Dari Editor:
Terima kasih kepada Uti dan Yoyok yang telah bermurah hati membagikan kesaksian hidup mereka. Memang, masa penantian yang panjang akan kelahiran seorang anak dalam sebuah perkawinan, dapat mendatangkan bermacam perasaan dalam jiwa pasangan suami istri. Segala upaya dapat dilaksanakan, namun akhirnya, Tuhanlah yang menentukan. Dalam hal ini akhirnya, tiada yang dapat mendatangkan damai dan pengharapan, selain dari Allah itu sendiri.
Semoga kesaksian ini membuka mata banyak orang, bahwa dalam situasi apapun, Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. Terutama dalam penderitaan batin, di mana tak seorangpun memahami kesusahan kita, di sanalah Allah secara lebih lagi mengasihi, menopang dan memberikan rahmat-Nya kepada kita. Bagi kita orang yang percaya kepada Allah, tiada yang dapat memisahkan kita dari kasih-Nya. “Sebab aku yakin, bahwa baik maut maupun hidup, ….baik kuasa-kuasa, yang di atas maupun yang di bawah… tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita,” (Rom 8:38-39)
Uti dan Yoyok, semoga pengalaman imanmu menguatkan juga banyak pasangan suami istri lain. Agar, mereka yang sudah dikaruniai anak-anak, dapat lebih mensyukuri rahmat anak-anak mereka, dan bagi mereka yang belum dikaruniai anak agar juga mempunyai pengharapan dan iman akan pertolongan Tuhan. Satu hal yang pasti, Tuhan akan memberi segala sesuatunya, indah pada waktu-Nya… (Pkh 3:11)
Bagian satu : Penderitaan kecilku, penderitaan sesamaku
“Hallo Bu Uti, selamat Natal ya…gimana dengan kemajuan pengobatannya ?” seorang kawan guru di sekolah menegurku selepas mengajar.
“Heei,… Bu Tineke sendiri bagaimana, sudah hamil nih ya sekarang ?” aku bertanya sepintas lalu pada kawan yang baru menikah kira-kira enam bulan lalu ini. Sebelumnya kuterangkan bahwa inseminasi ketiga yang baru saja kujalani kembali gagal, dan aku sampai berobat ke Singapura dengan hasil masih harus dioperasi (lagi). Karena aku sudah sempat menjalani operasi laparoskopi di Jakarta untuk problem endometriosis yang ternyata ditemukan dalam rahimku. Lalu Ibu Tineke menjawab pertanyaanku dengan pelan, seolah mau menjaga perasaanku, “Aku sudah Bu Uti, ini sudah jalan tiga bulan “ katanya lirih. Aku kaget, lalu segera menyahut spontan “Waah…senangnya….selamat yaa, semoga semuanya berjalan lancar dan baik, aduh, aku ikut senang”, kataku dengan tulus. Aku tidak mengira karena sesaat sebelum menikah rekanku Tineke ini baru saja menjalani operasi pengangkatan kista sebesar kepala bayi dari rahimnya. Kini ia sudah hamil tiga bulan. Setelah kami berpisah, aku berdoa dalam hati untuk keselamatan kehamilannya.
Kalau mau dihitung-hitung, potongan adegan seperti di atas sudah terjadi belasan kali, karena rekan-rekan guru di sekolah adalah orang-orang muda pada usia menikah dan melahirkan. Mereka semua tahu aku berganti status dari guru tetap menjadi tenaga honorer seperti ini dalam rangka usahaku untuk menjadi hamil. Tetapi tiga tahun telah lewat sejak aku berhenti bekerja sebagai guru penuh, dan aku masih mereka dapati berobat saja terus, tanpa ada berita tentang kehamilan. Kadang-kadang aku merasa tidak enak karena kabar kemajuanku sendiri mengenai usaha untuk menjadi hamil seringkali membuat suasana gembira pada teman-temanku yang baru saja menikah dan kemudian hamil menjadi berkurang. Tampaknya mereka menjadi prihatin atau merasa kasihan. Ah, benarkah demikian ? Atau itu hanya perasaanku saja sendiri ? Sambil berjalan sepanjang koridor, aku menelisik batinku sendiri, mencari rasa perih yang biasanya menelusup manakala aku mendengar teman-teman yang baru menikah sebulan atau beberapa minggu mengabarkan kehamilannya. Aku ingin tahu, masihkah perih itu ada di sana ? Masihkah pertanyaan ‘aku kapan ya?’ itu menggema mengiringi kegembiraanku kepada kawan ? Sekalipun aku banyak melupakan mengenai kehamilan saat aku pulang ke Malang kemarin (seperti biasa, lupa kesedihan bila sedang berada dekat Bapak Ibu dan kampung halaman), tetapi ternyata aku masih menemukan kepedihan itu di sana, jauh tersembunyi di dalam relung hatiku yang berkelok-kelok seperti labirin. Aku menghela napas panjang, seperti berusaha untuk mengusir perih itu jauh-jauh dari labirin hatiku. “Apa-apan kamu, jangan bersedih dong, harus bergembira dengan orang yang bergembira”. Lalu aku melanjutkan lagi kegiatanku sambil mengubur perasaan sedih itu dalam-dalam.
Sampai di rumah, aku menghidupkan televisi. Sambil melepas lelah, aku memperhatikan, hampir semua stasiun TV masih memberitakan mengenai tragedi Aceh. Sudah hari keduabelas, pikirku, dan keprihatinan dunia belum luntur juga. Aku melihat anak-anak yang kehilangan orang tua, orang tua yang berusaha mencari anaknya yang hilang tak tentu rimbanya, menyaksikan orang-orang selamat yang begitu kosong tatapannya karena masih trauma. Seandainya aku ada di posisi mereka, duh, tak terbayangkan beratnya. Sejenak aku memanggil kesedihanku dari labirin hati dan larut dalam kesedihan yang kulihat di televisi. Sebelum mataku terpejam untuk tidur siang, hatiku bertanya, “Tuhan, apa sebenarnya rencanaMu yang penuh misteri ? Mengapa kami harus melihat dan mengalami kepahitan-kepahitan hidup seperti ini ? Mengapa tidak Kau permudah hidup kami yang sudah lelah dengan keluh kesah ini ?” Sebelum aku tertidur, masih tertangkap olehku gambar Yesus yang begitu tegas tetapi damai penuh wibawa menatapku dari meja doa di ujung tempat tidurku. Seandainya aku boleh bermimpi bertemu Engkau, Tuhan, dan mendengarkan suaraMu menerangkan semua pertanyaanku ini. Tetapi Tuhan tetap diam, dan gambar Yesus itu tetap tidak berubah, seperti biasanya. Sudah sifat Tuhan untuk tidak berbicara terang-terangan kepada manusia barangkali, pikirku, kecuali kepada orang-orang kudus pilihanNya. Lalu bagaimana kami dapat survive ?
Bila aku menengok kembali usahaku selama 6 tahun aku menikah untuk bisa menjadi hamil, entah sudah berapa jenis dan tempat pengobatan alternatif yang kami datangi, entah sudah berapa nama dokter yang kami kunjungi, berapa jenis suplemen yang sudah kami telan, berapa banyaknya jenis pemeriksaan yang menyakitkan, serta berapa panjangnya doa yang kami panjatkan siang dan malam nyaris tak pernah putus supaya Tuhan berbelaskasihan, tetapi rasanya Tuhan tetap diam. Sepertinya Dia tak bergeming.
Sementara aku berjuang tak pernah putus, setiap saat aku harus berhadapan dengan teman-teman yang begitu mudah menjadi hamil. Baik teman-teman guru di sekolah maupun para tetangga. Tak berapa lama setelah mereka menikah, kehamilan itu pun datang. Atau kapanpun mereka menginginkan anak kedua, dengan sedikit sekali upaya, mereka pun hamil. Entah apa namanya, mungkin iri hati. Tetapi setiap aku tersenyum lebar memberi selamat kepada mereka, jauh di dalam hatiku, aku menangis. Setelah sekian lama peristiwa itu terjadi, lama-lama aku menjadi kebal dan telah terbiasa, walaupun perasaan sedih itu tidak pernah sama sekali hilang. Paling aku hanya menghibur diri “Tiap orang punya jalan hidupnya sendiri-sendiri”
Pertanyaan “Mengapa saya” sudah lama berlalu dari benakku. Aku menyadari bahwa orang lain pun punya beban yang jauh lebih berat dari bebanku. Dan bahwa hidup ini memang penuh dengan harapan-harapan yang tak terpenuhi. Bukannya aku tak menyadari itu semua. Aku juga bukannya tidak bersyukur atas karunia Tuhan pada hidupku yang begitu berlimpah, dan rasanya tak pantas manusia penuh dosa seperti aku ini menerima berkat sebegitu banyaknya. Bukan, aku bukannya tidak bersyukur dan tidak mau menanggung salib kehidupan. Yang terjadi sebenarnya adalah bahwa penderitaan yang kualami dan kulihat pada sesamaku selalu menggiringku pada pertanyaan “Tuhan, Engkau di mana ? Semua kehidupan ini, Kau maksudkan kemana ? Kau ingin kami bagaimana, Tuhan ? “ Karena Tuhan tidak pernah menjawab secara verbal dan gamblang, aku menyadari bahwa aku harus aktif mencari sendiri jawabannya. Kehendak bebas yang menjadi bukti nyata kasihNya yang tidak pernah memaksa itulah kurasa yang membuatku yakin bahwa kita bebas memaknai hidup kita sendiri. Musibah dan penderitaan hidup memang bukan pilihan bagi setiap orang. Pilihan manusia adalah mau tetap menjadi optimis, penuh harapan, dan tenang dalam penderitaan itu, atau mau memilih untuk menjadi putus asa, meratap, dan menggerutu berkepanjangan. Ngomong memang enak, tetapi melaksanakan, apakah bersukacita dan berpengharapan dalam kesesakan itu bukan sesuatu yang musykil untuk dilakukan ?
Bagian dua : Penderitaan Kristus memaknai penderitaanku
Benarkah Tuhan tak bergeming ? Benarkah Ia hanya diam melihat ratapan manusia dengan berbagai pergumulannya yang sering tak tertahankan ?
“Tetapi penderitaan kitalah yang ditanggungNya, dan penyakit kitalah yang dipikulNya. Dan oleh bilur-bilurNya, kita menjadi sembuh.” Melihat kepada hidup Yesus memang sarat dengan penderitaan. Ditolak oleh bangsanya, dibenci oleh pemuka Yahudi, dan diakhiri hidupNya dengan paksa dan sadis. Hidup Yesus dan Maria pun penuh dengan penderitaan sejak Yesus hadir di tengah-tengah mereka. Dikejar-kejar Herodes sampai ke Mesir, dicibir oleh orang sekampung halaman, dan puncaknya harus melihat putera satu-satunya disiksa dengan keji sampai mati di depan mata. Jadi apa sebenarnya pesan Tuhan dalam penderitaan ? Apakah justru lewat penderitaan Ia mencurahkan kasih dan rahmatNya yang begitu besar ? Sulit sekali pikiran manusiawi kita memahami kalimat seperti itu. Tetapi paling tidak kita melihat solidaritas Tuhan kepada penderitaan manusia. Bila kita sengsara, kita tahu bahwa Tuhan sudah lebih dulu mengalaminya untuk kita. Kita tahu bahwa Tuhan bukan cuma semena-mena membiarkan kita sengsara. Ia sudah tahu apa itu sengsara, dan sudah mengalaminya bagi kita. Lalu bila kita renungkan, kapan manusia merasakan Tuhan begitu dekat dan hangat ? Apakah pada saat segala sesuatu berjalan lancar, semua anggota keluarga sehat berkumpul, rejeki mengalir, dan hidup terasa mulus tiada hambatan ? Di manakah Tuhan kita tempatkan dalam keadaan seperti itu ? Biasanya Tuhan hanya hadir dalam rutinitas yang sering menjadi kering makna oleh kesibukan dan kedamaian kita.
Jadi, apakah penderitaan dipakai Tuhan untuk menarik kita lebih dekat lagi kepadaNya ? Bukan sekedar dekat di mata dan di bibir, tetapi dekat di hati yang terdalam ? Mungkin saja. Kalau begitu, dari kacamataNya, yang paling penting bukan situasi hidup di dunia ini, tetapi hidup kita di akhirat nanti. Bila hidup di dunia baik-baik saja, tetapi tidak membawa manusia kepada Tuhan, maka lebih baik hidup di dunia menderita, tetapi hidup di akhirat bahagia bersama Tuhan di surga. Tapi bukankah kita akan memilih hidup bahagia di dunia dan di akhirat ? Di sinilah pilihan bebas kita berperan. Kita bisa memilih untuk tetap bahagia karena kasih Tuhan yang selalu menyertai kita, sekalipun secara fisik kita menderita. Oh, semudah itukah ? Tentu saja tidak. Kita harus punya strategi untuk menghadapinya. Jadilah tulus seperti merpati, tetapi cerdik seperti ular, kata Kitab Suci.
Bagian tiga : Pilihan bebas kita adalah benih-benih kekekalan
Hidup kita yang pendek di dunia ini adalah masa untuk menabur. Lalu semua orang akan mengalami kematian. Tanpa terkecuali. Seandainya tidak ada kebangkitan orang mati, segala sesuatu yang kita hidupi di dunia ini akan lenyap. Bagaimana kita dapat mempercayai Allah yang mencintai kita tanpa syarat, kalau segala suka duka hidup kita sia-sia, lenyap bersama dengan matinya tubuh kita ? Karena Allah mencintai kita tanpa syarat sejak kekal sampai kekal, Ia tidak dapat membiarkan tubuh kita lenyap dalam kehancuran.
Hidup di dunia adalah masa ditaburkannya benih-benih kebangkitan. St. Paulus berkata, ditaburkan dalam kebinasaan, dibangkitkan dalam ketidakbinasaan. Ditaburkan dalam kehinaan, dibangkitkan dalam kemuliaan. Ditaburkan dalam kelemahan, dibangkitkan dalam kekuatan. Yang ditaburkan adalah tubuh alamiah, yang dibangkitkan adalah tubuh rohaniah. Jadi, tidak ada yang sia-sia dalam hidup badani kita, semua suka duka yang ditanggungnya memuat panggilan bagi kita untuk menghayati setiap saat dalam hidup kita sebagai benih-benih keabadian di surga kelak. Bagaimana kita mempercayai semua ini ? Itulah iman. “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat” (Ibrani 11 : 1). Iman adalah untuk kita orang-orang di dunia. Para Kudus di surga tidak lagi mempunyai atau membutuhkan iman, karena mereka sudah melihat Allah, bersama Allah. Seperti dalam Alkitab : “Tetapi pengharapan yang dilihat, bukan pengharapan lagi; sebab bagaimana orang masih mengharapkan apa yang dilihatnya ? Tetapi jika kita mengharapkan apa yang tidak kita lihat, kita menantikannya dengan tekun” (Roma 8 : 24b-25).
Bagian empat : Menderita jasmani tidak harus berarti menderita rohani
Jadi bagian kita dalam hidup ini utamanya adalah bersama Tuhan. Pilihan-pilihan kita terhadap situasi apapun dalam hidup kita, akan menentukan apakah kita mau menjalaninya di dalam Tuhan atau tidak. Bayangkanlah sebuah keluarga yang semuanya baik dan segala kebutuhan terpenuhi. Tetapi mereka tidak merasa membutuhkan Tuhan, tidak merasa perlu untuk berbagi kekuatan dan iman antar sesama anggotanya, membiarkan relasi dengan Tuhan digerogoti pelan-pelan. Ini memang keluarga yang sehat jasmani, tetapi tidak sehat rohani. Keluarga yang lain menderita sakit secara fisik, keprihatinan karena penderitaan, tetapi semuanya menyatu dalam iman dan pengharapan kepada Tuhan. Berelasi setiap saat dalam doa. Keluarga kedua ini memang sakit fisiknya, tetapi tidak sakit rohaninya. Rohaninya justru sehat walafiat karena terlatih oleh berbagai-bagai penderitaan yang dilaluinya bersama Tuhan. Mana yang menabur benih-benih kekekalan ? Tentu keluarga kedua walaupun secara jasmani menderita penyakit. “Jadi, karena Kristus telah menderita penderitaan badani, kamu pun harus juga mempersenjatai dirimu dengan pikiran yang demikian-karena barangsiapa telah menderita penderitaan badani, ia telah berhenti berbuat dosa, supaya waktu yang sisa jangan kamu pergunakan menurut keinginan manusia, tetapi menurut kehendak Allah (1 Petrus 4: 1-2)
Bagian lima : Sepenuhnya tak berdaya = tak berjarak lagi dengan Tuhan
Betapa indahnya bila kita diijinkan memikul salib bersama Tuhan. Ia mengijinkan kita ambil bagian dalam penderitaanNYa. Bila kita sabar dan setia, tak pelak lagi, Ia juga akan memberi kita bagian dalam kemuliaanNYa. Sampai di sini, menjadi jelaskah arti penderitaan hidup itu bagi keselamatan jiwa kita ? Tidakkah kita justru menganggap kesedihan dan kesengsaraan adalah benih-benih yang mempersiapkan kita untuk memasuki kehidupan yang sesungguhnya kelak ? Sebuah kesempatan emas untuk hanya bergantung kepada Tuhan dan merasakan kekuasaan kasihNya sepenuh-penuhnya, tanpa halangan. Kita menjadi sepenuhnya tak berdaya. Sepenuhnya bergantung. Kita menjadi tidak berjarak lagi dengan Tuhan. Seperti hewan, mereka adalah mahluk tak berdaya yang tidak berjarak dengan Tuhan. Sepenuhnya bergantung. Seekor ayam dapat makanannya langsung dari kemurahan Tuhan. Gajah-gajah di Thailand yang tak berdaya selamat dari gelombang tsunami. Mereka selamat karena insting mereka, langsung dari kemurahan Tuhan. Saat gempa pertama terjadi di Aceh, ribuan mil dari tempat mereka berada, para gajah itu tiba-tiba mengeluarkan suara seperti menangis. Sejam kemudian mereka lari tunggang langgang menjauhi pantai. Para turis dan pawang keheranan. Tapi tak lama, karena setelah gajah-gajah itu berhenti lari di dalam hutan, gelombang laut pertama menerjang masuk ke daratan. Terjangan air itu berhenti tepat di belakang rombongan gajah-gajah yang berlarian itu berhenti.
Seandainya kita tidak berjarak dengan Tuhan, sungguh-sungguh hanya bergantung kepadaNya, percaya dan berserah total akan penyelenggaraanNYa, pasti kita akan mempunyai insting iman dalam segala perkara hidup ini, bak gajah dan ayam yang hanya mengandalkan kemurahan Tuhan saja. Dalam ketidakberdayaan itu, bukan hanya segala keangkuhan, kesombongan, dan tinggi hati tidak mendapat tempat lagi, tetapi juga segala bentuk kekhawatiran dan kecemasan, tidak eksis lagi.
Bagian enam : Makan iman ganti makan kekhawatiran
Bersama Tuhan, jasmani atau hati kita boleh sakit, tapi rohani aman. Selama rohani kita aman bersama Tuhan, bukan hanya kita mampu menghadapi sakit hati dan jasmani kita, tetapi bahkan jasmani dan hati itu pun bisa ikut-ikutan jadi sembuh seperti halnya rohani kita yang selalu terpelihara sehat dekat Tuhan. Mengkhawatirkan hari esok adalah makanan sehari-hari manusia modern. Setelah 6 tahun berjuang tanpa hasil, hari-hari belakangan ini aku mulai dirambati pegel linu kekhawatiran. Aku mulai bertanya “Bagaimana bila aku tidak akan pernah bisa punya anak ? “ “Bagaimana hari tuaku bersama Yoyok nanti ?” “Alangkah sepinya rumah kami nanti, sampai kapan kesepian ini akan terus berlangsung” dan sejumlah pertanyaan bagaimana-bagaimana yang lain.
Dalam Kitab suci, kekhawatiran diibaratkan sebagai seekor singa yang mengaum-ngaum mencari mangsa di sekeliling kita. Kita bisa habis olehnya sebelum peristiwa apapun benar-benar terjadi pada kita. Betapa sia-sianya kegiatan khawatir itu. Tetapi juga betapa sulitnya mengelolanya agar tidak menguasai kita.
Stress manusia modern terbesar adalah mereka tidak pernah berada pada saat ini, di tempat ini, sekarang ini. Pikirannya terus melayang ke masa depan. Bukan hanya masa depan yang jauh, tapi juga nanti siang makan apa, nanti sore dalam meeting harus bicara apa, besok presentasi ke atasan harus bagaimana. Tentu saja hal itu perlu untuk perencanaan dan atisipasi. Namun tidak berarti kita mendahului waktu untuk tiba lebih dulu di masa depan yang belum tiba. Hanya sedikit sekali manusia yang sungguh hadir pada saat ini, detik ini, dan menikmatinya sepenuh-penuhnya. Sebab, tahu apa kita tentang hari esok ? Sudah susah-susah mikir gimana kalau tua kelak nggak punya anak, eh, tahu-tahu dalam semenit ada gelombang tsunami menggulung semuanya habis tak bersisa. Stress memikirkan harus berargumen dengan bos besok pagi ? Sudah sulit tidur semalaman, eh,.. tahu-tahu esok pagi itu matahari tidak terbit, seluruh bumi gelap gulita karena ada awan debu muntahan gunung berapi, dan sebagainya. Hari esok, termasuk semenit ke depan, adalah abstrak. Satu-satunya yang nyata dan kita miliki secara riil adalah saat ini, detik ini. Nikmatilah itu sebaik-baiknya, hayatilah setiap detik hidup ini dengan penuh syukur. Kita tidak perlu bersusah memikirkan hari esok yang belum tentu terjadi, dan belum tentu terjadi seperti yang kita pikirkan. What a waste ! Tuhan kita adalah Tuhan atas hari esok. Seperti burung pipit yang selalu diberi makan oleh Allah tetap hidup nyaman walaupun tidak pernah pusing oleh hari esok.
Berikut adalah petikan ilustrasi Anthony de Mello, SJ tentang pengelolaan kekhawatiran akan hari esok :
1) Buddha pernah ditanya : ‘Siapakah yang disebut orang suci ?’ Jawabnya : “Setiap jam terbagi atas sejumlah detik tertentu, dan setiap detik ada bagian-bagiannya lagi. Barang siapa mampu memberi perhatian penuh pada setiap bagian detik itu, sungguh pantas disebut orang suci. ‘
2) Seorang prajurit Jepang ditangkap oleh musuhnya dan dimasukkan ke dalam penjara. Semalaman ia tidak dapat tidur, karena yakin bahwa keesokan harinya ia akan disiksa dengan kejam. Tiba-tiba kata-kata Guru Zen-nya terlintas dalam ingatan. “Hari esok bukanlah kenyataan . Satu-satunya kenyataan adalah saat sekarang ini.’ Maka ia kembali pada saat sekarang – dan tertidur lelap.
3) Orang yang tidak dikuasai oleh masa depan bagaikan kawanan burung di angkasa dan rumpun bunga bakung di padang. Ia tidak kuatir akan hari esok. Segalanya adalah hari ini. Sungguh, dia itulah orang suci.
Dan bagaimana kita menikmati hari ini, saat ini, detik ini ? Tuhan sudah menyediakan begitu banyak untuk kita nikmati dan syukuri. Bangun pagi ada kehangatan matahari, kicauan burung yang merdu. Dengarkanlah, nikmatilah, syukurilah. Bangkit dari tempat tidur ada kamar yang bersih, terlindung dari panas dan hujan, ada perlengkapan tidur yang baik, perhatikanlah, nikmatilah, syukurilah. Keluar dari kamar ada senyum orang rumah, sehat, hidup, kaya akan keunikan. Sapalah, nikmatilah, syukurilah. Lalu mulailah kerjakan satu demi satu apapun yang kau kerjakan dengan penuh penghayatan. Ambil gelas, mengaduk gula, menuang teh, penuh konsentrasi, penuh syukur. Jangan biarkan pikiran mengelana ke masa depan, bahkan sejam ke depan. Kerjakan dan hayati penuh syukur apa yang kau lakukan saat ini, detik ini. (Catatan : cara hidup seperti itu dalam ilmu kesehatan mental India disebut meditasi Vipassana, jadi itu adalah meditasi sebenarnya, mencoba memusatkan perhatian detik demi detik apapun yang kita lakukan)
Jangan kita menganggap biasa bila orang bangun pagi, terus ke kantor, lalu pulang lagi ke rumah dengan selamat, lalu makan dan tidur. Jangan sekali-kali menganggap itu biasa, rutin, dan membosankan. Itu adalah luar biasa ! Itu adalah hadiah ! Itu adalah pemberian ! Bagi para korban tsunami di Aceh yang selamat, hanya dalam beberapa menit mereka tidak lagi pergi ke kantor, tidur dengan normal, dan makan dengan cukup. Bagi orang yang sedang sakit parah di rumah sakit, kegiatan buang air kecil dan buang air besar yang bagi kita biasa bisa menjadi sangat menyakitkan dan tidak enak. Hidup ini adalah hadiah, dan setiap hari yang baru adalah kesempatan indah yang tidak pernah sama. Diberikan oleh Tuhan untuk kita syukuri dan nikmati dengan baik, sambil belajar menangkap suara Allah lewat berbagai peristiwa yang tidak pernah sama setiap hari, dalam rutinitas sekalipun, bila kita mau menghayatinya. Setiap detik adalah berharga, dan setiap karakter orang yang kita jumpai adalah unik dan berharga, begitu kaya, tak pernah sama setiap hari. Oh, betapa kayanya hidup itu ! Terlalu kaya untuk kita lewatkan begitu saja. Selalu ada yang bisa kita syukuri pada detik ini. Bila berpikirnya melayang ke depan, tidak bisa bersyukur, karena hanya kekhawatiran yang ada. Bila menjalaninya setiap detik, maka yang ada hanya syukur karena masih diberi hidup, teman, udara pagi, dan lain-lain. Dan dengan begitulah kita menabur benih-benih kekekalan untuk hidup yang akan datang, karena hidup yang diberikan Tuhan saat ini tidak pernah kita sia-siakan.
Percayakan hari esok kita kepada Tuhan. Ia adalah Tuhan atas hari esok. Karena cintaNya, Ia punya rencana yang indah di hari esok, buat masing-masing kita. Tak peduli betapapun beratnya penderitaan kita saat ini, rencana Tuhan hanyalah indah semata. KasihNya terlalu besar dan kuasaNya terlalu agung, untuk membiarkan kita hanyut dalam arus kehidupan yang memisahkan kita dari kasihNya yang tak terpahami. Tak terpahami karena besarnya dan agungnya, sehingga setiap detik hidup ini terasa begitu berharga. Dan di balik setiap peristiwa hidup adalah tak lain tuntunan kebijaksanaanNya bagi kita.
Dalam perjalanan pengobatan medis yang kami jalani di 6 tahun pertama pernikahan, kami akhirnya juga mempunyai kesempatan dan memenuhi syarat untuk menjalani program bayi tabung yang disarankan dokter sebagai alternatif terakhir dari perjalanan usaha kami yang panjang. Tetapi kami sadar Gereja tidak menyetujuinya. Kami tidak ingin melukai hati Tuhan. Maka kami pun memutuskan untuk tidak akan pernah melakukannya. Karena kami yakin Tuhan tahu apa yang sedang Dia lakukan dan sedang Dia ijinkan terjadi pada kami, kami percaya sepenuhnya bahwa Dia sedang bekerja melalui segala sesuatu bagi kebaikan kami
Bagian tujuh : Penutup
Bagi aku dan Yoyok, filsafat hidup yang ingin kami pegang erat adalah filsafat “Wis Embuh” (bahasa Jawa yang artinya : nggak tahu deh). Hari depan kami ada di tangan Allah. Karenanya kami tidak perlu merasa khawatir. Bahkan memikirkannya pun tidak perlu. Kami tahu siapa yang memegang hidup kami. Wis Embuh adalah pegangan kami mengarungi hidup ini. Wis embuh berarti percaya dan pasrah total kepada penyelenggaraan Allah. Tak berjarak lagi dengan Allah. Seperti ayam, seperti burung pipit, yang dipelihara Allah. Kami mau menyerahkan semua ke dalam tangan Allah. Bila kami sibuk memikirkan atau mengkhawatirkannya lagi, berarti kami mengambilnya lagi dari tangan Allah, mengulik-uliknya lagi, mengotak-atiknya lagi. Berarti kami tidak percaya Allah sudah dan akan selalu menghandle-nya dengan baik. Kekhawatiran dan kesedihan adalah persembahan yang Allah berkenan. Serahkan saja semuanya itu kepadaNya, biar jadi milikNYa, bukan milik kita. Dia yang akan mengurus dan menghandlenya untuk kita. Kini telah sepuluh tahun kami mengarungi bahtera rumahtangga berdua saja, belum lagi bersama kehadiran tawaria dan canda anak-anak buah cinta yang kami rindukan. Namun kasih Allah Bapa yang tak terukur mendampingi kami dengan cara yang luar biasa unik dan nyata, yang sulit kami ceritakan dengan singkat karena kaya dan halusnya, sehingga kami tak sedikitpun merasakan kekurangan kasih Allah yang maha Hadir.
SABAR MENANTI WAKTU TUHAN
Di dalam hidup ini, semua ada waktunya.
Ada waktunya kita menabur….. ……… ……… ….
Ada juga waktu menuai…… ……… ……… ……… …….
Mungkin dalam hidupmu bagai datang menyerbu,
Mungkin doamu bagai tak terjawab !
Namun yakinlah tetap.
Tuhan tak’kan terlambat!
Juga tak akan lebih cepat
Semuanya…. ……… ……… ……… ….
Dia jadikan indah tepat pada waktuNya.
Tuhan selalu dengar doamu !
Tuhan tak pernah tinggalkanmu !
PertolonganNya pasti’kan tiba tepat pada waktuNya.
Bagaikan kuncup mawar pada waktunya mekar
Percayalah.. ……… ……… ……… ……… …..
Tuhan jadikan indah pada waktuNya.
Hendaklah kita s’lalu hidup dalam firmanNya.
Percayalah kepada Tuhan !
Nantikan Dia bekerja pada waktuNya.
Tuhan tak akan terlambat
Juga tak akanterlalu cepat
Ajarlah kami setia slalu menanti waktuMu Tuhan
(1 Korintus 10 : 13 & Pengkotbah 3 : 11a)
–Uti-
Serpong, 8 Januari 2005
Diedit di Milan, 3 Juni 2009
Bagus sekali sharingnya bu. Tapi sayang sepertinya hanya menjadi beban ibu seorang diri karena tidak menceritakan keterlibatan mas yoyok dalam pergulatan ini. TUHAn memberkati
Dear Ibu Uti,
Saya merasa sangat terberkati dengan sharing anda hari ini, saya juga telah menantikan hadirnya seorang anak dalam kehidupan pernikahan kami hampir 4 tahun.Sebagai seorang istri dan perempuan hal ini mulai membebani hidup saya. Berbagai kekuatiran, kekecewaan selalu ada ketika stp bulan saya menstruasi. Selama hidup Tuhan seakan selalu beri apapun yang aku inginkan kecuali keinginan saya punya anak. Tetapi setelah membaca sharing ibu saya dikuatkan kembali bahwa rancangan Tuhan itu selalu yang terindah dalam hidup saya,dan tepat pada waktunya.Amin.
Salam, Meliza
Ibu Meliza yang dikasihi Tuhan, terima kasih atas sharing kecil yang juga telah Ibu sampaikan di sini bagi kami. Saya juga merasa dikuatkan dengan iman dan harapan Ibu. Semua yang Ibu rasakan sangat saya pahami dan alami juga. Apapun juga keadaan kita di dunia ini, seberat apapun perjuangan, kesusahan, kekecewaan, atau apapun juga kebutuhan kita di dalam dunia ini yang belum waktunya Tuhan cukupkan, jangan membuat kita lupa suatu kenyataan yang amat penting bahwa Tuhan sangat mencintai kita. Bahwa kita ada di dunia ini sejak semula dan diizinkan mengalami berbagai pengalaman hidup, semua itu semata karena cinta-Nya. Iman dan keyakinan serta pemahaman yang terus menerus akan cinta Tuhan membuat kita merasa selalu tenang, percaya diri, dan aman, karena cinta Tuhan memang selalu ingin kita merasakan semua itu, walau hidup di dunia ini kadang-kadang penuh dengan rasa tidak aman, kesedihan, atau tantangan. Jika kita selalu bersyukur akan cinta-Nya yang sebenarnya selalu, 24 jam sehari, tujuh hari seminggu, memikirkan dan mengusahakan yang terbaik bagi kita lewat segala liku-liku peristiwa hidup ini, kita akan merasa kagum terus menerus akan pemeliharaan dan rencana-Nya yang penuh damai sejahtera. Semua pengalaman dan keyakinan akan cinta Tuhan sangat mudah dialami kalau kita terus menerus mendekatkan diri kepada-Nya dan mendengarkan Firman-Nya, sambil selalu berdialog menyerahkan segala hal dalam hidup kita kepada-Nya. Sekali kita menyadari bahwa cinta-Nya adalah dari kekal sampai kekal, sesungguhnya kita tidak memerlukan apa-apa lagi, jiwa kita akan selalu merasa damai dan bahagia di dalam Dia, apa pun juga situasi kehidupan yang sedang kita alami. Cinta-Nya yang mengatasi segala pengertian terlalu besar untuk bisa dihambat dan dikurangi oleh berbagai-bagai penderitaan atau kesukaran dalam hidup ini. Tetaplah bergerak dan bergembira dalam cinta-Nya ya Bu, Dia sudah amat paham segala bentuk pergumulan dan kebutuhan kita dan sudah menanti kita di ujung segala pengharapan. Teruslah mempercayai penyelenggaraan-Nya dengan penuh cinta dan harapan. Dan seperti yang Ibu imani, bahwa segala sesuatu akan indah pada waktunya, memang akan terjadi demikian sesuai dengan iman Ibu. Cinta-Nya yang selalu memelihara akan memampukan Ibu untuk selalu bersukacita dalam segala bentuk penantian dan pengharapan yang Dia ijinkan untuk Ibu alami. Tuhan Yesus memberkati dan doa saya, Uti.
dear Uti and Yoyok
percayalah Tuhan Yesus bermaksud memberikan sikecil ……
istri saya juga punya kista sebesar 8 cm yg akhirnya harus dioperasi
kami merasa udah semua cara kami coba.
saya nunggu 6 tahun dg pasrah berdoa ” Tuhan Yesus kami pasrah dengan kehendakMu …”
sampai suatu saat Saya yakin Tuhan Yesus pasti bermaksud menambah kebahagaian saya….dan saya berdoa ” Tuhan aku yakin Engkau pasti ingin memberi kami momongan……tolong beritahu apa yg kurang sehingga kami belum dapat menerimanya” ….
saya bingung mau jelasinnya gimana …
mungkin gini deh ” saat Tuhan Yesus mau memberi apa yang kita minta….kita pas nggak siap ato belum, sehingga ndak pernah sampai…dan akhirnya kita pasrah ….kan yg mau beri jadi mikir “Lho piye to wong Aku mau kasi je”
Coba deh minta Tuhan Yesus beritahu apa yg menghalangi kok sikecil belum dikirim2
maaf nggak karuan nih bahasanya.
salam dari kami berempat.
Andyrose, + Audrey and Mathhew
Kesaksian ini sungguh membukakan hati saya tentang rasa bersyukur dan kekhawatiran. hidup…..terimakasih banyak mbak Uti, semoga kasih Kristus melingkupi mbak sekeluarga dan kerinduan mbak akan buah hati terjawab dengan caraNYA.
Terpujilah Allah selama-lamanya!
Cerita ini sungguh menambah keyakinan sy ttg iman pd Yesus Kristus.slma bbrp bln ini sy slalu bergumul dlm hati&pikiran sejak kematian ank prtma sy yg hny hdp 12hr stlh dilahirkan amat melukai batin sy.prtyan2 mncul tnp mndpt jwban pst,dlm doa sy mt Tuhan menjawab “apa&mengapa”lama sy merenung&tnp disadari menimbulkan pkiran bhw Tuhan tdk adil yg pd akhrnya membwt sy”cuek”&mulai menjauh dr Nya.seiring wkt sikap itu menambah gelisah,kembali sy mencari Dia dlm doa sy mhon ampun ats dosa pkiran yg tmbl krn “kekurangpercayaan&ketidakpasrahan” sy menyesal krn sy meragukan ke MahabesaraNya.Tuhan bkrja dgn cr yg tak diduga lwt doa dgn sendirinya sy mulai bangkit,berpengharapan&kini kekhawatiran mulai pudar meski trkadang msh mucul tp sy ttp brusha utk tdk melukai Tuhan.sy prcya sgla sst dr Tuhan akn mendatangkan kebaikan,pencobaan ni bukti Cinta-KasihNya yg bsr pd sy.tak ad kata yg bs sy lukiskan akn kebaikanNya dlm hdp sy krn dlm kesesakan sy dpt ttp brsyukur bkn krn diri sdr tp krn Roh KudusNya bkrj dlm hdpku.Smg hdp qt brkenan bagiNya.Amin
Trimakasi buat kesaksian yg menguatkan saya.Walapun saya belum berkeluarga,yg saya petik adalah saya harus sabar dan setia menantia waktu yg terindah menurut Bapa di Surga bagi penantian pekerjaan yg saya nanti2kan.Cerita diatas sangat memotivasi saya nantinya kalau sdh berkeluarga kelak,jd perna terngiang omongan tukang urut yg perna mengurut perut saya,kalo saya katanya susah punya anak.Wah,sy hanya trsenyum saja.Sy yakin&percaya Tuhan itu Mahabaik bg setiap umatNya.GbUs
saya harus banyak belajar dari kisah hidup diatas,diusiaku yg masih muda. Beliau2 sanggup bertahan 6 tahun untuk menunggu dan sabar menanti jawaban Tuhan. Aku yang baru 1 tahun ini mengalami kesesakan hati karena disakiti secara batin,terkadang ingin rasanya mencari ‘jalan pintas’,tapi Tuhan selalu mengingatkanku melalui diriku dan orang2 disekitarku. Ya Tuhan,Ajarilah aku untuk sabar menanti waktuMu….
mba Uti dan mas Yoyok makasi ya atas kesaksiannya,walaupun kisah yang kualami berbeda. Akan tetapi benang merahnya : kita harus yakin bahwa Tuhan akan memberikan segala sesuatu indah pada waktunya..takkan lebih cepat atau terlambat…Semoga keluarga mba uti & mas yoyok selalu dilindungi Tuhan.
Jesus Bless Us…
Salam kasih
Saya dan suami ( caecilia & Aloysius ), kami sudah menikah 8 tahun ( 4 agustus 2002 ) dan selama itu pula kami menunggu kehadiran buah cinta kami yang tak kunjung hadir.
Segala upaya telah kami coba, dari medis sampai alternatif tapi haid selalu datang yg menandakan kalau kahamilan itu tak pernah ada. Hanya satu alternatif yg sll ditawarkan oleh dokter kami yaitu bayi tabung tapi belum kami coba krn biaya yang menghambat kami mencoba cara itu.
Sayapun merasakan perih yang sama saat mendengar dan melihat teman atau saudara yang menikah langsung diberi keturunan, kapan saya bisa hamil ya? itu pertanyaan dan doa yang selalu saya panjatkan disetiap helaan nafas.
Sharing Uti & yoyok menguatkan kami, dan pengalaman pasutri lain yang terus berjuang membuat kami tidak berputus asa dalam harapan
Salam kasih kami
caecila & aloysius
Khawatir membuat jiwa kita lemah,
Khawatir membuat hati kita tak tenang,
Khawatir membuat hidup berantakan,
Khawatir membuang banyak waktu kita,
Khawatir membuat raga kita rapuh,
Lawanlah dengan Iman…
Iman membuat hati damai,
Iman membuat jiwa penuh suka cita,
Iman membuat yang terlihat tidak indah pun
menjadi sebuah pengalaman yang menguatkan.
Lalu…Tambahkan kasih.
Kasih membuat hati kita terbuka pada siapa saja.
Kasih membuat hati kita lembut dan mudah dicinta, sehingga kita pun banyak teman yang menguatkan.
Kasih membuat masalah kecil kita tidak berkobar menjadi besar,
Kasih membuat kita mampu berdiam dan bersikap tenang kala disakiti.
Kasih membuat marah kita menjadi berkat bagi sesama, tidak hanya luapan angkara,
Semua akan membawa sebuah pengharapan…
Indah pada saatnya dan kebahagiaan kekal dalam kasih-Nya. (ZP)
JBU
Zepe
Ytk Bu Uti dan Mas Yoyok…
Bu Uti masih ingat saya? saya bu Elis dulu teman ngajar ibu di sekolah….
Saya yakin kesaksian ibu akan menginspirasi banyak orang untuk tetap bertekun dan bersikap “…sumonggo kersanipun Gusti..”. Gusti yang empunya hidup..semua yang kita punya adalah “sekedar” titipanNya… Semoga ketekunan dan penantian ibu dan mas Yoyok menghasilkan buah yang berlimpah. Tuhan senantiasa memberkati kita.
Bu Elis yang terkasih dan saya rindukan….aduuh rasanya saya ingin teriak dari sini kalau Ibu Elis bisa mendengar suara saya…apa kabaarrrr? Saya baru saja menemukan balasan Bu Elis di sini. Saya senang sekali ‘berjumpa’ lagi dengan Bu Elis di sini, puji Tuhan. Dan saya tidak menyangka Bu Elis akan mampir membaca tulisan saya. Pasti Bu Elis mengenali salah satu tokoh di dalam tulisan saya itu ya, hahaaa…bagaimana kabar Bu Elis dan keluarga ? Semoga selalu dalam berkat perlindunganNya ya. Terimakasih untuk inspirasinya, terimakasih untuk doa dan perhatiannya ya. Salam rindu selalu dan doa juga dari kami untuk Bu Elis sekeluarga yang tercinta. Terimakasih Ingrid dan Stef yang telah ‘mempertemukan’ saya kembali dengan Ibu Elis yang menjadi salah satu inspirasi saya menuliskan kesaksian saya ini dan merupakan teman yang dekat dan sangat baik ketika saya masih tinggal di Serpong dulu. Saya merasa gembira sekali. Terimakasih sekali lagi dan Tuhan memberkati.
istri kami juga menderita edometriosis, sampai pada usia perkawinan kami yang ke 10 yang kami nantikan belum juga hadir dalam kehidupan keluarga kami, segala usaha terus kami jalani, juga akhirnya sampai pada jalan terakhir harus menjalani bayi tabung, dan pada akhirnya juga kami memutuskan untuk tidak menyalahi apa yang tidak Tuhan kehendaki. kami hanya bergantung pada doa, pada rencana dan kehendakNya.
hingga pada suatu hari seorang teman menyarankan untuk adopsi . dalam doa kami serahkan pada rencana dan kehendakNya, kalau memang ini kehendak Tuhan, biarlah Tuhan yang memberi melalui jalanNya.
dan pada akhirnya tanpa kami duga Tuhan memberi kami kesempatan untuk menjadi orang tua bagi anak kami yang sekarang berusia 9 th ( mungkin suatu saat kami juga akan menulis kesaksian ini lebih lengkap )
thank You Jesus, rencanaMu sungguh indah, tak terduga dan tak terselami, keteguhan iman kami telah Tuhan balas dengan anugerah yang indah dalam hidup kami. semoga sedikit sharing ini juga menguatkan iman serta pengharapan Uti dan Yoyok. God bless you
Bapak Albertus yang baik,
terimakasih atas sharing kisah penantian Bapak dan Ibu yang penuh iman dan kepasrahan kepada Allah Bapa yang telah berbuah manis dengan Tuhan memberikan kepada Bapak dan Ibu seorang putera kandung yang sehat. Kami merasa ikut berbahagia bersama Bapak dan merasa turut dikuatkan. Kami juga ingin meneladan sikap Bapak Albertus bersama Ibu yang menyerahkan kepada Tuhan sepenuhnya, termasuk rencana adopsi yang sudah pernah terlintas untuk dilakukan. Mengenai adopsi kami juga bergantung kepada Bapa. Kami menggumulkannya dalam doa bila memang itu kehendakNya agar niat kami dimurnikan dan kesempatan dibukakan sesuai dengan rencanaNya yang indah bagi kami dan semua umatNya. Sekali lagi terimakasih Bapak Albertus, salam kasih kami untuk Ibu dan putranya, semoga terus berjalan dengan sukacita bersama Tuhan yang Maha Setia, God bless you too
uti & yoyok
Dari pada ” Wis embuh” yang seperti “ngoso” (Jawa) dan seolah-olah tidak peduli, bagaimana kalau pokoknya “Nderek Gusti”, “Sumonngo kerso”, yang menggaris bawahi ketaatan kepada kehendak Tuhan yang memang mengetahu dan mengatur jalan dan liku-liku hidup kita?
Soenardi
Bapak Soenardi yang terkasih, terimakasih atas masukannya terhadap istilah yang saya gunakan untuk menggambarkan kepasrahan saya dan Yoyok kepada rencana Allah, yaitu “wis embuh” (enggak tahu deh). Yah mungkin saja istilah itu memang kurang tepat ya, atau terlalu terkesan ‘tidak mau tahu’. Mungkin itu juga pengaruh bahasa pergaulan yang sering saya dan Yoyok pakai sehari-hari dalam relasi kami berdua. Tetapi sebetulnya maksudnya tidak lain adalah karena kami sudah “saking yakin-nya” kepada penyelenggaraan Allah dalam hidup kami berdua, dalam pernikahan kami, dan dalam apapun juga segi kehidupan yang dijalani oleh anak-anakNya, yang merindukan Dia. Termasuk mengenai masa depan yang kami sama sekali tidak mengetahuinya. “Wis embuh” adalah ungkapan kami bahwa Allah Bapa yang menciptakan kami, mengerti apa yang terbaik bagi kami, mengerti kami sebaik-baiknya lebih dari kami sendiri mengerti diri kami, dan setiap sudut-sudut jalan kehidupan ada dalam kendaliNya untuk semata-mata membawa kami kepada tujuan hidup yang berkepenuhan di dalam Dia. Seperti juga yang Bapak sampaikan. Sekalipun bagi kami jalan-jalanNya tidak selalu mampu kami pahami. Tapi kami tidak ingin mempertentangkan atau memprotesnya, karena kami tahu Bapa tahu apa yang Dia lakukan. Maka jadinya ya wis embuh itu tadi. Justru tidak mengerti namun yakin itulah yang membuat kami tenang dan “pasrah bongkokan” ,tidak kami coba untuk dibahas atau diargumentasi. (Walaupun bukan berarti tidak berusaha ya, karena pasrah kami adalah pasrah aktif yaitu terus membuka diri juga terhadap kemungkinan-kemungkinan Allah Bapa yang tidak terbatas). Jadi yang kami maksud dengan wis embuh ini tidak bertentangan dengan usulan Bapak Soenardi yaitu “nderek Gusti” dan “sumonggo kerso” karena memang itulah esensi dari kepasrahan dan ketaatan kami. Kami tidak berkeberatan untuk menambahkan di belakang semboyan kami itu menjadi “wis embuh, kawulo nderek Gusti lan sumonggo kersaning Gusti”
Terimakasih atas perhatian dan masukan Bapak Soenardi yang semakin menguatkan perjalanan iman, kasih dan harapan kami bersama Bapa. Tuhan memberkati Bapak.
salam kasih,
uti & yoyok
Berkah Dalem Mbak Uti dan Mas Yoyok,
Semoga iman mbak Uti dan Mas Yoyok dikuatkan dalam “menunggu” berkah. Sembari berusaha secara logis manusiawi, saya yakin mbak Uti tak pernah berhenti melakukannya. Menunggu seperti yang dilakukan Hana pada Sang Mesias di Bait Allah yang dibawa Ibu Maria, menunggu dengan penuh harapan, menunggu dengan penuh kasih. Betapa senang hati, iman yang menunggu itu disegarkan, sehingga kita bisa mengenal nyanyian Hana yang dipenuhi Roh Kudus.
Banyak hal yang bisa kita lakukan sebagai umat-Nya, banyak yang jadi urusan DIA sendiri, yang Mbak Uti bilang “Wis Embuh.” Dalam doa ayo Mbak saya dukung, menyambut DIA datang, memberi kelegaan pada kehausan Mbak pada kasihNya yang nyata.
Terpujilah Allah terpujilah selama-lamanya. Amin
Shalom Mas Atmo,
Senang sekali membaca komen Mas Atmo di sini. Kami sangat gembira dan bersyukur kalau menunggu sembari ditemani dukungan doa dan perhatian Mas Atmo. Kami juga sangat berterima kasih atas saudara-saudara yang lain yang telah menyempatkan diri untuk membaca kisah kami dan berkenan memposting dukungan dan doanya lewat kolom ini. Terima kasih juga untuk teladan iman Hana yang Mas Atmo sertakan untuk menguatkan kami. Kita doakan juga pasangan-pasangan lain yang tengah merindukan kehadiran buah hati di antara mereka ya. Allah Bapa yang Pengasih sudah menggenggam kerinduan kami semua di tangan-Nya. Kita percayakan semua harapan dan kerinduan dalam penyelenggaraan-Nya yang terbaik. Tuhan menyertai selalu.
Utk Uti & Yoyok,
terima kasih atas sharingnya yang amat menguatkan, bacaan hari ini (ttg janji Tuhan kepada Sara lewat malaikat bahwa ia akan mendapat anak) mengingatkan saya akan pengalaman Anda dan beberapa kenalan yang saya temui yang mengalami nasib yang sama. Saya semakin percaya bahwa tidak ada yang mustahil dalam hidup. Kalaupun Tuhan memang tidak memberikan keturunan Tuhan tetap baik karena bagiNya tidak ada pengalaman hidup yang baik dan buruk, selama hasilnya adalah demi kebaikan hidup Anda berdua. Saya juga ingin membagikan beberapa pengalaman dari 2 orang yang saya temui. Saya pernah bertemu dengan seorang ibu yang sudah mati haid selama 8 tahun (ibu tersebut sudah memiliki 3 anak perempuan dan sudah berusia 40 tahun lebih), dan tiba2 setelah sekian lama karena dia mengira sudah menopause, dia merasa tidak enak badan dan ternyata di kandungannya sudah terdapat janin! Sempat timbul keraguan di dalam dirinya tentang kelangsungan hidup janinnya. Tetapi dia menganggap mungkin sudah rejeki dari yang di atas jadi apapun yg terjadi harus dipertahankan. Akhirnya 9 bulan kemudian lahirlah seorang bayi yang sehat dan ganteng (ternyata anak laki2). Wah senangnya keluarga tersebut dan sampai sekarang saya masih suka berjumpa dengan ibu tersebut untuk pemeriksaan kesehatan. Di lain kesempatan saya juga pernah mendapatkan pengalaman dari seorang wanita yang walaupun secara fisik sempurna ternyata dia juga bergulat bertahun2 dalam masalah sulit memperoleh keturunan. Berbagai macam pemeriksaan telah dijalankan, dia mengatakan untuk wanita pemeriksaan tersebut adalah proses yang amat sangat menyakitkan jika dibandingkan proses pemeriksaaan untuk pria. DIa juga sudah berganti2 dokter yang cukup ahli hingga akhirnya di tahun ke-9 semua dr angkat tangan karena tidak sanggup lagi menemukan kelainan pada dirinya (kedua belah pihak sehat walaupun tetap tidak dapat hamil). Dia juga hendak mencoba bayi tabung sebagai alternatif terakhir. Dan ibu ini juga berdiskusi dengan suaminya apabila cara terakhir tak berhasil, masalah tidak punya anak tidak perlu diperbincangkan lagi. Suaminya menyetujuinya. Sebelum mereka akan melaksanakan bayi tabung, ibu tersebut berziarah ke Tanah Suci (karena kebetulan ibu ini bekerja di suatu sekolah dan sekolah ini mengadakan ziarah ke sana). Di sana (terdiri dari 3 rombongan bis) mereka pergi ke beberapa tempat dan ada 1 tempat yang diyakini bahwa setiap doa apapun pasti akan dikabulkan. Ibu ini tidak begitu tertarik tetapi karena beberapa rekannya begitu semangat, mereka sampai berhasil membujuk sopir2nya utk pergi ke tempat tersebut (walaupun tidak termasuk dalam tempat ziarah yang dikunjungi, kalau tidak salah di daerah dekat Yesus dipermandikan oleh Yohanes). Jadi, kalau menurut ibu ini, dia “dikeroyok” doa oleh 3 rombongan bis. Dan setelah pulang ke Indonesia, ibu ini merasa kok badannya tidak enak dan kok mendadak tidak haid. Dia mencoba test pack (walaupun dia pesimis, karena 9 th tidak ada hasil), dia iseng2 mencoba, eh, ternyata kok positif. Dia hendak memberi kejutan kepada suaminya (dia meletakkan test packnya di atas meja makan) sambil menunggu reaksi suaminya. Pas suaminya melihat positif, suaminya cuma bisa berkata, “Kok bisa?” Antara kesal tapi bahagia kok sambutannya setelah 9 tahun cuma begitu saja (tapi saya yakin suaminya jaim, hehehe). Setelah lahir anak pertama, tahun berikutnya diikuti dengan kelahiran anak ke-2. Ibu ini sangat senang ingin menambah anak, sampai2 suaminya sekarang takut kalau ibu ini tidak haid (hehehe, sekarang haid tidak haid sama2 salah ya?) karena sekarang sudah “tokcer”. Ah, bu, ternyata manusia itu ada2 aja ya, Tapi Tuhan tetap senyum sama kita kok walaupun bagaimana. Mbak. saya tetap mendoakan Anda berdua untuk apapun hasilnya, saya yakin kok Tuhan sedang tersenyum kepada Anda berdua…GBU
Sdri Caecilia Loekito yang terkasih,
sungguh indah sharing yang sudah Saudari bagikan di sini buat kami. Terimakasih ya, karena semuanya menyalakan kembali harapan di hati kami berdua, yang tidak pernah padam, walaupun secara manusia, kami berdua mungkin tidak mempunyai apa-apa untuk diharapkan, karena kami berdua secara medis dinyatakan sulit berketurunan. Tetapi bersama Tuhan dan di dalam Tuhan, kami mempunyai seluruh harapan yang ada di bumi ini, dan sharing Sdri Caecilia membuktikan itu. Tidak ada yang mustahil bagi Tuhan, dan kami menggenggam iman itu erat-erat di hati kami. Terimakasih atas doa yang tulus Sdri Caecilia buat kami berdua, semua itu sungguh menguatkan dan membesarkan hati kami, yang kami yakini juga adalah bentuk penghiburanNya sendiri secara langsung buat kami. Jawaban atas doa kami mungkin tidak seperti yang kami bayangkan, dan jalan-jalan pengabulan itu juga mungkin tidak selalu sesuai seperti pikiran kami, tetapi kami tahu Tuhan sedang terus bekerja, kami mengalaminya selalu. Dan bahwa semua pergumulan dan harapan kami ini telah membawa kami terus mendekat kepadaNya, dan sesungguhnya itulah yang terpenting dari semuanya. Pengalaman yang Sdri Caecilia bagikan juga mengingatkan saya betapa Tuhan memperhitungkan iman orang-orang yang berdoa bagi orang lain. Ya, tiga bis orang yang “mengeroyok” doa spt kisah Ibu di atas. Persis seperti bacaan Injil hari ini ya (2 Juli 09) di Matius 9 : 1-8, Yesus melihat iman mereka (orang-orang yg membawa orang lumpuh untuk disembuhkan) dan Yesus pun berkata pada orang lumpuh itu bahwa dosanya sudah diampuni dan ia pun sembuh (ayat 2). Sekali lagi terimakasih Sdri Caecilia, doa dan kasih kami juga bersama Anda.
Gbu too,
uti & yoyok
sharingnya sangat sangat menyentuh hati,trims
Membaca kesaksian Uti dan Yoyok,saya jadi menitikan air mata karena saya juga mengalaminya bahkan masa penantian kami lebih panjang lagi dan doa kami baru terkabul setelah masa penantian dengan pasrah kami jalani setelah 13 tahun kami berumah tangga.
Saya menikah tahun 1986 dan baru diberi momongan anak pada tahun 1999, dalam perjalanan itu karena sebagai orang jawa juga selalu mendapat pertanyaan kapan punya anak ? bahkan adik2 saya yang menikah belakangan sudah mendapatkan momongan dan menurut nasehat orang tua juga akhirnya pada tahun 1990 saya dan istri sepakat mengadopsi anak yang pada saat itu umurnya 3 bulan katanya sebagai pancingan, namun penantian2 panjang juga kami alami dan bahkan sudah berobat kemana saja demi lahirnya seorang anak dari rahim isteri saya.
Berawal dari kepindahan tugas saya dari Madiun ke Padang Sumatera barat tahun 1997, selama setahun saya hidup membujang di Padang dan pertengahan 2008 saya baru memboyong keluarga kepadang pada saat itu usia anak angkat sudah 8 tahun naik kelas 3 SD, bulan desember 2008 isteri saya mengeluh merasa sakit masuk angin tapi tidak sembuh2 akhirnya kami mencoba memberanikan diri berobat ke dokter kandungan dan tanpa kami harapkan ternyata dokter menyatakan isteri saya hamil , setelah diberitahu hal itu kami sangat terharu dan mengucap syukur karena doa kami dikabulkan.
Anak kandung kami lahir Juli 1999, dan pada tahun 2004 kami dipindah tugaskan lagi ke Malang , kami sekeluarga boyongan lagi ke Malang, akhir tahun 2005 saya dipindah tugas lagi ke Madiun, karena anak angkat yang besar sudah kelas 3 SMA terpaksa tidak ikut pindah tetap sekolah di Malang, ternyata perpisahan kami dengan anak pertama sebagai tanda yang telah diberikan Bapa kepada kami sekeluarga karena pada bulan September 2007 anak angkat saya dipanggil menghadap Bapa di surga selamanya pada usia 17 tahun, cobaan apa lagi yang kami hadapi.
Bagi kami 1 Korintus 10:13 & Pengkotbah 3:11a sangat mengena, dan kami percaya bahwa yang kami alami adalah kehendak Bapa disurga
Salam kasih Pak Vincentius Bambang,
terimakasih juga atas kisah yang indah sekali yang telah Bapak bagikan kepada kami. Kami juga mengucapkan syukur kepada Bapa atas Stef dan Ingrid yang memberi kesempatan kepada kami untuk berbagi pengalaman iman di sini dan menjadi lebih kaya dalam kasih dan pengharapan kepada Tuhan karena bisa saling menguatkan di sini.
Luar biasa kehidupan keluarga Bapak Vincentius, karena kasih karunia Allah Bapa yang selalu menjadi sumber kekuatan dalam penantian akan kehadiran buah hati. Saya kagum kepada kepasrahan total Bapak dan Ibu kepada Tuhan dalam pergumulan dan kerinduan itu, termasuk ketika memutuskan untuk mengadopsi anak, yang pasti dilandasi keyakinan sepenuhnya bahwa Tuhan akan selalu mendampingi. Jawaban Tuhan atas penantian selama 13 tahun sungguh indah dan saya merasa bahwa sukacita yang sesungguhnya adalah ketenangan dan keyakinan Bapak berdua Ibu dalam menantikan Tuhan sampai akhirnya hari bahagia itu sungguh-sungguh tiba. Dan sekalipun kini si sulung telah kembali bersama Bapa di surga, saya merasa turut bersyukur bahwa ia boleh menghabiskan hidupnya bersama dengan Bapak dan Ibu Vincentius yang pasti telah mengasihinya dengan cinta yang penuh dan tanpa pamrih seperti cinta Tuhan sendiri. Kami ikut mendoakan kebahagiaan kekal di rumah Bapa baginya. Kami berdua juga ingin turut mendoakan Bapak Ibu Vincentius Bambang sekeluarga, semoga selalu berbahagia dalam Tuhan dan kesetiaan kepadaNya boleh terus menjadi saluran berkat bagi kasih Allah Bapa bagi sesama dan keluarga.
Salam kasih kami.
Uti & Yoyok
Comments are closed.