Pertanyaan:
Apakah benar Gereja lambat dalam merespon isu mengenai doktrin iman dan permasalahan perihal penggembalaan?
Dear Katolisitas.org
Dalam kesempatan ini aku hendak bertanya, “Apakah benar Gereja lambat dalam merespon isu mengenai doktrin iman dan permasalahan perihal penggembalaan?”
Pertanyaan ini muncul ketika belajar tentang Sejarah Gereja dan juga kejadian akhir-akhir ini. Aku ambil contoh, Konsili Trente dalam menanggapi gerakan protestanisme. Artikel dalam Wikipedia tentang Konsili Trente mengisahkan bahwa Konsili ini diadakan hampir sesaat setelah Luther akan menemui ajalnya. Kita sama-sama mengetahui kalau Konsili diadakan dari tahun 1545-1563, sebagai salah satu konsili terpanjang. Sebagai gambaran, Luther mengumumkan 95 tesisnya yang terkenal ini pada tahun 1517, tepatnya tanggal 31 Oktober di Wittenberg, 27 tahun berselang hingga Konsili Trente diadakan. Suatu waktu yang cukup lama sehingga Protestanisme berkembang dan tumbuh subur, hingga saat ini kita rasakan, terlebih di Indonesia yang dalam sejarahnya dijajah oleh Belanda yang notabene penganut ajaran Calvin, jadi Protestanisme sedikit banyak tumbuh di tengah mayoritas Islam.
Contoh yang lain lagi tentang isu rasionalisme yang berkembang di awal abad 20 sebagai manifestasi dari Aufklarung (berawal dari Rennaisance) atau The Enlightment, atau “Terang Budi”, suatu periode filsafat yang mengutamakan akal budi, kemajuan teknologi dan gerbang menuju dunia Modern, begitu pula kekuatan pemikiran modern mulai memasuki ranah filsafat teologi, dan akhirnya Gereja merespon dengan Konsili Vatikan I.
Memang kita mengetahui kalau Gereja sangat berhati-hati sekali dalam menanggapi suatu isu yang berkembang di dalam Gereja. Juga seringkali bertahap, dari diterbitkannya Motu Proprio, lalu Ensiklik, juga terkadang melalui sidang Gereja lokal setempat seperti Sinode para Uskup, barulah menyusul Konsili baik yang bersifat pastoral maupun dogmatis. Tetapi seringkali isu tersebut justru telah menyebar luas dan menyebabkan perpecahan di dalam Gereja itu, juga konsili sekalipun walau menegaskan ajaran iman, tak jarang pula perpecahan tetap ada dan menjadi problem yang berkepanjangan.
Bagaimana menjawab fenomena ini?
Julius Paulo
Jawaban:
Shalom Julius Paulo,
Dalam menyikapi adanya fakta sejarah dan kejadian di sekitar kita, yang tak selamanya baik, dan inipun terjadi juga di dalam sejarah Gereja Katolik, kita perlu mempunyai keyakinan, bahwa apapun yang terjadi Tuhan tidak pernah “kalah set”, sebab God is in control, sebab Ia “turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.” (Rom 8:28). Jadi walaupun terjadi hal- hal yang negatif sekalipun, walaupun menurut pandangan manusiawi sepertinya Gereja “terlambat menyikapi”, namun kita harus percaya bahwa Allah tetap dapat bertindak untuk mendatangkan kebaikan, bahkan melalui keadaan- keadaan semacam ini. Sebab jika sampai Gereja memberi waktu/ tidak langsung memberi ultimatum terhadap seseorang/ suatu gerakan yang menyimpang, sebenarnya antara lain untuk memberi kesempatan kepada orang yang bersangkutan untuk bertobat dan kembali ke persekutuan dengan Gereja Katolik. Baru setelah upaya- upaya dialog tidak berhasil, maka Gereja melakukan Konsili untuk meluruskan pengajarannya.
Yakin akan campur tangan Allah, bukannya berarti kita tidak perlu bertindak apa-apa untuk membangun Gereja. Tetapi jika kita sudah melakukan bagian kita, kita tidak perlu terlalu “dipusingkan” dengan keadaan yang sudah lewat. Misalnya, bahwa melalui Reformasi, terbentuk gereja Protestan yang memisahkan diri dari Gereja Katolik, atau melalui kemajuan teknologi dan gerakan rationalisme, maka dunia dewasa ini banyak diwarnai prinsip relativisme dan sekularisme. Ini adalah sesuatu yang sudah terjadi, dan memang sekarang adalah tantangan bagi kita kaum beriman untuk hidup sesuai dengan panggilan kita sebagai murid Kristus, di tengah keadaan dunia yang sedemikian. Adanya bermacam denominasi gereja juga dapat memberi motivasi kepadakita umat Katolik untuk semakin mengenal dan mendalami iman kita, menyebarkannya, dan berdoa bagi persatuan Gereja.
Maka jika kita membaca dokumen Konsili Vatikan II, kita melihat semangat Gereja untuk menanggapi keadaan dunia yang berkembang di dunia masa kini, tidak selalu dengan konotasi yang negatif, sebab kita percaya Tuhan tetap masih dan akan tetap dapat berkarya dapam keadaan apapun juga. Tuhan tetap dapat memakai setiap anggota Gereja-Nya untuk membangun Gereja dari dalam, dan panggilan ini adalah untuk anda dan saya juga. Yang sudah berlalu, biarlah berlalu, sekarang yang terpenting adalah saat ini dan bagaimana ke depannya. Itu yang menjadi tanggung jawab kita semua, untuk menyebarkan Terang Kristus ke seluruh dunia, mulai dari lingkungan di sekitar kita sendiri: keluarga, kerabat dan lingkungan kerja dan komunitas kita.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org
Apakah benar Gereja lambat dalam merespon isu mengenai doktrin iman dan permasalahan perihal penggembalaan?
Dear Katolisitas.org
Dalam kesempatan ini aku hendak bertanya, “Apakah benar Gereja lambat dalam merespon isu mengenai doktrin iman dan permasalahan perihal penggembalaan?”
Pertanyaan ini muncul ketika belajar tentang Sejarah Gereja dan juga kejadian akhir-akhir ini. Aku ambil contoh, Konsili Trente dalam menanggapi gerakan protestanisme. Artikel dalam Wikipedia tentang Konsili Trente mengisahkan bahwa Konsili ini diadakan hampir sesaat setelah Luther akan menemui ajalnya. Kita sama-sama mengetahui kalau Konsili diadakan dari tahun 1545-1563, sebagai salah satu konsili terpanjang. Sebagai gambaran, Luther mengumumkan 95 tesisnya yang terkenal ini pada tahun 1517, tepatnya tanggal 31 Oktober di Wittenberg, 27 tahun berselang hingga Konsili Trente diadakan. Suatu waktu yang cukup lama sehingga Protestanisme berkembang dan tumbuh subur, hingga saat ini kita rasakan, terlebih di Indonesia yang dalam sejarahnya dijajah oleh Belanda yang notabene penganut ajaran Calvin, jadi Protestanisme sedikit banyak tumbuh di tengah mayoritas Islam.
Contoh yang lain lagi tentang isu rasionalisme yang berkembang di awal abad 20 sebagai manifestasi dari Aufklarung (berawal dari Rennaisance) atau The Enlightment, atau “Terang Budi”, suatu periode filsafat yang mengutamakan akal budi, kemajuan teknologi dan gerbang menuju dunia Modern, begitu pula kekuatan pemikiran modern mulai memasuki ranah filsafat teologi, dan akhirnya Gereja merespon dengan Konsili Vatikan I.
Memang kita mengetahui kalau Gereja sangat berhati-hati sekali dalam menanggapi suatu isu yang berkembang di dalam Gereja. Juga seringkali bertahap, dari diterbitkannya Motu Proprio, lalu Ensiklik, juga terkadang melalui sidang Gereja lokal setempat seperti Sinode para Uskup, barulah menyusul Konsili baik yang bersifat pastoral maupun dogmatis. Tetapi seringkali isu tersebut justru telah menyebar luas dan menyebabkan perpecahan di dalam Gereja itu, juga konsili sekalipun walau menegaskan ajaran iman, tak jarang pula perpecahan tetap ada dan menjadi problem yang berkepanjangan.
Bagaimana menjawab fenomena ini?
Julius Paulo
[Dari Katolisitas: pertanyaan ini sudah dijawab di atas, silakan klik]
Comments are closed.