[Hari Minggu Biasa ke XIV: Za 9:9-10; Mzm 145:1-14; Rm 8:9,11-13; Mat 11:25-30]
Suatu kali aku menonton reality show yang cukup menarik di TV. Seorang pemilik perusahaan besar di Amerika menyamar menjadi seorang yang melamar untuk bekerja menjadi pegawai di salah satu cabang perusahaannya sendiri. Ia menyamar sehingga wajahnya nampak sama sekali berbeda dengan wajahnya yang asli. Menarik disimak, bagaimana pegawainya sendiri bersikap terhadapnya, yang dianggap sebagai seorang “pendatang baru” yang tidak tahu apa-apa. Dengan seksama, sang pemilik itu melihat bagaimana para pegawainya itu melaksanakan tugas mereka, dari tugas menerima, menginterview sampai memberi pelatihan kepada pegawai baru. Dari sini, ia mengetahui, siapa yang bersikap ramah, cuek atau yang bahkan meremehkannya. Di akhir acara, dibukalah rahasia kepada semua pegawai, bahwa sang pendatang baru itu ternyata adalah sang pemilik dan pemimpin tertinggi perusahaan. Oops! Betapa malunya mereka yang telah merendahkannya!
Walau tak sebanding, mungkin seperti inilah yang akan terjadi di saat Penghakiman Terakhir. Betapa kikuknya orang-orang yang pernah menyombongkan diri di depan Tuhan Yesus! Betapa malunya orang-orang yang pernah menghina dan menganiaya Dia! Sebab Yang dianiaya itu ternyata adalah Allah, Sang Empunya segala sesuatu! O, Tuhan, hindarkanlah aku dari sikap sombong, dan dari dosa-dosaku yang melukai hati-Mu! Sebaliknya, betapa terpujinya orang-orang yang mengenali Yesus, menghormati, mengasihi-Nya, dan dengan kerendahan hati melayani Dia. O, betapa inginnya aku terbilang di antara para kudus ini!
Di Bacaan Injil hari ini kita mendengar perkataan Yesus kepada Allah Bapa, “Aku bersyukur kepada-Mu ya Bapa, … sebab misteri Kerajaan Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil. Ya Bapa, itulah yang berkenan kepada-Mu” (Mat 11:25-30). Para Bapa Gereja mengaitkan orang-orang yang bijak dan pandai ini dengan para ahli Taurat dan orang Farisi, dan orang-orang sederhana ini dengan para rasul dan murid Yesus. Para ahli Taurat dan kaum Farisi itu begitu dibutakan oleh kesombongan mereka sendiri, sehingga tidak dapat mengenali Yesus yang adalah penggenapan dari segala yang mereka pelajari. Sedangkan para murid Yesus adalah orang-orang kecil dan sederhana, orang-orang yang tidak berkutat pada pengertian sendiri, sehingga hati mereka terbuka dan dapat mengenali Yesus sebagai Mesias. Tersingkaplah bagi mereka misteri Kerajaan Allah, yang telah sekian lama tersembunyi! Pernahkah kita berpikir, jika kita dulu hidup di zaman Yesus, termasuk golongan manakah kita, para murid Yesus atau kaum Farisi? Dapatkah kita mengenali Dia sebagai Mesias dan percaya kepada-Nya? Atau sebaliknya?
Mungkin kita berujar, untunglah kita tidak hidup di zaman Yesus! Eits! Jangan senang dulu! Sebab Yesus berkata, “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40). Artinya, meski kita tidak hidup di zaman Yesus, namun sikap kita kepada-Nya diukur dari bagaimana kita memperlakukan orang-orang yang dipandang paling hina. Maka menjadi semakin make sense bagiku, mengapa Tuhan Yesus sangat berkenan kepada para orang kudus yang membaktikan hidup mereka untuk menolong orang-orang yang sakit dan miskin, yang yatim piatu dan terpinggirkan… Sebab mereka itu sungguh telah mengikuti teladan Yesus, yang telah merendahkan diri-Nya, turun dari Surga, untuk menolong kita semua di dunia yang “sakit” karena dosa. Para santo dan santa itu, dalam berbagai cara telah memberi contoh kerendahan hati kepada kita, yaitu bagaimana mereka mau sepenuhnya mengikuti Yesus, dan melayani Dia, yang terutama hadir dalam sesama yang miskin dan menderita.
Ya, Tuhan Yesus berkenan kepada orang-orang yang rendah hati. Sebab dengan kerendahan hati, kita mengambil bagian dalam sifat Yesus yang khas, yang dengannya Ia mematahkan ikatan dosa Adam. Dengan kerendahan hati, Tuhan Yesus yang menyatukan diri-Nya dengan orang-orang yang kecil dan sederhana; dan Ia menghendaki agar kita pun bersikap demikian, agar kitapun dapat bersatu dengan-Nya. Walaupun Kristus adalah Allah yang begitu mahabesar dan mahakuasa, Ia rela merendahkan diri-Nya, mengambil rupa manusia, dan hidup miskin sebagai tukang kayu. Meski Ia adalah Raja semesta alam, dan bahkan seluruh alam raya tak mampu menampung-Nya, namun Kristus tidak menampakkannya di depan manusia. Ia malah menunjukkan kuasa-Nya dengan kerendahan hati-Nya. Yesus memasuki kota Yerusalem bukan dengan kereta berkuda seperti layaknya raja-raja dunia, tetapi dengan mengendarai seekor keledai, sebagaimana dinubuatkan Nabi Zakaria di Bacaan Pertama (Za 9:9-10). Lebih lagi, Yesus pun merendahkan diri-Nya melampaui batas pemikiran kita: Ia rela wafat dengan cara yang paling hina: disalibkan di tengah para penjahat, meski Ia tidak bersalah. “Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan menganugerahkan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala dan segala lidah mengaku: ‘Yesus Kristus adalah Tuhan,’ bagi kemuliaan Allah, Bapa!” (Flp 2:11) Allah meninggikan Kristus Putra-Nya dengan membangkitkan Dia dari antara orang mati, oleh kuasa Roh Kudus-Nya.
Roh Kudus yang sama ini dianugerahkan-Nya kepada kita, asal kita mau mengikuti perintah-Nya. Yaitu agar dengan bantuan Roh Kudus yang sama itu, kita mau “mati” terhadap dosa, sebagaimana kita dengar di Bacaan Kedua. Sabda Tuhan hari ini mengajak kita untuk meninggalkan perbuatan kedagingan dan dosa, termasuk ibu dari segala dosa, yaitu kesombongan. Kesombongan hanya dapat dikalahkan dengan kebajikan lawannya yaitu kerendahan hati. Tidak mudah memang untuk menjadi rendah hati, karena hal itu mensyaratkan kebesaran jiwa untuk tidak dipandang oleh dunia. Dalam kehidupan ini, betapa banyak orang yang jatuh karena kesombongan, atau menjadi penat dan berbeban berat karena menaruh begitu banyak beban atas diri sendiri karena ingin menunjukkan diri kepada dunia! Kita perlu dengan rendah hati datang kepada Tuhan Yesus, agar oleh rahmat-Nya kita dapat memandang kehidupan ini dengan cara pandang Allah, dan menjalaninya sesuai dengan kehendak Allah, demi kasih kita kepada-Nya. Mungkin kini saatnya kita bertanya kepada diri sendiri, sudahkah kita rendah hati? Atau, seberapa rendah kita mau tunduk di hadapan Allah? How low can you go? Mari kita resapkan undangan Yesus hari ini, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan…” (Mat 11: 28-29).
“Kerendahan hati adalah ibu bagi semua kebajikan; kemurnian, cinta kasih dan ketaatan. Dalam kerendahan hati lah, kasihmu menjadi nyata, penuh bakti dan berkobar. Kalau kamu rendah hati, tidak ada yang akan mengusikmu, entah itu pujian ataupun celaan, karena kamu tahu siapa dirimu. Kalau kamu disalahkan, kamu tidak akan merasa tercela. Jika mereka menyebutmu orang kudus, kamu tidak akan memuliakan dirimu sendiri.” (St. Teresa dari Kalkuta)