Pertanyaan:
Dari 10 perintah Allah. Perintah ke 4 adalah Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu. (Keluaran 20:12)
Jadi… kita harus taat kepada orang tua kita. Adakah saat dimana kita harus tidak taat? Mis : orang tua yang menyuruh seorang anak perempuan untuk mengaborsi janin yang dikandungnya (karena hamil diluar nikah)
Dengan apakah kita sebagai anak harus memfilter kapankah harus mentaat orang tua? dan kapankah kita harus/boleh “melawan” orang tua?
Salam – Alexander Pontoh
Jawaban:
Shalom Alexander Pontoh,
Terima kasih atas pertanyaanya tentang 10 perintah Allah yang keempat, yaitu: “Hormatilah ayahmu dan ibumu” (Kel 20:12). Pertanyaannya adalah sampai seberapa jauh kita harus taat kepada orang tua kita? Apakah kalau orang tua menganjurkan aborsi, seorang anak harus menurut? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus melihat prinsip di balik perintah ke-empat ini. Secara prinsip, orang tua berpartisipasi dalam memberikan kehidupan bagi anak-anak dan mempunyai kewajiban untuk mendidik anak-anak agar mereka dapat bersatu dengan Tuhan di dalam Kerajaan Sorga. Dengan demikian, orang tua harus memberikan pendidikan iman yang benar, sehingga anak-anak dapat mengetahui dan mengasihi Tuhan dan sesama. Dengan dasar ini, anak-anak harus mematuhi orang tua. Namun dalam keadaan di mana orang tua memaksa anak-anak melakukan hal-hal yang berlawanan dengan perintah Allah, maka anak yang telah dewasa tersebut justru tidak boleh mengikuti perintah dari orang tua. Tentu saja, kita harus menyampaikannya dengan hormat dan penuh kasih, karena tahu bahwa apa yang mereka lakukan adalah berdasarkan kasih kepada kita, walaupun manifestasi dari kasih tersebut adalah salah dan melanggar perintah Allah. Katekismus Gereja Katolik (KGK, 2217) mengatakan:
Selama anak tinggal bersama orang-tuanya, ia harus mematuhi tiap tuntutan orang-tua, yang melayani kesejahteraannya sendiri atau kesejahteraan keluarga. “Hai anak-anak, taatilah orang-tuamu dalam segala hal, karena itulah yang indah di dalam Tuhan” (Kol 3:20) Bdk. Ef 6: 1.. Anak-anak juga harus mematuhi peraturan-peraturan yang bijaksana dari pendidiknya dan dari semua orang, kepada siapa mereka dipercayakan oleh orang-tua. Tetapi kalau seorang anak yakin dalam hati nuraninya bahwa adalah tidak sesuai dengan susila untuk menaati satu perintah tertentu, ia jangan mengikutinya. Juga apabila mereka sudah menjadi lebih besar, anak-anak selanjutnya harus menghormati orang tuanya, Mereka harus mendahului kerinduannya, harus meminta nasihatnya, dan menerima teguran yang masuk akal. Kewajiban untuk mematuhi orang-tua berhenti setelah anak-anak dewasa, namun mereka harus selalu menghormati orang-tua. Ini berakar dalam rasa takut akan Allah, salah satu anugerah Roh Kudus.
Dari KGK 2217 di atas, terlihat jelas bahwa kalau seorang anak yang telah dewasa tahu – pengetahuan ini adalah dari hati nurani dan juga dari pengajaran-pengajaran Gereja Katolik -, bahwa aborsi adalah berdosa, maka anak tersebut justru tidak boleh mengikuti perintah orang tuanya yang salah. Kalau anak ini mengikuti keinginan orang tuanya, maka anak dan orang tuanya sama-sama berdosa dan melawan perintah Allah. Secara prinsip, kita harus menempatkan Tuhan dan perintah-Nya lebih daripada apapun juga. Dan ini diungkapkan oleh Yesus sendiri yang mengatakan “Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku.” (Mt 10:37). Jadi, dengan ayat ini dan dari Katekismus Gereja Katolik di atas, maka kita tahu bahwa kita tetap harus mentaati orang tua sampai kita dewasa dan berdiri sendiri, walaupun kita juga harus tetap menghormati nasihat dan juga teguran dari mereka. Kita harus menghormati orang tua kita seumur hidup kita. Dan kita tidak perlu mengikuti perintah orang tua kalau perintah tersebut melanggar perintah Allah atau membuat hubungan kita dengan Allah terganggu. Namun, di sisi yang lain, kita harus bijaksana dalam menerapkan prinsip-prinsip ini, sehingga hubungan kita dengan orang tua kita tetap baik dan berdasarkan kasih yang murni. Semoga keterangan ini dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – www.katolisitas.org
Pernah saya membaca sedikit kisah St. Fransiskus Asisi. Pernah pada awal kehidupan rohaninya, saat beliau memutuskan meninggalkan kehidupan duniawi untuk melayani Allah, beliau menanggalkan seluruh bajunya sebagai tanda bahwa ia ‘bukan’ anak ayahnya, tapi anak dari Allah Bapa. Sejak kejadian itu, tidak diceritakan kisah orang tua Fransiskus. Saya teringat bahwa Yesus pernah bersabda kalau Ia datang membawa perpisahan antara anak dengan ayahnya. Nah selama kisah St. Fransikus tersebut, tidak diceritakan perhatiannya terhadap orang tuanya, perbuatan pun doa (siapa yang tahu?). Bagaimana tanggapan katolisitas tentang ini?tentang pertentangan anak dan orang tua?(maaf bukan menantang, hanya terpikir saja bagaimana jika terjadi pada saya)
[Dari Katolisitas: Memang dalam riwayat St. Fransiskus tidak dikisahkan lagi hubungan antara St. Fransiskus dengan ayah dan ibunya, setelah ia memasuki biara. Namun tidak dapat disimpulkan bahwa ia tidak lagi menghormati dan mendoakan orang tuanya. Sebab hal mengasihi dan mendoakan orang tua lebih bersifat kepada hubungan pribadi antara St. Fransiskus dengan orang tuanya. Sedangkan yang tertulis dalam riwayat hidupnya adalah kisah yang menunjukkan teladan kasihnya kepada Allah sampai ke tingkat yang heroik, yaitu dengan menempatkan Allah sebagai yang utama melebihi segala sesuatu; sehingga St. Frasiskus rela meninggalkan segalanya, demi mempersembahkan hidupnya bagi Allah.]
Karena cara yang dipilih Fransiskus adalah kemiskinan mutlak, maka dia melepaskan segala2nya untuk Tuhan, yang tersisa hanyalah doa. Bisakah hubungan kasih yang sebatas doa untuk orang tua saja itu, bisa diterima?terutama di jaman sekarang?Hal itu dalam pandangan budaya ketimuran (yang menekankan penghormatan dan menjaga orang tua), sepertinya berkesan tidak acuh.
Shalom Dwiki,
Hal bagaimana kita menanggapi panggilan Tuhan, itu memang harus diputuskan dengan kebijaksanaan (prudence). Kita menghormati keputusan St. Fransiskus, yang pasti juga telah mempertimbangkan masak-masak keputusannya untuk mengabdikan seluruh hidupnya bagi Kerajaan Allah. Perlu kita ketahui bahwa keluarga St. Fransiskus adalah keluarga yang cukup berada dan terpandang di Asisi, dan bahwa St. Fransiskus juga mempunyai beberapa saudara kandung. Sejumlah catatan biografi St. Fransiskus mencatat bahwa ia memiliki 6 orang saudara kandung, yang juga sama-sama berkewajiban mendukung masa tua kedua orang tua mereka. Maka meskipun St. Fransiskus tidak dapat mendukung orang tuanya dalam hal kebutuhan hidup jasmani, namun ia mendukung orang tuanya dalam bentuk rohani, yang mungkin tidak dapat dilakukan oleh saudara-saudari kandungnya. Dengan demikian tidak dapat dikatakan bahwa St. Fransiskus mengabaikan atau mengacuhkan orang tuanya, sebab kenyataannya, kedua orang tuanya-pun juga “in a good hand“, tidak disia-siakan.
Namun memang harus diakui bahwa panggilan sebagai imam ataupun biarawati itu adalah suatu panggilan yang mulia, yang melibatkan juga pengorbanan dan kerelaan orang tua mereka. Tuhan pastilah memberkati dan memelihara secara khusus semua orang tua para imam/ biarawan/ biarawati, yang telah dengan lapang hati menyerahkan kembali anak-anak mereka yang secara total mempersembahkan hidup mereka untuk melanjutkan karya keselamatan Allah di dunia ini.
Allah yang Mahakuasa akan menggenapkan janji-Nya dalam firman ini kepada mereka yang melakukannya dalam arti yang sepenuhnya:
“Dan setiap orang yang karena nama-Ku meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, bapa atau ibunya, anak-anak atau ladangnya, akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal.” (Mat 19:29)
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam bu Inggrid dan tim katolisitas.terima kasih atas jawabannya. Semoga karya ibu, pak Stef dan tim selalu sesuai dengan kehendak Kristus sendiri dan semakin banyak yang menyadari kalau ini adalah bentuk kasih Tuhan pada Gerejanya. .amin
selamat malam,,saya minta saranya,,apa yang harus saya lakukan orang tua saya melarang saya membantu pacar saya krna sya blm di lamar sdgkn pacar saya memang sgt membutuhkan bantuan saya.bagaimana sikap yg hrs saya lakukan???tlg saranya
Shalom Sari,
Silakan Anda membawa hal ini dalam doa-doa permohonan Anda kepada Tuhan agar Ia membukakan mata hati dan pikiran Anda untuk memutuskan yang terbaik. Gunakanlah prudence/ kebijaksanaan untuk memutuskan, tidak hanya atas dasar perasaan tetapi juga atas pertimbangan yang masuk akal dan wajar. Apakah yang Anda maksud dengan ‘bantuan’ kepada pacar Anda? Apakah itu adalah sejumlah uang? Jika ya, berapa jumlahnya, apakah besarnya masuk akal? Apakah jika Anda memberikan, maka kebutuhan Anda sendiri terganggu, misalnya Anda akan kesulitan membayar uang kuliah, atau uang kost, dst? Jika Anda ingin membantu, dapatkah misalnya, Anda mengusahakan uang dari hasil kerja Anda sendiri, sehingga itu bukan mengambil uang saku dari orang tua Anda?
Silakan berdialog juga dengan orang tua Anda, agar Anda mengetahui mengapa orang tua Anda melarang Anda membantu pacar Anda. Sebab ada kemungkinan, mereka takut Anda kecewa, jika Anda sudah ‘habis-habisan’ menolongnya, namun akhirnya pacar Anda kemudian meninggalkan Anda. Maka ada baiknya Andapun menanyakan ke dalam hati Anda sendiri, jika kemungkinan ini terjadi, agar Anda siap sepenuhnya akan segala resiko dari keputusan Anda.
Namun demikian, jika masih dalam tingkatan yang wajar, menolong siapapun yang membutuhkan (termasuk di sini pacar Anda) adalah sesuatu yang positif. Maka silakan saja dipertimbangkan, dengan cara apa dan seberapa jauh Anda akan menolong, agar jangan sampai mengambil alih tanggung jawab, kerja keras dan bagian yang harus dilakukan oleh pacar Anda juga untuk menyelesaikan masalahnya.
Kami tidak dapat memutuskan tentang hal ini untuk Anda, Anda sendiri yang harus memutuskan, dengan mempertimbangkan hal-hal yang wajar dan masuk akal tersebut.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom
Bagaimana jika cita2 tidak direstui orang tua?
Saya (26, belum menikah, masih tinggal di rumah orang tua) ingin buka usaha (tanpa meminta modal orang tua), tetapi orang tua ingin saya kerja kantoran. Saya sama sekali tidak berminat utk kerja kantoran. Saya jadi dilema ketika membaca ayat Kol 3:20.
1. Maksud orang tua pastinya baik, tapi bagaimana jika tidak sesuai dgn cita2 kita sendiri?
2. Apakah saya berdosa kalau tetap mengejar cita2 saya?
3.Apakah benar kalau orang tua tidak merestui, maka Tuhan pun tidak akan memberkati?
Terus terang saya mengharapkan jawaban2 yg tegas dan alkitabiah (apa yg Tuhan mau/yg difirmankanNya), bukan opini pribadi atau opini umum.
Terima kasih. Gbu
Shalom Tyo,
Sebelum menanggapi pertanyaan Anda, mari kita sepakati bersama terlebih dahulu bahwa apa yang Anda tanyakan itu sesungguhnya bukan merupakan hal antara hidup dan mati, atau dosa dan bukan dosa, atau baik dan buruk. Sebab hal membuka usaha sendiri ataupun bekerja kantoran keduanya adalah hal yang baik. Maka pilihan Anda adalah apa yang terbaik bagi Anda dari kedua pilihan itu, yang paling sesuai dengan keadaan Anda.
Selanjutnya perlu kita sadari juga bahwa yang ditetapkan dalam Kitab Suci adalah prinsip-prinsip dasar kehidupan. Maka tidak ada dalam Kitab Suci, instruksi eksplisit yang mendetail bahwa semua orang harus bekerja kantoran, ataupun sebaliknya semua orang harus membuka usaha sendiri. Tentang hal ini, silakan Anda tentukan menurut kehendak, akal budi dan kebijaksanaan (prudence) Anda, yang telah Tuhan berikan kepada Anda. Yang jelas diajarkan oleh Kitab Suci adalah patokan antara perbuatan baik dan jahat, dan ini ada di banyak ayat dalam Kitab Suci. Perincian yang lebih eksplisit jika dihubungkan dengan pekerjaan/ usaha bisnis, dapat dilihat dalam Katekismus Gereja Katolik, yang sudah pernah dijabarkan di sini, silakan klik.
Maka nampaknya di sini yang penting adalah dialog dengan orang tua Anda. Sampaikan apa yang menjadi keinginan dan pertimbangan Anda, dan dengarkanlah juga apa yang menjadi keinginan dan pertimbangan orang tua. Memilih pekerjaan seringkali harus memperhitungkan juga sifat dasar dan kemampuan kita. Ini mensyaratkan pengenalan diri kita sendiri, yaitu kita harus mengenal kelebihan dan kelemahan kita, di samping kemampuan/ keahlian kita secara umum. Walau tidak selalu, namun sering kali orang lain dapat memberikan masukan yang obyektif kepada kita, tak terkecuali orang tua kita, yang mengenal kita sejak lahir. Maka diperlukan juga kerendahan hati dari pihak Anda untuk mendengarkan orang tua Anda, walaupun Andapun berhak untuk mengutarakan aspirasi Anda. Jika Anda dapat melakukan proses dialog ini dengan kasih, maka besar kemungkinan Anda akan memperoleh titik terang dan jalan keluar. Misalnya saja, jika Anda dapat meyakinkan orang tua Anda, bahwa Anda akan bekerja keras dalam memulai usaha dengan modal tabungan Anda sendiri, siapa tahu mereka dapat mengizinkan Anda untuk mencoba memulai usaha tersebut, setidaknya untuk beberapa waktu. Dan jika memang ternyata kurang cocok, baru Anda mencoba kemungkinan yang lain.
Maka yang terpenting, adalah selesaikanlah segala perselisihan/ perbedaan pendapat dengan kasih, dengan tidak mencari kepentingan diri sendiri. Ini adalah prinsip yang diajarkan dalam Kitab Suci (lih. Flp 2:1-11, 1Kor 13:1-13). Jika Anda tidak melakukan prinsip ini dan malah bertengkar dengan orang tua Anda, apalagi jika sampai mengeluarkan kata-kata kasar, maka itu adalah dosa, melanggar perintah ke-4 dalam kesepuluh perintah Allah. Tetapi jika ada perbedaan pendapat, namun Anda menyikapinya dengan tetap menghormati orang tua Anda, maka Anda tidak bersalah di hadapan Tuhan.
Teriring doa dari kami di Katolisitas.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
apakah hukum menabur dan menuai berlaku? jika kita jahat kepada orang tua kita, tetapi kita sudah bertobat, apakah tetap dikenakan hukum menabur dan menuai ?
[Dari Katolisitas: Yang jelas, Kitab Suci mengajarkan bahwa dosa selalu membawa konsekuensi, walaupun kita sudah bertobat. Ada banyak contoh dalam Kitab Suci yang menyatakan demikian, seperti yang dialami oleh Adam dan Hawa, Musa, Daud, Zakaria, dst. Maka jika kita telah berbuat salah terhadap orang tua, selekasnya kita bertobat, dan membuktikan juga pertobatan kita dengan sikap yang baik kepada orang tua. Semoga dengan demikian kita membuat silih atas dosa-dosa kita terhadap mereka di waktu yang lalu. Sebab jika hal ini tidak dilakukan, akibat dosa tersebut tetap harus dilunasi, jika tidak di kehidupan di dunia ini, maka harus dilunasi di kehidupan mendatang di Api Penyucian.]
Selamat Malam Romo,
Saya mau menanyakan beberapa hal: Yang pertama: saya seorang perantau Romo, saya tidak hadir di sa’at ibunda saya meninggal, karena keadaan ekonomi saya saat itu kurang bagus, apakah saya salah? dan apakah saya akan mendapat ganjaran atau hukuman dari ibu saya karena perbuatan saya? seperti yang diceritakan orang bahwa kehidupan saya nanti tidak akan baik ke depannya atau banyak masalah, jatuh sakit dan lain lain, apakah itu benar? di kampung saya banyak dukun atau santet, saya jadi takut mau pulang dengan istri saya, lalu apakah yang saya lakukan dengan hal ini? bagaimana saya bisa menghadapi mereka? bagaimana bisa saya menjamin keselamatan saya,anak dan istri saya?
Terimakasih Romo
Petrus
Salam Petrus,
Dengan kejujuran dan cinta kasih Anda, tentu Tuhan tahu dan melindungi Anda. Jangan takut. Anda bisa dan selalu mendoakan almarhum ibunda dan tetap berhubungan baik dengan anggota lain dalam keluarga Anda. Untuk itu baiklah Anda mengunjungi pusara ibunda dan mendoakannya. Pastilah para tetangga pun mengerti. Kita pun percaya bahwa tiap orang pun memiliki cinta kasih dan pengertian.
Salam
RD. Yohanes Dwi Harsanto
Saya ada soalan.. kalau ibu bapk tidak tunjukkn ajar yang baik, dengan maki atau isap rosak di depan. Ape harua kite hormat kn. Ape hukum nye?
Shalom Lyanan,
Sabda Tuhan jelas mengatakan dalam Kitab Suci bahwa kita harus menghormati ayah dan ibu, tanpa keterangan tambahan, apakah perbuatan mereka baik atau tidak.
“Hormatilah ayahmu dan ibumu, seperti yang diperintahkan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu, supaya lanjut umurmu dan baik keadaanmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu.” (Ul 5:16)
Menghormati orang tua adalah bagian dari perintah Allah untuk mengasihi sesama, sebab orang tua menempati tempat yang terutama di antara ‘sesama manusia’ bagi kita. Itulah sebabnya dalam sepuluh perintah Allah yang dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kasih kepada Allah (perintah 1-3) dan kasih kepada sesama (perintah 4-10); perintah untuk menghormati orang tua, menempati urutan ke 4, atau urutan yang pertama di bagian kelompok perintah untuk mengasihi sesama.
Kitab Sirakh bab 3, malah dengan lebih rinci menyebutkan tentang kewajiban terhadap orang tua:
“Anak-anakku, dengarkanlah aku, bapamu, dan hendaklah berlaku sesuai dengan apa yang kamu dengar, supaya selamat.
Memang Tuhan telah memuliakan bapa pada anak-anaknya, dan hak ibu atas para anaknya diteguhkan-Nya. Barangsiapa menghormati bapanya memulihkan dosa, dan siapa memuliakan ibunya serupa dengan orang yang mengumpulkan harta.
Barangsiapa menghormati bapanya, ia sendiri akan mendapat kesukaan pada anak-anaknya pula, dan apabila bersembahyang, niscaya doanya dikabulkan. Barangsiapa memuliakan bapanya akan panjang umurnya, dan orang yang taat kepada Tuhan menenangkan ibunya serta melayani orang tuanya sebagai majikannya.
Anakku, hormatilah bapamu, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan, supaya berkat dari padanya turun atas dirimu. Rumah tangga anak dikukuhkan oleh berkat bapa, tapi dasar-dasarnya dicabut oleh kutuk ibu. Jangan membanggakan nista bapamu. Memang nista bapa bukan kehormatan bagi dirimu! Sebaliknya kemuliaan seseorang terletak dalam menghormati bapanya, dan malu anak ialah ibu ternista.
Anakku, tolonglah bapamu pada masa tuanya, jangan menyakiti hatinya di masa hidupnya. Pun pula kalau akalnya sudah berkurang hendaklah kaumaafkan, jangan menistakannya sewaktu engkau masih berdaya. Kebaikan yang ditunjukkan kepada bapa tidak sampai terlupa, melainkan dibilang sebagai pemulihan segala dosamu. Pada masa pencobaan engkau akan diingat oleh Tuhan, maka dosamu lenyap seperti air beku yang kena matahari.
Serupa penghujat barangsiapa meninggalkan bapanya, dan terkutuklah oleh Tuhan orang yang mengerasi ibunya.”
Nampaknya ayat-ayat di atas sudah jelas menyampaikan tentang kewajiban anak untuk menghormati orang tua, dan apa konsekuensinya, jika itu tidak dilakukan. Menghormati ayah dan ibu adalah kewajiban anak, meskipun sebagai anak kita tidak harus setuju terhadap semua yang mereka lakukan. Bukannya tidak mungkin, justru karena kasih yang tulus dari anaknya, orang tua yang mempunyai kebiasaan buruk atau yang bahkan hidupnya tidak baik sekalipun, dapat bertobat dan kembali ke jalan Tuhan.
Selanjutnya tentang topik sabar terhadap orang tua, klik di sini.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Maaf bolehkah saya bertanya bagaimana hukumnya bila ibu kandung jahat terhadap anak kandungnya sendiri. bukankah orang tua wakil Tuhan di dunia tapi Tuhan sendirilah yang menciptakan anak, benar bahwa ibu yang melahirkan tapi Tuhanlah yang memberikan. karena ini cukup membingungkan terimakasih. Shalom.
Shalom Sp,
Secara kodrat, memang umumnya seorang ibu akan mengasihi anak kandungnya. Hal ini begitu alamiah, dan bahkan terlihat jelas pada binatang, yang tidak berakal budi. Namun adakalanya, entah karena pengalaman trauma psikis atau alasan lainnya, dapat terjadi, seorang ibu membenci anak kandungnya sendiri. Puncaknya, misalnya fakta bahwa ada ibu yang meng-aborsi anak yang dikandungnya, dan dengan demikian sang ibu membunuh anak dari darah dagingnya sendiri.
Nah, jika hal ini terjadi, entah sang ibu berbuat jahat kepada anaknya, atau bahkan sampai membunuh anaknya sendiri, tentu sang ibu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya itu di hadapan Tuhan. Sebab dikatakan dalam Kitab Suci bahwa Allah akan membalas setiap orang menurut perbuatannya (lih. Mat 16:27, Mzm 62:12). Namun demikian, selama hidup ini, selalu masih ada kesempatan untuk bertobat, dan semoga suatu saat ibu itu dapat sampai pada kesadaran akan kesalahannya, jika ia benar telah berbuat jahat terhadap anaknya sendiri.
Sebab idealnya, keluarga merupakan persekutuan kasih yang dibangun atas dasar kasih suami istri (yang mengambil teladan dari kasih Kristus kepada Gereja-Nya). Atas dasar ini, dibangunlah persekutuan keluarga, persekutuan antara orang tua dan anak-anak, antara sesama saudara kandung dan sesama semua anggota rumah tangga tersebut. Maka jika seorang ibu atau ayah gagal mengasihi anak-anak kandungnya sendiri, mungkin perlu dipertanyakan, sejauh mana pasangan suami istri itu saling mengasihi, kasih suami istri itulah yang mendasari persekutuan kasih antara mereka dengan anak-anak mereka.
Jika hubungan sudah kurang baik, dan adakah cara yang dapat dilakukan untuk memperbaikinya? Paus Yohanes Paulus II pernah menulis demikian dalam surat Ekshortasi Apostoliknya tentang Keluarga Kristiani, Familiaris Consortio (FC):
“Persekutuan keluarga hanya dapat dipertahankan dan disempurnakan melalui semangat pengorbanan yang besar. Nyatanya, ini mensyaratkan, kesediaan untuk saling terbuka antara setiap anggota keluarga, untuk saling memahami, menanggung beban, memaafkan dan memulihkan. Tak ada satu keluargapun yang tidak tahu bagaimana keegoisan, ketidaksesuaian, pertentangan dan konflik, dengan keras menyerang dan kerap kali melukai dengan hebatnya persekutuan itu: sehingga di sana timbul banyak dan berbagai bentuk perpecahan dalam kehidupan keluarga. Tetapi pada saat yang sama, setiap keluarga dipanggil oleh Allah Sang Damai untuk memiliki pengalaman suka cita dan pembaharuan dari “rekonsiliasi”, yaitu persekutuan ditegakkan kembali, kesatuan kembali dipulihkan. Secara khusus, partisipasi dalam sakramen Pengakuan Dosa dan dalam perjamuan satu Tubuh Kristus, menawarkan kepada keluarga Kristiani, rahmat dan tanggung jawab untuk mengatasi setiap perpecahan dan untuk bergerak menuju kesempurnaan persekutuan yang dikehendaki Allah; dengan cara ini menanggapi kehendak Tuhan yang berkobar: “supaya mereka menjadi satu” (Yoh 17:21) (FC, 21)
Dengan demikian, adalah baik untuk diusahakan kesempatan untuk rekonsiliasi. Jika memungkinkan hal ini dapat dilakukan misalnya lewat retret, konseling, atau bantuan dari anggota keluarga atau kerabat yang lain. Jika hal ini menyangkut keluarga Anda sendiir, silakan membawa pergumulan Anda ini dalam doa-doa pribadi, semoga Tuhan menunjukkan jalannya agar tercapai rekonsiliasi tersebut.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Saya mau bertanya, saya katolik dan calon istri saya baru saja menjadi katolik dan kami akan menikah dlam waktu dekat, tetapi ayah dari calon istri saya tidak merestui, karena dia muslim. Bagaimana ya ?
Apakah tidak apa apa kalau saya menikah tanpa ada orang tua wanita.
Terima kasih
Shalom Arnold,
Seperti telah kami sebutkan dalam tanggapan kepada Intan di bawah ini, ke- sah-an perkawinan dalam hukum Gereja Katolik memang tidak mensyaratkan restu orang tua. Namun demikian untuk ke depannya, dan demi kebaikan Anda sendiri dan pasangan Anda, sebaiknya memang Anda berdua sungguh-sungguh mengusahakan agar Anda memperoleh restu dari orang tua calon istri Anda. Mohonlah campur tangan Tuhan, dan agar Tuhan membantu Anda menemukan caranya, agar ayah calon istri Anda dapat melihat kesungguhan hati Anda berdua. Harapannya adalah dengan melihat maksud baik Anda dan kesungguhan hati Anda berdua, ia dapat merestui perkawinan Anda. Apakah ibu dari calon istri Anda merestui? Sebab jika ya, setidak-tidaknya Anda telah mendapat restu dari salah satu pihak dari orang tua calon istri Anda. Mungkin inilah kesempatan bagi Anda dan calon istri Anda untuk semakin menunjukkan kasih dan perhatian yang tulus kepada orang tua calon istri Anda, dan dengan demikian mereka dapat menerima bahwa hal pindah agama tidak akan membuat anak mereka menjauh dari mereka, namun sebaliknya, malah membuat ia dan Anda semakin mengasihi dan menghormati mereka sebagai orang tua.
Teriring doa dari kami di Katolisitas.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
salam….
Saya mau bertanya. Apakah boleh saya dan calon saya menikah tanpa restu orangtua? Saya (29) dan calon saya (31) sudah 7 tahun pacaran dan 3 tahun terakhir ini sudah berniat menikah. Kami juga sudah mengikuti KPP 2011 lalu tapi sayangnya orangtua calon saya tidak memberi restu krn alasan perbedaan suku. Calon saya sudah mencoba berbagai cara untuk menyampaikan niatan kami namun tetap ditolak. Apakah boleh kami melanjutkan rencana menikah kami? Terima kasih sebelumnya.
Salam
Shalom Intan,
Sebagaimana telah disebutkan, ke- sah-an perkawinan dalam Gereja Katolik memang tidak mensyaratkan restu orang tua; namun adalah baik dan layak jika Anda mengusahakannya, demi kebaikan Anda sendiri. Ada banyak perkawinan yang bermasalah di kemudian hari, jika sejak awalnya tidak memperoleh restu orang tua, terutama jika alasan orang tua sebenarnya sangat masuk akal. Silakan Anda/ pasangan Anda berdialog dengan orang tuanya untuk mengetahui apakah sebenarnya alasan mereka sehingga tidak merestui hubungan Anda dengan kekasih Anda. Memang telah dikatakan alasannya adalah karena perbedaan suku, tetapi bukannya tidak mungkin, bahwa ada alasan lain yang ada di balik itu, misalnya ketakutan jika Anda berdua tak bisa saling menyesuaikan diri terhadap latar belakang masing-masing yang berbeda. Maka silakan membicarakan hal ini, baik kekasih Anda/ Anda dengan orang tuanya maupun antara Anda berdua. Semoga dengan pembicaraan yang terbuka ini, Anda berdua akan memperoleh jalan keluarnya, dan timbul saling pengertian antara Anda berdua dan orang tua calon Anda, dan terutama di antara Anda berdua sendiri.
Di atas semua itu, silakan membawa pergumulan Anda ini dalam doa-doa. Semoga jika memang Tuhan berkenan, maka hubungan Anda dan pasangan Anda akan mendapat restu dari pihak orang tua masing-masing.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Selamat pagi romo,
saya margaretha, saya ingin bertanya dan ingin mendengar pendapat dari romo. saya dan pacar saya ingin menikah tahun depan, namun ada halangan yang cukup serius menurut saya dan pasangan saya. kami tidak mendapatkan restu dari keluarga saya, alasan keluarga saya tidak merestui hubungan kami karena pacar saya hanya seorang wiraswasta dan menurut keluarga saya dia tidak mempunyai penghasilan yang tetap. awal perkenalan pacar saya ke rumah untuk bertemu keluarga baik-baik saja, keluarga saya menerima dengan sangat baik, namun setelah 2 bln berjalan orangtua saya mulai tidak menyetujui dengan alasan yang sudah saya sampaikan. sekarang saya dan pacar saya merasa bingung romo, bagaimana seharusnya yang kami lakukan. semakin hari keluarga saya selalu mencari alasan yang membuat agar saya meninggalkan pacar saya. Bahkan suatu malam mama saya pernah berbicara agar saya memilih antara keluarga atau memilih dia, apabila saya memilih dia berarti saya harus meninggalkan rumah dan harus mau untuk tidak diakui sebagai bagian dari keluarga saya. saya dan pacar saya betul2 merasa bingung dengan keadaan ini romo. kami masih berjuang dengan hubungan kami. kami ingin menikah dengan restu mereka namun jika orangtua saya terus menolak apakah saya dan pacar saya bisa menikah tanpa restu dari orangtua saya?
Shalom Margaretha,
Walaupun ke-sah-an perkawinan Katolik tidak mensyaratkan restu orang tua, tetapi biar bagaimanapun juga, adalah baik jika perkawinan Anda mendapat restu dari orang tua. Maka, adalah baik jika Anda dapat memahami cara pikir orang tua Anda yang sesungguhnya juga menginginkan yang terbaik buat Anda. Untuk itu silakan Anda merenungkan dan mempertimbangkan apa yang menjadi kekhawatiran orang tua Anda, tentang kemungkinan suami Anda tidak mempunyai penghasilan tetap setiap bulannya. Apakah penghasilan yang tak menentu ini, kelak dapat cukup/ masuk akal untuk menopang kehidupan Anda sekeluarga (suami+istri+ anak-anak)? Jika kemungkinan tidak cukup, apakah Anda siap juga untuk bekerja untuk turut menopang ekonomi keluarga? Apakah ada kemungkinan bagi suami untuk mencari penghasilan sampingan/ kesempatan bekerja di bidang lain sehingga diperoleh kemungkinan ia mendapat penghasilan yang lebih tetap untuk menopang keluarga? Jika ada, silakan dicoba kesempatan itu sejak dari sekarang, sehingga orang tua Anda juga dapat melihat kesungguhan hati pasangan Anda untuk bertanggungjawab dan serius dengan Anda.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, Anda perlu membicarakannya dengan pacar Anda secara terbuka. Hal pekerjaan ini, walau bukan yang utama, tetap penting untuk dibicarakan, sebab jika tidak, dapat menimbulkan masalah yang serius di kemudian hari. Ada banyak pasangan suami istri yang tidak terbuka membicarakan masalah ini sebelum menikah, dan setelah menikah ‘terkaget-kaget‘ sebab hal ini ternyata dapat menimbulkan masalah besar, yang mengancam keutuhan rumah tangga. Hal ini nyata pada beberapa pasangan yang menuliskan masalah mereka ke situs ini.
Maka, sebelum terlanjur, silakan mempertimbangkan dengan masak-masak, dan juga bicarakanlah secara terbuka masalah ini dengan pacar Anda dan orang tua Anda. Silakan juga untuk membawa hal-hal ini dalam doa- doa Anda berdua, supaya jika memang ia jodoh Anda, maka akan terbuka jalannya menuju ke sana, dan orang tua Anda dapat memberikan restunya kepada Anda berdua.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
ini adminnya siapa ya,romo atau bukan?selamat malam,saya gadis umu 26 tahun&sudah 9 tahun pacaran (setahun pertunangan).saya siap nikah dengan pacar yang beragama kristen protestan.kemudian orang tua saya memaksa pacar saya untuk pindah ke katolik.pada mulanya sih pacar saya mengiyakan tetapi dalam perjalanannya pacara saya kurang begitu sreg dengan katolik&dalam waktu kami menjalani masa2 pertunangan tiba2 pacar saya tergoda oleh seorang perempuan di kantornya.suatu ketika,mereks pun putus&pacar saya kembalo ke saya kemudian tiba2 pacar saya mengajak menikah.oh iya,usia pacar saya sudah 32 tahun.tetapi yang menjadi pikiran saya adalah saya pun menerima tawaran pacar saya untuk menikah dengannya,tetapi kalau saya nekat melakukan pernikahan ini maka saya pun tidak merestui saya lagi karena sudah terlanjur sakit hati ketika pacar saya tergoda perempuan lain.apakah saya harus lakukan?di satu sisi,saya cinta sama pacar saya,di sisi lain saya juga sangat menghormati orang tua saya.tolong saya minta sarannya dari saudara admin atau ada orang yang membaca hal ini.terima kasih sebelumnya
Shalom Anastasia,
Nampaknya Anda perlu berdialog dengan diri Anda sendiri, untuk mengambil keputusan yang penting ini. Sebab sesungguhnya yang paling mengetahui situasi Anda dan kekasih Anda adalah diri Anda sendiri. Anda perlu memohon campur tangan Tuhan untuk membantu Anda membuat keputusan. Sebab nampaknya di sini bukan hanya permasalahan restu orang tu, tetapi yang lebih daripada itu adalah kesungguhan hati kekasih Anda sendiri, dan keyakinan Anda akan kesungguhan hati kekasih Anda itu. Anda harus yakin bahwa ia adalah seseorang yang dapat Anda percaya untuk menjadi suami, yaitu pasangan Anda seumur hidup. Kalau Anda tetap mau menikah dengan dia walaupun dia tidak mau menjadi Katolik, maka Anda harus siap dengan segala resikonya, tentang perkawinan beda gereja, dan sebagai seorang Katolik, Anda harus mengetahui bahwa Anda memiliki kewajiban untuk menikah secara Katolik, dan setelah menikah, Anda tetap harus berjuang sekuat tenaga untuk tetap Katolik, dan membaptis anak-anak dan mendidik mereka secara Katolik. Selain itu, Anda harus yakin bahwa kekasih Anda itu sudah bertobat sungguh, dan ia sudah tidak lagi berhubungan dengan perempuan tersebut, dan kekasih Anda mengetahui dan memahami bahwa hakekat perkawinan Katolik adalah monogami, dan setia kepada pasangan sampai selamanya, dalam keadaan apapun juga. Dengan demikian ia harus dengan kesungguhan hati memilih dan mengasihi Anda untuk menjadi istrinya sepanjang hidup, dan tidak berpaling kepada perempuan lain.
Jika Anda sendiri tidak yakin dengan pasangan Anda itu, ada baiknya jangan terburu-buru mengiyakan untuk menikah. Perkawinan Katolik adalah sekali untuk selamanya, dan oleh karena itu harus dipertimbangkan masak-masak. Lebih baik menunda sedikit daripada terburu-buru menikah, tanpa Anda sendiri yakin akan pilihan Anda. Jika orang tua tidak setuju, tentu ada alasannya, dan silakan Anda menimbang sendiri akan alasan tersebut, dan silakan Anda memeriksa batin Anda sendiri, apakah Anda siap memasuki perkawinan dengan pasangan Anda tersebut, dengan keadaan sedemikian.
Di atas semua itu, bawalah pergumulan Anda ini dalam doa. Kemungkinan inilah saatnya bagi Anda untuk mendekatkan diri pada Tuhan, silakan berdoa novena, dan mengikuti perayaan Ekaristi lebih sering daripada sebelumnya. Semoga Tuhan berkenan membimbing Anda untuk menimbang segala sesuatunya dengan bijak sehingga Anda dapat memutuskan yang terbaik, untuk masa depan Anda.
Teriring doa dari kami di Katolisitas.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
untuk Anastasia : saya sangat setuju dengan pendapat ibu Ingrid…ada baiknya Anastasia menenangkan diri dahulu…janganlah terburu-buru mengambil sebuah keputusan untuk situasi yang sedang anda hadapi…apalagi anda sempat mengalami sakit hati terhadap calon pasangan anda…jangan sampai sesudah anda menikah dengannya tapi anda masih tidak dapat melupakan sakit hati tersebut…bukankan itu dapat menjadi batu sandungan dalam hidup perkawinan anda nantinya…jangan lupa mohon bantuan Tuhan dalam perkara ini…
Salam sejahtera Romo.
Mohon saran dan bimbingannya Romo.
Saya dan pacar saya adalah Khatolik. Ortu saya ingin kami segera menikah karna kami pacaran sudah lama, 4 tahun. Selain itu alasan ortu saya ingin kami segera menikah karena mendengar omongan orang dan tetangga saya yang negatif tentang hubungan saya. Saya sudah siap menikah tetapi ortu dari pacar saya tidak merestui hubungan kami bahkan dari awal kami pacaran. Awal hubungan kami tidak direstui karena usia saya lebih tua dari pacar saya 2 tahun. Setelah lama pacaran, semakin banyak alasan dari ortu pacar saya yang intinya tidak menyukai saya. Tetapi saya dan pacar saya sudah saling mencintai dan sama” ingin serius dengan hubungan kami. Pacar saya pun masih kuliah dan belum mempunyai pekerjaan. Tetapi ortu saya tetap memaksa supaya dia menikahi saya dan semuanya ditanggung ortu saya meskipun tanpa sepengetahuan ortu pacar saya sekalipun. Jika dari pihak ortu laki” tidak merestui pernikahan kami, apakah kami tetap boleh melangsungan pernikahan? Dan bagaimana hukumnya dari segi Khatolik, Romo? trimakasih.
Shalom Maria Magdalena,
Perkawinan yang sah menurut Gereja Katolik itu selain mensyaratkan tidak adanya halangan menikah, juga mensyaratkan konsensus dari kedua belah pihak yang mau menikah. Tentang apa itu halangan menikah dan cacat konsensus, klik di sini. Maka penting di sini bukan hanya kesiapan Anda (dari pihak wanita) yang menikah, tetapi juga dari pihak calon suami Anda (pihak pria). Nah, belum adanya pekerjaan sang pria ini, jangan dianggap sepele. Sebab adalah salah satu tanggungjawab dari pihak suami untuk memberi nafkah kepada istri dan anak-anak. Jika Anda menyimak masalah- masalah perkawinan yang ditanyakan oleh para pembaca di situs ini, maka Anda akan melihat bahwa banyak di antaranya adalah karena suami gagal menjalankan tugas dan tanggungjawabnya sebagai suami untuk memberi nafkah kepada istri dan anak-anak. Mari belajar dari pengalaman pasangan lain, tanpa perlu menempatkan perkawinan Anda sendiri ke dalam resiko bubar, seperti yang dialami oleh banyak pasangan lain. Meskipun orang tua Anda bermaksud baik untuk menyokong keluarga Anda secara finasial, namun itu tetap tidak sehat bagi hubungan Anda berdua nantinya, dan dapat menimbulkan masalah, sebab memang bukan hal itu yang seharusnya terjadi. Maka nampaknya bijaksana, jika perkawinan tidak dilaksanakan secara tergesa-gesa, sebelum kedua belah pihak benar-benar siap untuk menjalankan peran sebagai suami dan istri. Memang secara hukum Gereja, restu orang tua bukan hal yang mutlak menentukan kesahan perkawinan. Namun silakan mempertimbangkan hal yang lain, yaitu konsensus dari pihak calon suami Anda, sebab ia sendiri juga harus menginginkan perkawinan itu, dan bukan hanya pihak Anda maupun orang tua Anda. Jangan sampai omongan tetangga yang menjadi tolok ukurnya, tetapi hati nurani Anda berdua sebagai pasangan, yang didukung juga oleh realitas kesiapan secara lahir batin, untuk menikah. Selanjutnya untuk mengusahakan hubungan yang baik antara Anda dan orang tua pacar Anda, silakan membaca tanggapan Ibu Triastuti.
Tambahan dari Triastuti :
Jika saya diijinkan turut memberikan sharing bagi pertanyaan Anda, menurut hemat saya, restu orangtua dari kedua belah pihak keluarga calon suami dan istri tetaplah layak untuk diusahakan, walau bukan syarat mutlak bagi berlangsungnya Sakramen Perkawinan di Gereja Katolik. Karena perkawinan antara sepasang suami istri juga merupakan penyatuan hubungan persaudaraan dan kekeluargaan kedua belah pihak keluarga masing-masing. Dan penyatuan ini adalah untuk seumur hidup. Maka kebahagiaan dalam hidup perkawinan akan lebih dimungkinkan untuk berkembang dan berbuah serta menjadi lebih kokoh dalam berbagai tantangan, jika disertai dengan restu, dukungan, dan kasih kegembiraan dari masing-masing orangtua dan keluarga besar. KGK 1632 menyatakan bahwa “Contoh dan pendidikan orang-tua dan keluarga merupakan persiapan yang terbaik.Para pastor dan jemaat Kristen sebagai “keluarga Allah” memainkan peranan yang tidak dapat diganti Bdk. CIC, can. 1063. dalam melanjutkan nilai Perkawinan dan keluarga manusia dan Kristen,..”
Sebaiknya Anda memikirkan untuk mengusahakan misalnya sebuah dialog yang terbuka dengan motivasi kasih yang tulus bersama orangtua dari pacar Anda. Sebelumnya bicarakan dahulu dengan baik bersama pacar Anda, apa kiranya halangan-halangan yang membuat mereka tidak menyukai Anda dan belum merestui hubungan Anda berdua, dan bagaimana hal itu bisa disampaikan dengan semangat kekeluargaan. Mungkin mereka bukan tidak merestui tapi belum. Mungkin alasan mereka juga menyangkut anak mereka yang belum mempunyai pekerjaan dan hal itu membuat mereka khawatir akan masa depan Anda berdua secara ekonomi di dalam bahtera rumah tangga yang baru dibangun. Alasan orangtua selalunya sebenarnya baik dan didasari kasih sayang, kepedulian kepada kebahagiaan anak-anaknya untuk jangka panjang. Jika ada sikap kasih dan keterbukaan, hambatan dan ganjalan yang saling dirasakan bisa sama-sama dicoba dicari jalan keluarnya dengan semangat saling pengertian dan kasih. Kebiasaan ini akan merupakan kebiasaan yang sehat bagi kelangsungan dinamika relasi Anda berdua dengan keluarga besar kelak. Mohonlah rahmat Tuhan untuk semua pihak dan selalulah bersikap terbuka dan kasih di dalam hati Anda untuk kedua orangtua pacar Anda, karena mereka juga akan menjadi orangtua Anda dan bagian tak terpisahkan dari hidup perkawinan Anda.
Orangtua dan keluarga besar dari pasangan adalah bagian dari hidup kita yang baru dalam membina hidup baru berkeluarga. Sebagai bagian dari karunia Tuhan dalam kehidupan perkawinan, kehadiran mereka adalah untuk turut dikasihi dan diperhatikan sebagai bagian yang saling menumbuhkan dan saling membangun di dalam bahtera rumah tangga kita bersama pasangan. Merekalah orang-orang pertama dalam hidup kita dan pasangan kita dengan siapa kita pernah hidup, belajar, dan tumbuh, untuk menjadi manusia dewasa seutuhnya. Semoga Tuhan memberkati upaya dan kasih Anda berdua.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati dan Triastuti- katolisitas.org
itu perintah ke 5 gan…bukan perintah ke empat.
[Dari Katolisitas: Silakan terlebih dahulu membaca artikel ini, silakan klik]
Shalom,
saya (18 tahun) mau bertanya mengenai menghormati orang tua. Dikatakan bahwa seseorang boleh tidak menuruti orang tuanya (tp ttp menghormati) bila sang anak sudah berdiri sendiri dan dewasa. Yang saya mau tanyakan, kapan seseorang bs dikatakan dewasa? Apakah dari segi hukum (21 tahun) atau ketika ia sudah bekerja atau ada segi lain? Dan apa yang harus dilakukan anak apabila ia tidak diberikan kesempatan untuk membuktikan dirinya bahwa ia mampu mengambil keputusan sendiri tanpa melupakan peranan orang tua ? Dan apa yang sebaiknya dilakukan anak apabila ia terlalu ‘dikekang’ (dengan alasan bahwa ‘kamu belum cukup umur, dunia luar itu jahat, kamu itu masih naif,dll) seperti misalnya, kalau mau keluar dengan teman harus rame2, jumlah perempuan yang ikut harus lebih dari 2 orang, tidak boleh pergi berdua saja dengan teman pria, tidak boleh berpacaran dengan pria beda agama (non katolik), dsb. Saya sudah berusaha untuk berbicara secara baik – baik, bahwa saya ingin diberi kesempatan, kepercayaan, dan kebebasan untuk memilih. Pada mulanya, memang terjadi situasi ‘memberikan nasehat’ dan setelah itu dikatakan bahwa itu hak saya, tp tak lama kemudian, mulai muncul larangan”, dan ketika saya bertanya mana hak saya yang sblmnya, dikatakan ‘sabar aja, banyak doa’. Saya tahu maksudnya baik, tp saya jadi merasa tidak dipercaya, dan hal ini sudah berlangsung tahunan. Kalau saya berargumen dan mengutarakan isi pikiran saya, mereka lsg mengingatkan pada perintah Allah No.4, tp kalo tidak bersuara, saya merasa tidak bebas dan akhirnya jengkel di dlm hati. Skrg situasi menjadi lebih rumit. Saya sdh mulai malas berbicara karna merasa tidak didengarkan juga pada akhirnya. Apa yg sebaiknya dilakukan, mengingat bahwa komunikasi sudah begitu sulit?
Shalom Maria Fresia,
Komunikasi yang baik, di mana kedua belah pihak yang sedang berelasi, bersedia untuk saling mendengarkan, saling menghargai, dan saling mengerti, adalah salah satu kunci keharmonisan dalam keluarga. Bahkan juga merupakan kunci keberhasilan dalam berbagai bidang kehidupan di mana dua orang atau lebih, hidup dan bekerja sama serta mengadakan inter relasi. Kata yang penting dalam pernyataan di atas adalah kata “saling”, yang artinya melibatkan kedua belah pihak, bukan hanya salah satu, maka barulah komunikasi yang baik dapat tercapai, di mana segala perbedaan pandangan menjadi mungkin untuk dijembatani, dan tujuan bersama yang baik dapat diraih. Namun dalam praktek, memang niat untuk berkomunikasi secara baik ini tidak selalu mudah. Bahkan tak jarang menjadi bahan pergumulan dan pembelajaran kita seumur hidup.
Dari segi usia, secara umum 21 tahun memang sudah dewasa dan mulai dapat memutuskan segala sesuatu sendiri, dengan segala hak dan kewajiban yang mengikutinya. Usia 18 tahun biasanya kita mulai bisa menentukan sikap sendiri, walau masih memerlukan nasehat dan pengawasan untuk hal-hal yang penting yang berkaitan dengan masa depan, karena gejolak masa muda dan pengalaman yang belum cukup, sehingga kematangan kita juga belum sepenuhnya. Namun sesungguhnya berapapun usia kita, kita tetap memerlukan pandangan dan nasehat dari orangtua karena mereka sudah lebih berpengalaman dalam berbagai masalah hidup, lagi pula mereka juga mengenal seluk-beluk kepribadian kita karena merawat dan membesarkan kita sejak lahir hingga dewasa. Apalagi jika kita masih muda dan baru akan menapaki masa depan.
Membaca berbagai kekhawatiran orangtua yang Anda tuliskan di sini, tentu ada alasan yang masuk akal di balik anjuran/nasehat orangtua Anda itu, dan latar belakang kekhawatiran itu tentunya demi kepentingan dan keselamatan Anda juga. Anda dapat mencoba membahas dengan lemah lembut dan kepala dingin bersama mereka, apakah kiranya latar belakang anjuran-anjuran mereka itu, misalnya, mengapa harus pergi rame-rame? Mengapa harus ada minimal dua teman perempuan yang ikut? (silakan dengarkan kekhawatiran orangtua anda, namun nampaknya berkaitan dengan keprihatinan orangtua terhadap maraknya dosa ketidakmurnian di kalangan orang muda). Mengapa tidak boleh pacaran dulu, atau mengapa tidak boleh pacaran dengan pria beda agama? (silakan tanyakan juga alasannya, namun harap dipahami juga bahwa tanpa beda agama saja, ada banyak hal yang harus diperhatikan untuk menciptakan keharmonisan perkawinan, apalagi jika ditambah dengan perbedaan agama). Sebaiknya Anda juga membuka diri dan berlapang hati mendengarkan penjelasan dari nasehat mereka tersebut.
Anda menulis bahwa Anda memahami maksud orangtua adalah baik, maka dengan selalu mengingat kebaikan itu di dalam hati Anda, Anda dapat mencoba lagi dengan sikap terbuka dan hati yang tulus untuk mengungkapkan uneg-uneg Anda. Sebaiknya Anda berusaha memahami resiko-resiko yang dikhawatirkan oleh orangtua Anda dan menerimanya bila hal itu memang beralasan. Ungkapkan kepada mereka bahwa Anda akan berusaha untuk selalu menjaga diri dan menjaga nasehat mereka dengan konsekuen dalam berbagai pengambilan keputusan yang akan Anda lakukan. Terutama dalam hal-hal yang menyangkut kebajikan dan tanggung jawab. Komunikasikan juga dengan penuh kesabaran dan kasih, mengenai kerinduan Anda untuk memperoleh kepercayaan yang lebih besar dalam memilih apa yang Anda anggap baik, disertai alasan yang jelas mengapa Anda memandang itu baik. Jika Anda senantiasa menunjukkan tanggung jawab dalam berbagai kegiatan, wacana, dan perilaku sehari-hari, tentu orangtua akan mempunyai kepercayaan yang makin besar kepada Anda.
Memang bisa juga terjadi bahwa latar belakang pendidikan, budaya, dan kepribadian orangtua, mempengaruhi bagaimana mereka memandang persoalan-persoalan hidup. Misalnya dalam hal melarang sesuatu, alasan pelarangan itu memang harus mempunyai dasar yang masuk akal. Kadang-kadang bisa terjadi orangtua tidak memahami apa esensi dari suatu perintah atau larangan. Namun hampir bisa dipastikan bahwa tujuan perintah dan larangan itu adalah selalunya demi kebaikan, demi apa yang mereka anggap baik bagi anak-anaknya, dan demi cinta. Kalau komunikasi lancar, kita bisa bertukar pikiran secara sehat dengan orangtua untuk memperjelas apa yang menjadi kesepakatan bersama mengenai apa yang dipandang baik. Cara Anda berdiskusi dan berperilaku dengan tenang dan lembut juga membantu menunjukkan kepada orangtua bahwa Anda sudah dewasa, punya potensi besar untuk bertanggung jawab, bisa mengendalikan diri, bisa dipercaya, dan selalu berusaha mempunyai niat yang baik.
Mudah-mudahan dengan komunikasi yang terbuka, penuh kasih, dan saling menghargai, orang tua Anda pun terdorong untuk berkomunikasi lebih terbuka serta bisa saling mempercayai dengan Anda, tanpa ada kesalahpahaman. Semoga Anda tetap bersemangat dan tidak menghindari berbicara dengan orangtua, karena hal itu dapat membuat jalinan komunikasi justru menjadi buntu. Kiranya Tuhan membuka jalan dan memberkati jalinan komunikasi yang hangat dan berbuah di antara Anda dan orangtua Anda.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Caecilia Triastuti dan Ingrid Listiati – katolisitas.org
Terima kasih atas balasannya, saya akan berusaha sebaik mungkin sesuai yang disarankan, dan mohon doanya agar orang tua saya mau belajar lebih mendengarkan dan menerima bahwa dunia berubah dan tidak seburuk yang disangka. Salam damai.
Shalom Inggrid dan Stef…
Apakah Mt 10:37 tidak bertentangan dengan kasus sbb ;
Seorang suami/istri yang sedang berselisih dalam keadaan terpaksa/mendesak mengambil suatu keputusan yang mengakibatkan “dosa besar”.
Jika salah satu suami/istri tersebut mengambil tindakan yang benar dan menolak untuk mengambil keputusan yang mengakibatkan dosa besar maka taruhannya adalah perceraian (simalakama), sedangkan jika bercerai maka adalah suatu tindakan yang berdosa besar juga, bagaimana ini…..?
Disatu sisi suami/istri tidak ingin ambil keputusan yang berakibat dosa besar tapi salah satunya menuntut cerai karena tidak dituruti, akibatnya terjadi perceraian——-dosa juga, tetapi disisi lain dia ingin mempertahankan keutuhan perkawinannya dengan menuruti untuk ambil tindakan yang mengakibatkan dosa besar———dosa juga,
Mana yang lebih penting..?
Berkah dalem
D G T
Shalom DGT,
Terima kasih atas pertanyaannya tentang moralitas. Secara prinsip, kita harus mengingat bahwa untuk mencapai tujuan tidak boleh menggunakan cara yang salah/berdosa. Dalam kasus ini, kalau untuk mempertahankan perkawinan harus mengambil cara untul berdosa besar, maka perlu dipertimbangkan alternatif yang lain. Sebagai contoh, kalau istri menuntut suami untuk mendapatkan gaji yang besar dengan korupsi, maka suami tidak boleh menuruti hal ini. Dan kalau sampai akhirnya berujung kepada perceraian, maka sang suami tidak berbuat dosa. Kalau memang karena hal ini sampai membuahkan perceraian, maka tidak ada yang dapat menjamin kalau sang suami menuruti istri (yaitu melakukan korupsi), maka tidak ada perceraian di kemudian hari. Jadi, akar permasalahannya bukan pada tuntutan sang istri, namun pada hakekat dari perkawinan dan kehidupan itu sendiri, misal: kebahagiaan yang tidak hanya bergantung pada harta, komitmen dalam perkawinan, dll. Untuk itu, masalah pokok inilah yang perlu diselesaikan terlebih dahulu. Saya mengusulkan agar pasangan suami istri ini dapat menghadap pastor dan menceritakan segala permasalahannya dengan terbuka, sehingga dapat dicari jalan keluarnya – yang tidak menimbulkan dosa. Dosa tidak dapat diobati dengan dosa. Dosa hanya dapat diobati dengan pertobatan dan kasih Allah. semoga prinsip ini dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Malam romo, saya mau bertanya
Sebelum ayah saya meninggal dia berpesan “KALAU BISA setelah saya meninggal, doa arwah di doakan secara agama buddha”(ayah saya beragama buddha). tetapi karena kami dari kuarga katholik kami tidak mengerti tata cara agama buddha maka kami melakukan hal2 sebagai berikut:
1. Setiap tahun baru cina ibu saya membeli emas2an palsu dan uang kertas palsu kemudian dibakar, mempersembahkan buah2an di depan foto ayah saya dan memasang hio karena dulu ayah saya sering melakukan seperti itu ketika mendoakan orang tuanya yang sudah meninggal tetapi ibu saya dan saya tidak menyebut mantra apa2pun hanya melakukan saja.
Pertanyaannya apakah cara saya dan ibu saya salah atau dosakah saya dan ibu saya menurut pandangan gereja katholik?
2. Saya punya pikiran karena saya tidak mengerti cara mendoakan ajaran buddha, saya berpikir lebih baik setiap tanggal ayah saya meninggal, saya membawa foto ayah saya ke klenteng / kuil dan minta tolong biksu untuk di doakan arwah ayah saya?
Pertanyaannya, Boleh kah saya melakukan hal demikian?
3. saya meminta saran sebaiknya apa yang harus saya lakukan untuk mendoakan arwah ayah saya?
Terima kasih
Benedict Yth
Meskipun ayah anda beragama budha, dan anda beragama katolik, maka sebaiknya didoakan secara katolik. Bagi saya apa yang anda lakukan seperti kebiasan orang budha tidak memiliki efek bagi anda dan ayah anda karena iman anda berbeda dengan apa yang anda lakukan. Dengan kata lain tindakan anda tidak sesuai dengan hati iman anda sendiri hanya sebuah ritus yang anda ketahui, kalau dilakukan oleh orang beragama budha sangat lebih baik dan pas. Maka berdoalah secara katolik tidak apa dan itu lebih bermakna dan memiliki daya guna bagi keselamatan jiwa ayah anda dan anda sendiri. Perbuatan yang tidak sesuai dengan iman memang keliru maka jangan dilakukan.
salam
Rm Wanta
Tambahan dari Ingrid:
Shalom Benedict,
Saya menyarankan agar anda mendoakan jiwa ayah anda secara khusus dengan mengajukan intensi ujud misa, terutama pada bulan November, (pada hari arwah 2 November, dan hari- hari sesudahnya selama bulan November) yang dikhususkan oleh Gereja untuk mendoakan jiwa- jiwa orang- orang yang sudah meninggal. Dengan demikian, anda melakukannya sesuai dengan ajaran iman Katolik; yang dapat lebih berguna bagi jiwa ayah anda, karena ujud doa anda disatukan dengan korban Kristus dalam perayaan Ekaristi.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Syalom Benedict…
Saya ikutan sharing pendapat dan pandangan saya ya…
Beberapa waktu lalu saya pernah menanyakan kepada salah satu saudara yang beragama Budha dalam hal mendoakan arwah bagi orang tuanya, dijelaskan bahwa arwah orang yang telah meninggal akan mengembara selama ratusan tahun untuk menantikan sebuah proses inkarnasi (ini menurut yang dia yakini)…. Saat itu langsung saya berfikir “Waah…l a m a sekali ya dan jaminannya apaa…??”
Bersyukurlah kita yang menerima Yesus sebagai satu-satunya Tuhan kita, yang pasti janji hidup kekekalan yang diberikan pada kita sebagai umat pilihan-Nya.
Sebagai seorang Katolik berdoalah sesuai dengan iman Katolik kita, apapun bentuk keadaan lingkungan keluarga disekaliling kita dengan berbuat sesuai iman maka Tuhan akan mengetahui yang terdalam pada hati kita…
Saran dari saya; berdoalah bagi arwah ayah anda, memohon ampun bagi beliau dan minta kerahiman-Nya, sebab kita tidak tahu apa yang Tuhan kehendaki, sehingga berserah kepada kebijaksaan-Nya adalah sikap yang paling tepat.
Saya sendiri dari anggota keluarga yang berkeyakinan majemuk, banyak menghadapi pertentangan di dalam hal berbuatan iman, karena saya adalah anak sulung sehingga banyak permintaan yang tertuju kepada saya. ketika menghadapi sebuah permintaan yang bertentangan dengan iman Katolik, saya segera berdoa di dalam hati dengan iman: “Tuhan…apakah ini yang Engkau kehendaki dariku? Berilah jalan damai bagiku ya Tuhan….” beberapa kali mujizat terjadi… pada saatnya tiba ada pihak lain yang melakukan atau menggantikan saya; sehingga hati kita yang tetap setia kepada Tuhan, tidak melakukan hal yang melawan kehendak-Nya, bersamaan pula kitapun telah memuliakan nama-Nya. Amin.
Demikan sharing saya semoga bermanfaat.
Salam damai dalam Kristus.
Felix Sugiharto
Soal menghormati orang tua. Mmg sudah ada di Alkitab.
Efesus 6:1 Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian.
Efesus 6:2 Hormatilah ayahmu dan ibumu — ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini:
Tetapi apakah kita harus tetap menghormati orang tua jika orang tua itu sudah berbuat sesuatu yang tidak terhormat?
haruskah tetap menghormati orang tua yang tidak bertindak sesuai Alkitab?
Efesus 6:4 Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.
haruskah tetap menghormati orang tua yang membangkitkan amarah di dalam hati anak-anaknya?
saya lelah untuk terus menghormati orang tua yang membangkitkan amarah di dalam hati anak-anaknya.
Shalom Mr. X,
Terima kasih atas pertanyannya. Dalam hal ini, hubungan antara orang tua dan anak-anak adalah hubungan yang timbal balik. Di satu sisi, anak-anak harus menghormati orang tuanya – karena merupakan perintah ke-4 dari 10 perintah Allah – dan di sisi yang lain, orang tua juga harus menjadi pancaran kasih Allah, sehingga anak-anak dapat merasakan kasih Allah dan menuntun anak-anak untuk masuk dalam Kerajaan Allah. Masing-masing pihak jangalah menuntut agar pihak yang lain melakukan bagiannya sebelum melakukan bagiannya sendiri. Kalau demikian, maka seolah-olah satu pihak akan mengasihi dan menghormati kalau pihak yang lain mengasihi terlebih dahulu. Apalagi dalam hal ini, masing-masing pihak telah dewasa dan mempunyai kemampuan untuk mengasihi, dengan definisi “menginginkan hal yang baik bagi orang yang dikasihi”.
Menginginkan yang baik untuk orang tua yang kita kasihi adalah sesuatu yang harus kita jalankan. Namun, hal ini bukan berarti bahwa kita harus mengikuti seluruh perintah mereka, apalagi jika perintah mereka bertentangan dengan Alkitab. Yang terjadi biasanya adalah orang tua dan anak-anak saling mengasihi, namun mempunyai definisi yang berbeda tentang “apa yang disebut baik”, sehingga masing-masing pihak menginginkan suatu kebaikan yang mungkin malah bertentangan dengan pihak yang lain, yang pada akhirnya tidak mendatangkan kebaikan. Pada akhirnya masing-masing pihak harus menyadari bahwa kebaikan yang mutlak adalah bersatu dengan Allah di dalam Kerajaan Sorga, karena itulah kehidupan kekal.
Jadi, kita harus tetap menghormati dan mengasihi orang tua kita, walaupun mereka telah menimbulkan kemarahan kita. Kalau Yesus menginginkan kita untuk mengampuni dan mengasihi musuh kita, apalagi terhadap orang tua yang melahirkan dan membesarkan kita. Dalam situasi seperti ini, anak tersebut harus minta rahmat Tuhan, agar diberikan hati yang mengampuni, dan menerapkan kasih secara bijaksana – yang tidak dapat dipisahkan dengan kebenaran. Anak tersebut juga harus mendoakan orang tuanya, agar Tuhan sendiri yang mengubah hati orang-tuanya. Dalam beberapa kesempatan ajaklah orang tua untuk berdiskusi dari hati ke hati, sehingga kesalahpahaman dapat diselesaikan dengan dasar kasih. Semoga dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Salam damai,
Suatu petunjuk dari Bapa di Surga karena saya menemukan artikel ini, semoga teman2 dapat membantu memberikan masukan buat saya, dalam menghadapi masalah saya.
Sebagai sorang pria berumur 30 thn saya tentunya berencana tuk menikah, sudah 5 thn ini saya berpacaran secara Backstreet dari orang tua dan keluarga saya, karena tradisi dan kepercayaan keluarga yg melarang hubungan kami, dimana menurut orang tua saya, orang2 dari daerah tertentu itu pasti tidak baik, dan saya menurut mereka telah terkena “pelet” pacar saya, yang kebetulan orang tuanya berasal dari daerah yang ortu saya tidak setuju, sedang pacar saya sendiri lahir di jakarta dan juga seorang dengan iman katolik.
kami berencana menikah tahun ini, saya hendak menyampaikan hal ini ke keluarga saya, tetapi belum sempat menyampaikan hal ini, ortu dan keluarga saya sudah “mengingatkan” saya untuk tidak durhaka sama orang tua.
menurut teman2 sebaiknya saya bagaimana?
karena jujur saja saya sedang bimbang dan sedikit kehilangan arah, karena selain hal ini masalah lain pun yang “bertabrakan” dengan keluarga dan ortu saya pun terus bermunculan.
apakah saya “melawan orang tua” saya dan menjadi anak durhaka karena keinginan menikah kami yg bertentangan dengan ortu saya atau bagaimana?
mohon masukannya
Aldi.
Shalom Aldi,
Memang tidak mudah keadaannya jika sampai sekarang hubungan anda dengan pacar anda tidak mendapat restu dari orang tua. Namun pertanyaannya adalah: apakah anda dan pacar anda sudah cukup berusaha untuk mengambil hati orang tua anda? Apakah sudah ada usaha yang anda lakukan untuk membuktikan bahwa sangkaan orang tua terhadap pacar anda itu keliru? Dan untuk melakukan ini tentu anda sendiri harus yakin terlebih dahulu, bahwa pacar anda tidak seperti yang diduga oleh orang tua anda. Maka mungkin point-point berikut ini dapat anda pertimbangkan:
1. Periksa batin anda, apakah anda sungguh- sungguh mengasihi pacar anda? Apakah sudah ada kecocokan di antara kalian? Apakah pacar anda seorang yang dekat dengan Tuhan, dan karenanya tidak mungkin menggunakan kuasa kegelapan seperti yang dituduhkan orang tua anda? Apakah ada kesalahan yang telah anda atau pacar anda lakukan, sehingga orang tua anda melarang hubungan kalian? Mohon ampunlah kepada Tuhan dalam sakramen Tobat.
2. Jika anda sendiri ragu akan hubungan dengan pacar anda, terutama, jika memang anda pernah mengalami adanya pengaruh- pengaruh kuasa kegelapan, maka sudah selayaknya anda mempertimbangkan kembali hubungan anda dengannya. [Untuk melihat dengan obyektif segala sesuatunya dan membuat keputusan, tentu anda harus tekun berdoa dan memohon petunjuk Tuhan].
3. Namun jika anda sudah ‘sreg‘ dengan pacar anda, dan anda yakin bahwa ia adalah seorang Katolik yang baik dan taat, mulailah dari sekarang untuk berdoa memohon kepada Allah agar melunakkan hati orang tua anda untuk dapat menerima pacar anda sebagai calon menantu.
4. Carilah waktu untuk berbicara dengan orang tua secara serius tentang maksud anda, dan yakinkanlah orang tua anda bahwa pacar anda tersebut tidak melakukan ‘pelet’ atau kuasa gelap lainnya. Yakinkanlah orang tua anda bahwa anda mengasihi mereka, dan tentu tidak ingin menjadi anak durhaka. Mohon maaflah kepada orang tua, jika selama ini anda menyembunyikan hubungan anda dengan pacar anda (back-street)
5. Jika perlu, carilah anggota keluarga lain seperti paman atau bibi yang anda kenal dengan baik, agar mereka dapat menjadi penengah pada saat anda memperkenalkannya kepada orang tua anda.
5. Jika orang tua anda sudah dipertemukan dengan orang tua anda, usahakanlah agar pacar anda dapat memberikan tanda kasih kepada orang tua, dalam hal- hal sederhana. Misalnya, menyapa dengan hormat dan membuka pembicaraan terlebih dahulu jika bertemu/ menelpon. Ajaklah pacar anda terlibat dalam acara keluarga, misal ke gereja bersama, ataupun ajaklah pacar untuk mampir bertemu dengan orang tua anda. Aturlah acara makan bersama antara anda, orangtua dan pacar anda, supaya orang tua anda dapat lebih mengenal pacar anda. Atau, jika pacar anda dapat memasak/ membuat kue, silakan ia membuat makanan/ kue buat orang tua anda. Carilah hal- hal yang disukai oleh orang tua anda, dan sedapat mungkin anda dan pacar anda dapat mengusahakannya.
6. Dalam Masa Prapaska ini, di samping anda merenungkan kisah sengsara Tuhan Yesus, berdoalah dan berpuasalah juga untuk intensi anda ini. Mohonlah agar Tuhan menguatkan anda untuk mengatasi pergumulan anda ini, dan agar Tuhan memberikan yang terbaik bagi anda.
Di atas segalanya, serahkan segala rencana anda ke dalam tangan Tuhan. Jika anda menjalani semua pergumulan hidup ini bersama Tuhan maka Tuhan akan membuka jalannya bagi anda dan akan turut bekerja dalam segala sesuatu. Apapun yang terjadi tetap akan mendatangkan kebaikan bagi anda (lih. Rom 8:28).
Teriring doa dari kami di Katolisitas.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan, Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Shalom Romo & pengasuh Katolisitas,
Jika ada keadaan dimana kedua orang-tua (ayah&ibu) kurang berpartisipasi (atau hampir dapat dikatakan tidak berpartisipasi) dalam memberikan penghidupan dan mendidik anak2nya, termasuk dalam pendidikan iman sejak anak2 tersebut kecil hingga menjadi dewasa dan anak2 itupun yang dibaptis katolik kemudian tumbuh dan diasuh oleh orang yang berbeda2 dari anggota keluarga terdekat lain (kakek, nenek, paman, bibi dll), maka menurut ajaran Gereja Katolik, bagaimana dan seberapa jauh anak2 tersebut harus menaati dan mematuhi perintah dan tuntutan ayah dan ibunya sendiri?
Keadaan lain adalah ke dua orang-tua berpisah dan kemudian mempunyai hubungan dengan orang dewasa lain hingga mempunyai anak lain diluar pernikahan. Dan juga berbagai tindakan dan keadaan2 lain yang diketahui oleh anak2 dari ke dua orang-tua itu telah melanggar perintah Allah dan tidak bertanggung-jawab.
Tapi disisi lain, anak2 dari ke dua orang-tua itu, yang telah menjadi dewasa, berdiri sendiri dan menikah secara katolik masih berusaha supaya hubungan anak-orang tua tetap ada, memberi perhatian dan bantuan finansial, walau tampaknya tidak ada batasan yang sesuai dan cukup hingga tuntutan2pun tetap dan kerap kali timbul. Apakah dengan berdiam diri atau berkata tidak atas bermacam tuntutan dan perintah orang-tua itu adalah melanggar perintah Allah yang ke 4 dari 10 perintah Allah atau perintah/ajaran Allah lainnya, yang mana dihubungkan juga dengan keadaan dimana anak2 tersebut sudah menikah dan masing2 sudah mempunyai keluarganya sendiri?
Terima-kasih.
Shalom Didi,
Terima kasih atas pertanyaannya tentang orang tua yang kurang bertanggungjawab dalam memberikan penghidupan dan bekal iman bagi anak-anaknya. Tentu saja kondisi seperti ini adalah kondisi yang sangat disayangkan dan apa yang dilakukan oleh orang tua tersebut tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kristiani. Namun, di satu sisi anak tersebut harus tetap memperlakukan orang tuanya dengan hormat, dengan cara tetap mendengarkan nasehat mereka dan melaksanakan nasehat mereka sejauh tidak bertentangan dengan perintah Allah. Dan anak-anak yang tinggal dengan kakek/nenek/paman/bibi, harus menganggap mereka sebagai orang tua anak-anak tersebut. Ini berarti bahwa anak-anak tersebut juga terikat dalam kewajiban untuk mentaati orang-orang yang berpartisipasi dalam membesarkan anak-anak tersebut, yang mencukupi kebutuhan hidup mereka, yang memberikan kasih sayang kepada mereka, dll. Tentu saja harus diakui anak-anak yang hidup dalam kondisi seperti mempunyai keterikatan yang tidak terlalu kuat dengan orang tuanya dibandingkan dengan keterikatan anak-anak yang hidup secara normal, yang berkumpul dengan orang tuanya. Dengan prinsip-prinsip ini, maka anak-anak yang belum dewasa yang hidup dalam kondisi yang memprihatinkan seperti ini, harus mentaati orang-orang yang membesarkannya dan juga mentaati orang tua mereka. Kita jangan juga melupakan bahwa orang-tua mereka juga turut berpartisipasi dengan Tuhan untuk membawa anak-anak tersebut ke dunia.
Keadaan yang lain, yaitu tinggal dengan orang tua yang bercerai, maka sebelum anak tersebut dewasa, anak tersebut juga tetap mempunyai kewajiban untuk mentaati mereka, meskipun salah satunya bukanlah ayah atau ibu kandung. Mereka telah berpartisipasi dalam memberikan kehidupan bagi sang anak, dengan mencukupi kebutuhan anak tersebut. Biarlah orang tua tersebut mempertanggungjawabkan perbuatan mereka yang salah di hadapan Tuhan.
Dan setelah anak tersebut tumbuh dewasa dan dapat berdiri sendiri, maka sudah sepantasnya anak tersebut memperhatikan orang tua kandung dan orang tua asuh. Sampai seberapa jauh seorang anak membantu orang tuanya, diperlukan suatu kebijaksanaan. Memang ada orang tua yang benar-benar menuntut anaknya untuk memberikan bantuan keuangan yang melebihi apa yang dapat ditanggung oleh sang anak. Dan kalau sampai tuntutan ini merusak keluarga sang anak, termasuk hubungan dengan istri dan juga anak-anak – misalkan sampai tidak dapat mencukupi kebutuhan rumah tangganya sendiri, maka hal ini juga tidak dapat dibenarkan. Bawalah permasalahan ini dalam doa, sehingga Tuhan memberikan kebijaksanaan (prudence) dalam menentukan besarnya bantuan dan pada saat yang bersamaan tetap mempunyai keluarga yang rukun dan harmonis. Dan, yang terpenting diskusikan secara terbuka dengan istri, sehingga tidak ada rahasia di dalam kehidupan berkeluarga. Terbukalah juga dengan orang tua anda, dan diskusikan kemampuan anda untuk membantu orang tua anda. Diskusikan juga dengan saudara-saudara, sehingga mungkin dapat dicapai kesepakatan untuk bergotong royong membantu orang tua. Kalau anda telah membantu orang tua sesuai dengan kemampuan anda, maka anda tidak berdosa terhadap orang tua anda. Akan berdosa kalau misalkan orang tua anda sampai harus makan 1x sehari sedangkan keluarga anda setiap bulan pergi berlibur ke Bali. Namun tidaklah berdosa kalau orang tua anda makan 1x sehari, karena keluarga anda juga makan 1x sehari. Dalam hal ini, anda yang paling tahu kondisi keluarga dan orang tua anda. Saya tahu bahwa hal ini adalah hal yang sulit. Namun, cobalah menghadapinya dengan prinsip keterbukaan, kebijaksanaan dan kasih. Semoga dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Shalom pak Stef,
Berbicara secara penuh pengertian dengan orang-tua, yang (maaf) kurang atau tidak bertanggung-jawab, yang tidak mempunyai pekerjaan tetap sejak dahulu (bila ada rejekipun akhirnya kemudian habis tidak tahu kemana), mempunyai anak diluar pernikahan yang umurnya tidak berbeda jauh dengan anak saya sendiri dan dari awal tidak kenal siapa ibu dari anak tersebut (dimana kejadian ini bukan merupakan kejadian pertama kalinya), yang berhutang dengan orang2 lain tanpa bayar dan juga tindakan2 tidak bertanggung-jawab lainnya, maka untuk berbicara dan berdiskusi adalah hal yang sulit dilakukan.
Dan bila ada nasehat yg terdengar baik dan bijak, maaf, nasehat itu lebih berlaku untuk orang-lain tapi tidak untuk dirinya sendiri.
Kesepakatan membantu orang-tua kandung oleh anak2 mereka yang telah dewasa dan mempunyai keluarga sendiri2 juga bukan hal yang mudah untuk dilakukan, bisa dimengerti karena masing2 mempunyai tingkat kebutuhan keluarga sendiri2 dan cita2 serta tanggung-jawab besar lainnya yaitu kepada anak2 dan keluarga intinya sendiri2.
Maka untuk membantu sesuai dengan ‘kemampuan’ masing2 anakpun menjadi pergumulan, apakah berdasarkan jumlah semaksimal yang dipunya, tapi bila hal ini dilakukan maka bisa menganggu/merusak hubungan dengan anggota keluarga lainnya di dalam keluarga/rumah tangga masing2 dari anak tersebut?
Kebutuhan dasar orang-tua kandung untuk dapat makan paling tidak tiga kali sehari, tempat untuk tinggal, ada pakaian yang layak dan bila sakit (yang terkadang seharusnya bisa dicoba untuk dihindarkan dengan mengatur diri dengan mengurangi/meninggalkan kebiasaan buruk sesuai anjuran dokter demi kesehatan) ada pengobatan, dicoba untuk dipenuhi. Perhatian dan hubungan anak-orang tua berusaha untuk tetap ada. Tapi, tampaknya itu semua tidak cukup layak.
Ditambah kepentingan dan kebutuhan orang2 berbeda yang telah berpartisipasi membesarkan, yang perlu dihormati dan didengarkan, karena mereka adalah orang-tua (asuh) juga. Situasi yang tidak mudah.
Dengan tidak bermaksud untuk tidak menghormati orang-tua dan bukan juga berarti tidak mengasihi mereka, tapi bila ada berbagai keadaan untuk tetap menaati kemauan dan perintah untuk kepentingan orang-tua tersebut (yang ‘meminta’ uang, yang turut menanggung akibat atas ketidak-bertanggung-jawaban tindakan orang-tua, mis. atas anak2 yang lahir diluar pernikahan dll) karena biar bagaimanapun kita sebagai seorang anak dewasa harus menghormati dan mengasihi, maka situasi itu menimbulkan pertanyaan dan perasaan tidak nyaman, karena membiarkan bahkan mungkin secara tidak langsung membantu memungkinkan keadaaan hingga keadaan tersebut berulang2. Dan memberikan kesan terhadap orang sekeliling bahwa, perbuatan tidak bertanggung-jawab dan tidak sesuai dengan ajaran Allah tersebut adalah biasa. Terutama bahwa, anak2 yang ada dalam keluarga anak2 dewasa tersebut , yang sedang bertumbuh dan akan menjadi dewasa nanti dapat melihat dan beranggapan bahwa hal itu adalah sesuatu yang biasa juga.
Bagaimana definisi harus menghormati orang-tua dan juga mengasihi mereka dalam keadaan tersebut yang sesuai dengan pengajaran Gereja Katolik?
Terimakasih atas pencerahannya.
Shalom Didi,
Terima kasih atas keterbukaannya dalam menceritakan keadaan keluarga. Memang situasi yang dihadapi oleh anda begitu sulit, dan mungkin jarang sekali keluarga yang mengalami keadaan seperti itu. Mungkin ada baiknya memang beban ini didiskusikan dengan anggota keluarga yang lain (kakak-kakak dan adik-adik), sehingga mereka semua dapat turut berpartisipasi dalam membantu masalah yang berkelanjutan ini. Dan perlu juga didiskusikan untuk membagi beban, tanpa harus merusak kehidupan rumah tangga masing-masing. Apakah mungkin dipikirkan suatu cara untuk membantu orang tua dan juga anak-anak yang lain, tanpa memberikan uang secara langsung? Dengan demikian, maka tidak ada uang yang dapat disalahgunakan, namun pada saat yang bersamaan dapat membantu mereka. Yang saya bicarakan di sini adalah seperti: memberikan rantangan dan bukan memberikan uang makan, atau membayar uang sekolah secara langsung, namun tidak memberikan uangnya kepada orang tua, dll. Semuanya ini perlu dirundingkan dengan saudara-saudari. Saya juga mengusulkan agar Didi mencoba untuk berkonsultasi dengan pastor, yang mungkin dapat sekaligus menjadi spiritual director, sehingga anda terbantu dalam menentukan sikap. Kami turut mendoakan agar anda dan keluarga dapat menghadapi permasalahan ini bersama Yesus.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Terimakasih atas doa dan sarannya, pak Stef. Saya juga bersyukur dengan kehadiran situs ini, semoga karya kerasulan yang dijalankan akan terus bertumbuh dan tidak putus.
GBU,
Didi
dari kutipan ini
“maka kita tahu bahwa kita tetap harus mentaati orang tua sampai kita dewasa dan berdiri sendiri”
yg Pak Stef maksudkan dengan berdiri sendiri ini apa? memiliki sumber penghasilan sendiri?
Shalom Alexander Pontoh,
Terima kasih atas pertanyaan lanjutan tentang perintah ke-4. Berdiri sendiri dalam hal ini tidak lagi tinggal bersama dengan orang tua, telah membentuk keluarga sendiri, telah dewasa sehingga dapat mengambil keputusan sendiri, namun hal ini tetap harus diimbangi dengan tetap menghormati orang tuanya. Di satu sisi, perlu ditegaskan bahwa walaupun seseorang masih tinggal bersama dengan orang tua, maka seorang anak juga tidak dapat mematuhi kehendak orang tuanya, yang berlawanan dengan iman. Sebagai contoh, kalau orang tua memaksa anaknya – yang masih tinggal bersama dengan orang tuanya – untuk melakukan aborsi, karena hal ini bertentangan dengan hukum Allah. Semoga dapat memperjelas.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Cukup jelas. Terima Kasih Pak Stef
Dari 10 perintah Allah. Perintah ke 4 adalah Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu. (Keluaran 20:12)
Jadi… kita harus taat kepada orang tua kita. Adakah saat dimana kita harus tidak taat? Mis : orang tua yang menyuruh seorang anak perempuan untuk mengaborsi janin yang dikandungnya (karena hamil diluar nikah)
Dengan apakah kita sebagai anak harus memfilter kapankah harus mentaat orang tua? dan kapankah kita harus/boleh “melawan” orang tua?
[dari katolisitas – silakan melihat jawaban di atas – silakan klik]
Comments are closed.