepada Anda di link tanya jawab ini)
Penggunaan alat kontrasepsi memang tidak disebutkan langsung berkaitan dengan ekskomunikasi latae sententiae, namun termasuk dosa yang serius (karena alat kontrasepsi tertentu dapat juga mempunyai efek abortif, silakan baca kembali artikel mengenai efek-efek negatif kontrasepsi, dan adalah dosa berat, jika dilakukan dengan pengetahuan yang sungguh dan kehendak yang penuh.
Maka, jika Anda mengetahui teman-teman Anda melakukannya/menggunakannya, dan sekarang Anda telah tahu bahwa hal ini dilarang oleh Gereja karena tidak dikehendaki Tuhan, sebaiknya sebagai sesama warga Gereja dan sesama murid Kristus Tuhan, usahakanlah mengingatkan mereka dengan lemah lembut, sembari memaparkan alasannya mengapa hal itu dilarang oleh Gereja Katolik dan harus ditinggalkan. Kemudian ajaklah mereka menerima Sakramen Pengakuan Dosa sambil berusaha saling mendoakan dan meneguhkan untuk setia kepada ajaran iman yang selayaknya dihidupi secara konkrit dalam setiap aspek kehidupan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan
Ingrid Listiati dan Triastuti – katolisitas.org
Cerita ibu sy sudah satu tahun tidak tinggal dengan bapak sy karna terjadi perkelahian dan ayah sy mau memotong ibu dengan parang kemudian ibu datang tinggal dgn sy di kota. Skarang ibu mau pulang dgn ayah tapi ibu takut sampe di rumah mlm bunuh dia maka ibu sy mengambil keputusan utk tinggal tetap dgn sy di kota. Apakah orang katolik yang pisah ranjang dengan suamix di perkenankan menerima komunio.
[Dari Katolisitas: Jika karena suatu alasan yang berat (seperti contoh yang Anda sebutkan, karena mengancam keselamatan nyawa) ibu terpaksa berpisah dengan ayah Anda, maka ibu Anda tetap dapat menerima Komuni kudus, asalkan ia dalam kondisi rahmat. Dalam keadaan ibu Anda, maka keadaan rahmat ini maksudnya adalah ibu Anda tetap tidak menikah, dan hidup dalam kemurnian, sebab biar bagaimanapun ia masih terikat dengan ayah Anda di hadapan Tuhan. Silakan juga mengaku dosa dalam sakramen Pengakuan Dosa jika hal itu belum pernah dilakukan sejak pertikaian dengan ayah Anda. Sebab umumnya dalam pertikaian, terdapat kesalahan dari kedua belah pihak. Semoga rahmat pengampunan Tuhan dapat memulihkan jiwa ibu Anda dan memberi kekuatan untuk menjalani kehidupan sesuai dengan kehendak Tuhan.]
saya setuju bahwa tujuan perkawinan bukan untuk melegalkan hubungan sex, bukan untuk memuaskan keinginan daging. saya juga setuju dengan KBA, tetapi penerapannya itu yang butuh daya tahan luar biasa, bahkan saya sendiri masih merasa takut/tidak mau mempunyai anak lagi. apakah saudara Ingrid Listiati menikah? yang menentukan dosa atau tidak bukanlah manusia. kalau memiliki banyak anak, bukankah menimbulkan persoalan kesejahteraan dan pendidikan buat anak-anak? oke, saya setuju kalau ada yang berpendapat bahwa saya telah gagal mengendalikan keinginan daging. saya juga yakin tidak ada manusia (yang lahir karena keinginan daging manusia) yang berhasil 100 % mengendalikannya, pasti pernah jatuh juga.
Shalom Tri,
Sejujurnya, penerapan KB Alamiah, memang membutuhkan kerjasama yang baik dari kedua belah pihak, yaitu suami dan istri. Jika baik suami maupun istri sama-sama bertekad menjalankannya (tentu didukung dengan doa bersama), maka, walaupun mungkin terlihat sulit di mata orang kebanyakan, namun tetap sangat mungkin dilaksanakan.
Menurut situs ini, silakan klik, di dunia sekarang ini terdapat peningkatan jumlah peminat KB Alamiah (NFP), yang jika dilakukan dengan benar 99% efektif, dan tingkat perceraian di antara mereka yang menerapkannya juga sangat kecil yaitu sekitar 0.2% (Selanjutnya, di survey yang dilakukan oleh George Barna mengatakan bahwa tingkat perceraian dari pasangan yang berdoa bersama setiap hari adalah 1 di antara 1,200 atau 0.00083 %). Ini adalah prosentase yang sangat minim, jika dibandingkan dengan tingkat perceraian antara pasangan yang tidak menerapkannya, yaitu sekitar 40-60%. Fakta ini sesungguhnya berbicara lebih lantang daripada penyuluhan, yaitu bahwa memang pasangan yang menjalani kehidupan perkawinan menurut kehendak Allah (yaitu antara lain dengan berdoa bersama dan menerapkan KB Alamiah) mempunyai kemungkinan yang besar untuk mempertahankan keutuhan perkawinan mereka.
Selanjutnya tentang KB Alamiah, silakan membaca salah satu metoda KB Alamiah yang cukup akurat di sini, silakan klik.
Sesungguhnya, orang tua tentu saja dapat merencanakan jumlah anak sesuai dengan kemampuan mereka membesarkannya; walaupun memang pada akhirnya, tetap Tuhanlah yang menentukan (Namun seperti telah disebutkan di atas, metoda KB Alamiah di zaman sekarang ini juga semakin berkembang, jadi bukan hanya sekedar menghitung hari dalam kalender, yang memang relatif kurang akurat). Tapi yang menjadi masalah di sini adalah, tidak sedikit pasangan yang tidak mau mempunyai anak atau membatasi jumlah anak (dengan menggunakan alat kontrasepsi, atau menjalani sterilisasi) bukan karena ketidakmampuan untuk membesarkan mereka, tetapi karena alasan lain, seperti supaya bisa mempunyai uang tabungan lebih banyak, untuk jalan-jalan ke luar negeri, atau untuk keperluan lain yang sifatnya tidak esensial. Sikap ini yang sesungguhnya perlu dipertanyakan, sebab seharusnya tidak demikian.
Ajaran tentang perkawinan (secara khusus larangan tentang penggunaan alat kontrasepsi) ini bukan ajaran manusia belaka, tetapi dari Tuhan sendiri. Gereja Katolik hanya melestarikan ajaran ini, walaupun gereja-gereja lain satu-persatu mulai mengubahnya. Silakan membaca selanjutnya di artikel Humanae Vitae itu benar! (1968), silakan klik. Fakta menyatakan bahwa apa yang ‘dinubuatkan’ oleh Paus Paulus VI akan terjadi jika penggunaan alat kontrasepsi dibiarkan, telah tergenapi sekarang ini; sedangkan sebaliknya, terdapat perkembangan positif bagi keutuhan perkawinan jika KB Alamiah diterapkan, ini adalah dua bukti yang sangat jelas menyingkapkan ajaran mana yang dari Tuhan, dan ajaran mana yang dari manusia.
Akhirnya, tidak ada yang menuduh Anda gagal mengendalikan keinginan daging. Setiap manusia memang mempunyai pergumulannya sendiri-sendiri, sebab menurut Rasul Yohanes, manusia digoda oleh tiga macam keinginan, yaitu keinginan daging, keinginan mata, dan keangkuhan hidup/ kesombongan (lih. 1Yoh 2:16). Maka selama kita masih hidup di dunia memang kita mempunyai pergumulan, minimal terhadap salah satu dari ketiga hal ini, atau malah dapat terjadi, dalam ketiga-tiganya. Namun sekalipun kita jatuh, yang perlu dilakukan adalah sungguh bertobat dari kesalahan kita, mengaku dosa dalam sakramen Pengakuan Dosa, dan kemudian bangkit memperbaiki diri, untuk hidup sebagai manusia baru di dalam Kristus. Pergumulan kita adalah sampai kita dipanggil oleh Tuhan, maka marilah kita saling mendoakan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
PS: Ya, saya menikah dengan Stef, dan kami berdua memulai situs Katolisitas di tahun 2008. Kisah kesaksian saya dan Stef ada di sini, silakan klik.
Dear Katolisitas, mohon tanggapannya atas artikel ini yang didalamnya banyak mengutip ayat2 injil dan membenarkan penggunaan Kontrasepsi. Bagaimana tanggapan Katolisitas?
Salahkah Menggunakan Kontrasepsi?
BAGAIMANA menurut Anda? Salahkah bila pasangan yang sudah menikah menggunakan kontrasepsi? Jawaban Anda kemungkinan besar bergantung pada keyakinan agama Anda. Gereja Katolik mengajarkan bahwa upaya apa pun yang dirancang untuk menghambat dihasilkannya keturunan ”pada dasarnya jahat”. Dogma Katolik mendukung gagasan bahwa setiap hubungan seks antara suami dan istri tidak boleh menutup kemungkinan terjadinya kehamilan. Maka, bagi Gereja Katolik, kontrasepsi ”tidak bisa dibenarkan secara moral”.
……
[Dari Katolisitas: Pertanyaan selengkapnya dan jawabannya tertera di atas, silakan klik]
1. Kisah nyata bahwa banyak ditemukan kasus dimana pasutri telah bertahun tahun telah menikah namun belum juga di karuniai anak padahal mereka sangat mendambakan kehadiran anak ditengah tengah rumah tangga mereka. Jika pada kasus reperti ini,
wajarkah pasutri tsb menyalahkan Tuhan dan mempertanyakan tentang procreation seperti yg dijelaskan saudari inggrid.
( Menurut saya, bahwa Tuhanlah yg mengatur /menentukan proses penciptaan manusia melalui pasutri jadi bukan masalah hubungan intim semata )
2. Pada banyak kisah nyata lainnya, dimana pasutri pengguna kondom yg walaupun masih menggunakan kondom, anak lahir ditengah tengah mereka.
( Menurut saya, Tuhanlah yg berkuasa thd penciptaan manusia bkn manusia yg menggunakan kondom tsb).
3. Kisah nyata lainnya, banyak anak lahir diluar nikah, apakah ibu inggrid
mau mengatakan Tuhan campur tangan thd procreation pasangan tsb yg notabene adalah perbuatan dosa ? Adanya procreation bukan hanya didasarkan pada hub suami istri ya disetujui gereja.
4. Apakah kekuasaan Tuhan dapat dikalahkan alat kontrasepsi yg mengakibatkan gagalnya firman Tuhan yg menyuruh cucu2 adam utk berkembang biak ?
Mohon jawaban dan tanggapannya ?
Trims
Shalom Henri Sinaga,
1. Pasangan yang bertahun-tahun telah menikah namun tidak dikaruniai anak, wajarkah menyalahkan Tuhan?
Nampaknya, dalam segala sesuatu, tidaklah pada tempatnya kita manusia menyalahkan Tuhan Pencipta kita. Walaupun mungkin kenyataan infertilitas ini agak sulit diterima pada awalnya, namun dapat terjadi keadaan ini malah semakin mempererat hubungan pasangan suami istri dan antara mereka dengan Tuhan. Keadaan ini juga dapat semakin membuka kesempatan kepada pasangan tersebut untuk menemukan panggilan hidup mereka yang sesungguhnya, yaitu untuk seutuhnya memberikan diri kepada sesama, Gereja dan kepada Tuhan.
2. Menggunakan kondom, tetapi anak tetap lahir?
Memang dapat terjadi, walau telah digunakan kondom, namun pembuahan tetap terjadi. Namun ini bukan alasan pembenaran untuk menggunakan kondom, karena secara obyektif entah dari segi intensi/ maksud penggunaan maupun fakta yang terjadi pada saat penggunaan, penggunaan kondom itu mencegah pertemuan antara sel sperma dan sel telur dan karena itu disebut sebagai kontra-konsepsi (kontrasepsi).
3. Procreation dan campur tangan Tuhan- pada anak yang lahir di luar nikah?
Iman kita mengajarkan bahwa tiada sesuatupun di dunia dapat terjadi, jika tanpa seizin Tuhan. Maka walaupun dosa bukan berasal dari Tuhan, namun karena Tuhan memberikan kehendak bebas kepada manusia, maka manusia dapat, melalui kehendak bebasnya, melakukan dosa, dan dengan demikian menentang Tuhan. Demikianlah yang terjadi pada saat Adam dan Hawa jatuh dalam dosa pertama, dan demikian pula tentang dosa kita manusia sebagai keturunan Adam dan Hawa.
Maka hubungan seksual yang dilakukan di luar konteks perkawinan memang adalah dosa, namun dari perbuatan tersebut tetap dapat dilahirkan keturunan. Bahwa jika melalui perbuatan itu, anak dapat terbentuk, berarti Tuhan tetap mempunyai maksud atas kejadian itu, jiwa anak tersebut tetaplah diciptakan oleh Tuhan, dan bahwa kehidupan anak itu dikehendaki oleh Allah.
4. Apakah kekuasaan Tuhan dapat dikalahkan oleh alat kontrasepsi?
Jika dikatakan bahwa Firman Tuhan tidak akan berlalu dan tidak kembali dengan sia-sia, itu harus dilihat dalam arti keseluruhan. Sebab memang dengan berbuat dosa, manusia melawan hukum dan firman Tuhan, namun manusia yang melakukannya akan menuai akibatnya. Jadi keadilan Tuhan tetap berlaku dalam hal ini. Namun, pada saat yang sama, dosa tersebut dapat membuka kesempatan bagi manusia itu untuk bertobat, dan mengalami belas kasihan Tuhan.
Demikian pula, mereka yang menggunakan kontrasepsi, memang nampaknya ‘berhasil’ menghalangi prokreasi, dan karena itu sepertinya ‘mengalahkan’ kehendak Tuhan dalam hal ini. Namun di sisi lain, perbuatan ini tidak menghalangi kehendak Tuhan untuk menyatakan keadilan-Nya, yaitu bahwa segala dosa tetap membawa akibat yang harus ditanggung oleh manusia itu sendiri. Dalam hal ini, resiko penggunaan alat kontrasepsi bahkan dapat membahayakan ketulusan hubungan kasih antara suami dan istri. Hal ini telah dinubuatkan oleh Paus Paulus VI dalam surat ensikliknya, Humanae Vitae. Fakta bahwa dewasa ini timbul banyak permasalahan ataupun keretakan perkawinan, merosotnya moral kaum muda, maupun bermacam pernyakit kewanitaan, tak terlepas dari maraknya penggunaan alat kontrasepsi. Dengan cara-Nya sendiri Tuhan menunjukkan kuasa-Nya dengan mengizinkan terjadinya buah-buah negatif penggunaan kontrasepsi agar manusia dapat memahami bahwa hal itu keliru, sebab dari buahnya kita mengetahui apakah suatu pohon itu baik atau tidak (Mat 7:17).
Semoga dengan kerendahan hati dan ketajaman hati nurani, kita dapat menerima bahwa penggunaan alat kontrasepsi tidaklah sesuai dengan kehendak Tuhan, maka tak mengherankan jika kita harus membayar akibatnya jika tetap berkeras melakukannya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Comments are closed.