Sumber gambar: http://blogs.ancientfaith.com/thissideofglory/2015/08/06/christs-transfiguration-our-transformation/

[Minggu Prapaskah II: Kej 15:5-18; Mzm 27:1-14; Flp 3:17-4:1; Luk 9:28-36]

Dewasa ini, ada banyak orang mempunyai semboyan, “bersenang-senang dahulu, bersenang-senang kemudian”. Pendek kata, maunya senang terus. Mungkin kita pun demikian, cenderung memilih apa yang menyenangkan  hati. Kalau bisa, bersenang-senang di dunia, lalu kelak bersenang-senang di Surga. Tetapi hal itu tidak diajarkan oleh sabda Tuhan. Sebab untuk sampai ke Surga diperlukan persiapan dan ini tidak bisa dilewati dengan hanya bersenang-senang.

Di Bacaan Pertama, kita mendengar janji Allah kepada Abraham. Ini adalah pengulangan janji yang sudah pernah dikatakan Allah sebelumnya (Kej 12:1-9). Yaitu bahwa Allah akan membuat keturunan Abraham menjadi bangsa yang besar, dan bahwa Allah akan memberikan kepadanya tanah yang subur sebagai miliknya. Namun sebelum sampai ke Tanah terjanji itu, ada hal-hal yang mendahuluinya. Yaitu Abraham taat pada perintah Tuhan untuk meninggalkan tempat kediamannya yang lama. Di perjalanan, ia harus bersusah-payah  bahkan harus berjuang membebaskan Lot saudaranya, dan orang-orangnya dari perampasan oleh raja-raja di daerah sekitar tanah Kanaan itu (lih. Kej 14). Maka janji dan penyertaan Allah tidak meniadakan perjuangan Abraham. Iman Abraham pun diuji. Karena ketika Allah berjanji bahwa keturunan Abraham akan menjadi sebanyak bintang di langit, ia masih belum mempunyai keturunan. Kendati demikian, Abraham percaya kepada Allah, dan ini diperhitungkan oleh Allah (Kej 15:6). Abraham pun mempersembahkan kurban kepada Allah sebagai tanda imannya akan janji Allah itu.

Kisah Abraham mengajak kita untuk memeriksa diri. Apakah kita juga mempunyai iman seperti ini, yang tetap percaya kepada Tuhan meskipun belum dapat melihat penggenapan janji-Nya? Sebagaimana Allah telah berjanji menghantar Abraham dan keturunannya ke tanah Kanaan, Allah pun berjanji akan menghantar kita ke Tanah Perjanjian yang sesungguhnya, yaitu Surga. Untuk itu, kita pun dipanggil untuk menjadi seperti Abraham. Yaitu, rela meninggalkan “zona nyaman” kita, dosa-dosa dan cara hidup kita yang lama, untuk mau dipimpin oleh Tuhan. Ini tidak mudah, dan membutuhkan perjuangan. Namun kabar baiknya adalah: Tuhan akan menyertai dan membantu kita memenangkan perjuangan kita. Sebagai ungkapan rasa syukur dan iman,  kita pun dipanggil untuk menjadi seperti Abraham, yaitu mempersembahkan kurban kepada Tuhan. Betapa ini nyata, setiap kali kita mempersembahkan diri kita dalam kurban Ekaristi. Maka kisah Abraham sebenarnya merupakan gambaran samar-samar tentang apa yang seharusnya kita lakukan pula dalam perjalanan rohani kita, tentu dengan acuan kepada penggenapannya dalam Kristus.

Di Bacaan Kedua, Rasul Paulus memperjelas bahwa jalan untuk sampai kepada kemuliaan surgawi, adalah melalui salib. Karena itu, kita tidak boleh menolak salib, dengan dalih, “salib sudah dipikul oleh Yesus, sekarang aku tak perlu memikulnya”. Sebab tak sedikit orang yang mengaku diri sebagai Kristen, namun paham yang diyakininya adalah demikian. Puasa dan mati raga dianggap tidak perlu dan iman diukur dari seberapa banyak itu mendatangkan berkat-berkat duniawi. Walaupun dalam perjuangan hidup kita Tuhan selalu menyertai dan memberkati, namun seharusnya fokus kita sebagai umat Kristen bukan kepada berkat-berkat tersebut, tetapi kepada salib Kristus, yang daripadanya kita memperoleh kekuatan untuk memikul salib  kehidupan kita masing-masing. Rasul Paulus malah mengingatkan, bahwa kalau kita memusuhi salib, kita menjadikan perut sebagai Tuhan kita, sebab pikiran kita semata-mata tertuju kepada hal-hal duniawi; dan ini akan membinasakan kita (lih. Flp 3: 19). Betapa keras perkataan ini! Namun mari kita biarkan sabda Tuhan ini membuat kita melihat dengan jujur ke dalam hati, apakah kita memusuhi salib, ataukah kita menerimanya dengan rasa syukur? Sebab melalui salib, kita dapat dibawa lebih dekat kepada Kerajaan Surga.

Salib kita adalah berbagai tanggung jawab kita sehubungan dengan tugas panggilan hidup kita masing-masing, dan segala bentuk pengorbanan yang menyertainya. Para rasul, termasuk Rasul Paulus, mengartikan salib yang harus mereka pikul ini sampai ke tingkat yang tertinggi. Yaitu, mereka mengambil cara hidup Yesus sebagai cara hidup mereka sendiri: taat, miskin, dan rela menyerahkan nyawa mereka demi iman, harap dan kasih mereka akan Kristus. Dengan kapasitas masing-masing, kita pun dipanggil untuk hidup mengikuti teladan para rasul ini. Artinya, selalu mengarahkan hati kepada iman dan pengharapan kita akan kehidupan kekal yang dijanjikan Kristus, dan tak enggan berkorban untuk  itu, demi kasih kita kepada-Nya. Maka apa yang kita lakukan di dunia akan memperoleh arti yang baru. Diberi rejeki dan talenta, kita bertanya: “Apa yang dapat kubuat dari rejeki dan talenta ini untuk memuliakan Tuhan dan membawa banyak orang kepada keselamatan?” Demikian juga, jika Tuhan mengizinkan kita mengalami salib kehidupan, entah penyakit, ataupun pergumulan di keluarga dan di tempat kerja. Kita tetap percaya bahwa jika kita dengan rela mempersatukan segala penderitaan kita dengan penderitaan Yesus di salib, maka itu akan menjadi penderitaan yang menyelamatkan, entah bagi kita sendiri maupun bagi orang lain. Sebab di akhir penderitaan itu, ada pengharapan akan kemuliaan surgawi di mana kita akan dipersatukan dengan Dia.

Kisah Injil hari ini juga meneguhkan pengharapan ini. Kristus mengizinkan para rasul-Nya—Petrus, Yohanes dan Yakobus—untuk melihat bagaimana Ia dimuliakan di atas gunung, untuk meneguhkan iman mereka. Pengalaman ini menghibur mereka dari kekecewaan setelah mendengar pemberitahuan Yesus, bahwa Ia akan menderita dan wafat, sebelum dibangkitkan. Bahkan selanjutnya, Yesus meminta agar setiap orang yang mau mengikuti jejak-Nya, untuk memikul salibnya juga (lih. Luk 9:22). Dapat dibayangkan bahwa perkataan Yesus ini tidak langsung dipahami oleh para murid-Nya dan bahkan mendatangkan kekecewaan bagi mereka. Maka peristiwa Transfigurasi Yesus ini menjadi penghiburan yang meneguhkan pengharapan para murid itu, bahwa akan ada kemuliaan setelah penderitaan dan kematian. Bahkan bertahun-tahun kemudian setelah Kristus bangkit dan naik ke Surga,  Rasul Petrus masih mengingat peristiwa tersebut sebagai pengalaman berharga yang meneguhkan pengharapan imannya. Dan ia menuliskan peristiwa itu dalam suratnya untuk meneguhkan pengharapan umat beriman yang lain (lih. 2Ptr 1:17-18).

Seperti Rasul Petrus, kita pun dapat selalu memusatkan hati kepada pengharapan kita akan kebahagiaan surgawi. St. Josemaria Escriva mengatakan, “Di saat godaan datang, pikirkanlah Sang Kasih yang menantikan kamu di Surga. Tumbuhkanlah pengharapanmu… Kita akan berpikir tentang seperti apakah Surga itu. ‘Apa yang tak pernah dilihat oleh mata, dan didengar oleh telinga, dan tak pernah masuk dalam hati manusia, itulah yang disediakan bagi mereka  yang mengasihi Dia’. Dapatkah kamu membayangkan bagaimana rasanya  untuk sampai ke sana dan bertemu dengan Allah, untuk melihat indahnya kasih yang dicurahkan dalam hati kita…? (St. Josemaria Ecriva, The Way 139). Marilah di masa Prapaska ini, sesering mungkin kita mengangkat hati dan pikiran kita kepada Tuhan dan mendoakan Mazmur yang kita dengar hari ini:

Tuhan adalah terang dan keselamatanku, kepada siapakah aku harus takut?… Sungguh aku percaya akan melihat kebaikan Tuhan, di negeri orang-orang yang hidup…. Aku percaya kepadaMu, Tuhanlah Pengharapanku!  Amin.