Bacaan:  Luk 3:1-18

Renungan:

Di dalam bacaan ini, Yohanes Pembaptis ditanya sebanyak tiga kali: Apakah yang harus kami lakukan? Pertanyaan ini diajukan oleh mereka yang telah siap untuk menerima pesan dari pembawa kabar Tuhan. Kehadiran Yohanes Pembaptis dan pesannya adalah sebuah katalisator yang mengakibatkan interaksi antara Tuhan dan manusia. Orang -orang mencari Tuhan dan di dalam Dia mereka dapat merasakan bahwa Tuhan juga mencari mereka.

Adalah sesuatu yang menakjubkan bagaimana pertanyaan, Apakah yang harus saya lakukan? timbul dari hati manusia. Lukas menunjukkan bagaimana pertanyaan ini begitu umum dengan membuat pertanyaan ini diucapkan oleh seorang pengacara dalam Luk 10: 25-28, diucapkan oleh orang muda yang kaya dalam Luk 18:18-21, dan oleh mereka dalam kerumunan orang banyak pada hari Pentakosta pada Kis 2:37-39 dan oleh kepala penjara di Kis 16: 29-30. Ketika dalam hadirat Tuhan atau dalam kehadiran para nabi dan pembawa pesan-Nya, orang-orang [yang menerimanya] dapat merasakan bahwa kehidupan dan artinya sedang dipersembahkan, sehingga mereka bertanya, Apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kulakukan untuk menanggapi panggilan-Mu?

Adalah karena pertanyaan, Apa yang harus kulakukan? keluar dari bagian yang terdalam dari manusia maka jawaban Tuhan bukanlah “dipaksakan dari luar.” Sebaliknya, bagi mereka yang dengan tulus menanyakan pertanyaan ini, jawaban-Nya datang sebagai sebuah pembebasan, sebagai penyegaran dari kehausan jiwa untuk mengetahui kebenaran. Tanggapan Tuhan terhadap pertanyaan ini menciptakan sebuah “resonansi yang terdalam” di dalam hati. Wahyu Tuhan adalah tanggapan ilahi terhadap pertanyaan manusia.  Ini adalah yang membuat iman menjadi dalam dan bersifat pribadi, dan apa yang memberikan keberanian untuk memberikan diri sebagai martir (martyrdom). Para martir memberikan hidup mereka tidak hanya untuk mempertahankan seperangkat kebenaran, tetapi untuk menyatakan bahwa tidak ada kehidupan tanpa kebenaran- kebenaran itu. Bagi umat Kristen, kehidupan tanpa Kristus adalah bukan kehidupan sama sekali, hidup kehilangan makna.

Oleh karena itu, wahyu mengambil bentuk sebagai dialog. Ini adalah pandangan Vatikan II, yang menekankan tentang aspek personal dari wahyu. Tuhan berbicara kepada kita, dan kita berbicara kepada-Nya, untuk mengadakan kembali persekutuan kasih dengan umat manusia. Tuhan dan manusia adalah rekan sekerja di dalam dialog keselamatan. Dengan mewahyukan Diri-Nya, Tuhan menyatakan manusia terhadap dirinya sendiri, dan mengundangnya untuk mengambil bagian di dalam kehidupan ilahi. Melalui wahyu, Tuhan menanggapi pencarian manusia tentang makna kehidupan dengan memberikan Diri-Nya sendiri di dalam kasih.

Kehadiran Tuhan, entah melalui seorang Nabi, di dalam Yesus Kristus ataupun melalui para rasul, mendorong timbulnya pertanyaan: Apakah yang harus kulakukan? Di sinilah dimulai dialog keselamatan. Ini adalah tugas Gereja untuk melanjutkan misi keselamatan Kristus dan untuk membuat-Nya hadir. Gereja melakukan hal ini dengan meneruskan dengan setia wahyu Sabda Allah sehingga para pria dan wanita di sepanjang jaman mempunyai kesempatan untuk mengemukakan pertanyaan- pertanyaan yang mendasar dalam kehidupan dan maknanya kepada Tuhan dan untuk memasuki dialog keselamatan dengan Tuhan. Seperti Yohanes Pembaptis, Gereja merupakan sebuah katalisator yang mempunyai tugas untuk memampukan dialog keselamatan. Melalui Gereja, orang- orang dapat merasakan bahwa Tuhan mencari mereka.

Pertanyaan:

  1. Bayangkanlah anda sendiri di dalam salah satu perikop, di mana seseorang bertanya, Apakah yang harus kulakukan? Di dalam kejadian apa di dalam hidupmu, anda menanyakan pertanyaan ini?
  2. Mengapa penting untuk bertanya, Apakah yang harus kulakukan?
  3. Apakah orang-orang memerlukan bantuan sampai mereka bertanya tentang hal ini?
  4. Apakah beberapa hal yang mencegah orang-orang menanyakan hal ini?
  5. Kepada siapa pertanyaan ini dapat diajukan di dunia sekarang ini?
  6. Mengapa tanggapan Tuhan menemukan sebuah “resonansi yang mendalam” di dalam hati manusia?

Tambahan dari Katolisitas:

  1. Apakah anda mempunyai kerinduan untuk melakukan sesuatu buat Tuhan dan Gereja? Jika ya, dalam hal apa? Apakah motivasi anda melakukan hal itu?
  2. Siapakah tokoh/ orang kudus dalam Gereja Katolik yang menjadi inspirasi bagi anda untuk berbuat sesuatu bagi Tuhan dan sesama?

3 COMMENTS

  1. Apa yang harus kulakukan? Adalah pertanyaan yang saya ajukan saat ingin mengikuti program ini. Tetapi pertanyaan itu keluar begitu saja, sebelum saya baca mengenai bab ini. Namun pertanyaan yang sama dalam hidup saya berkali-kali terjadi, terutama saat saya tak sanggup untuk bertindak dengan keberadaan diri saya. Alias saat itu saya dengan sedih duduk bersimpuh dihadapan-Nya karena saya tak berdaya. Saya ingat, saat itu terjadi, Tuhan benar-benar menolong saya dari kesulitan yang dihadapi. Itulah sebabnya, hingga kini saya selalu berkeyakinan Dia tidak pernah meninggalkan.

    Pertanyaan apa yang harus kulakukan adalah sebuah ungkapan ‘tanpa daya’ atau kerendahan hati untuk menyerah dalam artian aktif mencari jalan keluar. Jika orang telah cape/lelah dan hancur karena seringnya terjerat kesulitan terkadang tak sanggup untuk berkata dengan cara itu, kesulitan lain yang pernah saya alami adalah kesombongan, malu, merasa tak mau memperlihatkan bahwa saya sangat butuh pertolongan.

    Pertanyaan ini dapat diajukan kepada orang-orang yang ‘kuat’, bijaksana, dan yang memiliki niat membantu, sebagaimana saya berani bergabung dan bertanya kepada pak Stef dan bu Ingrid dalam situs ini. Darimana saya memiliki keberanian seperti itu? Tidak lain karena saya mengamati cara pak Stef dan bu Ingrid menangani pertanyaan-pertanyaan yang ‘menyerang’, mendebat, kadang kasar, menghina atau pun menanggapi pertanyaan orang-orang yang ‘haus akan kebenaran’. Saat saya yakin akan hal itu, dimana saya akan diterima apa adanya, saya berani terbuka dan bertanya demikian.

    Pengalaman seperti itulah yang melandasi sayapun berani bertanya dengan tak jemu kepada Tuhan ” Apa yang harus saya lakukan?”

    Tentu saja karena pengalaman yang menggembirakan ini, dimana saya ditolong Tuhan. mendorong saya untuk bersaksi dengan cara sharing di dalam pertemuan-pertemuan yang diprakarsai oleh Gereja. Yang jadi kerinduan saya adalah berbagi pengetahuan mengenai kekatolikan kita, yang sering disalah pahami dan sering diserang, tetapi banyak dari antara kami yang tak mampu memberikan penjelasan yang memadai akibatnya, saya melihat beberapa orang katolik berpindah agama, sebagian besar bertahan, tetapi tak mampu memberi penjelasan kepada yang menyerangnya, kita jadi tampak bodoh dengan iman katoliknya, sedih, itulah yang membuat saya giat untuk menggali pengetahuan yang benar tentang kekatolikan, dan akhirnya saya menemukan situs ini. Di situs lain saya juga pernah masuk dan belajar, hanya saja terkadang saya menemukan penjelasan yang benar, tetapi cara menjawabnya sangat melukai orang yang menyerangnya, atau dalam situs berbahasa inggris ada yang bagus juga ada yang keras juga, tetapi kesulitannya adalah bahasa inggris saya yang sangat terbatas. Belajarnya menjadi lama.

    Tokoh gereja dan orang kudus yang mengesan buat saya adalah ibu Teresa dari Calcutta, yang buat saya dengan tindakannya yang sederhana, berhasil memunculkan Kristus dengan kesungguhan yang tiada tara.
    Dalam hal penjelasan iman katolik saya senang dengan St. Petrus Kanisius yang berhasil membawa kembali orang katolik yang menyeberang, Pater Damen SJ dengan tulisannya mengenai Gereja yang benar.

    • Shalom Saulus,

      Terima kasih atas partisipasinya dalam program pertumbuhan ini. Memang benar bahwa pertanyaan-pertanyaan yang mendasar, tanpa sadar sering kita pikirkan, karena memang kita diciptakan menurut gambar Alllah (lih. Kej 1:26). Manusia yang diciptakan dengan akal budi, mempunyai kemampuan untuk mengetahui dan mengasihi Penciptanya. Dengan demikian, pada waktu terjadi sesuatu di dalam kehidupan, terutama dalam kondisi yang sulit, maka manusia mempunyai kemampuan untuk merefleksikan pengalamannya dan mencoba untuk mencari jawaban dari problem kehidupan yang dialaminya.

      Oleh karena itu, pertanyaan "apa yang harus kulakukan" memang merupakan pertanyaan refleksi tentang kodrat kita, termasuk bahwa kita bukanlah apa-apa tanpa Tuhan yang senantiasa memberikan rahmat-Nya. Dengan demikian, pertanyaan ini, seperti yang dikatakan oleh Saulus, membawa kita kepada kerendahan hati, yaitu menyadari bahwa Tuhan adalah segalanya, dan kita adalah pendosa dan mahluk yang lemah, yang senantiasa membutuhkan pertolongan Tuhan. Malu bukanlah merupakan manifestasi kerendahan hati. Oleh karena itu, kita harus sedapat mungkin menghilangkan perasaan malu. Kita hanya malu atas dosa kita, karena kita yang sebenarnya telah menjadi anak-anak Allah, anak-anak terang, kadang masih bertindak seperti anak-anak yang belum mengenal Allah.

      Sesuai dengan prinsip "kita tak dapat membagi kalau tidak mempunyai", maka kalau kita ingin membagikan Yesus, kita harus mempunyai hubungan yang baik dengan Yesus. Kita harus mengalami kasih Yesus dan kita dibakar dengan kasih Yesus, sehingga kita dapat membagikan Yesus kepada orang lain. Kalau kita ingin membagikan kebenaran iman Katolik, maka kita harus juga belajar dengan sungguh-sungguh akan apa yang sebenarnya dipercayai Gereja Katolik. Kami mensyukuri kalau website katolisitas.org dapat memberikan sedikit kontribusi, sehingga akan semakin banyak lagi umat yang mengetahui dan mengasihi iman Katolik. Dalam memberikan kesaksian, diperlukan kebijaksanaan. Tanpa kebijaksanaan, maka orang mungkin akan lari menjauh dari kita, walaupun apa yang kita katakan adalah benar. Oleh karena itu, kita harus berdoa, mohon agar Tuhan memberikan kita karunia Roh Kudus, sehingga kita dapat menjadi saksi Kristus yang baik.

      Namun, satu hal yang dapat menjadi kesaksian yang lebih efektif akan iman Katolik kita, yaitu dengan terus-menerus berjuang untuk hidup kudus. Dan inilah yang dicontohkan oleh begitu banyak santa-santo, seperti Ibu Teresa dari Kalkuta. Kekudusan senantiasa berdampingan dengan kerendahan hati, karena orang tidak akan mungkin menjadi kudus tanpa kerendahan hati. Kalau kesombongan adalah akar dari segala dosa, maka kerendahan hati adalah pondasi dari semua kebajikan dan pertumbuhan spiritual. Semakin kita membaca riwayat orang-orang kudus, maka kita akan dibuat terpana, bagaimana dengan karya mereka yang begitu luar biasa, namun mereka begitu rendah hati. Mari kita bersama-sama berjuang untuk mengasihi Kristus dan Gereja-Nya, dengan mencontoh kehidupan para kudus. Dan kita juga harus senantiasa berfokus pada tujuan akhir hidup kita, yaitu bersatu dengan Kristus di dalam Kerajaan Allah. Kalau kita mempunyai fokus ini, maka pertanyaan "Apa yang harus saya lakukan" akan memperoleh orientasi yang lebih jelas, karena semuanya diarahkan kepada tujuan akhir ini.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – http://www.katolisitas.org

      • Terima kasih sekali pak Stef. Senang mendapat peneguhan dari pak Stef. Mengenai kerendahan hati, apakah benar memiliki unsur mau mendengar, mau belajar, mau bersabar terhadap perbedaan pandangan iman kita ? Bagaimana dengan perintah Yesus untuk menjadi sempurna seperti Bapa? Apakah keinginan menjadi sempurna akan mendorong orang menjadi sombong? Atau barangkali ada maksud lain dari Yesus? Thx

        • Shalom Saulus,

          Terima kasih atas pertanyaannya. Tentang kerendahan hati, memang kita semua, termasuk saya harus belajar banyak. Secara prinsip, kerendahan hati senantiasa menyadari bahwa: 1) kita adalah bukan apa-apa, namun mahluk yang lemah dan juga pendosa, 2) Tuhan adalah segalanya. Dengan demikian kalau ada yang baik dalam diri kita, kita menyadari bahwa semua itu adalah dari Tuhan, sebaliknya kalau ada yang tidak baik atau dosa dalam diri kita, kita menyadari bahwa semuanya itu adalah dari kita sendiri. Dengan demikian kita menyadari kodrat kita yang tidak ada apa-apanya, yang tidak dapat membanggakan apapun. Sebaliknya kita menyadari kodrat Tuhan, yang maha besar, maha kasih, dan maha pengampunan, dan maha segalanya. Dengan kerendahan hati, maka kita mempunyai sikap hati yang siap menerima rahmat Tuhan, termasuk dalam melihat, belajar, dan menerima kebenaran. Pada waktu kita telah menerima kebenaran, kita tidak perlu takut untuk membuka kebenaran dan mengaji kebenaran, karena kebenaran ada di atas kita. Kebenaran tetaplah suatu kebenaran, walaupun kita masih belum mengerti beberapa hal pada saat ini. Kita yakin, bahwa kepenuhan kebenaran ada di dalam Gereja Katolik. Namun, kita juga harus mendengar keberatan-keberatan yang disampaikan oleh agama-agama lain. Dengan mendengar, mencoba mengerti dan mencari jawaban atas misteri iman yang kita percayai, maka kita akan semakin diteguhkan. Kita tidak usah takut dengan perbedaan, karena perbedaan akan semakin memacu kita untuk semakin menggali kekayaan iman dari Gereja Katolik. Namun, untuk menyampaikan iman, diperlukan kebijaksanaan, sehingga orang tidak hanya melihat kebenaran, tapi juga melihat saksi otentik dari kebenaran tersebut, yaitu orang-orang yang mencoba menyampaikan kebenaran, yang juga berjuang untuk hidup menurut kebenaran tersebut dengan bantuan rahmat Allah.

          Perintah Yesus untuk menjadi sempurna seperti Bapa (yang adalah kasih) bukanlah kesombongan, karena kita tahu bahwa tanpa bantuan rahmat Allah, kita tidak akan mungkin dapat mencapai kesempurnaan kasih. Sebaliknya, kalau kita mencoba mencapai kesempurnaan kasih dengan kekuatan sendiri, maka 1) kita tidak dapat mencapainya dan pasti akan gagal, 2) sikap tersebut adalah sikap kesombongan, karena tidak menyadari hakekat kita yang bukanlah apa-apa dan tidak menyadari Tuhan yang adalah segalanya, yang dapat membantu kita untuk mencapai kesempurnaan. Oleh karena itu, pada waktu kita mempunyai keinginan untuk menjadi sempurna seperti Bapa, seperti yang diperintahkan oleh Kristus, maka akan semakin membuat kita rendah hati, karena kita tahu bahwa tanpa bantuan rahmat Allah, kita tidak mungkin mencapainya. Semoga uraian ini dapat membantu.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          stef – http://www.katolisitas.org

Comments are closed.