Berikut ini adalah tanggapan atas keberatan-keberatan yang diajukan sehubungan dengan batu karang yang disebutkan di dalam Mat 16:18. Kalau ada pembaca yang mempunyai tambahan keberatan yang belum dibahas di sini, silakan untuk menambahkannya.

1. Yesus berbicara dalam bahasa Aram?

Pandangan Protestan di atas seolah mengatakan bahwa pada Mat 16:18, Yesus tidak berbicara dalam bahasa Aram, atau anggapan bahwa Yesus berbicara dalam bahasa Aram itu hanyalah suatu spekulasi. Namun jika kita membaca ayat- ayat Kitab Suci lainnya, kita mengetahui bahwa memang sesungguhnya nama yang diberikan oleh Tuhan Yesus kepada Simon Petrus adalah Kepha (= Kefas dalam terjemahan Indonesia), yaitu suatu kata bahasa Aram yang berarti batu karang. Ini disebutkan oleh Rasul Yohanes dalam Injilnya (Yoh 1:42), dan juga oleh Rasul Paulus dalam suratnya (Gal 1:18). Maka para rasul yang lain mengingat bahwa nama yang Tuhan Yesus berikan kepada Simon adalah ‘Kefas’, dari bahasa Aram. Maka, sebenarnya ayat  Mat 16:18 itu sesungguhnya mengatakan, “Kamu adalah Kefas, dan di atas Kefas ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku.” Dan Kefas ini adalah Rasul Simon Petrus.

Di Kitab Suci sendiri kita mengetahui perkataan lain, seperti “Eli, Eli, lama sabakhtani” (Mat 27:46; Mrk 15:34) yang juga adalah bahasa Aram. Dan dengan demikian bahwa Yesus berbicara dalam bahasa Aram bukanlah suatu spekulasi. Bahwa Kitab Suci kemudian dituliskan dalam bahasa Yunani, itu berhubungan dengan kondisi saat itu yang memang menggunakan bahasa Yunani sebagai bahasa dalam literatur (dan juga percakapan); namun itu tidak mengubah kenyataan bahwa Yesus sebenarnya memberikan nama “Kefas” dari kata Aram, kepada Simon, yang dalam bahasa Yunani-nya diterjemahkan sebagai “Petros”, sehubungan dengan gender maskulin yang ada dalam tata bahasa Yunani untuk nama seorang pria.

2.“Petros”= batu kecil; “Petra” = batu besar?

Paham Protestan umumnya mengatakan bahwa “Petros” artinya batu kecil dan “Petra” artinya batu besar/ batu karang. Sehingga, paham ini berkesimpulan bahwa perkataan Yesus, “Kamu adalah Petros, dan di atas petra ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku” menunjukkan bahwa ‘Petros’ dan ‘petra’ ini tidak sama. Petros adalah nama lain Simon, sedangkan ‘petra’ / batu karang adalah untuk diartikan sebagai Kristus sendiri ataupun pengakuan iman Simon.

Para apologist Katolik umumnya mengatakan bahwa sebenarnya ‘petros’ dan ‘petra’ mengacu kepada arti yang tidak berbeda, yaitu sama- sama batu besar. Hal ini juga dikatakan oleh ahli bahasa Yunani Protestan yaitu D.A Carson dalam bukunya “Matthew”. in Frank E. Gaebelein, ed. The Expositor’s Bible Commentary (Grand Rapids: Zondervan, 1984), vol.8, 368; dan Joseph Thayer, dalam bukunya Thayer’s Greek- English Lexicon of the New Testament (Peabody: Hendrickson, 1996), 507.

Kata “batu kecil” yang dipakai dalam bahasa Yunani adalah ‘lithos‘, bukan ‘petros‘. Maka kata ‘lithos‘ (bentuk jamaknya adalah ‘lithoi‘ yang dipakai dalam ayat Mat 4:3, pada saat Iblis mencobai Yesus, untuk mengubah batu- batu (lithoi) menjadi roti. Kata ‘lithoi‘ ini juga yang dipakai oleh Rasul Petrus pada saat menasihati jemaat agar hidup sebagai batu (‘lithoi‘) yang hidup yang membentuk sebuah rumah rohani (1 Pet 2:5). Kalau seandainya Yesus (dan Matius) menginginkan ditampilkan perbedaan ini (batu besar dan batu kecil) maka yang digunakan harusnya adalah, “Kamu adalah lithos (batu kecil) dan di atas petra (batu besar) ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku.” Jika demikian malah kalimatnya menjadi tidak logis bukan, karena sepertinya tidak ‘nyambung’.

Kita perlu melihat bahwa kalimat tersebut terdiri dari dua bagian kalimat yang dihubungkan oleh kata “dan”. Matius memilih kata “kai” untuk menghubungkan kedua bagian kalimat itu, di mana kata “kai” itu mengacu kepada “pronoun”/ subyek yang sama yang sudah disebut sebelumnya. Selanjutnya, digunakan kata ‘taute‘ yang kalau dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai “this very“, atau dalam bahasa Indonesianya adalah “dan inilah”. Maka sesungguhnya, yang ingin dikatakan oleh Yesus adalah, “Kamu adalah Petros (batu karang), dan di atas petra (batu karang) inilah, Aku akan mendirikan Gereja-Ku.”

Jika maksud Yesus adalah untuk membedakan keduanya, Matius seharusnya menggunakan kata “alla”  yaitu “tetapi” sehingga tidak mengacu kepada subyek yang sedang dibicarakan sebelumnya, atau dapat diartikan sebagai batu yang lain. Tetapi kita mengetahui tidak demikian halnya.

Maka untuk menjawab pertanyaan di atas: kalau memang Petros dan petra sama artinya, mengapa tidak ditulis “Engkau adalah Petros, dan di atas petros ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku”? Jawabannya adalah: karena dalam tata bahasa Yunani dikenal sistem gender, seperti halnya dalam bahasa Latin, di mana batu karang (secara literal) itu mempunyai gender feminin dengan akhirannya adalah “a”.  Maka Yesus memberi nama baru kepada Simon, untuk dihubungkan dengan karakter yang dilambangkannya yaitu batu karang (petra); yang memang terpampang di hadapan mereka pada saat Yesus mengatakan hal ini kepada mereka, di Kaisaria, Filipi. [Silakan anda klik di wikipedia atau sumber internet lainnya untuk melihat potret lokasi Caesarea, Phillipi, agar anda lebih memahami konteks yang dibicarakan di sini].

3. “Petra” di sini artinya “pengakuan iman Petrus” dan bukan Petrus?

Ada juga pandangan Protestan yang mengatakan bahwa “batu karang”/ petra yang dimaksud di sini adalah “pengakuan Petrus” dan bukannya Petrus sendiri. Pandangan ini sesungguhnya adalah pandangan yang hanya mengambil interpretasi alegoris/ simbolis tetapi tidak mau mengambil arti literalnya. Sebaliknya, Gereja Katolik mengambil keduanya, yaitu “petra”/ batu karang (Mat 16:18) tersebut mengacu kepada Petrus (arti literal) oleh sebab pengakuan imannya akan Kristus sebagai Anak Allah yang hidup (arti alegoris/ simbolis).

Banyak ahli Kitab Suci Protestan mengakui bahwa Petruslah “batu karang” yang dimaksud dalam pernyataan Yesus ini. Silakan klik di sini untuk membaca pengajaran mereka, antara lain Oscar Cullmann (Lutheran), Eduard Schweizer, Francis W. Beare dan Thomas G. Long (Reformed), D.A Carson, Herman Ridderbos, Craig Blomberg, Craig Keener (Evangelis Protestan), R. T France (Anglikan). Cullmann menuliskan, “Tapi apa yang dimaksudkan oleh Yesus ketika mengatakan: “Di atas Batu Karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku?” Ide para Reformer bahwa Ia [Yesus] mengacu kepada iman Petrus adalah sangat tidak terbayangkan (inconceivable)…. Sebab tidak ada referensi yang mengacu kepada iman Petrus. Yang ada, paralel/ perbandingan antara “Kamu adalah Batu Karang” dan “di atas Batu Karang ini Aku akan membangun” menunjukkan bahwa Batu Karang yang kedua adalah sama dengan Batu Karang yang pertama. Oleh karena itu, jelaslah bahwa Yesus mengacu kepada Petrus, yang kepadanya Ia telah memberi nama Batu Karang. Ia telah menunjuk Petrus… Dalam hal ini exegesis Gereja Katolik benar, dan semua usaha gereja Protestan untuk menghapuskan interpretasi ini harus ditolak. (lihat Oscar Cullmann, dalam artikel “Rock̶1; (petros, petra) trans. and ed. by Geoffrey W. Bromiley, Theological Dictionary of the New Testament (Eerdmans Publishing, 1968), volume 6, p. 108).”

4. Hanya Tuhan saja yang dapat disebut “Batu Karang”?

Argumen lainnya dari umat Protestan adalah bahwa hanya Tuhan-lah yang layak disebut sebagai ‘Gunung Batu/ batu karang’, seperti yang ditulis dalam Yes 44:8, “Adakah Allah selain dari pada-Ku? Tidak ada Gunung Batu yang lain, tidak ada Kukenal!” dan 1 Kor 10:4, “sebab mereka minum dari batu karang rohani yang mengikuti mereka, dan batu karang itu ialah Kristus.”

Memang Tuhan disebut sebagai ‘Gunung Batu’/ ‘the Rock‘ di Yes 44:8, dan bahkan di banyak ayat lainnya. Namun juga di tujuh bab kemudian dalam kitab Yesaya, yaitu Yes 51: 1-2, dikatakan Abraham adalah gunung batu yang daripadanya bangsa Israel terpahat. Serupa dengan hal ini adalah: Yesus disebut sebagai dasar Gereja (1 Kor 3:11) tetapi dalam Why 21:14 dan Ef 2:20, dikatakan bahwa dasar Gereja adalah para rasul. Atau dikatakan bahwa Yesus adalah Terang Dunia (Yoh 9:5) tetapi Kitab Suci juga mengatakan bahwa kita sebagai murid- murid Kristus adalah terang dunia (Mat 5:14). Juga, Yesus adalah Sang Rabi/ guru pengajar, namun ada banyak pengajar di dalam Tubuh Kristus (Ef 4:11; Yak 3:1).

Maka bukanlah suatu kontradiksi untuk mengatakan jika dasar Gereja adalah para rasul, sebab mereka dapat menjadi dasar Gereja karena mereka ada di dalam Kristus, Sang Dasar/ Pondasi. Demikian juga, Gereja dapat menjadi terang dunia karena ia berada di dalam Kristus yang adalah Terang Dunia. Seorang guru pengajar dapat mengajar karena ia ada di dalam Kristus Sang Guru. Dengan pengertian ini kita mengartikan Petrus sebagai ‘batu karang’. Keberadaannya sebagai ‘batu karang’ tidak mengurangi makna Kristus sebagai ‘Batu Karang/ Gunung Batu’ sebab karakternya sebagai batu karang tersebut diperoleh dari Kristus.

5. Mari mengikuti ajaran St. Agustinus

Di komentar di atas, sang penjawab mengatakan agar kita kembali kepada ajaran St. Agustinus:

For on this very account the Lord said, ‘On this rock will I build my Church,’ because Peter had said, “Thou art the Christ, the son of the living God.’ On this rock, therefore, He said, which thou hast confessed, I will build my church. For the Rock (petra) was Christ; and on this foundation was Peter himself also built. For other foundation no man lay that this is laid, which is Christ Jesus.” (Augustine, Homilies on the Gospel of John).

Tentu saja Gereja Katolik juga setuju dengan ajaran ini, bahwa memang Kristus adalah Sang Batu Karang. Namun mengatakan bahwa Petrus adalah “batu karang” juga tidaklah bertentangan dengan ajaran ini, karena ‘batu karang’ yang dimaksudkan di sini juga tidak untuk diartikan terpisah dari Kristus. Maka Petrus sebagai ‘batu karang’ itu bukan untuk dianggap ‘saingan’ Kristus, seolah- olah Petrus adalah batu karang yang lain dengan Kristus. Petrus hanya menerima karakter batu karang dari Kristus Sang Batu Karang; sama seperti kita sebagai murid- murid Kristus menjadi terang dunia karena mengambil sumbernya dari Kristus Sang Terang Dunia.

Selanjutnya, jika mau konsisten, seharusnya sang penjawab surat di atas juga menerima ajaran St. Agustinus berikutnya tentang keutamaan Paus. Tentang ayat Mat 16:18, St. Agustinus menjelaskan kembali dalam bukunya Retractiones, 1, 20,1, demikian:

“…. Tetapi aku mengetahui hal itu sangat sering pada saat- saat berikutnya, sehingga aku menjelaskan apa yang Tuhan katakan: “Kamu adalah Petrus, dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku’, bahwa itu harus dimengerti sebagai dibangun di atas Dia yang kepada-Nya Petrus mengaku: “Engkau adalah Kristus, Anak Allah yang hidup,” dan oleh karena itu, Petrus, yang dipanggil ‘batu karang’ ini, mewakili Gereja yang didirikan di atas batu karang ini, dan telah menerima ‘kunci-kunci Kerajaan Surga‘….” (lihat St. Augustine: The Retractions, trans. Sister Mary Inez Bogan (Washington, D.C.: Catholic University of America Press, 1968) 60:90-91).

Maka, St. Agustinus mengajarkan bahwa Sang Batu Karang adalah Kristus, di mana Petrus juga membangun di atasnya, namun itu tidak mengubah ajarannya tentang keutamaan Petrus [yang mewakili seluruh Gereja] dan para penerusnya. Ia bahkan menunjukkan pentingnya jalur apostolik ini untuk membuktikan Gereja sejati; untuk menolak ajaran sesat Donatism yang uskup- uskupnya tidak mempunyai jalur apostolik. Sayangnya Luther dan Calvin, yang sama- sama mempelajari St. Agustinus, rupanya ‘menganggap sepi’ ajaran ini, atau hanya memilih sebagian dari ajaran St. Agustinus yang mereka pandang mendukung pandangan mereka.

Berikut ini adalah ajaran St. Agustinus:

“Jika urutan episkopal secara turun temurun adalah sesuatu yang harus dipertimbangkan, adalah lebih lagi dalam hal kepastian, kebenaran dan keamanan, kita mengurutkannya dari Petrus sendiri, yang kepadanya, sebagai seorang yang mewakili seluruh Gereja, Tuhan Yesus berkata, “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya.” Petrus digantikan oleh Linus, Linus oleh Klemens, Klemens oleh Anacletus, Anacletus oleh Evaristus, Evaristus oleh Sixtus, Sixtus oleh Telesforus, Telesforus oleh Hyginus, Hyginus oleh Anicetus, Anicetus oleh Pius, Pius oleh Soter. Soter oleh, Alexander, Alexander oleh Victor, Victor oleh Zephyrinus oleh Callistus, Callistus oleh Urban, Urban oleh Pontianus, Pontianus oleh Anterus, Anterus oleh Fabian, Fabian oleh Cornelius, Cornelius oleh Lucius, Lucius oleh Stephen, Stephen oleh Sixtus, Sixtus oleh Dionisius, Dionisius oleh Felix, Felix oleh Eutychian, Eutychian oleh Caius, Caius oleh Marcellus, Marcellus oleh Eusebius, Eusebius oleh Melchiades, Melchiades oleh Sylvester oleh Markus, Markus oleh Julius, Julius oleh Liberius, Liberius oleh Damasus, Damasus oleh Siricius, Siricius oleh Anastasius. Dalam urutan ini tidak ada satupun uskup Donatist ditemukan.”(St. Augustinus, To Generosus, Letter 53, 2 Jurgens, Faith of the Early Fathers, 3:2)

Akhirnya, mari kita melihat argumen masing- masing dan menilai manakah yang lebih masuk akal dan sesuai dengan Kitab Suci dan Tradisi Suci. Walaupun rangkaian artikel Keutamaan Paus yang ada di situs ini belum lengkap (baru sampai bagian ke-4) namun saya percaya, jika kita mau membacanya dengan hati yang terbuka tanpa prasangka, maka sebenarnya kita semua dapat memahami bahwa ajaran Gereja Katolik tentang keutamaan Paus ini sungguh sangat berdasar, dan bukan sekedar ‘argumen yang kosong’, seperti yang dituduhkan di atas. Keutamaan Paus dan kepemimpinannya atas Gereja tidak hanya didasarkan atas Mat 16:18 saja, tetapi juga sudah dibuktikan dengan ayat- ayat lainnya dalam Kitab Suci,  dalam Tradisi Suci para rasul dan ajaran Bapa Gereja.

Perlu diketahui, bahwa banyak dari antara para Apologist Katolik sebelum menjadi Katolik adalah seorang Protestan yang sangat mempelajari Kitab Suci, dan bahkan banyak di antara mereka adalah bekas pendeta. Mereka adalah para ahli Kitab Suci yang selain menguasai bahasa aslinya (Yunani dan Ibrani) juga menguasai sejarah. Beruntunglah kita yang dapat belajar dari para Apologist tersebut yang membangun Gereja Katolik, justru dengan latar belakang mereka sebagai seorang Protestan. Ini justru merupakan bukti yang sangat kuat bahwa jika seseorang sungguh dengan tulus mencari kebenaran, maka ia akan sampai kepada Gereja Katolik. Kepindahan mereka ke Gereja Katolik merupakan bukti bahwa mereka mengasihi Allah, Sang Kebenaran itu, melebihi segala- galanya.

14 COMMENTS

  1. Salam Katolisitas, minta bantuannya untuk menuliskan salam yang diberikan Malaikat pada Bunda Maria ” Salam hai engkau yang dikaruniai, Tuhan Menyertai Engkau” (Luk.1:28) kedalam bahasa aram dan Ibrani. Saya sudah mencari, sudah saya dapatkan namun dengan alfabet ibrani. Minta bantuan untuk menuliskan salam tersebut menggunakan bahasa Aram dan Ibrani tapi menggunakan huruf latin agar bisa dibaca. Salam, terima kasih.

  2. 1 malam tidak bisa tidur gara- gara sudah daftar tapi tidak bisa masuk kalo log in. Kalo pake akun google bisa tapi tidak bisa koment. Semua berubah saat bangun pagi; bisa masuk tanpa melalui akun google dan bisa komentar. Terima kasih

  3. Salam Damai, saya ingin mengingatkan umat katolik

    Perlu di ketahui : Petrus dgn Petra sangat berbeda sekali artinya:

    KJV Matthew 16:18 And I say also unto thee, That thou art Peter, and upon this rock I will build my church; and the gates of hell shall not prevail against it. (Mat 16:18 KJV)

    4074 Πέτρος Petros {pet’-ros} > Peter
    Meaning: Peter = “a rock or a stone” 1) one of the twelve disciples of Jesus

    4073 πέτρα petra {pet’-ra} > rock
    Meaning: 1) a rock, cliff or ledge 1a) a projecting rock, crag, rocky ground 1b) a rock, a large stone 1c) metaph. a man like a rock, by reason of his firmness and strength of soul

    KJV John 1:42 And he brought him to Jesus. And when Jesus beheld him, he said, Thou art Simon the son of Jona: thou shalt be called Cephas, which is by interpretation, A stone. (Joh 1:42 KJV)

    4613 Σίμων Simon {see’-mone}
    Meaning: Peter = “a rock or stone” 1) Peter was one of the apostles 2) Simon called Zelotes or the Kanaites 3) Simon, father of Judas who betrayed Jesus. 4) Simon Magus, the Samaritan wizard 5) Simon the tanner, Ac. 10 6) Simon the Pharisee, Luke 7:40-44 7) Simon of Cyrene who carried the cross of Christ 8) Simon the cousin of Jesus, the son of Cleophas 9) Simon the leper, so called to distinguish him from others of the same name

    2786 Κηφᾶς Kephas {kay-fas’}
    Meaning: Cephas = “stone” 1) another name for the apostle Peter

    KJV 1 Corinthians 10:4 And did all drink the same spiritual drink: for they drank of that spiritual Rock that followed them: and that Rock was Christ. (1Co 10:4 KJV)

    4073 πέτρα petra {pet’-ra} > rock
    Meaning: 1) a rock, cliff or ledge 1a) a projecting rock, crag, rocky ground 1b) a rock, a large stone 1c) metaph. a man like a rock, by reason of his firmness and strength of soul
    GBU

    [Dari Katolisitas: Telah kami sampaikan pengertian Petros dan Petra di atas. Anda boleh berhak tidak setuju, namun kami juga berhak untuk memegang pengertian kami, atas dasar yang sangat jelas, dan bahkan diterima juga oleh beberapa ahli Kitab Suci non- Katolik. Pengartian kata dalam suatu kalimat tidak terlepas dari konteksnya, dan atas dasar tersebut Petros dan Petra yang disebut oleh Kristus dalam kalimat itu mengacu kepada Simon Petrus.]

  4. “Matius 16:18 dan Sistem Nilai Ilmu Hukum”

    Shallom, saudara-saudara terkasih di Katolisitas,

    Saya sungguh senang dengan adanya tempat untuk bertanya tentang ajaran-ajaran Katolik di internet, dan ternyata website ini didukung oleh banyak pribadi yang sangat berkompeten.

    Demikian banyaknya yang ingin saya tanyakan hingga saya sendiri bingung hendak memulai darimana. Akhirnya saya putuskan untuk memulai dari fondasinya, yaitu tentang kata “Petros” dan “Petra” ini.

    Asumsi dari rangkaian pertanyaan saya di bawah ini adalah: “Setahu saya, Pernjanjian Baru yang dikanonisasi adalah dalam bahasa Yunani, dan bukan dalam bahasa Aram. Jika Mat 16:18 ditafsirkan berdasarkan Kanon Perjanjian Baru (PB) yang berbahasa Yunani, maka ia akan menghasilkan keputusan teologis-dogmatis yang berbeda dengan tafsiran yang tidak berdasarkan Kanon PB, yaitu tafsiran atas bahasa lisan (Aram) dari ayat itu.”
    Yang ingin saya tanyakan adalah:

    1. Dalam dunia hukum diakui suatu nilai bahwa tradisi tulisan-eksplisit (hukum positif), lebih berotoritas dibandingkan dengan tradisi lisan. Jika jarang ada orang yang mau melaporkan kasus penipuan perjanjian kerjasama yang dilakukan ‘di bawah tangan’ ke pengadilan, itu karena mereka sadar bahwa mereka tidak dapat memberikan bukti otentik (hitam-diatas-putih, secara legal-formal, yang dibuat di hadapan notaris), kepada pihak penegak hukum. Setujukan Anda? Jika tidak, mengapa?

    2. Suatu kebenaran, seharusnya tahan uji oleh berbagai hal yang ‘dianggap sebagai kebenaran’, baik oleh kalangan Kristen sendiri, maupun dari luar kekristenan, seperti ilmu pengetahuan (dalam hal ini adalah ilmu hukum). Setujukah Anda?

    3. Yang dimaksud sebagai “Kitab Suci” Perjanjian Baru (yang telah dikanoniasasi) adalah Kitab Suci yang berbahasa Yunani atau berbahasa Aram. Benarkah demikian? Yang manakah yang dimaksudkan sebagai “infallible”: Kitab Suci yang telah dikanonisasi dalam bahasa Yunani atau ‘Kitab Suci’ lisan dalam bahasa Aram? Mengapa? Bolehkah saya mendapatkan dokumen pendukung (legal-formal) yang membuktikan bahwa Perjanjian Baru berbahasa Aram memiliki otoritas dan infallibilitas yang sama dengan Perjanjian Baru yang telah dikanonisasi dalam bahasa Yunani?

    4. Menurut ilmu hukum, jika suatu tradisi lisan (bahasa Aram, misalnya), telah dibuatkan transkripnya ke dalam tulisan, maka yang memiliki otoritas yang lebih tinggi adalah yang berbentuk tulisan. Setujukah Anda? Mengapa?

    5. Jika satu konstitusi (dalam bentuk tulisan) telah disahkan sebagai infallible dan berotoritas, kemudian ternyata yang dijadikan sumber kebijakan Katolik ditarik dari tradisi lisan (bahasa Aram) dan bukan dari naskah konstitusi itu sendiri (yang memiliki pernyataan eksplisit dalam bahasa Yunani), bukankah ia telah ‘kalah’ dalam pengujian kebenaran oleh ilmu hukum yang mengatakan bahwa tradisi tulisan lebih berotoritas daripada tradisi lisan?

    6. Jika ternyata tradisi ‘lisan’ (bahasa Aram) untuk Mat. 16:18 dijadikan dasar yang sah untuk menafsirkan tradisi tulisan eksplisit legal-formal (berdasarkan kanonisasi), maka tindakan demikian telah mereduksi nilai dari kanonisasi itu sendiri.

    7. Jika tradisi lisan dianggap sebagai ‘memiliki otoritas yang sama’ dengan sumber hukum tulisan-eksplisit untuk menetapkan suatu dogma yang infallible, bukankah itu berarti terdapat DUA SUMBER HUKUM legal-formal dengan dua TINGKAT otoritas yang sama untuk ranah yang sama (keagamaan. dogmatis)? Bolehkah ada dua sumber hukum yang berbeda, sedangkan otoritasnya dianggap sama untuk ranah yang sama pula? Bukankah ini berarti ‘kalah’ oleh pengujian kebenaran dari ilmu hukum yang menyatakan ‘tidak boleh ada dua sumber hukum yang otoritasnya sama dengan ranah yang sama…?”

    8. BAHKAN sebenarnya, jika suatu dogma infallible DIHASILKAN dari bahasa lisan (Aram) atas klausul-eksplisit legal-formal kanon Kitab Suci berbahasa Yunani, bukankah itu berarti menganggap OTORITAS BAHASA LISAN LEBIH TINGGI DIBANDINGKAN DENGAN OTORITAS KONSTITUSIONAL BAHASA TULISAN-EKSPLISIT?

    9. Sebagai bahan penguji:

    a. Apakah Gereja Katolik Roma (GKR) akan (atau SELALU?) menganggap KELIRU ‘tafsiran’ (baca: keputusan teologis-dogmatis) yang didasarkan pada literatur tertulis legal-formal yang telah dikanonisasi yaitu Kitab Suci Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani yang berbeda dengan hasil tafsiran Gereja Katolik Roma, KARENA Gereja Katolik Roma TELAH menetapkan dogma infalliblenya berdasarkan tradisi lisan (bahasa Aram) atas Mat 16:18? Mengapa?

    b. Logikanya: jika Gereja Katolik Roma tidak menganggap tafsiran yang bersumber dari Kitab Suci berbahasa Yunani itu sebagai tafsiran YANG KELIRU, maka berarti ada DUA KEBENARAN yang INFALLIBLE. Setujukah Anda? Jika ada dua kebenaran yang sama-sama infallible, maka salah satunya pastilah keliru karena menyangkut dogma.

    10. Penutup: Bagi saya pribadi, dan saya tidak yakin jika para ahli hukum tidak mendukung saya, penafsiran yang mengakar pada naskah lisan (bahasa Aram) baik oleh Gereja Katolik Roma, maupun oleh para sarjana Protestan, merupakan metodologi yang menyalahi (dan karenanya ‘kalah’ oleh mengujian) sistem nilai yang berlaku dalam ilmu hukum. Metodologinya tidak valid. Apakah kebenaran yang dihasilkan dari metodologi yang tidak valid dapat disebut sebagai ‘kebenaran’?

    Demikian rangkaian pertanyaan dari saya.

    Jika ada salah kata mohon dimaafkan.

    Atas perhatiannya saya mengucapkan terima kasih.

    Tuhan Yesus memberkati.

    Salam damai…

    • Shalom Hamba 02,

      Berikut ini saya menanggapi pernyataan Anda:

      1. Sumber ajaran Gereja Katolik tidak dapat dibandingkan dengan sumber hukum sekular.

      Dari pernyataan Anda, nampak bahwa Anda ingin menerapkan prinsip yang berlaku dalam hukum sekular ke dalam prinsip ajaran Gereja Katolik. Tetapi sejujurnya kedua hal ini tidak sama, sehingga tidak dapat dibandingkan. Dalam dunia sekular, memang yang mempunyai nilai hukum adalah hukum yang tertulis, karena memang patokan yang berlaku adalah demikian. Namun dalam ajaran Kristiani, yang menjadi patokan dan sumber ajaran bukan semata kitab hukum, namun keseluruhan Pribadi Sang pembuat Hukum, yaitu Kristus. Dengan demikian, tidak dapatlah disetarakan prinsip ilmu hukum, dengan prinsip ajaran iman Kristiani.

      Dengan Pribadi Kristus sebagai sumber ajaran Kristiani, maka untuk menerapkan apa yang menjadi kehendak dan perintah Kristus, tidak cukup kita mengandalkan ajaran- ajaran-Nya yang dituliskan (disebut Kitab Suci), tetapi juga ajaran- ajaran-Nya yang tidak tertulis, yang disampaikan secara lisan oleh Kristus dan para rasul kepada para penerus mereka (disebut Tradisi Suci). Bahkan Injil yang tertulis berasal dari ajaran lisan dari Kristus dan para rasul. Rasul Matius dan Rasul Yohanes mencatat ajaran lisan Kristus ke dalam Injil yang mereka tulis, sedangkan Markus, anak angkat Rasul Petrus, mencatat dalam Injilnya, ajaran lisan yang sering dikhotbahkan Rasul Petrus; demikian pula Lukas, pembantu Rasul Paulus, mencatat dalam Injilnya, ajaran lisan yang sering dikhotbahkan oleh Rasul Paulus. Dengan demikian ajaran lisan para rasul memang sifatnya setara dengan ajaran para rasul yang tertulis (seperti Injil dan surat- surat para rasul). Rasul Paulus dengan jelas mengajarkan hal ini (lih. 2 Tes 2 :15). Pengabaian ajaran lisan Kristus dan para rasul (yang disebut Tradisi Suci) itu malah tidak sesuai dengan apa yang diajarkan dalam Kitab Suci. Sebab Tradisi Suci/ ajaran lisan itu bukan ajaran tambahan ataupun turunan dari apa yang tertulis dalam Kitab Suci, melainkan ajaran yang sama tingkatannya dan tidak terpisahkan dari Kitab Suci. Bahkan sebagaimana telah disebutkan, ajaran lisan itu (Tradisi Suci) ada terlebih dahulu sebelum Kitab Suci dituliskan, dan Kitab Suci berasal dari Tradisi Suci.

      Oleh karena itu, Katekimus Gereja Katolik mengajarkan:

      KGK 81 “Kitab Suci adalah pembicaraan Allah sejauh itu termaktub [tertulis] dengan ilham Roh ilahi”.”Oleh Tradisi Suci, Sabda Allah, yang oleh Kristus Tuhan dan Roh Kudus dipercayakan kepada para Rasul, disalurkan seutuhnya kepada para pengganti mereka, supaya mereka ini dalam terang Roh Kebenaran dengan pewartaan mereka, memelihara, menjelaskan, dan menyebarkannya dengan setia” (Konsili Vatikan II, Dei Verbum 9).

      KGK 82 …. Maka dari itu keduanya [baik Tradisi Suci maupun Kitab Suci] harus diterima dan dihormati dengan cita rasa kesalehan dan hormat yang sama” (Konsili Vatikan II, Dei Verbum 9).

      Selanjutnya mengapa Gereja Katolik tidak mengajarkan Kitab Suci saja sebagai sumber ajarannya, silakan klik di sini.

      2. Nama Petrus dalam bahasa Aram (yaitu Kefas) adalah tafsiran?

      Anda mempermasalahkan sebutan dalam bahasa Aram [dalam hal ini ‘Kefas’] sebagai ‘di luar/ tidak sesuai dengan apa yang tertulis’ karena yang tertulis dalam Injil adalah dalam bahasa Yunani [yaitu Petros/ Petra]; dan karena itu ‘Kefas’ sebagai nama Rasul Simon Petrus hanya merupakan tafsir yang tidak sah/ tidak berdasarkan Kanon PB.

      Kesimpulan ini keliru. Sebab terdapat ayat-ayat lain di dalam Kitab Suci (yang sesuai dengan Kanon PB)-yang ditulis dalam bahasa Yunani tersebut- yang menyebutkan Petrus sebagai ‘Kefas’ (Kepha) -nama dalam bahasa Aram (lih. Yoh 1:42, Gal 1:18, 2:11, 2:14; 1 Kor 1:12, 3:22, 15:5). Dicatat pula bahwa dalam Kitab Suci, perkataan Yesus dalam bahasa Aram seperti, “Eli, eli, lama sabakhtani.” (Mat 27:46; Mrk 15:34). Maka bahwa Yesus memberi nama Petrus sebagai Kefas, itu bukan hipotesa atau tafsiran yang tidak berdasar. Namun demikian, bahwa selanjutnya yang lebih banyak digunakan adalah namanya dalam bahasa Yunani (yaitu Petros) juga benar, sebab memang bahasa Yunani merupakan bahasa yang lebih berkembang dan dikenal luas pada masa itu daripada bahasa Aram, dan bahwa Kitab Suci Perjanjian Baru memang dituliskan dalam bahasa Yunani.

      Selanjutnya, silakan dibaca kembali uraian di atas, sebab walaupun dipakai tafsiran menurut bahasa Yunanipun, dengan pemahaman arti kata sambungnya yaitu ‘kai‘ dan ‘taute‘, (“and”, on “this very” [rock]) jelas menunjukkan bahwa nama Petros dan Petra mengacu kepada batu karang yang sama, yang atasnya Kristus mendirikan Gereja-Nya. Maka dengan menggunakan bahasa Yunani-pun, sebenarnya interpretasi yang masuk akal adalah interpretasi yang diajarkan oleh Gereja Katolik.

      Tak heran, mereka yang dengan tulus mempelajari Kitab Suci dengan mempelajari bahasa aslinya, baik Aram maupun Yunani akan sampai kepada kesimpulan yang diajarkan oleh Gereja Katolik. Seorang ahli Kitab Suci Lutheran, Oscar Cullman menulis, “Tapi apa yang dimaksudkan oleh Yesus ketika mengatakan: “Di atas Batu Karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku?” Ide para Reformer bahwa Ia [Yesus] mengacu kepada iman Petrus adalah sangat tidak terbayangkan (inconceivable)…. Sebab tidak ada referensi yang mengacu kepada iman Petrus. Yang ada, paralel/ perbandingan antara “Kamu adalah Batu Karang” dan “di atas Batu Karang ini Aku akan mendirikan” menunjukkan bahwa Batu Karang yang kedua adalah sama dengan Batu Karang yang pertama. Oleh karena itu, jelaslah bahwa Yesus mengacu kepada Petrus, yang kepadanya Ia telah memberi nama Batu Karang. Ia telah menunjuk Petrus… Dalam hal ini exegesis Gereja Katolik benar, dan semua usaha gereja Protestan untuk menghapuskan interpretasi ini harus ditolak.” (lihat Oscar Cullmann, dalam artikel “Rock (petros, petra) trans. and ed. by Geoffrey W. Bromiley, Theological Dictionary of the New Testament (Eerdmans Publishing, 1968), volume 6, p. 108).

      Cullman tidak sendirian dalam hal ini. Banyak ahli Kitab Suci Kristen non Katolik yang juga mengakui bahwa Petruslah “batu karang” yang dimaksud dalam pernyataan Yesus ini.  Eduard Schweizer, Francis W. Beare dan Thomas G. Long (Reformed), D.A Carson, Herman Ridderbos, Craig Blomberg, Craig Keener (Evangelis Protestan), R. T France (Anglikan), juga sependapat dengan Cullman. Silakan klik di sini untuk sekilas membaca tulisan mereka.

      3. Tradisi Suci itu dituliskan?

      Walaupun ajaran lisan dari Kristus dan para Rasul itu dikenal dengan nama Tradisi Suci, namun ajaran lisan tersebut kemudian dituliskan juga oleh para penerus Rasul yaitu Bapa Gereja. Dari tulisan para Bapa Gereja itulah, Gereja memperoleh warisan ajaran- ajaran lisan dari Kristus dan para rasul yang dijaga dengan setia oleh para penerus mereka.

      4. Tentang Infalibilitas

      Silakan membaca apa itu artinya infalibilitas Paus dan syarat- syaratnya, silakan klik

      5. Dogma Infallibilitas dihasilkan dari tafsiran Mat 16:18 dalam tradisi lisan Aram?

      Ini pandangan yang keliru. Silakan membaca artikel seri tentang Keutamaan Petrus di situs ini:

      Keutamaan Petrus 1: Menurut Kitab Suci
      Keutamaan Petrus 2: Bukti sejarah tentang Keberadaan Petrus di Roma
      Keutamaan Petrus 3: Tanggapan terhadap Mereka yang Menentang Keberadaan Petrus di Roma
      Keutamaan Petrus 4: Menurut Dokumen Paling Awal Gereja
      Keutamaan Petrus 5: Dalam Gereja di Lima Abad Pertama

      Maka hal infalibilitas tidak ada kaitannya dengan tafsiran dalam bahasa Aram. Sebab keutamaan Petrus itu tidak terbentuk oleh tafsiran, tetapi oleh fakta yang diakui dan diterima oleh para rasul dan jemaat perdana dan yang kemudian diterapkan terus di sepanjang sejarah Gereja. Bukti sejarah jelas membuktikan hal ini; dan para ahli sejarah, bahkan dari kalangan Kristen non- Katolik, banyak yang dengan lapang hati mengakui hal ini. Maka jika Gereja Katolik tidak menerima tafsiran lain daripada apa yang diajarkan oleh para Bapa Gereja ini, bukan karena Gereja mendasarkan ajarannya dari ‘tradisi lisan bahasa Aram‘, tetapi karena tafsiran lain tersebut tidak sesuai dengan makna ayat Mat 16:18, dan juga tidak sesuai dengan kenyataan yang dicatat di dalam sejarah.

      Demikian, Hamba 02, tanggapan saya. Mohon maaf saya tidak menanggapi satu persatu pernyataan Anda, karena dasar argumen yang Anda pakai, (yang mengambil prinsip ilmu hukum sebagai acuan utama) tidak dapat diterapkan sebagai prinsip utama dalam ajaran iman Katolik. Bahwa di level pelaksanaan, Gereja Katolik juga mempunyai Kitab Hukum Kanonik, itu benar; dan di level ini prinsip ilmu hukum dapat dipakai. Namun di level yang lebih tinggi, yaitu tentang ajaran imannya itu sendiri [yang menjadi dasar KHK tersebut], prinsip ilmu hukum tidak dapat dipakai sebagai acuan utama, sebab agama Kristiani bukan agama buku/ agama kitab semata. Agama Kristen bersumber pada Pribadi Kristus, dan karena inilah maka Ia tidak dapat dituliskan/ dibatasi dalam buku/ kitab, bahkan yang paling tebal sekalipun (lih. Yoh 21: 25). Demikian pula pernyataan Anda yang diulang- ulang bahwa dasar penentuan Gereja Katolik pada tradisi Aram, juga keliru, karena; jika ayat Mat 16:18 diinterpretasikan dalam bahasa Yunani sekalipun, juga; mengacu kepada interpretasi yang diajarkan oleh Gereja Katolik (yaitu bahwa Petruslah yang dimaksud Yesus sebagai batu karang yang atasnya Kristus mendirikan Gereja-Nya); dan hal ini pula diakui oleh cukup banyak ahli Kitab suci dari kalangan Kristen non Katolik. Demikian, maka tuduhan Anda bahwa metodologi yang digunakan oleh Gereja Katolik dalam menjelaskan ayat Mat 16:18 tidak valid, juga keliru. Dengan demikian, keliru pula kesimpulan Anda bahwa interpretasi Mat 16:18 tidak dapat disebut sebagai kebenaran. Kebenaran itu sifatnya obyektif; dan entah interpretasi dari bahasa Aram, Yunani, atau kelogisan kalimat, tulisan para Bapa Gereja dan bukti sejarah, dan fakta yang terjadi dalam Gereja, semuanya itu menunjukkan kebenaran ajaran Gereja Katolik dalam hal makna ayat Mat 16:18 ini.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

      • =========================================================
        “SUKSESI APOSTOLIK MENDEVALUASI KEBENARAN,
        KITAB SUCI, DAN ALLAH ?”
        =========================================================

        Shalom Bu Ingrid,

        Terima kasih untuk jawabannya. Mohon maaf karena kesibukan saya amat sangat lambat dalam merespon jawaban Anda.

        Berikut ini saya menanggapi pernyataan Anda…

        Anda menyatakan:

        A. “Dari pernyataan Anda, nampak bahwa Anda ingin menerapkan prinsip yang berlaku dalam hukum sekular ke dalam prinsip ajaran Gereja Katolik. Tetapi sejujurnya kedua hal ini tidak sama, sehingga tidak dapat dibandingkan. Dalam dunia sekular, memang yang mempunyai nilai hukum adalah hukum yang tertulis, karena memang patokan yang berlaku adalah demikian. Namun dalam ajaran Kristiani, yang menjadi patokan dan sumber ajaran bukan semata kitab hukum, namun keseluruhan Pribadi Sang pembuat Hukum, yaitu Kristus. Dengan demikian, tidak dapatlah disetarakan prinsip ilmu hukum, dengan prinsip ajaran iman Kristiani”.

        Tanggapan:

        A.1. KEBENARAN YANG TIDAK MENGATASI WAKTU. Logikanya, sebagai suatu ‘sistem keyakinan akan kebenaran’, maka Kitab Suci yang tertulis haruslah lebih tinggi dan ‘tahan uji’ dibandingkan dengan sistem nilai apa pun, karena kebenaran Kitab Suci bersifat mengatasi waktu DAN ‘mengarahkan’ jaman (terbukti dari adanya kandungan nubuat di dalamnya), yang berarti ia lebih unggul dibandingkan filsafat yang lahir di setiap jaman.

        Jika suatu Kitab Suci ternyata diklaim sebagai ‘tidak dapat dibandingkan’ dengan salah satu sistem nilai (filsafat) ilmu pengetahuan, maka jelaslah bahwa Kitab Suci itu telah disajikan dengan cara yang ‘kurang’ dari yang seharusnya. Dengan demikian, bukan Kitab Sucinya yang keliru, melainkan ‘cara’ menyajikan kandungan Kitab Suci (dan penyajinya, yaitu Gereja Katolik) itulah yang mendevaluasikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

        =============

        B. “Dengan demikian ajaran lisan para rasul memang sifatnya setara dengan ajaran para rasul yang tertulis (seperti Injil dan surat- surat para rasul). Rasul Paulus dengan jelas mengajarkan hal ini (lih. 2 Tes 2 :15). Pengabaian ajaran lisan Kristus dan para rasul (yang disebut Tradisi Suci) itu malah tidak sesuai dengan apa yang diajarkan dalam Kitab Suci. Sebab Tradisi Suci/ ajaran lisan itu bukan ajaran tambahan ataupun turunan dari apa yang tertulis dalam Kitab Suci, melainkan ajaran yang sama tingkatannya dan tidak terpisahkan dari Kitab Suci. Bahkan sebagaimana telah disebutkan, ajaran lisan itu (Tradisi Suci) ada terlebih dahulu sebelum Kitab Suci dituliskan, dan Kitab Suci berasal dari Tradisi Suci”.

        Tanggapan:

        B.1. HUKUM ADAT. Dalam sistem nilai hukum, juga diakui keberadaan HUKUM LISAN, khususnya di wilayah-wilayah yang masih menerapkan hukum adat yang tidak tertulis (di daerah ‘tertinggal’). Prinsipnya: jika HUKUM YANG TERTULIS itu sudah HADIR, maka hukum lisan itu harus tunduk (bersifat sekunder) terhadap hukum tertulis. Dengan demikian hukum lisan tidak setara otoritasnya dengan hukum tertulis.

        Jika kemudian hukum lisan itu diinventarisir oleh pihak penguasa adat, sehingga hadir dalam bentuk tulisan, maka hukum yang baru saja ditranskrip itu tetap tidak setara otoritasnya (lebih sekunder) dibandingkan dengan hukum tertulis yang sudah BERLAKU saat itu. Dalam hal ini Katolik juga ‘kalah’ oleh prinsip-prinsip ilmu hukum, karena Katolik menyetarakan (dalam posisi sejajar, setara) antara otoritas ‘deposit iman’ dengan otoritas KANON (standar hukum ganda).

        ==============

        C. “Namun dalam ajaran Kristiani, yang menjadi patokan dan sumber ajaran bukan semata kitab hukum, namun keseluruhan Pribadi Sang pembuat Hukum, yaitu Kristus. Dengan demikian, tidak dapatlah disetarakan prinsip ilmu hukum, dengan prinsip ajaran iman Kristiani”.

        Tanggapan:

        C.1. “AJUKAN PERKARAMU…, TAPI JANGAN DENGAN FILSAFAT HUKUM!”. Kitab Suci sebagai sumber kebenaran, seharusnya dapat bertahan terhadap pengujian filsafat. Terlebih lagi, jika ditambah dengan “SANG PEMBUAT Kitab Suci” itu sendiri, maka seharusnyalah Ia lebih unggul, dan bersedia dibandingkan/dinilai oleh sistem nilai filsafat “BUATAN MANUSIA”.

        Jika Sang Pembuat Hukum itu berkata, “Ajukanlah perkaramu, firman TUHAN, kemukakanlah alasan-alasanmu, firman Raja, Allah Yakub” (Yes 41:21), masakan Katolik mengatakan (dalam bahasa saya), “… Tetapi jangan memperkarakannya dengan menggunakan sistem nilai yang berlaku dalam filsafat hukum, karena tidak dapat dibandingkan…!”

        C.2. “YANG DATANG ‘DARI ATAS’ KALAH OLEH YANG DATANG ‘DARI BAWAH’”. Sementara Kitab Suci yang datang ‘dari atas’ (yaitu dari Sang Pencipta alam semesta dan hukum-hukumnya) harus diyakini lebih tinggi dibandingkan dengan ‘ilmu’ yang datang ‘dari bawah’ (produk manusia), Anda justru mengatakan, “…tidak cukup kita mengandalkan ajaran- ajaran-Nya yang dituliskan (disebut Kitab Suci)…”.

        Ini berarti kekristenan yang disajikan oleh Katolik adalah kekristenan yang kurang dari standar Kitab Suci; tidak dapat diandalkan saat diperhadapkan dengan keberatan-keberatan dari pihak ilmu pengetahuan ciptaan (manusia), tidak dapat membuktikan perkataan Yesus, “Akulah… Kebenaran”, tidak dapat sinkron dengan pernyataan Kitab Suci: “O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya! Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi penasihat-Nya? (Rom 11:33,34)… Apakah ini bukan ‘Injil yang lain’ (Gal 1:6-7)?

        Semoga implikasi ini keliru: Katolik, Kitab Suci, Kebenaran dan Allah tidak dapat menjadi solusi untuk pergumulan jaman, perkembangan dan isu-isu yang muncul di dunia sekuler karena tidak dapat dibandingkan dengan ilmu pengetahuan (dalam hal ini dengan ilmu hukum). Umat dibuat tidak menyadari bahwa mereka ternyata tidak dapat mengandalkan keempat hal di atas itu saat mereka berhadapan dengan masalah-masalah prinsipiil dan falsafahi dari ilmu pengetahuan sekuler (I Pet 3:15-16a).

        ==============

        D. “…Kitab Suci Perjanjian Baru memang dituliskan dalam bahasa Yunani… terdapat ayat-ayat lain di dalam Kitab Suci (yang sesuai dengan Kanon PB)-yang ditulis dalam bahasa Yunani tersebut- yang menyebutkan Petrus sebagai ‘Kefas’ (Kepha) -nama dalam bahasa Aram (lih. Yoh 1:42, Gal 1:18, 2:11, 2:14; 1 Kor 1:12, 3:22, 15:5). Dicatat pula bahwa dalam Kitab Suci, perkataan Yesus dalam bahasa Aram seperti, “Eli, eli, lama sabakhtani.” (Mat 27:46; Mrk 15:34)…”
        Tanggapan:

        D.1. “TIDAK KONSISTEN”. Dalam Kanon PB (bahasa YUNANI), memang terdapat bagian-bagian TERTENTU (relatif sedikit sekali) yang ditulis dalam bahasa ARAM. Dan data Anda di atas memang benar.

        Tetapi dalam hal ‘penafsirannya’, maka HANYA untuk pernyataan yang DITULISKAN dalam bahasa ARAM sajalah yang dapat ditafsirkan melalui bahasa ARAM, itu pun dengan syarat: harus berhati-hati dalam menganalogikannya dengan bagian/ayat lain yang menuliskannya dengan bahasa YUNANI. Masing-masing ayat itu harus ditafsirkan dengan konteksnya masing-masing, agar tidak saling berbenturan dan kontraproduktif.

        D.2. Kita menafsirkan kata “Kefas” boleh-boleh saja, tetapi hanya dari ayat-ayat yang TERTULIS saja, misalnya dalam Yoh 1:42, Gal 1:18, 2:11, 2:14; 1 Kor 1:12, 3:22, 15:5, DAN BUKAN DARI ayat dalam MAT. 16:18, karena KANON Mat 16:18 itu tidak DITULIS dalam bahasa ARAM (“Kefas”), melainkan bahasa Yunani (“Petros”, bukan “Kefas”).

        D.3. Dalam study literatur akademis (termasuk di kalangan sekuler) diakui bahwa LITERATUR LISAN bersifat lebih sekunder dibandingkan LITERATUR TERTULIS. Karena itulah maka tafsiran atas Mat 16:18 yang mengacu pada bahasa YUNANI yang TERTULIS itu harus lebih PRIMER dibandingkan dengan (dan mengenyampingkan) tafsiran dari bahasa ARAM yang LISAN itu.

        D.4. Dengan menerapkan cara demikian, kita tetap menghargai KANON dan KANONISASI serta Konsili yang menghasilkan KANON PB tersebut. Dengan kata lain, jika tafsiran Mat 16:18 ditarik dari bahasa LISAN (ARAM), tafsiran itu sudah tidak menghargai KANON dan KANONISASI serta Konsili yang menghasilkan KANON PB tersebut.

        ====================

        E. “Maka hal infalibilitas tidak ada kaitannya dengan tafsiran dalam bahasa Aram”.

        Tanggapan:

        E.1. Kanon PB adalah Kitab Suci, dan itu berarti terkait dengan infallibilitas. Khusus untuk Mat 16:18, infallibilitas bukan terletak dalam bahasa LISAN (ARAM) yaitu “Kefas”, melainkan terletak pada bahasa TULISAN (YUNANI) dari kata “petros”.

        ====================

        F. “Sebab keutamaan Petrus itu tidak terbentuk oleh tafsiran, tetapi oleh fakta yang diakui dan diterima oleh para rasul dan jemaat perdana dan yang kemudian diterapkan terus di sepanjang sejarah Gereja. Bukti sejarah jelas membuktikan hal ini; dan para ahli sejarah, bahkan dari kalangan Kristen non- Katolik, banyak yang dengan lapang hati mengakui hal ini”.

        Tanggapan:

        F.1. Maaf, ya, Bu, ini masalah fundamental. Jika kita menafsirkan Mat 16:18 dengan MENGHARGAI INFALLIBILITAS Mat 16:18 (“Petros”, bukan “Kefas”), maka hasil tafsirannya adalah bukan “Petrus”, melainkan “pengakuan iman” yang diucapkan Petrus dalam ayat 16 dari Mat 16 itu. Nah, jika tafsirannya adalah ‘pengakuan iman’ (dan bukannya “Petrus”), maka KEUTAMAAN terletak pada “pengakuan iman”, bukan pada Petrus. Pada gilirannya, para Bapa Gereja pun tidak akan mewariskan keutamaan Petrus itu, melainkan keutamaan ‘pengakuan iman’ yang diucapkan Petrus itu.

        F.2. KEUTAMAAN PETRUS BERBEDA DENGAN SUKSESI APOSTOLIK. Ada dua hal yang harus dipilah: (a) Keutamaan Petrus; dan (b) Suksesi apostolik. Para murid dan bapa-bapa gereja tidak menyangsikan (demikian pula saya) tentang keutamaan Petrus di komunitas “kelompok 12” murid Yesus. Tetapi suksesi apostolik sepenuhnya adalah tafsiran.

        F.2.a. Suksesi itu ditarik dari tafsiran atas pernyataan Yesus kepada Petrus tentang “… gembalakanlah doma-domba-Ku…”, padahal pernyataan Yesus itu jelas-jelas multi-tafsir.

        F.2.b. Tidak ada perintah eksplisit untuk melakukan penggantian atas kerasulan Petrus paska meninggalnya dia, seperti fakta-fakta tentang legalitas penggantian atas posisi Yudas Iskariot. Ini berarti Allah dan Sang Kepala Gereja, Yesus Kristus, tidak memerintahkan adanya pengganti Petrus.

        F.2.c. Suksesi kerasulan hanya berlaku atas pengganti ‘jabatan’ Yudas Iskariot, dan ini sudah digenapi oleh kehadiran Matias. Suksesi apostolik versi Petrus yang berlangsung hingga saat ini SAMA SEKALI TIDAK MEMENUHI PERSYARATAN seperti yang dinyatakan untuk pengganti Yudas yang tempatnya digantikan oleh Matias (dalam Kis 1:21-22).

        F.2.d. Untuk kata pengganti (kursi?) ‘jabatan’ Yudas saja (padahal bukan rasul yang utama), dan yang hanya berlaku satu kali itu saja, ternyata Kitab Suci mencantumkannya secara eksplisit, tetapi mengapa untuk kata ‘suksesi’ atas rasul Petrus yang utama itu dan yang berlangsung ‘selamanya’ TERNYATA tidak terdapat ayat eksplisitnya? (Sekali lagi, isu ‘eksplisit-implisit’ terkait dengan masalah otoritas legalitas ‘perintah’ yang diwariskan. Jika tidak ada perintah ‘dari atas’, mungkin dapat diartikan ‘akal-akalan’ dari ‘bawah’ saja, yaitu dari para penafsirnya.

        Dengan demikian nampak dengan jelas dan gamblang bahwa SUKSESI APOSTOLIK pada jalur Petrus adalah tafsiran. Yang diwariskan turun-temurun adalah warisan tafsiran, bukan warisan ‘perintah eksplisit’ dari Sang Kepala Gereja (Tuhan Yesus Kristus), seperti proses penggantian Yudas Iskariot. Warisan ‘perintah eksplisit’ berbeda dengan ‘warisan tafsiran’.

        ==================

        G.” Maka jika Gereja Katolik tidak menerima tafsiran lain daripada apa yang diajarkan oleh para Bapa Gereja ini, bukan karena Gereja mendasarkan ajarannya dari ‘tradisi lisan bahasa Aram‘, tetapi karena tafsiran lain tersebut tidak sesuai dengan makna ayat Mat 16:18, dan juga tidak sesuai dengan kenyataan yang dicatat di dalam sejarah”.

        Tanggapan:

        G.1. KONTRADIKSI. Ya, pernyataan Anda ini (“bukan karena Gereja mendasarkan ajarannya dari ‘tradisi lisan bahasa Aram‘”), kontradiksi dengan pernyataan bahwa tafsiran atas Mat 16:18 diacu dari kata “Kefas”. Jika Anda menafsirkannya dari bahasa YUNANI, maka hasil tafsiran yang diperoleh bukan ‘Petrus’, melainkan ‘pengakuan iman’ yang diucapkan Petrus (Mat 16:16).

        G.2. SEJARAH BISA KELIRU, termasuk pula warisannya. Tidak berarti bahwa sesuatu yang bernilai (dicatat dalam) sejarah, pastilah bernilai kebenaran. Itulah sebabnya Tuhan Yesus mengirimkan Roh Kudus-Nya untuk membimbing Gereja-Nya kepada seluruh kebenaran. Catatan sejarah yang tafsirannya atas Mat 16:18 BUKAN dari bahasa YUNANI (“Petros”), haruslah dinyatakan tidak berotoritas. Dan jika kemudian diperoleh tafsiran ‘lain’ yang ditarik dari bahasa YUNANI, maka tafsiran itulah yang harus diterima (dianggap lebih berotoritas). Gereja tidak dapat membangun dogma dan doktrinnya diatas fondasi yang tidak primer.

        ===============

        H. “Demikian pula pernyataan Anda yang diulang- ulang bahwa dasar penentuan Gereja Katolik pada tradisi Aram, juga keliru, karena; jika ayat Mat 16:18 diinterpretasikan dalam bahasa Yunani sekalipun, juga; mengacu kepada interpretasi yang diajarkan oleh Gereja Katolik (yaitu bahwa Petruslah yang dimaksud Yesus sebagai batu karang yang atasnya Kristus mendirikan Gereja-Nya); dan hal ini pula diakui oleh cukup banyak ahli Kitab suci dari kalangan Kristen non Katolik”.

        Tangapan:

        H.1. PARA TEOLOG PROTESTAN PUN BISA KELIRU. Kekeliruan mereka dalam menafsirkan Mat 16:18 bukan hanya karena tafsirannya ditarik dari bahasa LISAN, yaitu ARAM, atas kata ‘Kefas”, melainkan juga karena PENGABAIAN fakta bahwa kata “petros” yang DITULIS dalam bahasa YUNANI itu, dinyatakan dalam bentuk ‘FEMININ’… Padahal Yesus (Sang Batu Karang) bergender laki-laki, dan Sang Rasul, yaitu Petrus, juga adalah laki-laki, dimana terhadap keduanya TIDAK DAPAT dikenakan bentuk FEMININ. Lalu, ayat atau pernyataan manakah yang dimaksudkan oleh kata ‘petros’ yang ditulis dalam bentuk FEMININ itu? Tidak lain adalah “PENGAKUAN IMAN” yang diucapkan Rasul Petrus dalam ayat 16… Itulah dasar gereja. Jadi, TIDAK MUNGKIN tafsiran yang ditarik dari bahasa TULISAN YUNANI akan menghasilkan “Rasul Petrus” SEBAGAI dasar gereja. Berdasarkan cara penafsiran yang benar, maka yang dimaksudkan sebagai dasar gereja dalam Mat 16:16-18 itu adalah “pengakuan iman” Pertus, dan bukan “diri” sang rasul itu sendiri.

        H.2. Dengan tafsiran yang konsisten terhadap KANON PB dan prinsip penafsiran literatur di kalangan akademis (bahkan sekuler) di atas, maka jelaslah bahwa keutamaan Petrus tetap dihargai, tetapi teologia tentang SUKSESI APOSTOLIK(hingga ke’PAUS’-an?) adalah bertentangan dengan nilai infalibilitas KANON PB yang menuliskan (‘TERTULIS’) secara EKSPLISIT kata ‘petros’ dalam bentuk FEMININ.

        KESIMPULAN:

        1. Ada tiga tafsiran atas Matius 16:18, yaitu:

        a. Mengarah kepada sumber-sumber LISAN bahasa ARAM (“Kefas”) dengan hasil seperti tafsiran yang dimiliki Gereja Katolik saat ini, tetapi dengan menanggung konsekuensi logis dan moral: menganggap bahwa Kanon PB yang berbahasa YUNANI, dan proses Kanonisasinya, serta Konsili yang menghasilkan Kanon PB tersebut menjadi tidak berharga saat berhadapan dengan bahasa LISAN non-Kanonik (ARAM) untuk “Kefas”.

        b. Mengarah kepada ‘Yesus’, tetapi mengorbankan bahwa kata ‘petros’ dalam bahasa Yunani ditulis dalam bentuk feminin.

        c. Tetap konsisten dengan bentuk feminin kata Yunani ‘petros’ itu dan tidak mengorbankan Kanon berbahasa Yunani. Tetap menghargai keutamaan Petrus dalam “kelompok 12” murid Yesus, tetapi terpaksa harus menanggung beban resiko untuk tidak mengakui SUKSESI APOSTOLIK ala Gereja Katolik (ke-‘PAUS’-an?).

        2. Gereja Katolik telah menampilkan kekristenan (Kitab Suci) dan kebenarannya KURANG dari yang dimaksudkannya, sehingga mengesankan bahwa Allah, Kitab Suci, dan kebenaran-Nya tidak dapat dibandingkan dengan ilmu pengetahuan temuan manusia yang akan terus berkembang dan berperan dalam perubahan jaman.

        Demikian tanggapan saya, Bu Inggrid…

        Jika ada perkataan yang kurang berkenan, mohon dimaafkan, ya…

        Untuk selanjutnya, saya ingin sekali dapat menyisihkan waktu guna menanggapi artikel ibu tentang “EENS”.

        Terima kasih untuk tanggapan Ibu…

        Tuhan Yesus memberkati…

        Amin.

        [Dari Katolisitas: komentar berikut ini digabungkan atas permintaan penulis komentar]

        Shallom, Bu, Inggrid,

        Mohon maaf ada kesalahan ketik yang sangat mengganggu…

        Mohon kata ‘petros’ dalam tanggapan saya di atas diganti dengan ‘petra’…, karena memang yang sedang kita diskusikan adalah ‘petra’ dasar gereja dan bukan ‘petros’.

        Demikian ralat dari saya…
        Semoga maklum adanya.
        Tuhan Yesus memberkati…

        (hamba02)

        • Shalom Hamba 02, 

          A. Benar, kita percaya bahwa Kebenaran yang diajarkan oleh Kristus mengatasi waktu. Oleh sebab itu, cara penyampaiannya juga tidak dapat dianggap harus sama dengan cara-cara yang umum terjadi pada suatu sistem hukum yang terbatas oleh waktu, seperti yang terjadi pada hukum suatu negara di dunia. Sebab Tuhan Yesus sendiri tidak menulis Kitab Suci, melainkan mendirikan Gereja-Nya, yang dipercayakan-Nya untuk mengajarkan segala perintah-Nya. Maka yang dilakukan Yesus bukan menulis buku, tetapi menyampaikan ajaran-Nya secara lisan kepada para murid-Nya. Kemudian, ajaran inilah yang dituliskan oleh para murid Kristus, yaitu oleh Rasul Matius (yang menyusun Injil Matius), Rasul Yohanes (yang menyusun Injil Yohanes), dan St. Markus yang adalah murid Rasul Petrus (penyusun Injil Markus) dan St. Lukas, yang adalah murid Rasul Paulus (penyusun Injil Lukas). Nah ajaran yang dituliskan ini tidak mencakup semua ajaran Yesus, sebab sebuah kitab seberapapun tebalnya tidak akan cukup untuk menjelaskan segala sesuatu yang diperbuat oleh Yesus (lih. Yoh 21:25). [Saya paham bahwa Anda mempersoalkan perbedaan antara ajaran dan perbuatan Yesus, namun marilah membahas tentang hal itu di thread yang berbeda. Thread ini khusus untuk hal Petros dan Petra]

          Oleh karena itu, agar kita dapat memahami semua ajaran Yesus dan mengikuti teladan-Nya dengan mengikuti apa yang dilakukan-Nya demi keselamatan kita, kita perlu menerima ajaran Yesus yang dituliskan dalam Kitab Suci, maupun ajaran Yesus yang disampaikan secara lisan, baik oleh Kristus maupun oleh para rasul-Nya, yang dikenal sebagai Tradisi Suci. Tradisi Suci ini kemudian dituliskan juga oleh para penerus mereka (yaitu para Bapa Gereja). Gereja menerima kedua sumber ini, Tradisi Suci dan Kitab Suci, dengan penghormatan yang sama.

          Nampaknya Anda perlu merenungkan sendiri sebelum menganggap bahwa kami, Gereja Katolik, mendevaluasi Kebenaran yang disampaikan Kristus, dengan adanya suksesi Apostolik. Sebab justru suksesi Apostolik itu ada, atas kehendak Kristus, agar kepenuhan ajaran Kristus dapat disampaikan kepada Gereja sepanjang masa. Maka keberadaan suksesi apostolik adalah justru untuk melestarikan Tradisi Suci yang menjadi asal usul Kitab Suci agar dapat diteruskan secara murni kepada Gereja di sepanjang sejarah manusia. Justru sikap yang mengabaikan Tradisi Suci merupakan sikap yang tidak secara penuh melaksanakan apa yang dikehendaki oleh Kristus, sebagaimana dikatakan sendiri oleh Rasul Paulus di dalam suratnya, “… berpeganglah pada ajaran-ajaran yang kamu terima dari kami baik secara lisan, maupun secara tertulis.” (2 Tes 2:15)

          B. Maka Tradisi Suci tidak dapat disamakan atau dianalogikan sebagai hukum adat, sebab: 1) hukum adat tidak selalu sejalan dengan hukum formal, namun Tradisi Suci itu selalu sejalan dengan apa yang diajarkan dalam Kitab Suci; 2) yang membuat hukum adat tidak sama dengan yang membuat hukum negara yang tertulis, sedangkan Tradisi Suci dan Kitab Suci berasal dari sumber yang sama, yaitu dari Wahyu Allah (walaupun disampaikan dengan cara yang berbeda); 3) perintah untuk melaksanakan hukum adat tidak tertulis dalam hukum formal, namun perintah untuk melaksanakan/ berpegang kepada Tradisi Suci (ajaran lisan para Rasul) ditulis di dalam Kitab Suci (lih. 2 Tes 2:15); 4) tidak ada kuasa yang menjamin penerusan hukum adat secara konsisten, sedangkan penyampaian Tradisi Suci itu secara murni dan konsisten dijamin oleh Kristus sendiri, dengan kuasa yang diberikan-Nya kepada para rasulnya (lih. Mat 18:18), terutama kepada Rasul Petrus (Mat 16:18-19). Kuasa Yesus ini tetap ada dalam suksesi apostolik, karena Kristus berjanji menyertai Gereja-Nya sampai akhir zaman (lih. Mat 28:19-20), sehingga kuasa Yesus ini juga tidak berhenti hanya pada zaman para rasul saja, tetapi juga kepada para penerus mereka sampai sekarang.

          C. Nampaknya Anda salah paham jika menyangka bahwa ajaran Gereja Katolik adalah ajaran manusia. Wahyu Allah diberikan kepada Gereja, dan Gerejalah yang berhak mengartikannya, sebab Roh Kudus yang memberikan inspirasi kepada para pengarang kitab untuk menuliskannya, adalah Roh Kudus yang sama yang membimbing Gereja untuk mengajarkannya dan melestarikan kepada umat-Nya.

          Kitab Suci yang Anda pegang sekarang Anda peroleh dari suksesi apostolik Gereja Katolik, yang menentukan kanon Kitab Suci tersebut. Maka selayaknya Anda tidak menyangka bahwa Gereja Katolik tidak menyampaikan kebenaran ataupun mendevaluasi kebenaran, karena hal itu tidak sejalan dengan keyakinan kita bahwa Kitab Suci itu mengandung kebenaran. Karena tidak mungkin Kitab Suci yang tidak mungkin salah ditentukan oleh suatu otoritas (yaitu suksesi Apostolik) yang bisa salah. Hal ‘tidak bisa salah’/ infallibilitas ini sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.

          D, E, F. Hal bahwa Kefas adalah nama yang diberikan oleh Yesus kepada Simon, itu dicatat di dalam Kitab Suci (lih. Yoh 1:42, Gal 1:18, 2:11, 2:14; 1 Kor 1:12, 3:22, 15:5) jadi bukan hanya tafsiran lisan saja. Namun bahwa ‘Petros’ (bukan Kephas) yang disebut dalam Mat 16:18 itu juga kita ketahui bersama.

          Tidak benar bahwa Tradisi Lisan para rasul nilainya lebih rendah dari ajaran yang tertulis dari para rasul. Silakan membaca ayat 2 Tes 2:15, Rasul Paulus bahkan menyebutkan ajaran lisan terlebih dahulu daripada ajaran tertulis, yang harus dipegang sebagai Injil yang diberitakan oleh para Rasul (lih. 2 Tes 2:14).

          Tafsiran Mat 16:18 bahwa ‘batu karang’ mengacu terutama kepada Rasul Petrus, tidak hanya diambil atas dasar anggapan bahwa Kristus mengatakan hal ini dalam bahasa Aram. Sebab jika ditafsirkan dengan memperhatikan tata bahasa Yunanipun, akan mengacu bahwa yang dimaksud sebagai ‘batu karang’ di sana adalah pertama-tamanya adalah tetap Petrus, terutama dengan penggunaan kata ‘kai‘ (dan) dan ‘taute‘ (dan inilah/ this very). Penggunaan kedua kata itu menunjukkan bahwa Yesus memberikan nama baru kepada Simon sebagai batu karang yang ditujukan kepada Rasul Petrus, dan tepat di atas batu karang inilah, Tuhan Yesus akan mendirikan Gereja-Nya. Interpretasi bahwa batu karang itu hanya mengacu kepada pengakuan iman Petrus, jelas mengabaikan arti eksplisit seturut aturan tatabahasa Yunani, bahwa kata ‘kai‘ (dan) dan ‘taute‘ (dan inilah/ this very) harus mengacu kepada obyek yang sama yang sedang dibicarakan. Jika dikatakan bahwa Petros adalah suatu nama yang tidak ada hubungannya dengan petra (karena petra dianggap sebagai pengakuan Petrus) maka asumsi ini malah tidak nyambung, dan tidak sesuai dengan ketentuan tata bahasa Yunani. Padahal dalam menginterpretasikan sesuatu dalam Kitab Suci, kita perlu mengikuti aturan tatabahasa yang digunakan oleh sang penulis Kitab, dan seharusnya tidak diartikan sendiri sesuai dengan pemahaman pribadi.

          Batu karang memang mempunyai gender feminin dalam bahasa Yunani, namun kata ini tidak harus ditujukan kepada seorang wanita, atau bahwa batu karang itu berjenis kelamin wanita. Ini hanya peraturan tata bahasa Yunani, yang prinsipnya masih ada di beberapa bahasa lain di dunia seperti bahasa Latin, Italia, Jerman, Perancis, dst. Maka tidak masalah jika ungkapan petra ini ditujukan kepada Simon. Namun karena ‘Petra’ ini berkonotasi nama wanita, maka untuk untuk nama pria-nya diambil bentuk “Petros”. Ini adalah masalah tata bahasa, namun tidak mengubah maksudnya bahwa nama “batu karang” yang disebut di sana ditujukan kepada obyek yang sama, yaitu Simon, dan di atas “batu karang” inilah Tuhan Yesus mendirikan Gereja-Nya.

          Maka para ahli Kitab Suci (termasuk para ahli Kitab Suci Protestan) yang mendalami tatabahasa Yunani akan dengan jujur mengakui bahwa “batu karang” ini mengacu kepada Petrus. Silakan klik di sini, untuk melihat penjelasan yang dicantumkan di banyak Kitab Suci Kristen non- Katolik yang mengatakan bahwa Petrus/ Kepha mengacu kepada Simon (yang kemudian disebut Petrus). Jika Anda menyatakan bahwa para ahli Protestan ini keliru semua, atau semua penjelasan dalam Kitab-kitab Suci tersebut salah, ya itu adalah hak Anda. Namun Gereja Katolik tidak bisa mengingkari suatu kebenaran yang masuk akal, yang setia kepada interpretasi teks sesuai dengan aturan tatabahasa yang digunakan dan konteks pembicaraan dalam perikop itu. Sebab “taute“/ “inilah” (this very)- secara tata bahasa harus mengacu kepada kata benda terdekat sebelumnya, yang adalah Simon (yang disebut Petros), dan bukan kepada pernyataan akan iman Petrus, yang disebut di dua ayat sebelumnya.

          G. Maka, tidak benar, bahwa tafsiran dengan menggunakan bahasa Yunani akan sampai pada pengertian bahwa yang disebut batu karang adalah pengakuan iman Petrus dan bukan Petrus itu sendiri. Sebab sejak abad awal para Bapa Gereja yang fasih berbicara bahasa Yunani, juga mengartikannya demikian, yaitu bahwa batu karang itu mengacu kepada Rasul Petrus, karena pengakuan imannya, tetapi bukan hanya kepada pengakuan imannya saja.

          Martin Luther (pendiri gereja Protestan) dan W.F. Albright (salah satu teolog Protestan terkemuka di abad ini) juga mengartikan bahwa “batu karang” itu mengacu kepada Petrus, hanya kemudian, Luther juga mengartikan bahwa kuasa itu kemudian diberikan juga kepada semua umat Kristen (interpretasi yang ini tidak diajarkan oleh Gereja Katolik). Demikian yang dikatakan oleh Luther dan W.F Albright:

          “Why are you searching heavenward in search of my keys? Do you not understand, Jesus said, ‘I gave them to Peter. They are indeed the keys of heaven, but they are not found in heaven for I left them on earth. Peter’s mouth is my mouth, his tongue is my key case, his keys are my keys. They are an office. They are a power, a command given by God through Christ to all of Christendom for the retaining and remitting of the sins of men. (Martin Luther 1530 – after he left the Church, as quoted from this site, click here)

          Peter as the Rock will be the foundation of the future community, the church….To deny the pre-eminent position of Peter among the disciples or in the early Christian community is a denial of the evidence. (W.F Albright, Anchor Bible Commentary ….)

          Maka baik Luther dan Albright mengakui bahwa Rasul Petruslah yang disebut sebagai batu karang yang diatasnya Gereja didirikan. Walaupun kemudian, mereka tidak mempercayai bahwa Rasul Petrus mempunyai penerus yang mewarisi kuasa yang diberikan oleh Kristus itu.

          H. Maka yang Anda tuliskan dalam tanggapan Anda sudah sering dibahas dalam dialog antara para ahli bahasa Yunani dan ahli Kitab Suci. Itu bukan argumen baru. Hal kata Petros yang maskulin dan petra yang feminin, itu memang adalah bagian dari tata bahasa Yunani. Tetapi justru untuk interpretasi yang membatasi bahwa ‘batu karang’  itu hanya mengacu kepada pengakuan Petrus tidak diajarkan oleh para rasul dan para Bapa Gereja, karena tidak masuk akal, jika dilihat dari ketentuan tata bahasa Yunani itu sendiri, maupun jika dilihat dari faktanya, di mana para rasul dan para Bapa Gereja tersebut mengakui bahwa Simon memang disebut  Petrus atau Kefas (yang artinya batu karang) dan  di atas Rasul Petrus-lah Kristus mendirikan Gereja-Nya, sebagaimana dapat dibaca dalam ayat-ayat lainnya dalam Kitab Suci, tulisan para Bapa Gereja, sebagaimana telah kami tulis dalam artikel seri Keutamaan Petrus di situs ini, bagian 1-5.

          Maka pengertian ‘batu karang’/ ‘petra’ dalam Mat 16:18 memang ada beberapa alternatif, namun kalau mengacu kepada tata bahasanya dan konteks ayat tersebut, maka alternatif yang mungkin untuk arti ‘batu karang’/ petra adalah Petrus (karena bentuk maskulin dari ‘petra’ adalah Petros/ Petrus) dan pengakuan iman Petrus. Gereja Katolik mengajarkan keduanya: Petrus sebagai arti literal, dan pengakuan iman Petrus sebagai arti alegoris. Dalam konteks ayat Mat 16:18 dan ketentuan tata bahasanya, kata ‘batu karang’ di sana tidak mengacu kepada Kristus, walaupun memang di ayat-ayat lainnya dalam Kitab Suci, ‘batu karang’ mengacu kepada Kristus (lih.1 Kor 10:4). Maka kata ‘batu karang’ dalam ayat Mat 16:18 ini memang ditujukan kepada Petrus yang kepadanya Yesus menujukan ucapan-Nya, walaupun memang, Petrus disebut ‘batu karang’ karena pertama-tama ia memperoleh predikat itu karena kesatuannya dengan Kristus Sang Batu Karang; sebagaimana para murid disebut terang dunia (Mat 5:14) karena meneruskan Terang Kristus (Yoh 9:5).

          Demikianlah tanggapan saya. Semoga berguna.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          Ingrid Listiati- katolisitas.org

        • Salam, Hamba02

          Sungguh analisa penalaran yang luar biasa. Syukur pada ALlah atas kecerdasan yang Ia berikan pada Hamba02. Semoga melalui pemahaman ajaran Kristus yang benar, Hamba02 menjadi hamba Tuhan yang berkarya luar biasa.

          Analisis induktif yang anda paparkan memang sekilas masuk akal. Saya tidak memiliki kapasitas untuk mendeduksi secara logis seperti yang anda lakukan, namun ijinkan saya menanggapi sedikit, sesuai kemampuan terbatas saya :

          Tafsir Kitab Suci adalah hal yang kritis sekaligus historis. Artinya, Kitab Suci memang tidak dapat lepas dari bingkai sejarah. Kitab Suci juga memiliki 2 kandungan nilai, karena dikerjakan oleh dua pengarang : manusia dan Allah.

          Nilai pertama adalah makna literal, yang tidak lepas dari keterbatasan bahasa dalam mengungkapkan makna, tata bahasa, kebudayaan, dan maksud penulis suci. Nilai kedua adalah makna spiritual yang mencangkup tafsiran moral, Kristologis, dan anagogis. Makna pertama mungkin dapat kita ukur dengan pendekatan manusia, sepert historis-kritis, analisa teks, atau pendekatan hukum seperti yang saudara lakukan.

          Akan tetapi, saya meragukan kemampuan sistem nilai manusia di zaman manapun dalam mengupas seluruh makna, baik literal maupun spiritual secara utuh dan tuntas. Karena karya tulis ini melibatkan intervensi Ilahi, diperlukan juga anugerah Ilahi untuk dapat membuka kunci menuju penafsiran yang benar. Kegagalan untuk memiliki hal-hal yang diperlukan (utk nilai literal,mis : pengetahuan kultur zaman kuno, keahlian tata bahasa, dsb. Untuk nilai spiritual : iman), dapat membawa penafsir pada penafsiran yang tidak utuh, yang selanjutnya membawa pada kesimpulan yang tidak utuh pula.

          Saya sendiri bukan seorang penafsir Kitab Suci, tapi saya percaya bahwa penafsiran para anggota Gereja yang berwenang di masa lalu dapat mewakili apa yang Gereja imani sedari usia belianya. Iman Gereja Perdana tentu secara objektif lebih dekat dengan zaman Yesus dan ajaranNya, yang disampaikan pada para Rasul. Tentu, secara masuk akal, kita dapat menganggap penafsiran mereka terhadap Kitab Suci dan iman mereka lebih “original” dibandingkan penafsiran zaman ini.

          Iman Gereja Perdana ini tergambar dalam berbagai dokumen dan karya tulis Bapa-bapa Gereja dan membahas beragam artikel iman, termasuk Infallibilitas dan Keutamaan Petrus yang sedang didiskusikan. Dalam dokumen-dokumen kuno tersebut, Bapa-bapa Gereja mengakui bahwa Yesus Kristus memberikan keutamaan kepada St. Petrus. Berbagai surat pastoral dan naskah sejarah menunjukkan ketaatan mereka kepada penerus St. Petrus sebagai Uskup Roma. Namun, Para Bapa Gereja juga menerima bahwa Mat 16:18 juga berbicara mengenai iman St. Petrus. Apabila sedari dahulu para saudara kita mengimani bahwa St. Petrus dan penerusnya dikaruniai kuasa mengajar oleh Kristus, saya berpendapat penafsiran Kitab Suci yang utuh tidak mungkin bertolak belakang dengan iman tersebut.

          Kita dapat berusaha menafsirkan dan mendekati makna yang terkandung dalam Kitab Suci dengan berbagai sistem nilai manusia. Namun, dibutuhkan sebuah tolak ukur yang dapat menunjukkan sebuah tafsiran tidak menyimpang dari apa yang diajarkan Kristus, sebab ajaran Kristus tidak mungkin berubah mengikuti zaman. Zaman lah yang harus mengikuti ajaran Kristus. Oleh sebab itu, bukan sistem nilai suatu zaman yang “menguji” ajaran Gereja, namun ajaran Gereja lah yang harus menjadi penguji apakah suatu nilai zaman sudah menyimpang atau tidak.

          Sebagai ilustrasi mudah, aborsi adalah suatu tindakan pembunuhan yang tidak terbayangkan. Zaman dahulu, masyarakat menganggap tindakan itu sebagai kekejian yang menjijikkan. Namun, saat ini di Amerika Serikat, malah para wanita (sayangnya, termasuk wanita-wanita Katolik) yang menuntut aborsi sebagai suatu hak dan permintaan ini dinyatakan lulus oleh sistem nilai hukum sebagai permintaan “logis”. Gereja Katolik, yang menolak aborsi, tentu dinyatakan gagal “menyajikan kandungan nilai dalam Kitab Suci secara utuh” oleh mereka yang mendukung aborsi. Apakah demikian adanya?

          Semoga Allah mengaruniai iman sebagaimana Ia karuniakan kepada Para Rasul, Paus, Uskup, dan seluruh anggota Gereja Perdana, pendahulu kita.

          Pacem,
          Ioannes

  5. Syaloom,

    Saya mau tanya kenapa Tuhan setelah memberi nama Petrus kepada St Petrus tetapi masih memanggil dia Simon? Padahal ketika Abram diganti menjadi Abraham dia dipanggil Abraham oleh Allah?

    Apakah sebenarnya Tuhan tidak mengganti nama Simon tetapi hanya menjadikan dia sebagai Petrus?

    Terima kasih

    • Shalom Leonard,

      Kitab Injil Yohanes mencatat dengan jelas dalam perikop “Murid- murid Yesus yang pertama”, bahwa pada saat Yesus pertama kali bertemu dengan Simon, Yesus berkata kepadanya, “Engkau Simon, anak Yohanes, engkau akan dinamakan Kefas (artinya: Petrus).” (Yoh 1:42). Kitab Injil Matius mencatat dalam perikop ‘Yesus memanggil murid- murid yang pertama’, nama Simon, “yang disebut Petrus” (Mat 4:18). Demikian pula, Rasul Paulus juga menyebut Simon dengan sebutan Kefas/ Petrus, (lih. 1 Kor 1:12; 3:22; 15:5; Gal 1:18, 2:9). Dengan demikian, nama Petrus/ Kefas (batu karang) yang diberikan oleh Yesus kepada Simon dalam Yoh 1:42; Mat 16:18, memang kemudian benar- benar kemudian menjadi namanya.

      Walaupun saya tidak menemukan keterangan penjelasan mengapa Kristus masih memanggil nama Simon saat mempercayakan domba- domba-Nya dalam Yoh 21:15-19, namun ada beberapa alasan yang mungkin. Pertama- tama, kita mengetahui bahwa Gereja baru resmi berdiri setelah hari Pentakosta, lima puluh hari setelah hari kebangkitan Yesus. Dengan demikian nama Petrus baru resmi digunakan setelah itu. Kisah Para Rasul mencatat bahwa setelah peristiwa Pentakosta, Tuhan yang berbicara kepada Simon Petrus dalam penglihatan memanggilnya tidak lagi dengan sebutan Simon, namun Petrus (lih. Kis 10:13). Kedua, Tuhan Yesus yang memberikan nama yang baru kepada Simon, Dia pula yang berhak untuk menentukan kapan Ia akan memanggilnya dengan sebutan Petrus itu. Sebab pada saat nama baru itu diberikan, Yesus juga tidak mengatakan, “Mulai saat ini engkau tidak akan disebut sebagai Simon lagi melainkan Petrus”; namun “engkau akan dinamakan Kefas (Petrus)”. Ini berbeda dengan perkataan Allah kepada Abram, “… Karena itu namamu bukan lagi Abram, melainkan Abraham.” (Kej 17:5). Artinya setelah berkata demikian, nama Abram tidak digunakan lagi. Ketiga, jangan dilupakan bahwa Kristus sendiri adalah Sang Batu Karang (1 Kor 10:4), sehingga nama Petrus (batu karang) ini merupakan partisipasi di dalam Kristus Sang Batu Karang itu sendiri; seperti halnya kita disebut sebagai terang dunia (Mat 5:14) sebagai partisipasi di dalam Kristus Sang Terang dunia (Yoh 8:12). Maka pada saat Kristus masih berada di tengah- tengah para murid, adalah pantas jika Kristus tidak memanggil nama Simon Petrus dengan sebutan Petrus (Batu Karang- yang sebenarnya adalah salah satu sebutan bagi diri-Nya sendiri), sampai Kristus sendiri telah naik ke surga, dan mempercayakan kepemimpinan Gereja-Nya di dunia kepada Rasul Petrus, yang menjadi pondasi/ dasar yang mempersatukan jemaat-Nya, dan dengan demikian Rasul Petrus menjadi wakil-Nya (vicar of Christ) di dunia ini.

      Menjawab pertanyaan anda: Sabda Tuhan Yesus menunjukkan bahwa Ia memang bermaksud memberi Simon nama yang baru, yaitu Petrus/ Kefas (Batu Karang), sebagaimana yang dikatakan-Nya dalam Yoh 1:42. Namun saat Dia mulai memanggil Simon dengan sebutan Petrus itu memang baru dilakukan-Nya setelah Ia tidak lagi berada di tengah- tengah para rasul-Nya. Ini memperkuat maksud bahwa setelah Kristus naik ke surga, Rasul Petruslah yang kemudian harus melaksanakan peran untuk menjadi dasar batu karang yang mempersatukan umat-Nya.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

      • Syaloom Bu Inggrid,

        Terima kasih. Sekali lagi jawaban yang bagus dan memuaskan

        Tuhan Berkati

  6. terima kasih sekali kak..
    ya, saya jga minta maaf karena menggunakan bahasa inggris..
    untuk kedepannya, saya akan menggunakan bahasa indonesia..
    Tuhan memberkati, kak Inggrid dan kak Stef..

  7. kak, aku dapat hal ini dari teman protestan’ku..

    Rocks and Stones
    Question: Please comment on the following argument which I read in a Catholic website. It can be summarized like this:
    1. Jesus spoke Aramaic. So, what Jesus said to Simon in Matthew 16:18 was this: ‘You are Kepha, and on this kepha I will build my Church.’
    2. The Aramaic word kepha is translated petra or petros in Greek. The two words are synonyms in first century Greek.
    3. Jesus could not have said, ‘You are petra, and on this petra I will build my Church’ because that would have entailed giving Simon a feminine name. So, Jesus changed the ending of the noun to render it masculine. “You are Petros, and on this petra I will build my Church.”
    4. That is the real reason why Jesus employed two different words and not as Protestants argue, that ‘this rock’ may refer to something or somebody else other than Peter.
    Answer: The question about the papacy is broader than the interpretation of petros and petra in Matthew 16:18. Do not be fooled by Catholic apologists who make a big deal about ‘this rock’ as if the papacy is vindicated if it could be proved that ‘this rock’ refers to Peter……

    [Dari Katolisitas: diedit, sebab keseluruhannya telah ditampilkan dan dijawab di atas, silakan klik]

    • terima kasih atas blog ini, yang sudah memberkati banyak orang yang membacanya. maju trus dalam Tuhan

Comments are closed.