Hari ini untuk pertama kalinya adalah Rabu Abu tanpa abu bagiku. Pagi-pagi aku dan suamiku bangun untuk bisa merayakan misa Rabu Abu di gereja Santa Barbara di dekat rumah. Seperti hari-hari yang lain, misa hari ini dihadiri tidak lebih dari empat puluhan umat.  Setelah Homili dan bahkan Komuni selesai, semakin jelas bagi kami bahwa di gereja di Milan tempat kami bermukim ini tidak ada pembagian salib abu di hari Rabu Abu.  Aku dan suamiku berpisah di halaman gereja karena ia harus ke kantor dan aku sendiri melangkah pelan kembali ke arah rumah kami. Cuaca menjelang berakhirnya musim dingin menuju datangnya musim semi di hari-hari ini sangat cerah. Matahari tidak pernah lupa untuk mampir di langit yang biru menghamburkan cahayanya yang hangat dan ceria. Sambil menikmati pemandangan sekitar yang dipenuhi pepohonan yang belum mulai berdaun kembali, aku setengah melamun masih memikirkan absen-nya abu di perayaan misa yang baru saja kuhadiri. Walaupun tidak ada abu, hari-hari di Milan saat musim dingin yang hampir berlalu ini begitu akrab dengan warna abu-abu. Tidak hanya pepohonan yang tidak berdaun dan hanya menampilkan batang dan rantingnya yang berwarna kelabu, tetapi juga pakaian musim dingin orang-orang dimanapun aku berjumpa selalu bernuansa abu-abu atau hitam dan coklat tua. Belum lagi sering absen-nya matahari karena selalu tertutup awan tebal atau hujan salju yang renyai. Mungkin orang di sini sudah kenyang dengan warna abu di musim dingin sehingga tidak merasa perlu adanya abu di hari Rabu Abu, pikirku mencoba bercanda dengan diri sendiri. Teringat saat pelajaran menggambar di sekolah dulu, aku bisa mendapatkan warna kelabu dengan mencampurkan warna putih dengan warna hitam. Semakin banyak warna hitam yang aku campurkan, semakin gelap warna kelabu yang dihasilkan.  Pergulatan batin manusia juga selalu ditarik ke dua arah putih dan hitam,  negatif dan positif, mudah dan sulit, sukacita dan dukacita, dingin dan ramah, optimis dan pesimis, rajin dan malas, pelit dan murah hati.  Walau tentang baik dan buruk kadang tidak selalu bisa diambil batas yang jelas. Banyak hal berada di wilayah abu-abu. Mungkin karena kita tidak pernah sepenuhnya hitam atau sepenuhnya putih tetapi selalunya komposisi dari keduanya.

Dalam masa masa berpantang dan berpuasa ini warna abu mengingatkanku untuk mengatur keseimbangan komposisi hitam dan putih yang menjadi pilihan-pilihanku setiap hari. Warna-warna hitam kegelisahan, iri hati, kemalasan, kesombongan, kehilangan harapan, diimbangi dengan warna-warna cerah dari kemurahan hati, belaskasihan, solidaritas, harapan, kasih pengampunan dan pengorbanan. Pergulatanku setiap hari untuk memadukan dua warna yang berbeda ini akan menghasilkan komposisi warna yang akhirnya akan mewarnai seluruh hari-hariku dan relasiku dengan sesama dan Tuhan.  Semuanya kembali kepada diriku. Kadang memilih untuk mencampurkan lebih banyak warna putih sangat berat dan ‘makan hati’ , tetapi aku teringat kepada perumpamaan yang diberikan Yesus kepada para murid, “Demikian pula hal Kerajaan Surga itu seumpama seorang pedagang yang mencari mutiara yang indah. Setelah ditemukannya mutiara yang sangat berharga, ia pun pergi menjual seluruh miliknya lalu membeli mutiara itu”. Bagaimanapun beratnya, keputusanku dan kesadaranku untuk mencampurkan lebih banyak warna putih setiap hari mengantarkanku kepada harta mutiara yang terindah yang tersembunyi yang hanya bisa ditemukan dalam warna abu-abu muda yang tidak terlalu banyak warna hitamnya.

Beberapa waktu setelah hari itu, baru aku mengetahui bahwa pemberian abu di gereja Katolik di Milan ternyata dilakukan pada hari Minggu pertama masa PraPaskah dengan cara penaburan abu di ubun-ubun kepala. Akhirnya semua menjadi jelas bagiku setelah sahabatku, Shirley Hadisandjaja, seorang Katolik yang menikah dengan pria Italia dan bermukim di Milan, menjelaskan hal berikut ini:

Semua paroki di bawah Keuskupan Agung Milan memakai ritus Katolik Ambrosian. Keuskupan Agung Milan sering pula disebut Keskupan Ambrosian. Keuskupan Ambrosian ini mengepalai paroki di propinsi Milano, Varese, Lecco, sebagian paroki di propinsi Como dan beberapa paroki di Bergamo dan Pavia. Dinamakan Ambrosian karena mengambil nama dari pendiri ritus ini dan Santo Pelindungnya yaitu Santo Ambrosius, yang sangat dihormati dan dicintai dan merupakan salah satu Santo Pelindung terpenting di Negara Italia.

Ritus Ambrosian sendiri adalah ritus Liturgi dari Gereja Katolik Milanese, yang berbeda dengan ritus Gereja Katolik Roma. Ritus Ambrosian berasal dari tradisi yang kuat dan masuk ke dalam liturgia Milanese. Ritus Ambrosian ini sebelum pengesahannya, telah menderita dari berbagai kritik akan keberadaannya, meskipun para pengikut Santo Ambrosius ini menyatakan setia terhadap Gereja Roma. Ritus Ambrosian menerima pengesahan dan pengakuannya dari Gereja Katolik Roma pada Konsili di Trento, di mana salah satu tokoh dari Konsili Trento adalah Santo Carlo Borromeo (St. Carolus Borromeus), seorang Santo Milanese.

Perayaan Misa dalam ritus Ambrosian menghadirkan elemen yang sama dengan Misa ritus Roma, namun beberapa diantaranya ditempatkan dalam urutan berbeda, misalnya Salam Damai tidak dilakukan sesaat sebelum penerimaan Komuni, melainkan dilakukan setelah selesai Liturgi Sabda, sebelum persiapan Kolekte. Perbedaan kecil lainnya adalah tidak adanya Agnus Dei (Anak Domba Allah) dan invokasi Kyrie Eleison (Tuhan Kasihanilah) tanpa Christe Eleison yang ada dalam ritus Roma. Hari Sabtu bagi ritus Ambrosian dinyatakan sebagai Hari Raya (bersamaan dengan Hari Minggu), yang melanjutkan tradisi Yahudi.

Karakter liturgia Ambrosian adalah paham Cristocentrismo (berpusat kepada Kristus) yang kuat, yang lahir dari perjuangan menentang heresy Ariana pada jaman Santo Ambrosius, dan kesamaan dengan liturgi oriental, yang diterapkan oleh Santo Ambrosius sendiri sebagai contoh/model bagi Gereja Milanese, namun tetap mengambil aturan-aturan dari Gereja Roma sebagai referensi.

Masa Adven dari ritus Ambrosian adalah 6 minggu dibanding dengan ritus Roma yang 4 minggu. Sedangkan Masa PraPaskah di mulai pada hari Minggu setelah “Rabu Abu” dengan pemberian abu di akhir Misa.

Permulaan PraPaskah dan pemberian abu pada hari Minggu ini membedakan masa dari karnival “baru” (Roma) yang diakhiri dengan “Selasa gemuk” (Mardi Gras) dan karnival “kuno” (Ambrosian) yang berakhir beberapa hari kemudian.

Dalam ritus Roma, hari Minggu tidak dianggap sebagai hari bertobat/penitensi, dan oleh karenanya masa PraPaskah menjadi lebih panjang dan dimulai lebih awal. Sedangkan dalam ritus Ambrosian, hari Minggu dianggap sebagai hari penitensi.

Berbeda pula dalam konsepsi Jumat Agung: bagi ritus Ambrosian, Jumat Agung adalah hari libur Ekaristi, di mana tidak dapat dirayakan Misa, demi menjalankan hidup dengan cara radikal sengsara Kristus, sama halnya dengan Hari Sabtu Suci, demi merayakan dengan lebih khidmat Perayaan Paskah.

Pada hari-hari Minggu masa PraPaskah, sebagaimana tradisi Ambrosian, digarisbawahi pembaptisan, yang mempersiapkan dan membawa katekumen kepada Pembaptisan pada Hari Paskah, dan membimbing umat yang dibaptis untuk menemukan kembali arti dari Sakramen ini, yang mana dalam Kristus yang wafat dan bangkit menjadi anak-anak Allah.

Jadi dalam ritus Roma masa PraPaskah adalah 6 minggu (ditambah beberapa hari yang mana hari Minggu tidak dihitung) dan Masa Adven adalah 4 minggu, sementara dalam ritus Ambrosian semua hari dalam seminggu dihitung sebagai Masa PraPaskah dan baik Masa PraPaskah dan Adven adalah 6 minggu.

Sebuah elemen fundamental dari ritus Ambrosian juga terbentuk dalam lagu “ambrosian”. Adalah Santo Ambrosius sendiri yang pada pertama kalinya dalam liturgia Gereja, pada tahun 386 After Christ memperkenalkan penggunaan lagu-lagu yang bukan berasal dari Mazmur.

Inovasinya ini dengan cepat tersebar ke dalam gereja-gereja dari ritus lainnya. Seperti ritus Gregorian, ritus Ambrosian juga dimodifikasi dalam perjalanan abad dari “penemuan” nya oleh santo Ambrosius, bahkan sampai saat ini dinyatakan sebagai organ musik barat paling antik. Dan untuk memelihara warisan ini telah didirikan institusi PIAMS (Lembaga Musik Kudus Ambrosian) yang bekerjasama dengan Lembaga Musik Kudus Kepausan di Roma. Ritus Ambrosian yang antik dan khidmat ini telah ikut memperkaya Liturgia Gereja Katolik.

San donato, 25 Februari 2009

7 COMMENTS

  1. Tim katolisitas yang terkasih, berikut saya meneruskan pertanyaan dari anggota milis Katolik yang saya ikuti, terimakasih banyak untuk perhatiannya. Ini pertanyaannya:

    Ketika Rabu abu kemarin saya mengikuti misa di Jakarta selatan, yang membuat saya agak aneh ( bagi saya ) adalah ketika prosesi penerimaan abu.

    Seingat saya ( dari kecil ) sampai sekarang ini, penerimaan abu diterimakan langsung oleh para Imam / Bapak Uskup. Tetapi pada waktu itu yang menerimakan adalah beberapa Bapak-bapak petugas Prodiakon…

    Kemudian selain itu,

    Ketika Minggu Palma kemarin, di gereja yang sama pula. Ketika pemercikan daun palma ( prosesi Yesus masuk Yerusalem ) dilakukan pula oleh bapak-bapak petugas prodiakon.

    Yang ingin saya tanyakan :

    Apakah 2 prosesi tersebut diijinkan/ diperbolehkan dilakukan oleh bapak-bapak prodiakon ?

    Mohon tanggapannya.
    Terima kasih…

    cheers

    Lilo

    • Lilo Yth

      Sejauh yang saya tangkap dari pertanyaan anda dan pengetahuan saya ttg liturgi, pro diakon itu bukan diakon tertahbis bukan kelrus dan bukan katekis, dia adalah pelayan luar biasa (minister ekstraordinaria) untuk komuni kudus saat perayaan ekaristi saja. Kewenangan itu diberi oleh Uskup dalam jangka waktu tertentu dengan syarat khusus. Tugasnya dalam keadaan luar biasa ketika kekurangan imam. Praktek yg terjadi bukan saja pembagi komuni tetapi sudah ditambah lagi dengan banyak hal memimpin ibadat sabda tanpa ekaristi, menguburkan orang meninggal, memimpin doa lingkungan dan berkotbah (pada hal kewengan kotbah hanya pada tertahbis: Uskup, Imam dan Diakon) saat misa. Sekarang anda menambah praktek yang keliru, memimpin perarakan dan membagikan abu. Membagi abu bukan tindakan yg dituntut tahbisan juga perarakan namun secara pastoral liturgi kewenangan ada pada Imam selaku pemimpin upacara liturgi maka perarakan harus imam sampai selesai misa. Membagi abu juga sebaiknya imam tidak diberikan kepada prodiakan yang hanya sebenarnya untuk pelayan komuni kudus dalam keadaan luar biasa. Kalau biasa pembagai komuni adalah imam, Uskup, Diakon. Inilah efeknya negatifnya kehadiran prodiakon bisa membuat imam malas dan kurang rajin melayani umatnya.

      salam
      Rm Wanta

  2. Uti yang baik, terima kasih atas penjelasan mengenai ritus Ambrosianus. Dalam penjelasan Anda, bahwa Jumat Agung dan Sabtu Suci tidak ada misa. Sepengetahuan di Gereja Katolik Roma memang demikian, tak terkecuali juga bagi ritus Ambrosian.
    Salam
    Isa

  3. Betul sekali pak Soenardi,
    saya juga berpikir dengan hal yang sama dengan membaca hingga tuntas tulisan di atas… ternyata hanya sebuah pengantar renungan…
    Tapi saya tetap berharap kepada tim katolisitas untuk membantu menjelaskan apakah memang benar praktek liturgi yang demikian terjadi di gereja katolik di milan?
    Terima kasih sebelumnya.

    yang berdosa,
    yohanes yudi

  4. Lho saya kira akan ada penjelasan atas “kekecewaan” menghadiri misa Rabu abu tanpa abu yang berbeda dengan apa yang sudah terlalu biasa kita alami di Indonesia. Bagaimana sebenanrya asal muasalnya dan penjelasannya bisa terjadi misa Rabu abu tanpa abu seperti itu di Milan itu?. Apa ada yang tanya dan apakah ada jawaban dan penjelasan yang dapat mengurangi kebingungan (kekecewaan), sekurang-kurangnya bagi umat Katolik Indonesia yang sudah biasa dengan misa Rabu abu yang ber-abu?
    Soenardi

    • Terimakasih Bapak Soenardi untuk tanggapan dan pertanyaannya terhadap tidak adanya pembagian salib abu pada hari Rabu Abu dalam kisah yang saya tuliskan pada waktu mengikuti Misa Rabu Abu di Milan, Italia tersebut. Mungkin memang sebaiknya saya mencantumkan juga penjelasan secukupnya mengapa di Milan tidak ada abu di hari Rabu Abu, namun karena saat saya menuliskan pengalaman itu, penekanan saya adalah pada refleksi pribadi saya mengenai makna perayaan Rabu Abu bagi saya dibandingkan ritualnya itu sendiri, maka saya tidak mencantumkan penjelasannya sehingga seolah-olah “kebingungan” atau “kekecewaan” saya di dalam cerita itu menggantung tidak terjawab. Pemberian abu di gereja Katolik di Milan ternyata dilakukan pada hari Minggu pertama masa Prapaskah dengan cara penaburan abu di ubun-ubun kepala. Selanjutnya, berikut adalah penjelasan yang bisa saya berikan berdasarkan tulisan teman saya, Shirley Hadisandjaja, seorang Katolik yang menikah dengan pria Italia dan bermukim di Milan.

      Semua paroki di bawah Keuskupan Agung Milan memakai ritus Katolik Ambrosian. Keuskupan Agung Milan sering pula disebut Keskupan Ambrosian. Keuskupan Ambrosian ini mengepalai paroki di propinsi Milano, Varese, Lecco, sebagian paroki di propinsi Como dan beberapa paroki di Bergamo dan Pavia. Dinamakan Ambrosian karena mengambil nama dari pendiri ritus ini dan Santo Pelindung nya yaitu Santo Ambrosius, yang sangat dihormati dan dicintai dan merupakan salah satu Santo Pelindung terpenting di Negara Italia.

      Ritus Ambrosian sendiri adalah ritus Liturgi dari Gereja Katolik Milanese, yang berbeda dengan ritus Gereja Katolik Roma. Ritus Ambrosian berasal dari tradisi yang kuat dan masuk ke dalam liturgia Milanese. Ritus Ambrosian ini sebelum pengesahannya, telah menderita dari berbagai kritik akan keberadaannya, meskipun para pengikut Santo Ambrosius ini menyatakan setia terhadap Gereja Roma. Ritus Ambrosian menerima pengesahan dan pengakuannya dari Gereja Katolik Roma pada Konsili di Trento, di mana salah satu tokoh dari Konsili Trento adalah Santo Carlo Borromeo (St. Carolus Borromeus), seorang Santo Milanese.

      Perayaan Misa dalam ritus Ambrosian menghadirkan elemen yang sama dengan Misa ritus Roma, namun beberapa diantaranya ditempatkan dalam urutan berbeda, misalnya Salam Damai tidak dilakukan sesaat sebelum penerimaan Komuni, melainkan dilakukan setelah selesai Liturgi Sabda, sebelum persiapan Kolekte. Perbedaan kecil lainnya adalah tidak adanya Agnus Dei (Anak Domba Allah) dan invokasi Kyrie Eleison (Tuhan Kasihanilah) tanpa Christe Eleison yang ada dalam ritus Roma. Hari Sabtu bagi ritus Ambrosian dinyatakan sebagai Hari Raya (bersamaan dengan Hari Minggu), yang melanjutkan tradisi Yahudi.

      Karakter liturgia Ambrosian adalah paham Cristocentrismo (berpusat kepada Kristus) yang kuat, yang lahir dari perjuangan menentang heresy Ariana pada jaman Santo Ambrosius, dan kesamaan dengan liturgi oriental, yang diterapkan oleh Santo Ambrosius sendiri sebagai contoh/model bagi Gereja Milanese, namun tetap mengambil aturan-aturan dari Gereja Roma sebagai referensi.

      Masa Adven dari ritus Ambrosian adalah 6 minggu dibanding dengan ritus Roma yang 4 minggu. Sedangkan Masa PraPaskah di mulai pada hari Minggu setelah “Rabu Abu” dengan pemberian abu di akhir Misa.

      Permulaan PraPaskah dan pemberian abu pada hari Minggu ini membedakan masa dari karnival “baru” (Roma) yang diakhiri dengan “Selasa gemuk” (Mardi Gras) dan karnival “kuno” (Ambrosian) yang berakhir beberapa hari kemudian.

      Dalam ritus Roma, hari Minggu tidak dianggap sebagai hari bertobat/penitensi, dan oleh karenanya masa PraPaskah menjadi lebih panjang dan dimulai lebih awal. Sedangkan dalam ritus Ambrosian, hari Minggu dianggap sebagai hari penitensi.

      Berbeda pula dalam konsepsi Jumat Agung: bagi ritus Ambrosian, Jumat Agung adalah hari libur Ekaristi, di mana tidak dapat dirayakan Misa, demi menjalankan hidup dengan cara radikal sengsara Kristus, sama halnya dengan Hari Sabtu Suci, demi merayakan dengan lebih khidmat Perayaan Paskah.

      Pada hari-hari Minggu masa PraPaskah, sebagaimana tradisi Ambrosian, digarisbawahi pembaptisan, yang mempersiapkan dan membawa katekumen kepada Pembaptisan pada Hari Paskah, dan membimbing umat yang dibaptis untuk menemukan kembali arti dari Sakramen ini, yang mana dalam Kristus yang wafat dan bangkit menjadi anak-anak Allah.

      Jadi dalam ritus Roma masa PraPaskah adalah 6 minggu (ditambah beberapa hari yang mana hari Minggu tidak dihitung) dan Masa Adven adalah 4 minggu, sementara dalam ritus Ambrosian semua hari dalam seminggu dihitung sebagai Masa PraPaskah dan baik Masa PraPaskah dan Adven adalah 6 minggu.

      Sebuah elemen fundamental dari ritus Ambrosian juga terbentuk dalam lagu “ambrosian”. Adalah Santo Ambrosius sendiri yang pada pertama kalinya dalam liturgia Gereja, pada tahun 386 After Christ memperkenalkan penggunaan lagu-lagu yang bukan berasal dari Mazmur.

      Inovasinya ini dengan cepat tersebar ke dalam gereja-gereja dari ritus lainnya. Seperti ritus Gregorian, ritus Ambrosian juga dimodifikasi dalam perjalanan abad dari “penemuan” nya oleh santo Ambrosius, bahkan sampai saat ini dinyatakan sebagai organ musik barat paling antik. Dan untuk memelihara warisan ini telah didirikan institusi PIAMS (Lembaga Musik Kudus Ambrosian) yang bekerjasama dengan Lembaga Musik Kudus Kepausan di Roma. Ritus Ambrosian yang antik dan khidmat ini telah ikut memperkaya Liturgia Gereja Katolik.

      Demikian penjelasan yang dapat saya bagikan di sini tentang Ambrosian Rites (Ritus Ambrosian) yang dipakai oleh seluruh gereja Katolik di kota Milan, Italia, dimana saya dulu sempat bermukim selama 14 bulan. Sekali lagi terimakasih untuk pertanyaan Bpk Soenardi.
      Salam kasih,
      Uti

Comments are closed.