Dokumen ini dikeluarkan oleh Paus Pius X pada tanggal 8 Agustus 1910. Jadi tepat tgl 8 Agustus 2010, kita rayakan 100 tahun berlakunya dokumen ini.
1. Maksud dan tujuan Quam Singulari (QS)
Setelah membuat penelitian selama 20 tahun mengenai sejarah pelayanan komuni pertama dan pengakuan pertama serta manfaatnya bagi kehidupan pribadi dan Gereja pada umumnya, maka Paus Pius X berani mengambil keputusan untuk mengeluarkan dokumen “Betapa Istimewanya” (Quam Singulari) dengan maksud:
MEMBERI KESEMPATAN SEDINI MUNGKIN BAGI ANAK-ANAK YANG TELAH DIBAPTIS UNTUK MENGALAMI ANUGERAH SAKRAMEN PENGAMPUNAN DAN KOMUNI PERTAMA: PADA USIA AKAL BUDI, YAITU KETIKA BERUMUR SEKITAR TUJUH TAHUN.
Apakah isi dokumen ini sudah kedaluarsa ataukah memang sungguh relevan untuk situasi hidup kita dewasa ini? Dengan umur seratus tahun, dokumen QS bisa dipandang sebagai dokumen yang tua dan hanya cocok untuk orang jaman awal abad 20, sehingga bagi umat beriman pada abad 21 ini mungkin dirasa kurang relevan. Melihat dasar-dasarnya serta manfaat dari pelayanan komuni dan pengakuan pertama pada usia dini (7 tahun) dapat dikatakan bahwa isi dokumen ini tidak pernah ketinggalan jaman. Itu sebabnya tak seorang pauspun sesudah Pius X membatalkan dokumen ini. Sebaliknya ada paus yang mengeluarkan dokumen untuk menegaskan kembali isi dari Quam Singulari. Isi dari dokumen ini menggarisbawahi daya kekuatan sakramen (Ekaristi dan Pengampunan) dalam hidup manusia lebih dari pada kesadaran dan pengetahuannya. Kini manusia cenderung mengandalkan pengetahuan dan kesadarannya untuk mencapai sesuatu sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga manusia semakin kurang menyadari daya kekuatan Allah yang menyelamatkan (daya sacramental) dalam hidupnya. Maka dokumen Quam Singulari sebenarnya relevan untuk mengingatkan kita bahwa daya kekuatan Allah tetap berkarya dalam hidup kita juga secara sacramental meski kita kurang menyadarinya. Apasaja alasan dan manfaatnya dokumen ini?
2. Mengapa?
Alasan Biblis
- Yesus sangat mencintai anak-anak (Mrk. 10:13.14.16)
- Yesus menjunjung tinggi kepolosan dan kesederhanaan jiwa anak-anak (Mat. 18:3.-5)
Alasan Historis
- Gereja Katolik mempraktekkan sejak awal dengan membawa anak-anak kecil kepada Kristus melalui Ekaristi dan komuni yang diberikan kepada bayi usia menyusui.
- Anak-anak kecil yang dibaptis dalam Gereja Katolik diberi komuni. Ini ditulis dalam buku upacara sesudah abad XIII.
- Praktek ini masih dilaksanakan di Gereja Yunani dan Gereja-Gereja Timur. Untuk hindarkan bahaya anak memuntahkan hosti kudus, sejak awal anak-anak menerima komuni dalam rupa anggur kudus.
- Di Gereja Latin praktek ini kemudian berhenti. Anak-anak tidak diisinkan menerima komuni sampai memasuki usia akal budi dan sesudah memiliki pengetahuan mengenai Sakramen yang mengagumkan ini.
- Konsili Lateran IV thn 1215 mewajibkan umat beriman menerima Sakramen Pengampunan dan Komuni setelah mencapai usia akal budi.
Alasan Psikospiritual
- Anak-anak berumur sekitar 7 tahun berada pada masa yang peka terhadap misteri yang agung.
- Anak-anak pada masa ini juga mempunyai hak untuk menerima anugerah sorgawi dengan menyambut makanan sorgawi yang amat bermanfaat bagi kehidupannya di bumi dan kelak di alam baka.
- Anak-anak pada masa ini amat polos, murni dan jujur meskipun sudah bisa membedakan mana yang baik dan jahat.
- Pengalaman rohani yang mendalam karena persatuan dengan Yesus dalam komuni akan sangat membekas dalam hidup selanjutnya dan sangat mempengaruhi perkembangan hidup beriman
3. Daya guna dan manfaat
- Anak-anak diberi hak untuk menerima anugerah-rahmat Sakramen mahakudus.
- Anak-anak diberi kesempatan untuk mempersiapkan diri dengan menerima Sakramen Pengampunan Dosa.
- Anak-anak diberi hak untuk hidup dalam keadaan penuh rahmat yang menyelamatkan.
- Anak-anak diberi kesempatan menjalin hubungan erat dan sakramental dengan Yesus dan dapat memupuk semangat untuk mencontohi Yesus sejak kecil untuk rela mencintai dengan tulus tanpa pamrih.
- Dengan rahmat sakramen ini anak-anak sejak kecil sudah mendapat semangat yang memupuk panggilan hidup sebagai rohaniwan dan biarawan-biarawati.
- Anak-anak sejak kecil mendapat kekuatan sakramental untuk menghadapi macam-macam godaan dan menghindarkan kebiasaan-kebiasaan keji sedini mungkin. Bagi anak-anak Ekaristi menjadi penangkal yang membebaskan mereka dari
- kesalahan sehari-hari dan melindungi mereka dari dosa yang membawa maut (Konsili Trente).
4. Syarat-syarat
- Anak sudah dibaptis dan telah mempersiapkan diri dengan menerima Sakramen Pengampunan Dosa.
- Anak telah mencapai usia akal budi, sekitar tujuh tahun.
- Anak telah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang jahat.
- Anak telah dapat membedakan mana roti dan anggur biasa dan mana roti dan anggur kudus yang telah menjadi Tubuh dan Darah Yesus.
- Anak memiliki rasa hormat sepantasnya kepada Sakramen maha kudus.
- Anak diarahkan untuk menerima sakramen pengampunan dosa dan komuni pertama dengan penuh percaya dan memiliki niat baik.
- Anak memiliki pengetahuan atau pemahaman secukupnya tentang Sakramen meskipun belum lengkap.
- Anak dapat melakukan puasa sekurang-kurangnya sejam sebelum komuni.
- Anak mendapat bimbingan secukupnya dari orang tua, guru-guru, petugas pastoral, imam (bapa pengakuan dan pastor paroki atau pembantunya).
5. Usia akal budi
- Konsili Lateran menuntut satu usia yang sama untuk penerimaan sakramen pengampunan dosa dan komuni suci.
“Maka, usia akal budi untuk pengakuan adalah saat seseorang dapat membedakan antara baik dan jahat, yaitu ketika seseorang mencapai tahap penggunaan akal budi tertentu, sama saja halnya untuk komuni kudus, dituntut suatu usia saat seorang anak dapat membedakan antara roti dari Ekaristi kudus dan roti biasa; sekali lagi usia ketika seorang anak sudah mencapai penggunaan akal budi.” - “Saat anak-anak mulai menggunakan akal budinya sedemikian sehingga mereka dapat membayangkan, memikirkan suatu penghormatan kepada sakramen (Ekaristi), maka sakramen ini dapat diberikan kepada mereka” (Thomas Aquinas)
- “Ketika seorang anak sudah mencapai tahap penggunaan akal budi maka anak itu segra terkena kewajiban dari hukum ilahi dan bahkan Gereja pun tidak dapat menghalangi anak itu dari kewajibannya” (Vazques).
- “Tetapi ketika seorang anak bisa berbuat salah, yang termasuk dosa berat yang membawa maut, maka ia dikenakn kewajiban oleh perintah moral, yaitu untuk pengakuan dosa dan selanjutnya kewajiban untuk komuni” (St. Antoninus).
6. Kekeliruan yang dikecam QS
- Pendapat yang mengatakan bahwa diperlukan kemampuan akal budi yang lebih memadai untuk peneriman komuni pertama dari pada untuk sakramen tobat pertama.
- Pendapat yang menyatakan bahwa untuk menerima komuni kudus diperlukan pengetahuan yang sempurna tentang hidup beriman.
- Pendapat yang menuntut persiapan yang luar biasa dengan menunda usia komuni pertama hanya bagi yang usianya lebih matang: dua belas, empat belas tahun atau lebih, ini sangat dikecam (Jansenisme).
- Menjadikan Ekaristi kudus suatu hadiah saja dan bukannya suatu penyembuh kelemahan manusiawi.
- Pendapat yang menyatakan bahwa komuni pertama dalam usia yang lebih matang dan disertai pengarahan-pengarahan yang memadai dapat memberikan perubahan kepribadian yang lebih baik dibanding komuni pertama dalam usia lebih dini.
7. Pelanggaran-pelanggaran
- Merampas hak anak-anak untuk hidup di dalam Kistus sejak usia dini, padahal hak itu diperoleh anak-anak dari rahmat pembaptisan.
- Menyebabkan hilangnya masa pertama tanpa dosa dari rahmat pembaptisan, padahal di usia dini itulah sebenarnya anak-anak dapat dihindari dari kemungkinan-kemungkinan tertanamnya benih jerat kejahatan dosa ke dalam diri mereka.
- Membiarkan anak-anak hidup dalam keadaan dosa (dosa berat) dengan melarang mereka mengaku dosa hingga ditetapkannya usia untuk komuni pertama ataupun dengan cara menolak memberikan absolusi kepada mereka ketika mereka mengaku dosa.
- Menolak memberikan viaticum atau komuni sakramen perminyakan suci bagi anak yang sudah dibaptis yang sedang sekarat dan belum menerima komuni pertama di usia akal budi, lalu ketika anak meninggal, ia dimakamkan sebagai bayi, sehingga dirampas haknya untuk didoakan sebagai anggota Gereja.
8. Penggungjawab
- Yang dilimpahi tugas dan tanggungjawab atas anak-anak adalah pertama-tama ayah dan ibu, lalu para guru, pimpinan komunitas dan pimpinan rumah-rumah penampungan anak-anak, semua yang memiliki fungsi dan tanggungjawab perwalian, para imam non parokial maupun imam paroki.
- Orang tua atau wali (anak yatim piatu atau anak asuhan) adalah penanggungjawab pertama dan utama. Mereka mengamati, membimbing dan menilai anak-anak setiap hari. Merekalah yang memastikan bahwa anak sudah dapat menerima sakramen pengampunan dosa dan komuni pertama lalu meminta guru dan imam untuk memenuhi kebutuhan anak.
- Orang tua dan guru-guru serta petugas pastoral lainnya bertanggungjawab membimbing anak-anak yang sudah menerima sakramen pengampunan dosa dan komuni pertama agar selanjutnya dengan setia dan teratur merayakan sakramen-sakramen itu.
- Adalah tugas para guru dan para imam penanggungjawab untuk membimbing orangtua sedemikian rupa agar menyadari dan melaksanakan tugas mereka sebagai penanggungjawab utama dan pertama dalam hal ini.
- Bila orang tua melalaikan tugas dan tanggungjawabnya sehubungan dengan komuni pertama anak-anaknya, maka imam bersangkutan dapat mengambil alih tugas orang tua dan walinya.
- Bila imam menentang atau tidak setuju untuk menerima anak-anak yang dinilai orang tuanya sudah mampu menggunakan akal budinya, maka mereka dapat mengajukan anak yang besangkutan kepada imam lainnya, karena setiap imam mempunyai hak untuk menerima seorang anak untuk komuni pertama secara pribadi atau privat.
Langkah Konkrit
- Baca dokumen Quam Singulari dan dokumen-dokumen terkait yang mendukung isi dari QS. Lihat: Bernardet DC Gloria (penyuntinng), Betapa Istimewanya (Quam Singulari), Penerbit Nusa Indah -Ende, 2003 dengan rekomendasi dari beberapa uskup, imam dan awam.
- Mengamati dan menilai praktek pelayanan sakramen pengampunan dosa dan komuni pertama selama ini. Apakah ada anak yang berusia 5 atau 6 atau tujuh tahun dan amat ingin atau terus menerus meminta untuk menerima komuni pertama karena sudah dapat membedakan roti biasa dari hosti kudus dan juga sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, tetapi dilarang (dihalangi) untuk pengakuan pertama dan komuni pertama? Mengapa usia komuni pertama dan pengakuan pertama di banyak paroki ditunda sampai anak berada di kelas IV atau V atau bahkan kelas VI dan SMP kelas I, II dan III? Alasannya apa? Mengapa diberlakukan sama rata untuk semua anak? Apakah alasan-alasan yang diberikan untuk kebijaksanaan pastoral itu sesuai dengan isi dari dokumen Quam Singulari?
- Manakah hal-hal baik yang perlu diteruskan dan manakah langkah-langkah kebijaksanaan yang perlu ditinjau kembali.
- Pertimbangkan suatu program yang memadai sesuai dengan isi dari dokumen QS yang tidak pernah kedaluarsa.
Kesimpulan
- PATUTLAH KITA SYUKURI RAHMAT TUHAN YANG DISALURKAN LEWAT DOKUMEN QS INI.
- CARILAH SALAH SATU BENTUK KEGIATAN UNTUK MERAYAKAN KENANGAN 100 TAHUN DARI DOKUMEN INI.
- AMATLAH ISTIMEWA MENYADARI DAYA KEKUATAN RAHMAT SAKRAMEN PENGAMPUNAN DOSA DAN KOMUNI PERTAMA BAGI ANAK-ANAK USIA AKAL BUDI DAN BAGI SELURUH GEREJA.
Terima kasih banyak.
Ledalero, Mei 2010.
P.Bernardus Boli Ujan, SVD.
Mohon penjelasan dan pendapat mengenai Baptis anak umur 10th, apakah syarat pendidikan 1 tahun harus dia jalani juga? ataukah dapat langsung ikut Permandian Balita? Apa persyaratannya?
Anak sekolah Katolik sejak SD dan tentunya mendapat dasar pendidikan Katolik juga.
Salam Damai,
Salam Michael,
Menurut kanon 852 paragraf 1, semua aturan calon baptis dewasa diterapkan pada semua yang telah melampaui usia kanak-kanak dan telah bisa menggunakan akal budinya. Anak usia sepuluh tahun pada umumnya sudah bisa menggunakan akal budinya yaitu bisa membedakan yang baik dan buruk, yang benar dan salah. Sebaiknya ia diikutkan ke pelajaran katekumen “khusus” yang tidak sama dengan orang yang menurut kanon 863 harus mengikuti pelajaran yaitu berusia 14 tahun, namun diikutkan bersama calon komuni pertama, sehingga setelah baptis langsung bersama teman-temannya seangkatan menerima komuni pertama. Seorang anak dari orangtua Katolik yang bersekolah di sekolah Katolik memang mendapatkan pelajaran agama Katolik (sebagai tuntutan kurikulum Kemendikbud), namun pelajaran agama Katolik di situ bukanlah pelajaran masa Katekumenat. Pelajaran katekumen diadakan khusus di luar pelajaran agama Katolik yang diikuti juga oleh siswa-siswa yang tak hanya beragama Katolik dan tidak ingin dibaptis. Orangtua melaporkan keadaan ini ke kepala sekolah atau guru agamanya agar dibina menjadi calon katekumen dan nanti bisa dibaptis dan sekaligus menerima komuni pertama bersama teman temannya. Kepala sekolah atau guru agama harus akan berkoordinasi dengan pastor paroki setempat. Namun demikian mesti mengindahkan keadaan anak. Kanon 852 paragraf 2 menyatakan bahwa orang yang tak dapat menguasai diri sepenuhnya disamakan dengan anak-anak. Dalam hal ini, ortu, katekis atau guru agamanya, serta pastor paroki bisa menilai kepastian moral anak tersebut.
Salam
RD. Yohanes Dwi Harsanto
Dunia semakin relativistik dlm menilai segala sesuatu, apalagi ttg kebenaran Tuhan & kekudusan hidup.
Hanya satu cara utk mengejar hidup kudus sebagaimana yg diajarkan Kristus dan para kudus pendahulu kita: kembali ke ajaran2 resmi & murni Gereja Katolik & melakoninya secara nyata dlm kehidupan sehari2.
Jangan menyepelekan penyelenggaraan rahmat Tuhan yg diberikan secara gratis melalui ketujuh Sakramen-nya, jgn menyepelekan ketaatan pada otoritas Gereja & Bapa Paus dlm kuasanya sebagai Wakil Kristus yg hidup bagi seluruh umatNya, jgn menyepelekan kekudusan hidup & pernyataan Kristus akan keberadaan purgatorium & janji hidup kekal bersama Bapa di Surga.
Maaf jika tulisan saya agak menyimpang dari tema thread ini.
Terima kasih & Damai Kristus selalu beserta kita.
Shalom….saya dan adik adik saya menerima komuni tanpa melalui proses penerimaan komuni pertama. Apakah ini dosa?
Shalom Arie,
Kalau kita dibaptis dewasa, maka memang kita tidak perlu melalui proses komuni pertama. Saya mengasumsikan bahwa Anda dan adik Anda dibaptis bayi dan kemudian pada waktu itu orang tua mungkin tidak mendorong Anda untuk ikut Komuni pertama. Sejalan dengan waktu, maka Anda dan adik Anda menerima komuni tanpa ada pelajaran khusus.
Sebenarnya, kalau kita lihat, komuni pertama adalah bertujuan untuk mempersiapkan anak-anak – yang telah dapat menggunakan akal budi – agar dapat menerima Kristus dalam Sakramen Ekaristi. Yang terpenting adalah anak-anak dapat mengerti bahwa yang disantap dalam Sakramen Ekaristi adalah Tubuh Kristus sendiri dan bukan hosti biasa. Dan anak-anak juga dipersiapkan untuk menerima Komuni pertama dengan mengaku dosa terlebih dahulu, sehingga mereka dapat menerima Kristus dalam kondisi rahmat.
Jadi, kalau saran saya, silakan mengaku dosa terlebih dahulu: ceritakan permasalahan Anda dan akukan dosa-dosa yang lain. Kemudian, Anda dan adik Anda dapat bergabung dalam kelompok pendalaman iman atau Kitab Suci, sehingga dapat lebih menghayati iman Katolik. Dengan demikian, Anda dan adik Anda dapat lebih baik lagi dalam menyambut Komuni dan akhirnya rahmat Allah yang mengalir dalam sakramen lebih berdaya guna dalam kehidupan Anda.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Saloom….
Saya mau bertanya Romo…apakah seseorang dapat menyambut/komuni, sedangkan org tersebut tidak selesai pembelajaran Komuni I nya. Mohon penjelasan. TQ
Shalom Lybertus,
Silakan membaca lebih lanjut pembahasan topik ini di sini, silakan klik, terutama di bagian syarat- syarat (point 4) dan penanggungjawab (point 8).
Jadi intinya, yang bertanggungjawab di sini adalah pihak orang tua dan wali baptis, untuk menilai apakah anak tersebut sudah siap untuk menerima Komuni kudus, sesuai dengan syarat- syarat yang ditentukan. Jika orang tua dan wali baptis tersebut menilai bahwa anak tersebut telah memenuhi persyaratannya, mereka dapat mengajukan permohonan kepada imam di paroki, agar imam tersebut dapat memberikan Komuni kudus kepada anak itu. Tentu hal ini merupakan kasus khusus, misalnya kursus tidak terselesaikan karena si anak sakit, atau halangan lainnya yang dapat diterima. Hal ini dapat didiskusikan dengan pihak imam, sebab jangan sampai suatu peraturan malah menghalangi seseorang untuk menerima Komuni kudus.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
+,
dear bapak lybertus,
sebenarnya gereja percaya bahwa pembelajaran sakramen ekaristis/komuni dimulai sejak penerimaan komuni pertama.(baca buku quam singulari-terbitan yayasan pustaka nusatama, 2012). bila pembelajaran yang anda maksud adalah kelas persiapan penerimaan pengakuan dan komuni pertama, jawaban dari ibu ingrid sudah sangat memadai.
kristus sendirilah bersama rohnya yang kudus yang terutama membimbing para komunikan/penerima komuni. katekis hanya membantu sedikit terutama untuk pelaksanaan tata ibadahnya ketika misa bersama para calon komunikan.
kiranya kasus yang anda maksud sudah terselesaikan.
salam dan doa,
instaurare omnia in christo+
+,
dear ibu inggrid, sekedar mau sharing hasil penelitian ilmiah dari merauke terkait quam singulari :
selengkapnya bisa dibaca di sini:
http://styakbus.blogspot.com/2012/04/hasil-penelitian-quam-singulari.html
Kesimpulan Dan Saran
Dari hasil penelitiaan ini dapat disimpulkan bahwa anak-anak kelas 1 SD sudah bisa menerima komuni pertama yang diawali dengan sakramen pengakuan dosa. Pada umumnya subjek penelitian sudah berada pada usia akal budi yang menjadi syarat seseorang menerima komuni pertama menurut dokumen Quam Singulari. Dengan menerima sakramen orang juga merasa diteguhkan untuk menjalani hidup selanjutnya.
Untuk para orang tua perlu diadakan katekismus atau pengajaran tentang peran orang tua mendidik iman anak dan mempersiapkan anak menerima komuni pertama. Dengan komuni pertama, menyadarkan peran orang tua yang begitu penting dalam mendidik iman anak. Karena anak pada usia 7 tahun secara psikologis merupakan periode yang baik membangun iman anak.
Semoga penelitian ini dapat menjadi bahan acuan atau pertimbangan dalam melaksanakan pastoral dan katekese umat khususnya untuk menentukan
batas usia komuni pertama dan persiapan menerima komuni pertama yang didahului oleh sakramen tobat.
syukur kepada kristus,
salam dan doa dan terima kasih romo boli serta team!
instaurare omnia in christo!+
salam damai,
Saya setuju dengan Romo Wanta untuk penerimaan sakramen ekaristi sesuai dengan apa yang diuraikan oleh romo harus disesuaikan dengan kondisi perkembangan anak, bagaimana anak memahami sakramen yang akan diterima. Jadi umur tidak harus 7 tahun atau 10 tahun lebih baik jika anak sudah memahami arti sebenarnya sakramen tersebut.
[dari katolisitas: Sebagai catatan, persyaratan untuk komuni pertama adalah: 1) dapat membedakan baik dan buruk, 2) telah mengaku dosa, 3) dapat membedakan antara Tubuh Kristus dengan roti biasa. Tidak disyaratkan untuk mengerti secara penuh tentang Ekaristi. Jadi, kalau anak-anak dipersiapkan dengan baik, maka sejak dini mereka sebenarnya dapat mengerti persyaratan minimum ini dengan baik.]
+,
Hasil Penelitian Quam Singulari
Betapa Istimewanya (Jantje Rasuh)
http://styakbus.blogspot.com/2012/04/hasil-penelitian-quam-singulari.html?showComment=1345099490569#c4922900581275249645
semoga memberkati iman katolik kita semua!
instaurare omnia in christo!
+
dear romo wanta,
ini menurut romo (dan atau menurut romo-romo yang belum mengetahui quam singulari secara mendalam serta ajaran2 resmi gk lainnya terkait quam sngulari):
Normanya ada pada: Umur berapakah anak sudah siap mampu menerima pengajaran komuni kudus (misteri ekaristi kudus?). Inilah yang perlu dipertimbangkan..Apakah bisa mempercepat? Bisa mengapa tidak? Yang penting QS dan konteks perkembangan anak Indonesia terpenuhi.
apa dasar dari penentuan bahwa normanya ada pada usia kesiapan dan kemampuan anak dan bahwa ini yang menjadi bahan pertimbangan?
qs dan konteks perkembangan anak terpenuhi? ini tidak sesuai dengan ajaran qs sendiri, dear romo.
ulasan romo menunjukkan bahwa romo wanta kurang dalam pemahaman quam singulari dan sejumlah dokumen jaran resmi terkait. saya maklum, karena tugas romo bukan hanya tentang quam singulari, tetapi buanyaaak sekali.
lagipula,
quam singulari itu sebenarnya mulia dan cakupannya luas,
mulai dari gereja rumah tangga sampai gereja seluruhnya.
para imam tidak bisa secara sepihak menentukan kebijakan pengakuan pertama maupun komuni pertama apalagi tanpa didasari ajaran resmi gereja katolik secara menyeluruh dan utuh.
kecuali kalau para imam tidak mau tau qs (dan sejumlah ajaran resmi terkait) dan karena para imam paroki pindah2 apalagi para imam tarekat yang sibuk juga mengurus komunitasnya) nggak mau repot, nurut katekis awam saja yang sudah berlama2 tidak tau quam singulari dan bangga sudah mempraktekkan ajaran lain yang tidak sebanyak2nya memberi manfaat bagi gereja (menyuburkan panggilan membiara/imamat sejak dini, mengurangi kegaduhan ketika misa karena anak2 yang sebenarnya sudah bisa komuni ).
yang karena tidak tau maka tidak merasa bersalah menolak anak2 yang mau ikut kelas persiapan penerimaan sakramen-sebagai buah keberhasilan orang tua mendidik iman anak sejak dini-karena rajin misa harian dan hari minggu misalnya, maka anak mau ikut kelas persiapan kiomuni pertama.
karena tidak tau juga, para imam paroki dengan gampangnya mengatakan agar anak2 kecil usia 7 th nanti saja terima komuninya.
atau mengajukan syarat bahwa anak harus jenius, bisa longkap kelas dari tk-a ke kelas 1 sd, baru boleh ikut kelas persiapan penerimaaan pengakuan dan komuni pertama.
kebijakan yang selama 30 tahun terakhir ini terjadi di gk indonesia tidak akan terjadi bila para imam paroki mengetahui quam singulari secara mendalam beserta sejumlah ajaan resmi yang terkait:
tanpa mengurangi hormat dan salut saya pada keterbukaan romo untuk topik ini, saya menyarankan agar para romo dan siapa saja yang membaca topik ini melengkapi pemahamannya ttg quam singulari dengan membaca juga:
+tambahan pada petunjuk umum katekese, 11 april 1971-paus paulus VI-
bahwa normanya justru ada pada persiapan penerimaan kedua sakramen untuk pertama kalinya di usia dini, demi pembentukan dan pertumbuhan moral anak terkait iman katolik
bukan pada bagaimana anaknya,
tetapi bagaimana gereja rumah tangga bersama gereja setempat MENGAJARKAN ajaran iman gk terkait persiapan dan penerimaan kedua sakramen sejak usia dini.
bila gereja mengajarkan, tentu anak siap sesuai daya tangkap anak ,bukan sesuai daya tangkap katekis dewasa-sesuai quam singulari dan sejumlah ajaran resmi terkait.
merasa tersinggung dan tidak mau kalah, akan ada yang coba2 menyanggah ini dengan berbagai alasan: misalnya: orang tua repot, sibuk, kesulitan ekonomi, dll … dan kenyataannya sanggahan semacam ini terbukti muncul justru karena para penyanggah tidak tau ajaran2 resmi gk terkait quam singulari-manfaatnya dan kerugiannya bila tidak mengamalkannya, belum mengalaminya apalagi yang bukan orang tua anak-anak.
di bawah ini adalah sejumlah ajaran resmi gk terkait quam singulari,
bila para pembaca menyimaknya dengan rendah hati sebagai gereja yang mau mengalami manfaat quam singulari dan menghentikan pelanggaran hak sakramental anak, maka anda sudah ambil bagian dalam pewartaan injil kristus yang juga memperhatikan betapa bergunanya bagi gereja katolik bila hak anak-anak sesuai KHK 11 dan 97-2 diperhatikan.
Kanon 11 — Yang *terikat oleh undang-undang yang bersifat semata-mata Gerejawi ialah orang yang dipermandikan dalam Gereja Katolik atau diterima di dalamnya, dan yang dapat cukup memakai pikirannya serta telah berumur genap tujuh tahun, kecuali kalau dengan tegas ditentukan lain dalam hukum.
*[Untuk diperhatikan: memang tidak ada kata harus, namun di kanon ini tertulis kata terikat – hak dan kewajiban.]-mohon jangan dipaksakan dianaligikan dengan usia untuk menikah. karena memang untuk menikah, lebih matang usia maka lebih baik untuk kelangsungan hidup berumahtangga.
Kanon 97-1, 2
Kanon 97 — § 1. Orang yang berumur genap delapan belas tahun adalah dewasa; sedangkan yang di bawah umur itu, belum dewasa.
§ 2. Orang yang belum dewasa, sebelum berumur tujuh tahun disebut kanak-kanak dan dianggap belum dapat me¬nguasai diri; tetapi setelah berumur genap tujuh tahun dian¬dai¬kan dapat menggunakan akal budinya.
Addendum: The First Reception Of The Sacraments Of Penance And The Eucharist
Among the tasks of catechesis, the preparation of children for the sacraments of Penance and the Eucharist is of great importance. With regard to this, it is held opportune to recall certain principles and to make some observations about certain experiments that have been taking place very recently in some regions or places of the Church.
The Age Of Discretion
The suitable age for the first reception of these sacraments is deemed to be that which in documents of the Church is called the age of reason or of discretion. This age “both for Confession and for Communion is that at which the child begins to reason, that is, about the seventh year, more or less. From that time on the obligation of fulfilling the precepts of Confession and Communion begins” (Decree “Quam singulari,”
I, AAS, 1910, p. 582). It is praiseworthy to study by research in pastoral psychology and to describe this age which develops gradually, is subject to various conditions, and which presents a peculiar nature in every child. One should, however, be on guard not to extend beyond the above-mentioned limits, which are not rigid, the time at which the precept of Confession and Communion begins to oblige per se.
Formation And Growth Of The Moral Conscience Of Children
2 While the capacity to reason is evolving gradually in a child, his moral conscience too is being trained, that is, the faculty of judging his acts in relation to a norm of morality. A number of varying elements and circumstances come together in forming this moral conscience of a child: the character and discipline of his family, which is one of the most important educative factors during the first years of a child’s life, his associations with others, and the activities and the witness of the ecclesial community. Catechesis, while carrying out its task of instructing and forming in the Christian faith, puts order into these various factors of education, promotes them, and works in conjunction with them. Only in this way will catechesis be able to give to the child timely direction toward the heavenly Father and correct any goings astray or incorrect orientations of life that can occur. Without doubt children at this age should be told in the simplest possible way about God as our Lord and Father, about his love for us, about Jesus, the Son of God, who was made man for us, and who died and rose again. By thinking about the love of God, the child will be able gradually to perceive the malice of sin, which always offends God the Father and Jesus, and which is opposed to the charity with which we must love our neighbor and ourselves.
Importance Of Explaining The Sacrament Of Penance To Children
3 When a child begins to offend God by sin, he also begins to have the desire of receiving pardon, not only from parents or relatives, but also from God. Catechesis helps him by nourishing this desire wholesomely, and it instills a holy aversion to sin, an awareness of the need for amendment, and especially love for God. The special task of catechesis here is to explain in a suitable way that sacramental Confession is a means offered children of the Church to obtain pardon for sin, and furthermore that it is even necessary per se if one has fallen into serious sin. To be sure, Christian parents and religious educators ought to teach the child in such a way that above all he will strive to advance to a more intimate love of the Lord Jesus and to genuine love of neighbor. The doctrine on the sacrament of Penance is to be presented in a broad framework of attaining purification and spiritual growth with great confidence in the mercy and love of God. In this way, children not only can little by little acquire a delicate understanding of conscience, but do not lose heart when they fall into some lesser fault.
The Eucharist is the summit and center of the entire Christian life. In addition to the required state of grace, great purity of soul is clearly fitting for the reception of Communion. One must be very careful, however, that the children do not get the impression that Confession is necessary before receiving the Eucharist even when one sincerely loves God and has not departed from the path of God’s commandments in a serious way.
Certain New Experiments
4 In very recent times in certain regions of the Church experiments relative to the first reception of the sacraments of Penance and of the Eucharist have been made. These have given rise to doubt and confusion.
So that the Communion of children may be appropriately received early, and so that psychological disturbances in the future Christian life which can result from a too early use of Confession may be avoided, and so that better education for the spirit of penance and a more valid catechetical preparation for Confession itself may be fostered, it has seemed to some that children should be admitted to first Communion without first receiving the sacrament of Penance.
In fact, however, going to the sacrament of Penance from the beginning of the use of reason does not in itself harm the minds of the children, provided it is preceded, as it should be, by a kind and prudent catechetical preparation. The spirit of penance can be developed more fully by continuing catechetical instruction after first Communion; likewise, there can be growth in knowledge and appreciation of the great gift that Christ has given to sinful men in the sacrament of the pardon they will receive and of reconciliation with the Church (cf. LG, 11).
These things have not prevented the introduction in certain places of a practice in which some years regularly elapse between first Communion and first Confession. In other places, however, the innovations made have been more cautious, either because first Confession was not so much delayed, or because consideration is given the judgment of the parents who prefer to have their children go to the sacrament of Penance before first Communion.
The Common Practice In Force Must Be Highly Esteemed
5 The Supreme Pontiff, Pius X, declared, “The custom of not admitting children to Confession or of never giving them absolution, when they have arrived at the use of reason, must be wholly condemned” (Decree “Quam singulari,” VII, AAS, 1910, p. 583). One can scarcely have regard for the right that baptized children have of confessing their sins, if at the beginning of the age of discretion they are not prepared and gently led to the sacrament of Penance.
One should also keep in mind the usefulness of Confession, which retains its efficacy even when only venial sins are in question, and which gives an increase of grace and of charity, increases the child’s good dispositions for receiving the Eucharist, and also helps to perfect the Christian life. Hence, it appears the usefulness of Confession cannot be dismissed in favor of those forms of penance or those ministries of the word, by which the virtue of penance is aptly fostered in children, and which can be fruitfully practiced together with the sacrament of Penance, when a suitable catechetical preparation has been made. The pastoral experience of the Church, which is illustrated by many examples even in our day, teaches her how much the so-called age of discretion is suited for effecting that the children’s baptismal grace, by means of a well-prepared reception of the sacraments of Penance and of the Eucharist, shows forth its first fruits, which are certainly to be augmented afterwards by means of a continued catechesis.
Having weighed all these points, and keeping in mind the common and general practice which per se cannot be derogated without the approval of the Apostolic See, and also having heard the Conferences of Bishops, the Holy See judges it fitting that the practice now in force in the Church of putting Confession ahead of first Communion should be retained. This in no way prevents this custom from being carried out in various ways, as, for instance, by having a communal penitential celebration precede or follow the reception of the sacrament of Penance.
The Holy See is not unmindful of the special conditions that exist in various countries, but it exhorts the bishops in this important matter not to depart from the practice in force without having first entered into communication with the Holy See in a spirit of hierarchical communion. Nor should they in any way allow the pastors or educators or religious institutes to begin or to continue to abandon the practice in force.
In regions, however, where new practices have already been introduced which depart notably from the pristine practice, the Conferences of Bishops will wish to submit these experiments to a new examination. If after that they wish to continue these experiments for a longer time, they should not do so unless they have first communicated with the Holy See, Which will willingly hear them, and they are at one mind with the Holy See.
The Supreme Pontiff, Paul VI, by a letter of his Secretariat of State, n. 177-335, dated March 18,1971, approved this “General Directory” together with the “Addendum,” confirmed it by his authority and ordered it to be published.
Rome, April 11,1971, Feast of the Resurrection of Our Lord.
John J. Cardinal Wright, Prefect Pietro Palazzini, Secretary
+sanctus pontifex 24 mei 1973
“Tambahan” kepada Petunjuk Umum Katekese, yang diumumkan secara resmi oleh Kongregasi Suci untuk Para Imam, 11 April 1971 (AAS 64 97-176) – 8, mengukuhkan secara penuh praktek di mana Komuni Pertama anak-anak didahului Sakramen Tobat, dengan pernyataan sebagai berikut: “Setelah menimbang semua hal ini dan dengan tetap cermat memper¬hatikan pada praktek umum dan keseluruhan, yang tidak dapat dikurangi tanpa persetujuan dari Tahta Apostolik, dan juga setelah mendengarkan sejumlah konferensi para uskup, Tahta Suci menilai tepat, bila saat ini oleh kekuatan di dalam Gereja, Pengakuan sebelum Komuni Pertama harus dipertahankan.” (no.5)
Dokumen yang sama telah mempertimbangkan praktek-praktek yang diperkenalkan di sejumlah daerah, di mana penerimaan Ekaristi diperbolehkan sebelum penerimaan Sakramen Tobat.
Dokumen hanya mengizinkan kelanjutan praktek perco¬baan atau perkenalan tersebut untuk sementara waktu bila “mereka telah membicarakannya terlebih dahulu dengan Tahta Suci, yang dengan senang hati akan mendengarkan mereka, dan bila mereka sependapat dengan Tahta Suci ”(ibid).
Kongregasi Suci Disiplin Sakramen dan Kongregasi Suci untuk Para Imam telah mempertimbangkan masalah ini secara menyeluruh dan memperhitungkan sejumlah pandangan dalam konferensi-konferensi para uskup.
Dengan persetujuan Paus Paulus VI, maka kedua Kong¬regasi tersebut, bersama dokumen yang ada mendekla¬rasikan bahwa praktek-praktek percobaan tersebut di atas harus dihentikan setelah pernah berlangsung selama – 3 tahun – bersa¬maan dengan ditutupnya tahun ajaran 1972-1973, dan mulai saat itu, Dekret Quam Singulari harus dipatuhi di mana saja dan oleh siapa saja (penekanan ditambahkan).
+responsum 20 mei 1977
+in quibusdam ecclesiae partibus 31 maret 1977-lihat juga di dalam buku (edil-enchiridion instaurationis liturgichae dalam bahasa latin-kazincki reiner):
… Pewartaan harus dimulai dari usia terdini, itu akan membuat makin lebih kuatnya dukungan iman yang hidup dan makin lebih kuatnya kesadaran kepada Sakramen yang mereka rayakan sebagai jalan atau gaya hidup ke-Kristenan”
Perlu diperhatikan bahwa keadaan-keadaan khusus suatu masyarakat dan budaya di dalam negara-negara yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, tidak menjadi atau tidak bisa menjadi alasan yang sah untuk memberlakukan disiplin yang lain.
+khk 914, th 1983 pjp II:
Terutama, menjadi tugas orang tua serta mereka yang meng¬gantikan kedudukan orang tua dan juga pastor paroki untuk mengusahakan agar anak-anak yang telah dapat menggunakan akal budi dipersiapkan dengan baik dan secepat mungkin, sesudah didahului Sakramen Tobat, diberi Santapan Ilahi itu; juga menjadi tugas pastor paroki untuk mengawasi, jangan sampai anak-anak yang tidak dapat menggunakan akal budi atau yang ia nilai tidak cukup dipersiapkan datang menyambut dalam Perjamuan Suci.
+katekismus gk no. 1457, pjp II 1994
Gereja menuntut bahwa warga beriman yang sudah mencapai usia mampu membeda-bedakan mengakukan dosa berat yang ia sadari paling kurang satu kali dalam satu tahun. Siapa yang tahu bahwa ia telah melakukan dosa berat tidak boleh menerima Komuni Kudus, juga apabila ia merasa penyesalan mendalam sebelum ia menerima Absolusi Sakramental, kecuali ada alasan kuat untuk menerima Komuni dan kalau tidak mungkin baginya untuk mengakukan dosa. Anak-anak harus mengaku sebelum mereka menerima Komuni Kudus untuk pertama kalinya.
+ redemptionis sacramentum no.87 tahun 2004
87. Komuni Pertama anak-anak
harus selalu didahului oleh Pengakuan Dosa dan Absolusi Sakramental.
Selain itu, Komuni Pertama hendaklah selalu diterimakan oleh Imam dan tidak pernah di luar perayaan Misa. Kecuali jika ada alsan khusus, tidak tepatlah Komuni Pertama dilangsungkan pada Hari Kamis Putih Mengenangkan Perjamuan Tuhan. Hendaklah dipilih suatu hari lain, misalnya hari Minggu antara Hari Minggu Paskah kedua sampai keenam, atau pada kesempatanHari Raya Tubuh dan Darah Kristus, atau salah satu hari Minggu dalam Masa Biasa, karena sesungguhnya tiap hari Minggu dipandang sebagai hari Ekaristi.
“Anak-anak yang tidak dapat menggunakan akal budi atau yang menurut penilaian pastor paroki tidak cuku dipersiapkan,” janganlah datang menyambut Ekaristi Kudus.
Di mana sebaliknya terdapat seorang anak, walaupun masih amat muda, namun dipandang matang, janganlah dia ditolak untuk menyambut Komuni Pertama, asal saja ia diberi katekese secukupnya.
+redemptionis sacramentum no 9:
(9)“Akhirnya, pelanggaran-pelanggaran seringkali terjadi berdasarkan pengabaian yang di dalamnya melibatkan penolakan akan sejumlah elemen yang mana maknanya yang lebih mendalam tidak dimengerti dan sejarahnya tidak dikenali.” …
+buku yang disarankan rm.boli: betapa istimewanya (quam singulari)-editor bernadette mara droste dc gloria- atau edisi baru : syukur 100 th quam singulari-yang direferensikan oleh mgr.pc mandagi ketika menjabat sebagai ketua komisi kateketik kwi:
Dalam dokumen Gereja Quam Singulari, dan tulisan-tulisan mengenai dokumen yang dikumpulkan dalam buku ini, terkandung arti Komuni Pertama, sekaligus bagaimana Komuni Pertama harus dipersiapkan oleh Gereja bagi anak-anak.
+surat dari pimpinan para imam/almarhun kardinal castrillon hoyos pada tahun ekaristi:
Anak-Anak Harus Menyantap Sakramen Ekaristi Secepat Mungkin,
Kata Kardinal-Prefek Vatikan Menujukan satu Surat kepada Para Imam
VATIKAN, 24 JAN, 2005 (Zenit.org).- Prefek Konggregasi Para Imam mengingatkan para imam di seluruh dunia mengenai pentingnya mengantar anak-anak kecil kepada Ekaristi.
Kardinal Darío Castrillón Hoyos mendorong para imam untuk itu, karena iapun telah diyakinkan bahwa semakin muda anak-anak itu, maka “semakin baik pula penerimaan hati mereka menerima Kristus Sakramen.”
Menurut Kardinal Castrillón dalam suratnya kepada para imam, tertanggal 8 Januari dan diterbitkan oleh badan hukum tersebut pada hari Sabtu dalam rangka Tahun Ekaristi, Memberikan izin kepada anak-anak untuk menerima “Yesus Ekaristi” sedini mungkin, “sudah selama berabad-abad menjadi landasan yang mantap untuk pelayanan pastoral bagi mereka anak-anak kecil.“
Kebiasaan yang ada telah “diteguhkan-kembali” oleh Santo Paus Pius X pada masa beliau, dan “sudah selama ini dijunjung tinggi oleh para penerusnya, bahkan sering kali oleh Bapa Suci kita Paus Yohanes Paulus II,” (Katekismus Gereja Katolik no. 1457, KHK kan. 912, 913, 914- Penyunting) tulis Kardinal.
Pada tahun 1910, Paus Pius X menetapkan Dekret Magisterial “Quam Singulari” (Baca: “kwam singgulari”- artinya Betapa Istimewanya-diambil dari kalimat pertama Dekret tersebut) bahwa anak-anak dapat melaksanakan Komuni pertama mereka pada usia 7 (Tujuh) tahun.
Kardinal Castrillon menulis, “Bersama Paus Pius X, banyak dari kita yang diteguhkan bahwa pelaksanaan ajaran resmi ini yang mengizinkan anak-anak mulai melaksanakan Komuni pertama mereka pada usia 7 (Tujuh) tahun, mendatangkan rahmat yang besar dari surga bagi Gereja,”(Sanctus Pontifex, 1973-Paus Paulus VI-Penyunting) tanpa melupakan “bahwa dalam Gereja purba, Sakramen Ekaristi diberikan kepada bayi yang baru lahir, dalam bentuk sejumlah kecil tetesan anggur, segera setelah Pembaptisan.”
Dengan bantuan manfaat dari ajaran Santo Paus Pius X, Paus Yohanes Paulus II sendiri mengurangi usia Komuni pertama, seperti yang diingatkan kembali dalam bukunya belum lama ini yang berjudul “Rise, Let Us Be on Our Way-Bangkitlah, Marilah Hidup di Jalan Kita”: Pendahuluku Santo Paus Pius X telah memberikan kesaksian yang menyentuh atas cinta pastoralnya bagi anak-anak dengan perubahan yang diperkenalkannya terkait penerimaan Komuni Kudus Pertama. Ia bukan hanya mengurangi batas usia untuk mendekati Meja Perjamuan Ekaristis (Aku mengalami manfaat pengurangan batas usia ini pada tanggal 29 Mei 1929), namun Ia juga memperkenalkan kemungkinan untuk menerima Komuni sebelum usia 7 (Tujuh) tahun, bila si anak menunjukkan pengertian yang memadai.”
“Keputusan pastoral untuk mempercepat penerimaan Komuni kudus ini paling dihargai.” Yang telah menghasilkan begitu banyak buah kekudusan di dalam diri anak-anak dan di dalam kerasulan di antara kalangan muda-mudi, di samping untuk panggilan imamat yang berkembang.” (Paus Yohanes Paulus II, “Rise, Let Us Be On Our Way, “ Roma, 2004, halaman 103).
Pimpinan badan hukum Vatikan untuk para imam ini menekankan: “Kita para imam, dipanggil oleh Allah untuk melindungi Sakramen Altar yang Suci itu di dalam persatuan dengan uskup kita, maka kita bisa dan harus mengutamakan perhatian kepada anak-anak sebagai penerima pertama anugerah luar biasa yaitu Ekaristi.”
Ia melanjutkan: “ Saya pikir, adalah merupakan salah satu sukacita besar bagi imam paroki untuk mendengarkan Pengakuan pertama anak-anak, dan kemudian, menerima mereka untuk menyantap Komuni Pertama mereka. Secara alami, keyakinan ini datang ke dalam pikiran, bahwa semakin muda mereka, semakin baik pula penerimaan hati mereka akan Kristus Sakramen.
(Baca juga : ON THE EUCHARIST AND THE PASTORAL CARE OF CHILDREN In a letter to priests dated January 8, 2005, http://www.clerus.org.
13 DARIO CASTRILLON HOYOS, Kardinal – Prefek Kongregasi untuk Para Imam. 24 Januari 2005. Anak-Anak Harus Segera Menyantap Sakramen Ekaristi Secepat Mungkin, Kata Kardinal.Vatikan: Zenit.org. http://www.zenit.org/article-12058?l=english
+statuta regio jawa (sama sekali tidak mencantumkan hal terkait norma yang romo ulas di atas)
renungan:
ternyata persiapan penerimaan kedua sakramen untuk pertama kalinya sejak usia dini, mengandaskan berbagai alasan seperti orang tua repot, sibuk, katekis merasa orang tua mengalihkan tg jawab dll.
ternyata persiapan sejak dini mulai dari gereja rumah tangga membantu (meringankan) pelaksanaan tugas gereja dalam mewarta teristimewa untuk menyuburkan panggilan membiara/imamat sejak dini. semacam seminari atau biara awal bagi mereka bila kelak memasuki biara atau seminari sesungguhnya.
anak2 kecil yang sesungguhnya bisa ikut misa secara penuh, tidak lagi membuat gaduh ketika misa. karena mereka juga terlibat dalam komuni ekaristis yang amat dinantinya. mereka tidak merasa wajib menjaga sakralnya misa bila belum perngakuan dan komuni pertama. toh mereka masih dianggap belum siap menurut ajaran yang tidak sesuai quam singulari.
kok, nggak ada santa/santo dari gk indonesia seperti para santa/o kanak2/usia dini di masa lalu yang mengalami dahsyatnya kristus ekaristi yang kelak sungguh menjadi katekis dan imam agung mereka. sehingga mereka sungguh menjadi teladan iman bagi sebayanya bahkan teladan kebenaran kurban dan pengampunan kristiani bagi bangsanya.
(bukankah karen ketidaktauan ttg mulianya injil yang terkandung dalam quam singulari [dan sejumlah ajaran resmi terkait] sejak usia dini mereka di indonesia sudah dibiarkan lebih banyak menerima kebenaran duniawi? televisi, mal, internet. kompetisi akademis, kursus2 bahasa asing, musik, indonesian idol …, komuni nanti saja? ketika mereka pengakuan dan komuni pertama, sudah bukan pada usia angelic/laten/polos, sudah terpapar logika dan keduniawian sehingga tidak mudah sebanyak2nya mencintai sakramen.)
kok,
panggilan hidup membara dan atau imamat menurun, ya?
setelah mengetahui ini semua,
masih merasa tidak bersalahkah kita,
bila menolak anak2-anak yang ingin ikut kelas persiapan penerimaan pengakuan dan komuni pertama?
atau masihkah kita ngotot bahwa kebijakan pastoral gereja setempat yang benar, berdasarkan tradisi keliru para imam paroki terdahulu serta para ketekis awam yang merasa berhak menolak anak2 itu?
gereja bukan lahir dari kebijakan pastoral, lho …
para imam memang lulusan seminari,
tetapi mereka lahir dari keluarga.
sudah terbukti kan,
bahwa gereja tidak ada tanpa keluarga.
gereja tidak punya hirarki dan santa/o tanpa kerjasama orang tua mendidik iman anaknya.
orang tua tidak bisa mendidik iman anaknya bagi sebanyak2nya kemajuan gereja,
bila imamnya tidak tau ajaran2 yang bermanfaat,
dan atau bila imamnya tidak mengajarkan ajaran2 iman yang bermanfaat itu kepada orang tua.
para imam bisa memberikan katekese baptis maupun sakramen baptis, mengapa tidak memberikan katekese pengakuan dan komuni pertama usia dini.
ayo undang rm boli untuk seminar quam singulari…. wah seperti promosi ya.
ayo baca buku betapa istimewanya juga.
catatan: sejumlah butir di atas dikutip dari nakah syukur 100 tahun promulgasi quam singulari dengan sepengetahuan dan izin penulisnya.
salam dan doa+
Instaurare Omnia in Christo Yth
Apa yang anda sampaikan benar karena mengambil dari teks promulgasi 100 tahun QS dan beberapa dokumen Gereja Katolik. Saya yakin rama Boli juga setuju. Hukum Gereja Katolik ditulis dalam konteks pemikiran yang dalam hal tertentu seperti batas usia, penggunaan akal sehat dalam Kan 11, 97, 401 paragrap 1 sesuai dengan usia orang Eropa. Penerimaan komuni kudus pertama bagi anak-anak memang dianjurkan setelah anak dapat menggunakan akal sehat (7 tahun) kira-kira kelas 1 SD. Tapi kenyataan, praktek pastoral Gereja Katolik di Indonesia adalah 10 tahun (kelas 4 SD). Mengapa? Karena usia anak kelas 1 SD meskipun sudah menggunakan akal budinya tetapi daya tangkap pemahaman tentang Sakramen Ekaristi belum cukup maka perlu ditambahkan usia sampai ke kelas 4 SD (10 tahun). Kebijakan ini bisa diubah karena perkembangan fisik dan intelektual anak sekarang berbeda dengan zaman dulu, dan kesadaran dan tanggungjawab orang tua sudah berubah, keluarga bisa mendidik iman anaknya secara baik. Komuni pertama bukan pada usia 10 tahun tetapi pada usia 7 tahun. Syukurlah kalau usulan anda ini bisa dipraktekkan dan berharap orang tua semakin memegang tugas utama pendidikan iman anak sejak dini di dalam keluarga. Pengalaman saya di beberapa paroki baik kota maupun desa, keluarga belum memiliki kesadaran dan tanggungjawab yang penuh dalam pendidikan iman anak. Pendidikan iman anak sendiri dimulai dari kebiasaan membaca Kitab Suci dalam keluarga, orang tua mengajarkan iman Katolik yang benar, berdoa keluarga bersama secara rutin, aktif dalam lingkungan seperti saat ini bulan Kitab Suci tema yang bagus tentang anak-anak mencintai Kitab Suci, keluarga memiliki katekismus Gereja Katolik sebagai buku pedoman dalam mengajar iman Katolik kepada anak. Hal- hal semacam itu jarang ditemukan maka tidak jarang paroki mengadakan pendidikan anak melalui: sekolah minggu, atau sekolah bina iman anak, ada PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), ada bina remaja Katolik, ada katekese ekaristi bagi umat dll. Kegiatan semacam itu untuk membantu keluarga agar iman anak-anak yang seharusnya diajarkan sejak usia dini dalam keluarga dilakukan/ terpenuhi dengan baik. Pastor paroki, para ketekis dan guru- guru agama ikut membantu tugas utama orang tua dalam pendidikan anak, namun bukan mengambil alih. Jadi dua sisi keluarga dan paroki (ibu Gereja) sama- sama memiliki tanggungjawab. Sekali lagi soal umur berapa diberi pengajaran dan penerimaan komuni kudus pertama kali diberikan secara penuh otoritas dan kewenangan para Uskup sebagai pimpinan Gereja Lokal dengan memperhatikan norma-norma umum dalam Gereja Katolik.
salam
Rm Wanta
+,
pada tahun 2001, almarhum Pater Nikolaus Hayon SVD menyampaikan kepada saya di perpustakaan Komisi Liturgi KWI, Jakarta bahwa banyak imam yang tidak mengetahui Quam Singulari. Sekarang, sudah 11 tahun setelah pernyataan almarhum , ternyata sudah ada perubahan! kiranya makin banyak imam yang mengetahui dan makin mengalami manfaat Quam Singulari.
berikut adalah salah satu bukti nyata bahwa Quam Singulari makin dikenal oleh para imam:
MENINJAU USIA KOMUNI PERTAMA oleh JACOBUS TARIGAN Pr
Dikutip dari rubrik Mimbar, halaman 42, Majalah Hidup edisi 11 September 2011
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kesehatan anak hendaknya diperhatikan pada saat usia balita, bahkan sejak dalam kandungan. Dengan begitu, anak mengalami cinta dari orangtuanya. Anak balita tidak tahu dan tidak bertanya, untuk apa ia diberi ASI dan kasih sayang. Demikian juga ketika anak balita dibaptis, ia tidak bertanya.
Sakramen Baptis, Komuni dan Penguatan merupakan Sakramen Inisiasi. Mengapa Komuni Pertama harus menunggu sampai anak duduk di SD kelas IV, V dan seterusnya? Sejarah Gereja mencatat bahwa pada awalnya, Komuni Pertaamapun diberikan kepada bayi usia menyusui. Anak yang dibaptis langsung saja menerima Komuni Pertama.
“Biarkan anak-anak itu datang kepadaKu, jangan halang-halangi mereka, sebab orang-orang seperti inilah yang memiliki Kerajaan Allah” (Markus 10:14).
Inspirasi Alkitabiah ini mendorong Paus Pius X (1835-1914) menerbitkan dokumen “Quam Singulari” (Betapa Istimewanya), pada 8 Agusttus 1910. Maksud dokumen ini adalah memberi kesempatan sedini mungkin bagi anak-anak yang telah dibaptis untuk mengalami anugerah Sakramen Pengampunan dan Komuni Pertama pada usia akal budi, yaitu ketika berumur sekitar tujuh tahun.
Bahkan Paus PIus X mengajurkan agar anak-anak kecil juga menerima komuni setiap hari. Dokumen ini mengingatkan kita bahwa daya kekuatan Allah juga berkarya dalam hidup seorang anak, walaupun ia kurang menyadarinya, “Takut akan Tuhan ialah permulaan pengetahuan” (Ams, 1:7 bdk Sir.1:14).
Membuka arsip beberapa paroki di Indonesia, ternyata pada tahun 1950-an bahkan sebelumnya, Komuni Pertama diberikan kepada anak usia kelas satu dan kelas dua Sekolah Rakyat (sekarang Sekoah Dasar). Bahkan para misionaris memberikan komuni kepada umat buta huruf, dengan sedikit penjelasan saja. Disadari sungguh bahwa pada dasarnya manusia beriman itu membuka diri bagi misteri yang mendatanginya melalui wahyu dan itulah pengertian sejati. Walaupun manusia itu mencari kebenaran melalui akal budi, tetapi kebenaram sejati dan mendalam disinari oleh iman.
“Iman mempertajam pengelihatan batin, sambil membuka budi untuk menemukan karya Penyelenggaraan Ilahi dalam arus peristiwa-peristiwa . Di situlah kata-kata Kitab Amsal tepat sekali: Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi Tuhanlah yang menentukan arah langkahnya” (Ams. 16:19) (Fidei et Ratio, no.16).
Mengapa dewasa ini di banyak paroki, usia Komuni Pertama dan Pengakuan Pertama ditunda sampai anak berada di kelas IV atau V atau bahkan kelas VI dan SMP kelas I, II dan III? Bukankah kita sudah terjebak dalam rasionalisme Aufklarung (pencerahan) yang mendewakan Ilmu Pengetahuan, bahkan Ilmu Pengetahuan empiris positivistis.
Semuanya dinilai secara matematis-statistik. Seolah-olah pengetahuan iman kita bisa dikursuskan, diseminarkan, diceramahkan dan diindoktrinasi. Seolah-olah penghayatan iman bisa diukur dari pengetahuan yang ditulis dalam buku Panduan Komuni Pertama. Kita lebih cenderung menekankan “intellige ut credas” (saya mengerti supaya percaya) dan mengabaikan “crede ut intelligas” (saya percaya supaya mengerti). Padahal St. Agustinus menegaskan sintesi iman dan rasio.
Komuni Pertama hendaknya menjadi perayaan iman keluarga. Orangtua bertanggungjawab atas pendidikan iman anak. Para katekis di sekolah hanya membantu, tetapi tidak menjadi hakim yang memutuskan lulus tes masuk Komuni Pertama.
Usia tujuh tahun boleh dinilai telah mencapai usia akal budi. Maka Komuni Pertama sebaiknya diadakan pada kelas I atau II SD. Walaupun pengetahuan anak tentang Ekaristi secukupnya saja bahkan kurang, kita yakin:daya kekuatan Sakramen Ekaristi dan Pengampunan dalam hidup manusia lebih dari kesadaran dan pengetahuannya.”
Penulis (Jacobus Tarigan Pr) adalah Pengurus Inti Komisi Liturgi Konferensi Wali Gereja Indonesia.
Semoga makin banyak imam dan umat yang mengenal dan mengalami manfaat Quam Singulari. Dan kiranya Katolisitas.org juga terbantu fungsi pewartaannya oleh tulisan Pastor Jacobus Tarigan Pr tersebut.
Salam kasih Kristu!
instaurare omnia in christo+
Salam damai,
Saya ingin tahu alasan mendasar dari kebijakan pastoral khususnya daerah jabodetabek yg menunda pelaksanaan QS sampai anak duduk di kelas IV ? Bagaimana sikap kita sbg orang tua yg sdh tahu QS ini dan kondisi rohani anak, apkh bisa mempercepatnya atau hrs mengikuti kebijakan pastoral dimana kita tercatat sbg umatnya? Karena di lain sisi kita hrs mengikuti segala kebijakan pastoral yg sdh dibuat demi kepentingan seluruh umat. Terima kasih, Romo.
Teddy Yth.
Konteks ajaran QS adalah keselamatan baptisan harus dilanjutkan dalam persatuan dengan Yesus Kristus dalam komuni kudus. Hal yang penting adalah yang menerima komuni kudus telah cukup akal budinya memahami misteri ekaristi kudus. Di dunia Barat perkembangan anak lebih cepat dari Indonesia karena itu ajaran dan norma kadang sedikit harus disesuaikan dengan perkembangan tubuh (fisik) anak Indonesia. Karena itu mengapa umur 10 tahun kelas IV SD saya kira alasan perkembangan akal budi dan pribadi anak apakah sudah siap menerima komuni kudus (tidak berumur 7 tahun yang belum tahu benar apa itu sakramen mahakudus). Alasan konteks budaya dan perkembangan anak mempengaruhi mengapa diambil kebijakan pastoran umur 10 tahun. Kedua hukum partikular se Jabodetabek, itu bisa diubah jika nanti tidak sesuai lagi maka bisa umur 8 tahun karena perkembangan anak zaman sekarang berbeda. Normanya ada pada: Umur berapakah anak sudah siap mampu menerima pengajaran komuni kudus (misteri ekaristi kudus?). Inilah yang perlu dipertimbangkan. Apakah bisa mempercepat? Bisa mengapa tidak? Yang penting QS dan konteks perkembangan anak Indonesia terpenuhi.
salam
Rm Wanta
Terima kasih banyak Romo atas informasinya. Imanuel
dear teddy,
justru demi kepentingan seluruh umat,
kebijakan yang dibuat harus mengajarkan ajaran resmi gk yang mengandung terang injil kristus!
Dear Bu Ingrid,
Hanya usulan tentang dasar penerimaan Komuni I: bagaimana kalau diulas juga mengenai dokumen QUAM SINGULARI; Ajaran Resmi Gereja Katolik Mengenai Pengakuan dan Komuni Pertama untuk Anak-anak usia 7 tahun.
Semoga berkenan. Thanks. Berkah Dalem.
Salam, MC
[dari katolisitas: silakan melihat artikel di atas – silakan klik]
Comments are closed.