Sebenarnya, jika kita mempelajari tradisi umum penerimaan Ekaristi, kita akan menemukan dua cara, langsung ke mulut atau di tangan. Memang, pada sampai sebelum Vatikan II, penerimaan Ekaristi dilakukan langsung ke mulut, namun pada tahun 1969, Roma mengeluarkan surat Instruksi yang memperbolehkan dua cara penerimaan Ekaristi, yaitu di tangan dan di mulut, dengan memberikan anjuran agar sedapat mungkin dipertahankan tradisi pemberian Ekaristi langsung ke mulut, walau tidak menutup kemungkinan pemberian ke tangan, jika itu diputuskan oleh konferensi para uskup di tempat yang bersangkutan, asal tetap menjaga penghayatan dan penghormatan yang layak kepada Ekaristi. Selengkapnya, silakan baca dokumen Instruksi resmi yang dikeluarkan oleh Paus Paulus VI, “Memoriale Domini“, the Instruction on the Manner of Administering Holy Communion, The Congregation for Divine Worship on 29 Mei 1969 – silakan klik.
Sedikit kutipannya adalah sebagai berikut:
“After he had considered the observations and the counsel of those whom “the Holy Spirit has placed as bishops to rule” (11) the Churches, in view of the seriousness of the matter and the importance of the arguments proposed, the Supreme Pontiff judged that the long received manner of ministering Holy Communion to the faithful should not be changed.
(Menurut Bapa Paus, cara lama menyampaikan Komuni Kudus kepada umat [yaitu langsung ke mulut] seharusnya tidak diubah)
The Apostolic See therefore strongly urges bishops, priests, and people to observe zealously this law, valid and again confirmed, according to the judgment of the majority of the Catholic episcopate, in the form which the present rite of the sacred liturgy employs, and out of concern for the common good of the Church.
If the contrary usage, namely, of placing Holy Communion in the hand, has already developed in any place, in order to help the episcopal conference fulfill their pastoral office in today’s often difficult situation, the Apostolic See entrusts to the conferences the duty and function of judging particular circumstances, if any. They may make this judgment provided that any danger is avoided of insufficient reverence or false opinions of the Holy Eucharist arising in the minds of the faithful and that any other improprieties be carefully removed.
(Jika sebaliknya, yaitu penerimaan Komuni Kudus di tangan, sudah berkembang di suatu tempat, maka untuk membantu konferensi para uskup menunaikan tugas pastoral pada situasi yang kadang sulit, maka pihak Kepausan menyerahkan kepada konferensi [para uskup] tugas dan untuk menimbang keadaan tertentu, jika ada. Mereka boleh menerapkan kebijaksanaan asalkan bahaya apapun dihindari yaitu yang berkenaan dengan dengan kurangnya penghormatan atau pendapat yang salah tentang Ekaristi kudus yang timbul di pikiran umat dan segala hal yang tidak layak dapat dihilangkan)
In these cases, moreover, in order to govern this usage properly, the episcopal conferences should undertake the appropriate deliberations after prudent study; the decision is to be made by a two-thirds majority by secret ballot…”
Maka kita mengetahui bahwa secara objektif, cara yang terbaik yang sebenarnya dianjurkan oleh Bapa Paus adalah menerima Ekaristi langsung di mulut, sebab dikatakan bahwa penerimaan langsung ke mulut lebih menunjukkan penghormatan yang lebih tinggi kepada Yesus yang hadir di dalam rupa hosti. KGK 1377 mengatakan, bahwa Kristus hadir dalam Ekaristi “mulai dari saat konsekrasi dan berlangsung selama rupa Ekaristi ada. Di dalam setiap rupa, dan di dalam setiap bagiannya tercakup seluruh Kristus, sehingga pemecahan roti tidak membagi Kristus.” Penerimaan Komuni langsung ke mulut dapat menghindari tercecernya serpihan-serpihan hosti yang kita percayai mengandung seluruh Kristus. Maka jika Komuni diberikan di tangan, maka perhatian khusus harus diberikan agar tidak ada serpihan hosti yang tercecer. Dan tak kalah penting, adalah tetap dengan hormat menerima Tubuh Kristus dengan sikap batin yang baik.
Dari segi kepraktisan, penerimaan komuni lewat mulut akan menghindari kemungkinan orang-orang yang ingin mendapatkan hosti untuk maksud-maksud yang tidak baik.
Penerimaan hosti (Sang Sabda yang menjadi daging) langsung ke mulut juga sesuai dengan ‘penerimaan Sabda Tuhan’ yang diberikan kepada nabi Yehezkiel (lih. Yeh 2:1,8,9,3: 1-3).
Sejarah menunjukkan, bahwa sebenarnya penerimaan Ekaristi langsung ke mulut inilah yang dianjurkan oleh sebagian besar Bapa Gereja dan para orang kudus, seperti berikut:
- Paus St. Leo Agung (440-461) mengajarkan Yohanes bab 6 dengan mengatakan, “Seseorang menerima di mulut apa yang dipercayainya dengan iman.”
- Paus St. Gregorius Agung (590-604), dalam dialognya (Roman 3, c.3) menyebutkan bagaimana Paus St. Agapito melakukan mukjizat pada misa kudus, saat ia memberikan Ekaristi di mulut seseorang. Hal ini juga dikatakan oleh Yohanes Diakon.
- Konsili Rouen (650): “Jangan memberikan Ekaristi di tangan orang awam, melainkan di mulut.”
- Konsili Trullo (692) bahkan melarang pemberian Ekaristi di tangan.
- St. Thomas Aquinas (1225-1274) menekankan pentingnya sakramen Tahbisan suci untuk menyentuh dan membagikan Komuni suci.
- Bunda Teresa yang terberkati mengatakan bahwa masalah yang terbesar di dunia ini, menurut beliau, adalah bukan kelaparan, wabah, penyakit, perceraian, pemberontakan terhadap Tuhan, korupsi, bahaya nuklir, dst, tetapi bahwa umat menerima Komuni di tangan.
Mereka yang mendukung penerimaan Komuni di tangan, biasanya mengutip St. Sirilus/ Cyril (315-386) dari Yerusalem yang mengatakan, “Umat menerima Komuni dengan tangan kanan mendukung tangan kiri, dengan telapak yang membentuk cekungan; dan pada saat Tubuh Kristus diberikan, umat menjawab, Amen.” Atau juga St Basil (330-379) yang memperbolehkan pemberian Komuni di tangan pada zaman penindasan, yaitu pada saat tidak ada diakon/ imam yang dapat memberikan Komuni.
Lebih lanjut mengenai hal Komuni di tangan maupun langsung ke mulut dapat dilihat dilink ini – silakan klik.
Sebagai anggota Gereja Katolik di Indonesia, maka kita menghormati keputusan konferensi para uskup Indonesia, yang memperbolehkan penerimaan Ekaristi di tangan; walaupun sesungguhnya, kita dapat saja tetap menerima Ekaristi langsung di mulut, seperti yang dianjurkan oleh Bapa Paus. Bahkan pada Peringatan Corpus Christi yang baru lalu, di Vatikan, Bapa Paus Benedict XVI hanya memberikan Komuni langsung ke mulut pada umat yang menerimanya dengan berlutut. Kita membacanya di sini – silakan klik.
Di atas semua itu, perlu kita ingat, bahwa yang terpenting adalah penghayatan kita akan apa yang kita sambut; yaitu Kristus sendiri dalam rupa hosti. Cara penerimaan Komuni merupakan hal disiplin, yang jangan sampai mengaburkan makna Ekaristi itu sendiri. Jadi, walaupun kita dapat menerima Komuni dengan tangan, namun sudah seharusnya kita juga tetap dapat menerima Ekaristi langsung ke mulut jika dikehendaki, yang sebenarnya merupakan cara yang lebih baik untuk menerima Ekaristi – berdasarkan dari tradisi Gereja yang telah berlangsung sejak lama.
Saya sangat terkejut ketika teman ortodoks memposting mengenai komuni lewat mulut….
Adalah suatu yang terlarang bagi umat beriman untuk mengambil komuni kudus dengan tangan mereka, ancaman bagi mereka yang melanggar adalah dengan ekskomunikasi.”
Konsili ke tiga di Konstantinopel.
apakah ketetapan konsili tersebut sudah tidak berlaku lagi bagi gereja katolik sekarang ini? apa yang mendasari berubahnya peraturannya? apakah benar di zaman dahulu seorang bisa kena ekskomunikasi bila mengambil komuni lewat tangan?
thanks…
[Dari Katolisitas: Jika kita membaca teks Konsili ketiga di Konstantinopel yang disebutkan di ketiga situs ini: papalencyclical-klik di sini, menurut EWTN- klik di sini, atau menurut New Advent Encyclopedia, silakan klik, nampaknya pembahasan tentang ekskomunikasi sehubungan komuni dengan tangan, tidak ada/ tidak dibahas dalam Konsili tersebut.]
salam damai kristus,saya ada pertanyaan mengenai komuni, ketika saya menerima komuni di tangan kemudian saya mengambilnya untuk dimasukkan ke mulut hosti terjatuh,secara refleks saat itu saya langsung mengambil hosti kemudian dimasukkan ke mulut,bagaimana menurut hukum katolik yang seharusnya dilakukan seperti yang saya alami.Terima kasih.Tuhan memberkati Amin.
Shalom Bernardin,
Kalau kita menerima Tubuh Kristus di tangan dan secara tidak sengaja terjatuh, maka yang dapat dilakukan adalah: (1) Yang menjatuhkan (dalam hal ini umat) mengambil dan memakan-Nya – kalau kondisinya masih layak untuk disantap; (2) Kalau yang menjatuhkan yang membagi komuni, maka yang membagikan komuni dapat memakan-Nya atau menyimpannya untuk sementara. Kalau diputuskan untuk disimpan, maka Tubuh Kristus dapat direndam dengan air sampai larut dan kemudian dibuang di sacristies sacrarium (wastafel dengan pembuangan langsung ke tanah). Kalau gereja yang bersangkutan tidak mempunyai sacristies sacrarium, maka dapat dibuang di tanah yang ditumbuhi tanaman yang tidak diinjak orang.
Kalau sampai di lantai tempat Tubuh Kristus terjatuh ada serpihan kecil dan sulit diambil, maka dapat ditutup dengan kain putih terlebih dahulu untuk kemudian dibersihkan. Itulah sebabnya menjadi kewajiban bagi gereja-gereja untuk mempunyai dan mempergunakan patena pada saat komuni, sehingga Tubuh Kristus tidak akan sampai jatuh ke lantai.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
terima kasih banyak pak stef,info ini akan menjadi pelajaran berharga bagi saya dan bisa saya sharing bagi umat yang lain.
Salam damai Kristus,
Bernardin Melianna
Dari artikel diatas, saya mendapati: “Sebagai anggota Gereja Katolik di Indonesia, maka kita menghormati keputusan konferensi para uskup Indonesia, yang memperbolehkan penerimaan Ekaristi di tangan…”
Kemudian pada Redemptionis Sacramentum (RS) 92, dikatakan bahwa:
“…namun kalau ada orang yang ingin menyambut Komuni di tangan, di wilayah-wilayah di mana Konferensi Uskup setempat – dengan recognitio oleh Takhta Apostolik – telah mengizinkannya, maka hosti kudus harus harus diberikan kepadanya…” sumber: http://www.imankatolik.or.id/
“…if any communicant should wish to receive the Sacrament in the hand, in areas where the Bishops’ Conference with the recognitio of the Apostolic See has given permission, the sacred host is to be administered to him or her…” sumber: http://www.vatican.va/
Hal ini juga sudah disinggung oleh Rm. Bernardus Boli Ujan SVD dalam komentar pada artikel Sejarah Yang Mendasari Pengajaran Tentang Ekaristi seperti yang saya kutip dibawah ini:
“…hanya untuk komuni dengan tangan perlu diusahakan pengesahan KWI dan persetujuan dari Takhta Apostolik (Bdk Redemptionis Sacramentum no.92).”
Lalu yang ingin saya tanyakan, dalam berbagai diskusi banyak yang bertanya apakah Gereja Katolik di Indonesia (KWI) sudah mendapat persetujuan (recognitio) untuk dapat menerima/kan Komuni di tangan dari Takhta Apostolik?, mengingat dalam RS 173, pelanggaran terhadap RS 92 termasuk sebagai pelanggaran berat/grave matters
Gratias
Shalom Mikael Adrian,
Rm. Bosco Da Cunha O. Carm dari Komisi Liturgi KWI mengatakan demikian:
“Redemptionis Sacramentum” baru terbit beberapa tahun lalu (2004), tetapi komuni dengan tangan sudah diperbolehkan sejak beberapa dokumen sebelumnya, a.l. “Eucharistiae Sacramentum” no. 21. Percayalah bahwa KWI sudah memakai segala jalur resmi, jangan dimentahkan karena panik dengan dokumen baru. Bacalah antara laindari keputusan MAWI tahun 1968 tentang komuni di atas tangan diperbolehkan. Bacalah “Eucharistiae Sacramentum” nomor 21….penjelajahan atas dokumen harus lebih luas daripada sekedar soal “recognitio”…. Yang penting kita jangan panik dengan praktek yang belum sesuai aturan. Banyak hal dalam kaitan dengan peraturan-peraturan Liturgi masih terus disosialisasikan. Usaha ini merupakan suatu bina lanjut (ongoing formation) tiada henti…”
Berikut ini adalah kutipan dokumen-dokumen yang dimaksud:
1. Eucharistiae Sacramentum 21:
“Tetapi Konferensi Waligereja boleh menentukan – setelah keputusan mereka diteguhkan oleh Takhta Apostolik – bahwa dalam wilayah kekuasaannya komuni juga boleh diterimakan dengan meletakkan hosti kudus pada tangan umat beriman, asal saja dicegah jangan sampai hati mereka disusupi oleh sikap kurang hormat atau pandangan yang keliru mengenai Ekaristi Mahakudus………..Entah diterimakan pada lidah entah pada tangan penyambut, komuni kudus dibagikan oleh petugas yang berwewenang, yang menunjukkan dan menyerahkan hosti kudus sambil berkata, “Tubuh Kristus”; lalu ditanggapi penyambut dengan “Amin”.
2. Keputusan MAWI 1968
Di Indonesia, keputusan MAWI 1968 mengatakan, “Usul-usul yang diedarkan melalui PWI (Panitia Waligereja Indonesia untuk Liturgi- sekarang disebut Komisi Liturgi) dianggap sah oleh MAWI dan dapat dipakai untuk seluruh Indonesia. MAWI menyetujui penerimaan Komuni di atas tangan, dengan tetap menghormati kebebasan umat dalam hal ini.”
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Syalom Bu Ingrid,
Terima Kasih bu atas artikel tentang Komuni di tangan yang semakin menguatkan saya.
Saya sebenarnya sudah sejak 4 tahun yang lalu diajak oleh teman supaya menerima Hosti di mulut dengan cara berlutut. Tetapi saya masih ragu karena kurangnya pengetahuan tentang cara menerima Komuni dengan sikap yang sepatutnya. Menurut saya sepertinya terlalu “ekstrim” harus berlutut segala..
Akhirnya syukurlah sejak saya membaca buku Maria Simma “Bebaskan Kami dari sini” dan buku “Mukjizat Ekaristi”, saya menjadi sadar bahwa sikap saya selama ini rasanya kurang tepat walaupun diperbolehkan menyambut Komuni dengan tangan karena memang begitulah sejak 20thn yang lalu saya diajarkan pada waktu menjadi katekumen.
Perihal menyambut Komuni langsung di mulut dengan cara berlutut saya putuskan sejak beberapa bulan yang lalu. Selama ini tidak ada kendala karena saya biasa pergi ke Gereja yang sama entah itu Romo atau prodiakon yang membagikan mereka tidak mempermasalahkan. Tetapi 2 minggu yang lalu kebetulan saya tidak bisa menghadiri Misa ke Gereja yang biasa saya hadiri tapi saya mampir mengikuti Misa di sebuah kapel yang dijadikan tempat Misa setiap 1 minggu sekali.
Saya menjadi sangat kaget pada waktu Komuni tatkala saya berlutut dan membuka mulut saya tetapi Romo yang membagikan Komuni pada saya menatap saya dengan wajah ‘serius’ lalu berkata “Berdiri aja pake tangan aja”….saya terdiam lalu berdiri dan mebuka tangan barulah Komuni tersebut diberikan.
Padahal bukankah menurut artikel yang bu Ingrid tulis Bapa Paus saja menganjurkan dan kembali ditegaskan oleh Kardinal Arinze bahwa adalah hak setiap umat mengenai cara menyambut Komuni terlebih dengan sikap berlutut dan langsung di mulut?
Yang mau saya tanyakan seandainya Bu Ingrid mengalami situasi yang saya alami apa yang seharusnya Ibu lakukan? Karena setelah itu saya merasa sangat bersalah dan sekaligus kecewa juga sempat terpikir dan berjanji didalam hati tidak akan mendatangi lagi Kapel tersebut dan tidak akan pernah menyambut Komuni dengan Romo tersebut. Mohon pencerahannya bu.
Terima Kasih.
AVE MARIA
Shalom Laurentius Joni,
Ya, Bapa Paus Benediktus XVI sekarang membagikan Komuni untuk diterima di mulut dan berlutut. Menurut saya pribadi, ini adalah langkah yang baik, terutama jika maksudnya adalah untuk semakin menghayati akan Siapa yang kita sambut dalam Komuni Kudus. Namun demikian, menyambut dengan tangan sambil berdiri, jika tetap dihayati, juga diperbolehkan, sebab berdiri juga tetap dianggap sebagai salah satu sikap yang menghormati.
Saya baru saja menjawab pertanyaan seputar topik ini di sini, silakan klik.
Terus terang saya prihatin dengan pengalaman anda, dan mungkin memang ada para imam yang tidak mengetahui bahwa pihak Vatikan sebenarnya tidak pernah menghapuskan cara menerima Komuni di mulut, dan dengan berlutut. Jika misalnya imam itu mengetahui penjelasan Kardinal Arinze, misalnya, saya rasa mestinya beliau tidak bersikap demikian terhadap anda.
Anda bertanya, apa sikap saya jika saya mendapat perlakuan seperti anda. Maka saya jawab, saya akan berdiri, dan akan menyambut Komuni dengan tangan saya, seperti yang dikatakan imam itu pada saat itu. Hal ini saya lakukan karena penghormatan saya kepada Kristus yang juga hadir di dalam diri imam itu (sebab imam adalah ‘persona Christi’ pada saat memimpin Misa Kudus). Namun jika ada kesempatan setelah misa, saya akan menemui imam tersebut, dan saya akan berkenalan dengannya. Semoga Romo tersebut berkenan jika menawarkan kiriman video U-tube tentang penjelasan CDF dari Kardinal Arinze tersebut. Kalau beliau tidak mau menerimanya? Ya, atas ketaatan saya padanya, jika saya mengikuti misanya, saya akan menerima Komuni dengan tangan sambil berdiri; namun jika bukan dia yang mempersembahkan misa, saya akan kembali menyambut Komuni di mulut sambil berlutut.
Janganlah sampai hal seperti ini mengganggu anda, Joni. Sebab pada akhirnya yang terpenting adalah sikap batin dan penghayatan anda akan Siapa yang anda sambut dalam Ekaristi itu. Tuhan Yesus pasti memahami situasi anda, dan Dia berkenan akan cara apapun anda menyambut-Nya (berdiri ataupun berlutut, di tangan ataupun di lidah), sepanjang anda menyambut-Nya dengan penuh rasa hormat dan syukur.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Syukur kepada Allah tritunggal Maha kudus,
Saya bersyukur telah banyak tulisan dari Ibu yang mendukung komuni langsung di mulut. Sejak sekitar 8 bulan yang lalu setelah membaca buku Bebaskanlah kami tentang jiwa-jiwa di api pencucian, saya mulai memberanikan diri untuk emnyambut komuni langsung di mulut dan sampai sekarang.
saya mencari literatur tentang hal ini, namun belum ketemu. Kotbah Pastor di gereja (mungkin alasan pastoral) juga jarang menyinggung hal ini. syukurlah ada tulisan ini, dan saya download semua Bu…Terima kasih.
memang pengalaman merasakan komuni di mulut beda, rasanya tangan ini semakin dekat untuk menyambut komuni semakin mengatup dengan kuat. Dan rasanya memang benar-benar lebih menghormati tubuh suci itu.
Sekarang rasanya saya pingin sekali berlutut saat menyambut tubuh suci itu, namun saya takut dikira bikin sensasi…., kadang dalam pikiran saya apakah saya perlu ijin Romo dulu? tetapi saya bukan orang yang suci bersih, malah takut dibilang sok suci…. Ya… saya serahkan pada Roh kudus agar membimbing saya dan keluarga untuk menghidupi iman dengan sikap yang benar.
menurut Ibu bagaimana….ya saya seharusnya?
Mendengar Ibu juga menerima komuni di mulut saya bersyukur sekali…
Semoga Roh Kudus senantiasa membimbing gerejanya, amin.
Terima kasih ibu
Shalom Vincentius,
Cara menerima Komuni yang umum dilakukan menurut ketentuan dari Vatikan adalah dengan cara berlutut ataupun berdiri, dan pihak keuskupan berhak untuk menentukan cara apa yang dianggap sebagai norma di keuskupannya. Maka jika suatu keuskupan memutuskan bahwa norma untuk menerima Komuni suci adalah dengan berdiri, (entah Komuni diterima dengan tangan ataupun dengan lidah/ di mulut) maka umat dapat mengikuti ketentuan ini. Namun demikian, jika seseorang tetap memilih untuk menerima Komuni dengan berlutut, maka ia tetap dapat untuk menerimanya (Imam ataupun petugas pembagi Komuni, harus tetap memberikan Komuni kepadanya). Hal ini dijelaskan dengan sangat jelas dan gamblang oleh Kardinal Arinze (Kardinal Arinze adalah Prefect Emeritus of the Congregation for Divine Worship and the Discipline of the Sacraments) dalam wawancara di U tube berikut ini, dengan judul More on kneeling for Communion, silakan klik.
If a person prefers to kneel while receiving Holy Communion can he do so anywhere in the world? (Jika seseorang memilih untuk berlutut sewaktu menerima Komuni Kudus, dapatkah ia melakukannya di manapun di dunia?)
Cardinal Arinze says:
Yes! (Ya)
GIRM- the General Instruction on the Roman Missal- Par #160, ….Communion is to be received kneeling (that is the traditional position) or standing, according as the bishops of the country may decide…… Even if the norm [in the diocese] is standing, if you want to kneel you remain free to do so.
(Menurut GIRM, Komuni harus diterima dengan cara berlutut (ini cara tradisional) atau berdiri, tergantung dari keputusan para uskup di negara itu ….. Meskipun normanya adalah berdiri, jika kamu mau berlutut, kamu tetap bebas untuk melakukan itu (yaitu menerima Komuni dengan berlutut).
Saya rasa jelaslah yang disampaikan oleh Kardinal Arinze ini. Maka jika anda ingin menerima Komuni dengan berlutut, silakan saja anda lakukan. Apalagi setelah saya tanyakan kepada Romo Boli, belum ada ketentuan tertulis di keuskupan di Indonesia yang tentang keseragaman cara (misal dengan cara berdiri) sebagai norma yang diberlakukan untuk menerima Komuni kudus di keuskupan- keuskupan di Indonesia. Maka, tidak menjadi masalah, anda dapat menerima Komuni dengan berdiri atau berlutut, dengan tangan atau dengan mulut/ lidah. Yang terpenting terimalah dengan hormat dan syukur.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
saya mw tanya..
kenapa di Indonesia diberlakukan menerima komuni kudus di tangan, dan knp tidak mengikuti vatican yg menerima komuni kudus langsung di mulut?
dari buku yg pnh saya baca..
kita seharusnya menerima komuni kudus langsung di mulut dengan seorang romo..
Shalom Benedicta Maria,
Pertanyaan anda rasanya sudah terjawab di artikel di atas, dan rangkaian tanya jawab berikut ini, Silakan dibaca terlebih dahulu, dan jika ada yang belum jelas, silakan bertanya lagi.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Ada pertanyaan yang agak mengganggu pikiran saya. Mengapa komuni ditangan dijinkan? Sejak kapan hal itu berjalan? yang lebih tepat itu menerima komuni langsung di mulut atau di tangan? Atau kedua-duanya boleh dilakukan? Apakah Imam bersedia memberikan komuni langsung ke mulut? Terima kasih
Shalom Saulus,
[Dari Admin: Jawabannya sudah tertulis di atas, silakan klik]
Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
Ingrid Listiati
Bu Inggrid yang baik, sungguh saya berterimakasih sekali atas jawabannya yang jelas, dengan di dasarkan pada sumber-sumber yang membuat saya menjadi mantap tidak skrupel. Jika boleh dilanjutkan satu lagi yang saya btuthkan penjelasan dari ibu, yaitu di gereja/paroki saya, yang membagikan komuni selain para romo, dilakukan juga oleh para ‘prodiakon’, apakah ini ada dasar teologinya ? Atau saya harus selalu berusaha menerima komuni dari romo ? Terima kasih sebelumnya.
Shalom Saulus,
Menurut Kitab Hukum Kanonik sebenarnya yang berhak membagikan Komuni kudus adalah uskup, imam atau diakon. Ketiga kelompok pelayan ini berstatus klerikal dan ditahbiskan. Namun diperbolehkan juga petugas luar-biasa (extra-ordinary minister) yang umum kita kenal dengan sebutan petugas pro-diakon untuk membagikan Komuni kudus, jika diperlukan untuk kondisi tertentu. Hal ini diatur dalam KHK, sebagai berikut:
1) Kan. 910 – § 1. Pelayan biasa komuni suci adalah Uskup, imam dan diakon.
§ 2. Pelayan luar-biasa komuni suci adalah akolit dan juga orang beriman lain yang ditugaskan sesuai ketentuan kan. 230, § 3.
2) Kan. 230 – § 3. Bila kebutuhan Gereja memintanya karena kekurangan pelayan, juga kaum awam, meskipun bukan lektor atau akolit, dapat menjalankan beberapa tugas, yakni melakukan pelayanan sabda, memimpin doa-doa liturgis, menerimakan baptis dan membagikan Komuni Suci, menurut ketentuan-ketentuan hukum.
3) Menurut PCILT (Pontifical Council for the Interpretation of the Legislative Texts), interpretasi yang otentik dari kedua kanon (Kann. 910 – § 1dan 230 § 3) adalah: Jika ada pelayan biasa Komuni suci yang hadir dan tidak terhalang [misal oleh sangsi] maka para pelayan luar-biasa tidak perlu menjalankan tugasnya.
Jadi, misalnya pada misa harian, saat umatnya sedikit, sehingga imam sendiri dapat membagikan komuni, maka prodiakon tidak perlu bertugas. Atau jika pada kesempatan Misa tertentu, pastor yang hadir ada 6 orang, maka para prodiakon tidak diperlukan (namun ini juga tergantung juga dari jumlah umat yang hadir, sesuai dengan kebijaksanaan pastor paroki).
Jadi prinsipnya, jika para pro-diakon itu resmi ditugaskan oleh pastor paroki, sesuai dengan Kann. 910 – § 1dan 230 § 3, maka kita dapat menerima Komuni yang dibagikan oleh mereka. Namun memang perlu dipahami oleh para pro-diakon bahwa mereka bertugas hanya jika Gereja kekurangan pelayan. Jika jumlah imam pada suatu misa sudah cukup, maka mereka tidak perlu bertugas, atau sesungguhnya tidak boleh bertugas. Jadi di sini mereka (para pro-diakon) sebenarnya berlaku sebagai ‘cadangan’ jika diperlukan, sehingga sifatnya adalah ‘diizinkan’ (permissive) untuk melaksanakan tugas membagikan Komuni kudus dan bukannya ‘diharuskan’ (preceptive) melaksanakan tugas itu.
Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
Ingrid Listiati
Comments are closed.