[Hari Minggu Biasa ke-VI: Im 13:1-2.44-46; Mzm 32:1-2.5.11; 1Kor 10:31-11:1; Mrk 1:40-45].
Tak terbayangkan olehku, betapa memalukannya menjadi seorang yang sakit kusta, di zaman nabi Musa (lih. Im 13 dan 14) bahkan sampai ke zaman Yesus. Sudah badannya sakit, masih ditambah dikucilkan semua orang, termasuk oleh keluarganya sendiri. Ia harus memakai pakaian yang rombeng, dan membiarkan rambutnya terurai —mungkin maksudnya biar terlihat acak-acakan dan menarik perhatian. Ia harus menutupi mukanya sambil berteriak-teriak, “Najis! Najis!” supaya orang-orang menjauh dan tidak tertular. Penyakit kusta dapat mengakibatkan kerusakan pada kulit dan mata, anggota-anggota tubuh yang memendek dan bengkok…. Singkatnya, membuat orang yang terkena penyakit itu menjadi buruk rupa.
Jika demikian keadaan orang kusta itu, tidaklah mengherankan jika ia menjadi nyaris putus asa, karena kesembuhan yang dinanti nampak mustahil, seiring dengan bertambah parahnya penyakitnya. Dalam keadaan semacam ini, ia mendengar tentang Yesus yang dikabarkan telah menyembuhkan banyak orang sakit (lih. Mrk 1:34). Maka orang kusta itu pun nekad mendatangi Yesus. Walau menurut hukum Musa, orang kusta harus tinggal terasing di luar kota, namun hari itu ia masuk kota untuk menemui Yesus yang sedang berkeliling di sekitar Galilea. Ia datang kepada Yesus. Tersungkur dan berlutut di hadapan Tuhan Yesus, ia berkata, “Kalau Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku.” Lalu Yesus mengulurkan tangan-Nya dan menjamah orang itu. Tak sulit membayangkan betapa besar kasih Yesus kepadanya dan oh, betapa besar rasa syukur orang kusta itu, ketika mendengar perkataan Yesus, “Aku mau, jadilah engkau tahir.” Suatu adegan yang mestinya sangat membekas di hati para murid-Nya, sehingga ketiga penulis Injil —Matius, Lukas dan Markus— mencatat frasa yang sama persis: Ia mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu. Yesus tidak segan menjamah orang itu, walaupun menurut hukum Musa, orang yang menyentuh seorang yang kusta akan dianggap najis. Namun Yesus tidak berada di bawah hukum Taurat, melainkan berada di atasnya. St. Bede mengatakan, “Tuhan Yesus datang tidak untuk membatalkan hukum Taurat namun untuk menggenapinya. [Maka] orang yang dikeluarkan oleh hukum Taurat ditahirkan oleh kuasa Tuhan Yesus. Rahmat yang membersihkan kotoran kusta orang itu tidak datang dari hukum Taurat, tetapi dari Yang ada di atas hukum Taurat…. Dengan menjamah orang kusta itu, Yesus membuktikan bahwa Ia tidak dapat menjadi najis [oleh hukum itu]. Sebab yang terjadi adalah sebaliknya, Ia membebaskan orang yang sakit itu dari kenajisannya. Juga mengagumkan, bahwa Yesus menyembuhkan dengan cara yang sama dengan cara bagaimana orang itu telah memohon agar disembuhkan….” (St. Bede, Marc. i,9) Orang kusta itu telah merendahkan dirinya, dengan datang berlutut di hadapan Yesus, maka Yesuspun datang merengkuhnya, menjamahnya dan menyembuhkan dia.
Rindukah kita akan belas kasih Tuhan seperti ini? Sebenarnya, Tuhanlah yang lebih dulu rindu menyembuhkan kita dari segala kelemahan dan dosa kita. Kita tak perlu berlama-lama menunggu agar Yesus datang melintasi tempat tinggal kita. Setiap hari kita dapat menjumpai-Nya dalam Ekaristi kudus, dalam tabernakel-Nya, dan dalam jiwa kita sendiri jika kita berada dalam keadaan rahmat. Dan secara khusus, Yesus hadir dalam sakramen Pengakuan dosa. Di sanalah Ia akan menyembuhkan kita dari segala dosa kita, jika kita membiarkan rahmat-Nya menembus kedalaman jiwa kita. Namun untuk memperoleh kesembuhan itu, diperlukan kerendahan hati dari pihak kita, seperti yang dilakukan oleh orang kusta itu. Kemunafikan dan kesombongan yang membuat kita menyembunyikan kesalahan, sesungguhnya merupakan penyakit terburuk bagi jiwa kita. Sebab sikap ini membuat kita tidak pernah sungguh bertobat. Namun kejujuran terhadap diri sendiri dapat membantu kita melihat segala kelemahan kita. Kerendahan hati untuk mengakui dosa-dosa kita adalah syarat utama agar jiwa kita dapat disembuhkan oleh Tuhan. Maka marilah kita mempersiapkan hati untuk memasuki Masa Prapaska yang telah menanti di ambang pintu. Dengan pertobatan sejati, marilah kita menghampiri sakramen Pengakuan Dosa, untuk menjumpai Tuhan Yesus sendiri yang melalui para imam-Nya, akan mengampuni kita.
Biarlah dengan tersungkur di hadapan Tuhan, seperti orang kusta itu, aku berseru, “Ya Tuhan, kalau Engkau mau—dan aku tahu Engkau selalu mau—Engkau dapat menyembuhkan aku. Inilah kelemahan dan dosa-dosaku… Engkau tahu aku telah mengalami pergumulan ini, yang membuatku merasa tak berdaya. Tuhan, inilah luka-luka di jiwaku. Jika luka-luka ini bahkan telah membengkak, aku tak malu memperlihatkan semua itu kepada-Mu, sebab kuyakin Engkau dapat menyembuhkannya. Berbelas kasihanlah kepadaku, ya Tuhan, dan ampunilah aku. Biarlah aku mendengar perkataan-Mu yang kurindukan itu, “Aku mau. Jadilah engkau sembuh.” Dan jamahan-Mu itu tentu akan menyembuhkan dan memulihkan jiwaku. Terima kasih ya Tuhanku, dan Allahku. Amin.”