Bagaimana umat Katolik menyikapi teori evolusi dan apakah teori evolusi ini bertentangan dengan iman? Pertama-tama kita harus memegang bahwa karena iman dan akal itu sama-sama berasal dari Allah, maka kita percaya bahwa seharusnya tidak ada pertentangan antara iman dan akal (reason) dan science yang menjadi hasil dari akal tersebut untuk mencapai kebenaran, asalkan pencarian kebenaran tersebut dilakukan dengan tulus tanpa memasukkan ide-ide pribadi yang kemudian dianggap sebagai kebenaran.

Teori Evolusi yang kita kenal sebenarnya merupakan suatu hipotesa, yang masih memerlukan pembuktian lebih lanjut, agar dapat dikatakan sebagai kebenaran. Sementara ini, bukti ilmiah belum dapat dikatakan mendukung hipotesa tersebut.  Ada dua inti besar teori Evolusi- yang dikenal sebagai “Macroevolution/ evolusi makro”yang dipelopori oleh Darwin:

  1. Semua mahluk hidup berasal dari mahluk sederhana yang terdiri dari satu sel atau lebih, yang terbentuk secara kebetulan.
  2. Species baru terbentuk dari species lain melalui seleksi alam, dengan melibatkan kemungkinan variasi, di mana variasi tersebut dapat bertahan dan berkembang biak. Dalam abad ke-20, hal ini diperjelas dengan memberi penekanan pada kemungkinan mutasi sebagai cara pembentukan variasi. Posisi ini dikenal sebagai Neo- Darwinism.

Sebelum kita membahas lebih lanjut, kita melihat bahwa di sini terdapat 2 jenis evolusi, yaitu Evolusi makro, dan evolusi mikro. Evolusi makro membicarakan evolusi melewati batas-batas species, di mana species secara berangsur-angsur berubah menjadi species yang lain. Sedangkan evolusi mikro adalah evolusi yang berada di dalam batas satu species. Mikro evolution adalah suatu realita yang dapat kita amati secara langsung pada alam, jadi tidak perlu dipermasalahkan. Umumnya, evolusi mikro ini berhubungan dengan adaptasi dengan lingkungan baru, dan berupa pengurangan organ dan bukan penambahan dan penyesuaian.
Teori evolusi yang kita kenal umunya adalah evolusi makro. Ini bertentangan dengan iman, karena definisinya, teori Evolusi makro merujuk pada asumsi bahwa tidak ada campur tangan Tuhan (sebagai Divine Intelligence) sebagai pencipta umat manusia.

Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa terdapat beberapa problem mengenai teori Evolusi makro, baik dari segi filosofi maupun ilmu pengetahuan, dan akal sehat kita sesungguhnya dapat menilai mana yang benar:

A. Problem Evolusi makro dari sudut pandang filosofi:

  1. Teori Darwin berpendapat bahwa dari mahluk yang lebih rendah dapat dengan sendirinya naik/ membentuk mahluk yang lebih tinggi, yang disebabkan oleh kebetulan semata-mata, (dan bukan disebabkan karena campur tangan ‘Sesuatu’ yang lebih tinggi derajatnya). Ini bertentangan dengan prinsip utama akal sehat: sesuatu/ seseorang tidak dapat memberikan sesuatu yang tidak dimilikinya.
  2. Teori Darwin tidak berdasarkan fakta konkrit bahwa species tertentu memiliki ciri khusus yang tidak dipunyai oleh species lain; sebab teori ini beranggapan bahwa semua species seolah-olah tidak punya ciri tertentu dan dapat berubah menjadi species yang lain, seperti tikus menjadi kucing, kucing menjadi anjing, dst. Hal ini tentu tidak terjadi dalam kenyataan.
  3. Teori ini mengajarkan bahwa kemungkinan variasi terjadi karena ‘kesalahan’/ hanya kebetulan; dan ini seperti mengatakan bahwa musik disebabkan oleh ‘keributan’ semata-mata.
  4. Teori Darwin tidak dapat menjelaskan perbandingan paralel antara hasil karya manusia dan satu sel mahluk hidup. Karena akal sehat dapat melihat secara objektif bahwa hasil karya manusia/ teknologi betapapun bagus dan rumitnya tidak memiliki kehidupan sedangkan mahluk satu sel memiliki kerumitan tertentu yang dapat menyebabkan ia hidup dan berkembang. Maka jika teknologi tersebut (yang lebih rendah jika dibandingkan dengan mahluk satu sel) dihasilkan oleh mahluk dengan akal yang tinggi (yaitu manusia), maka betapa hal itu harus lebih nyata dalam hal penciptaan mahluk satu sel tersebut, yang seyogyanya diciptakan oleh mahluk yang jauh lebih tinggi dari manusia.
  5. Evolusi tidak dapat menjelaskan keberadaan keindahan alam di dunia. Jika segala sesuatu adalah hasil kebetulan yang murni, maka hal itu tidak dapat menjelaskan bagaimana kebetulan itu bisa menghasilkan keindahan yang ditimbulkan oleh keteraturan/ ‘order’. Dari pengalaman sehari-hari, kita mengetahui tidak mungkin terdapat kebetulan-kebetulan murni yang bisa menghasilkan keteraturan dan keindahan.
  6. Teori Darwin tidak membuktikan bahwa Tuhan Sang Pencipta tidak ada, melainkan teori ini mengambil asumsi ketidak-adaan Tuhan sebagai titik tolak. Bahwa kemudian dikatakan bahwa pembuktian ‘kebetulan secara ilmiah’ tersebut menunjukkan demikian, itu hanya merupakan demonstrasi untuk mengulangi suatu pernyataan yang diasumsikan sebagai kebenaran.

B. Problem Evolusi makro dari segi Ilmu Pengetahuan:

  1. Kenyataannya, species mahluk hidup sudah jelas memiliki keterbatasan ciri-ciri yang secara genetik tidak dapat berubah. Sampai saat ini tidak ada bukti nyata tentang pembentukan species baru dari species lain menurut seleksi alam.  Jikapun ada, maka mahluk persilangan ini tidak mempunyai kemampuan untuk berkembang biak. Contoh: ‘mule’ , persilangan antara kuda dan keledai, tidak dapat berkembang biak/ steril.
  2. Hasil penemuan fosil tidak menunjukkan perubahan yang berangsur secara terus menerus pada species yang satu dan yang lain. Yang ditemukan adalah bentuk yang stabil untuk jangka waktu yang lama, dan tidak ditemukan fosil species perantara  yang menghubungkan satu species dengan yang lain. Jika benar ada mahluk antara kera dengan manusia, tentu fosil mahluk antara kera dan manusia harus banyak ditemukan, namun sampai saat ini tidak demikian, sehingga dikatakan bahwa terdapat ‘missing links’ antara fosil kera dan fosil manusia. Betapa ini menunjukkan bahwa mahluk penghubungnya tidak ditemukan karena memang tidak ada! Sekalipun jika klaim missing links tersebut benar-benar dianggap otentik, tetaplah menjadi suatu pertanyaan, mengapa temuan fosil-fosil itu relatif sangat sedikit/jarang, sebab jika teori ini memang benar, maka seharusnya fosil peralihan tersebut harus dengan mudah ditemukan, sebab perubahan tersebut, jika dikatakan terjadi melalui seleksi alam maka perubahannya secara gradual dan memakan waktu yang lama, sehingga fosilnya seharusnya relatif mudah ditemukan, seperti penemuan fosil kera dan fosil manusia, kedua species yang konon dihubungkan oleh “the missing links” tersebut.
  3. Mutasi menunjukkan adanya pengurangan organ ataupun modifikasi organ yang sudah ada, karena kebetulan dan tidak essensial, seperti perubahan warna, bentuk, dst. Namun mutasi tidak dapat menjelaskan sesuatu yang tadinya tidak ada jadi ada. Jadi prinsipnya ‘indifferent/regressive’ dan bukan ‘progressive’.
  4. Darwin sendiri mengamati dengan teliti evolusi mikro, namun masalahnya dia menjadikannya sebagai rumusan untuk evolusi makro, walaupun sesungguhnya tidak dapat menjawab bagaimana sesuatu yang lebih sederhana membentuk sesuatu yang lebih rumit. Tidak usah jauh-jauh bicara soal keseluruhan tubuh; sebab bagaimana perkembangan dari satu sel menjadi organ mata atau telinga (yang walaupun kecil tapi kompleksitasnya cukup tinggi) saja belum dapat dibuktikan.
  5. Perhitungan matematika, yaitu teori probabilitas menunjukkan bahwa kemungkinan perubahan dari mahluk sederhana (1 sel atau lebih) menjadi mahluk yang kompleks adalah sangat kecil dan seluruh sejarah manusia tidak cukup untuk merealisasikan perubahan itu. Mungkin alibi ini termasuk yang paling mungkin dari pandangan ilmiah untuk membuktikan bahwa evolusi makro itu tidak mungkin terjadi. Salah satu tokoh evolusi seperti  Jacques Monod (1910-1976) sendiri mengakui bahwa kemungkinan evolusi dari mahluk bersel satu adalah “hampir nol” dan kemungkinan terjadi hanya sekali (Jacques Monod, Chance and Necessity, NY, Alfred A. Knopf, 1971, p.114-145). Monod seorang ahli biologi, menyuarakan pendapat dalam hal biologis, namun hal ini tidak sejalan dengan kemungkinan secara matematika, yaitu bagaimana satu kemungkinan yang langka tersebut dapat terjadi, dan dapat menjadi dasar perkembangan manusia dalam kurun waktu sejarah manusia yang terbatas. Menurut statistik, hal ini tidak mungkin.
  6. Seandainya benar, maka diperlukan waktu yang sangat panjang untuk realisasi kemungkinan mutasi/ ‘kebetulan’ ini. Keterbatasan waktu sejarah manusia yang menunjukkan paling lama sekitar 10.000- 15.000 tahun tidak memberikan jawaban untuk kemungkinan teori ini. George Salet menulis, “…ilmu pengetahuan menemukan fungsi DNA, duplikasinya dan perkembangannya memberi dasar bagi spekulasi matematika bahwa, … periode geologis harus dikalikan dengan 10 diikuti dengan ber-ratus atau ber-ribu-ribu nol, untuk memberikan waktu bagi terbentuknya sebuah organ baru, walaupun organ yang paling sederhana sekalipun.” (diterjemahkan dari George Salet, “Hasard et certitude. Le transformisme devant la biologie actualle, Paris, 1972, p. x)
  7. Ilmu pengetahuan mengakui kompleksitas mahluk hidup ber-sel satu, dan tidak dapat menjelaskan bagaimana asal usul kehidupan. Dalam hal ini tokoh evolusi menawarkan penyelesaian dengan teori ‘blind chance’, tetapi seperti Monod sendiri mengakui, hal ini masih problematik, dan lebih tepat disebut sebagai ‘teka-teki’. (Ibid., p. 143)

Kenyataan di atas sesungguhnya dapat membantu kita untuk melihat hal Evolusi tersebut secara lebih objektif. Kini, mari kita lihat pandangan Gereja mengenai hal evolusi ini, yang dapat saya rumuskan dalam beberapa point:

  1. Kita percaya bahwa jiwa manusia diciptakan secara langsung oleh Allah, dari yang tadinya tidak ada jadi ada. Jiwa ini dihembuskan kedalam embrio manusia yang terbentuk dari hubungan suami istri. Jadi jiwa manusia bukan berasal dari produk evolusi. Dalam surat ensiklik Humani Generis (1950), Paus Pius XII menolak ide evolusi total (yang menyangkut tubuh dan jiwa) manusia dari kera (primate). Dalam Humani Generis 36, Paus Pius XII mengajarkan bahwa meskipun dalam hal asal usul tubuh manusia, masih dapat diselidiki apakah terjadi dari proses evolusi, namun yang harus dipegang adalah: semua jiwa manusia adalah diciptakan langsung oleh Tuhan. Namun demikian mengenai evolusi tubuh manusia itu sendiri, masih harus diadakan penyelidikan yang cermat, dan tidak begitu saja disimpulkan bahwa manusia yang terbentuk dari ‘pre-existing matter’ tersebut sebagai sesuatu yang definitif.
    Jadi ide evolusi total ini sama sekali bukan hipotesa bagi orang katolik. Namun demikian, para ilmuwan dapat terus menyelidiki hipotesa bahwa tubuh manusia dapat diambil dari kehidupan yang sudah ada (ancestral primate), walaupun juga dengan sikap hati-hati, “great moderation and caution”. Tetapi ia harus memegang bahwa semua manusia diturunkan dari satu pasang manusia (monogenism), bukan dari banyak evolusi paralel (polygenism) seperti pada hipotesa tertentu, sebab semua manusia diturunkan dari Adam dan Hawa. Dan hal ini sesuai dengan konsep “dosa asal” yang diturunkan oleh manusia pertama.
  2. Mengenai penciptaan tubuh manusia dari materi yang sudah ada sebenarnya tidak bertentangan dengan sabda Tuhan yang menciptakan tubuh Adam dari tanah/ debu, yang kemudian dihembusi oleh kehidupan, yang menjadi jiwa manusia (Kejadian 2:7). Namun hal ini tidak bertentangan dengan penciptaan manusia seturut gambaran Allah, sebab yang dimaksudkan di sini adalah manusia sebagai mahluk rohani yang berakal dan memiliki kehendak bebas.
  3. Jadi diperbolehkan, (walau tentu harus  mempertimbangkan adakah buktinya yang meyakinkan) jika orang berpikir bahwa kemungkinan tubuh primata dapat berkembang mendekati tubuh manusia dan pada titik tertentu (di tengah jalan), Tuhan menghembusi jiwa manusia ke dalam tubuh manusia itu yang kemudian terus berevolusi (evolusi mikro) sampai menjadi manusia yang kita ketahui sekarang. St. Thomas Aquinas I, q.76, a.5, menyebutkan bahwa teori  yang menyebutkan bahwa manusia adalah hasil evolusi dari kera (evolusi makro), harus kita tolak. Tubuh Adam haruslah merupakan hasil dari campur tangan Tuhan untuk mengubah materi apapun yang sudah ada (pre-existing matter) dan menjadikannya layak sebagai tubuh yang dapat menerima jiwa manusia. Campur tangan ini mungkin saja luput dari pengamatan ilmiah, seperti yang diakui sendiri oleh Monod, saat mengatakan bahwa asal usul hidup manusia adalah suatu teka-teki.
    Tidak mungkin bahwa dalam satu tubuh dapat terdapat dua macam jiwa, yang satu adalah rational (manusia) dan yang kedua, irrational (kera), sebab terdapat perbedaan yang teramat besar, yang tidak terjembatani antara jiwa kera dan jiwa manusia. Lagipula tubuh kera bersifat spesifik yang diadaptasikan dengan lingkungan hidup yang tertentu. Jadi tidak mungkin bahwa tubuh manusia merupakan hasil dari perubahan-perubahan ‘kebetulan’ dari tubuh kera.
    Kemungkinan yang lebih masuk akal adalah, jika manusia diciptakan melalui ‘pre-existing matter’ seperti dari tubuh kera sekalipun, terdapat campur tangan Tuhan untuk mengubah tubuh tersebut menjadi tubuh manusia, yang tidak merupakan kelanjutan dari tubuh kera tersebut, seperti halnya terdapat campur tangan Tuhan untuk menghembuskan jiwa manusia ke dalam tubuh manusia itu, yang bukan merupakan kelanjutan dari jiwa kera. Inilah yang secara ilmiah dikenal sebagai ‘lompatan genetik’, namun bedanya, ilmuwan mengatakan itu disebabkan karena kebetulan semata, sedangkan oleh Gereja dikatakan sebagai sesuatu yang disebabkan oleh campur tangan Tuhan.
    Namun demikian, karena sejauh ini, sains belum dapat membuktikan secara meyakinkan bahwa tubuh manusia berasal dari “pre-existing mater“, maka sikap Gereja  melihat masalah ini adalah dengan sikap berhati-hati (“moderation and caution“- HG 36)
  4. Cardinal Schonborn dalam artikel di New York Times tgl 7 Juli 2005 menjelaskan bahwa pengamatan pada mahluk hidup yang telah menunjukkan ciri-ciri yang final menyebabkan kita terkagum dan mengarahkan pandangan kepada Sang Pencipta.  Membicarakan bahwa alam semesta yang kompleks dan terdiri dari mahluk-mahluk yang ciri-cirinya sudah final ini, sebagai suatu hasil ‘kebetulan’, sama saja dengan ‘menyerah’ untuk menyelidiki dunia lebih lanjut. Ini sama saja dengan mengatakan bahwa akibat terjadi tanpa sebab. Ini tentu saja seperti membuang pemikiran akal manusia yang selalu mencari solusi dari masalah.”
  5. Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa, akal sehat manusia pasti dapat memperoleh jawaban untuk pertanyaan yang menyangkut asal usul manusia. Keberadaan Tuhan Pencipta dapat diketahui secara pasti melalui karya-karya ciptaan-Nya, dengan terang akal budi manusia.. KGK no 295 mengatakan, “Kita percaya bahwa Allah menciptakan dunia menurut kebijaksanaan-Nya. Dunia bukan merupakan hasil dari kebutuhan apapun juga, ataupun takdir yang buta atau kebetulan.”

Uraian di atas adalah merupakan prinsip dasar mengapa kita sebagai orang Katolik tidak dapat menerima teori Evolusi makro ala Darwin, sebab prinsip ajaran Gereja adalah manusia diciptakan bukan sebagai hasil kebetulan, tetapi karena sungguh diinginkan oleh Allah. Sedangkan mengenai evolusi mikro di dalam batas species, kita semua dapat menerimanya, sesuai dengan penjelasan di atas. Prinsipnya, jikapun ada evolusi, tidak mungkin melangkahi batas penyelenggaraan Allah. Allah-lah yang menciptakan manusia, yaitu jiwa dan tubuh. Jiwa manusia diciptakan dari ketiadaan, (out of nothing) dan tubuh dari materi yang sudah ada (pre-existing matter) namun Allah mempersiapkan tubuh itu agar layak menerima jiwa manusia.  Kesatuan tubuh dan jiwa manusia tersebut diciptakan sesuai dengan gambaran Allah.

Selanjutnya, hal analisa mineral dan outer space hanya merupakan metoda ilmiah, yang hasilnya juga tidak dapat menjawab misteri asal-usul kehidupan.

Jadi dalam hal ini kita melihat benang merah antara science dan iman. Di samping pertimbangan akal sehat pada hasil penelitian evolusi, pada akhirnya diperlukan kerendahan hati untuk menerima apa yang diajarkan oleh Gereja. Gereja tidak menentang science, namun juga tidak dapat menyatakan hipotesa ilmiah sebagai kebenaran, karena statusnya masih hipotesa dan belum sepenuhnya dapat dibuktikan.

33 COMMENTS

  1. baru baru ini okt 2014 kenapa Paus Fransiskus menyetujui teori evolusi dan big bang yah? padahal saya setuju dgn pemahaman Gereja sebelumnya, yg seperti Bapak dan Ibu penulis jelaskan.

    [Dari Katolisitas: Silakan membaca terlebih dahulu artikel ini, yang baru saja kami tayangkan untuk menanggapi pertanyaan Anda, silakan klik. Paus tidak mengatakan bahwa ia menyetujui teori Big Bang. Yang dikatakannya adalah bahwa teori Big Bang yang dewasa ini diasumsikan sebagai asal usul dunia-pun mensyaratkan campur tangan Allah sebagai Pencipta-Nya. Demikian pula pada evolusi pada masing-masing mahluk ciptaan [maka secara implisit menyatakan evolusi mikro], mensyaratkan Allah yang menciptakan terlebih dulu, ‘sesuatu’ itu yang dapat berevolusi.]

    • Great article! Sayangnya umat Katolik masih banyak sekali yg belum paham ttg kasus ini, masih banyak yang berfikir bahwa mereka adalah keturunan monyet. Sebaiknya ada perlunya juga dibuat seminar2 ttg terjadinya bumi dalam sudut pandang Gereja Katolik. God bless.

  2. Diskusi yang sangat menarik…

    Saya rasa sains dan keimanan semestinya tidak dipertentangkan karena keduanya merupakan unsur yang membangun kodrat manusia yang utuh. Manusia diberi kelengkapan-kelengkapan yang memungkinkannya menjadi makhluk purna: akal budi, hati nurani, dan kehendak bebas. Menjadi manusia yang utuh berarti menjadi manusia yang seimbang antara akal budi, hati nurani, dan kehendak bebasnya.

    Sains membantu menjelaskan mengenai hal-hal yang bersifat material. Namun dengan semata-mata sains saja seseorang tidak dapat menjadi manusia yang utuh. Oleh karena itu diperlukan iman.

    Saya bukan seorang ahli sains. Namun saya ingin men-share sedikit yang saya ketahui.

    Kenyataannya, ada hewan-hewan tertentu yang tak mengalami perubahan apapun (kecuali ukuran tubuh) selama jutaan tahun, misalnya Deinosuchus – species buaya yang hidup di zaman Cretaceous (sezaman dengan T-Rex), stuktur tubuhnya persis sama dengan buaya zaman sekarang, hanya lebih besar (dengan panjang 11m). http://en.wikipedia.org/wiki/Deinosuchus

    atau Megalodon, misalnya – hiu yang diperkirakan hidup 28-1,5 jt tahun yang lalu, struktur tubuhnya tidak berbeda dengan hiu zaman sekarang, hanya lebih besar (14-18 meter panjangnya) http://en.wikipedia.org/wiki/Megalodon

    kalau teori makro-evolusi benar, seharusnya dua makhluk ini sudah berevolusi menjadi species lain mengingat luasnya rentang waktu antara zaman purba dengan zaman sekarang. Kenyataannya tidak demikian.

    Semoga bermanfaat.

    Berkah Dalem.

    “The intellectual knowledge of eternal things pertains to wisdom; the rational knowledge of temporal things, to science” -St.Augustine

  3. Shalom,

    Terima kasih atas artikel yang ditulis di atas, sangat baik sekali. Memang kita masih sering melihat benang merah di antara iman dan sains.
    Untuk khusus teori Darwin ini, Teori ini tidak dapat dinyatakan benar, namun juga tidak dapat dinyatakan salah. Ada baiknya kita jangan terlalu menjadi fanatik dan menentang teori tersebut tanpa dasar yang jelas. Selalu ingat, bahwa iman yang kuat selalu terbuka oleh ilmu pengetahuan.
    Menurut saya, walaupun sering terlihat pertentangan antara sains dengan agama dan iman, percayalah bahwa sains selalu mendukung agama. Ilmu pengetahuan diciptakan dengan tujuan untuk menjelaskan hasil ciptaan Tuhan yang ajaib dan indah. Maka sebagaimana kerasnya pun manusia dengan pengetahuannya ingin menjelaskan Tuhan (Sang Pencipta), tidak akan berhasil, karena ilmu pengetahuan itu sendiri sudah di desain untuk menjelaskan hasil ciptaan, bukan Sang Pencipta.

    Demikian pendapat saya,
    Trims

    [dari katolisitas: Kami memang berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara iman dan ilmu pengetahuan. Silakan saja ilmu pengetahun mencari secondary cause, dan iman terus mendalami first cause. Santo Paus Yohanes Paulus II menuliskan dalam fides et ratio, bahwa iman dan akal budi adalah seumpama dua sayap burung yang membawa manusia pada kontemplasi kebenaran.
    Namun prinsip penciptaan alam semesta yang dianut oleh para penganut teori evolusi makro, yaitu bahwa alam semesta tercipta oleh karena kebetulan, itu sudah dinyatakan oleh Gereja sebagai sesuatu yang salah. Katekismus mengajarkan:

    KGK 295 Kita percaya bahwa Allah menciptakan dunia menurut kebijaksanaan-Nya (Bdk. Keb 9:9). Dunia bukanlah hasil dari salah satu kebutuhan, satu takdir yang buta atau kebetulan. Kita percaya bahwa ia berasal dari kehendak Allah yang bebas, yang berkenan membuat makhluk ciptaan mengambil bagian dalam ada-Nya, dalam kebijaksanaan-Nya dan dalam kebaikan-Nya: “Sebab Engkau telah menciptakan segala sesuatu; dan oleh karena kehendak-Mu semuanya itu ada dan diciptakan” (Why 4:11). “Tuhan, betapa banyak perbuatan-Mu, sekaliannya Kaujadikan dengan kebijaksanaan” (Mzm 104:24). “Tuhan itu baik kepada semua orang, dan penuh rahmat terhadap segala yang dijadikan-Nya” (Mzm 145:9).]

  4. Halo,

    Kalaupun memang evolusi makro masih hipotesa yang belum teruji kebenaranya,
    apakah dibenarkan untuk secara langsung mengambil kesimpulan bahwa manusia diciptakan sesuai dengan kata Injil? Menurut saya itu juga bias sebab belum ada bukti-bukti pendukung juga.

    [Dari Katolisitas: Pertanyaan ini digabungkan karena masih satu topik, dan dikirimkan oleh pengirim yang sama.]

    Penerimaan teori evolusi mikro dan penolakan teori evolusi makro menurut saya suatu hal yang kurang tepat. Akumulasi dari mutasi yang terjadi akibat evolusi mikro sangat lah mungkin menembus batas-batas antar species.
    Selanjutnya, apabila durasi proses evolusi makro itu sendirilah yang dijadikan dasar untuk penolakan, menurut saya juga kurang tepat bila mengambil kesimpulan bahwa proses evolusi makro tidak terjadi.
    Kemudian mengenai mengapa ikan, burung, kucing, anjing, kera tidak menjadi manusia memang merupakan argumen klasik. Perlu dipahami ikan burung kucing sudah dalam kondisi stabil untuk survive dalam lingkungannya. Mengapa manusia selalu dijadikan sebagai tujuan akhir evolusi?

    [Dari Katolisitas: Pertanyaan ini digabungkan karena masih satu topik, dan dikirimkan oleh pengirim yang sama.]

    Mengapa perubahan dari suatu bentuk menjadi bentuk lain dijadikan tujuan akhir dari sebuah evolusi? Evolusi terjadi sebagai salah satu cara untuk beradaptasi, menyesuaikan diri dengan lingkungan, survival. Jikalau memang organisasi tubuh suatu species sudah optimal untuk kondisi lingkungannya, mengapa harus berevolusi menjadi species lain?

    Salam,
    Yuwono

    • Shalom Yuwono,

      Kitab Suci bukan merupakan buku sains. Namun demikian, Kitab Suci menyampaikan kebenaran yang menjadi dasar ajaran iman Kristiani. Kebenaran yang disampaikan tentang Penciptaan manusia, yang disampaikan dalam tiga bab pertama dalam Kitab Kejadian, adalah:

      • Penciptaan segala sesuatu oleh Tuhan pada awal mula;
      • penciptaan manusia secara khusus;
      • pembentukan wanita pertama dari pria pertama;
      • kesatuan seluruh umat manusia;
      • kebaikan asal mula dari orang tua pertama (Adam dan Hawa) dalam tingkat keadilan, integritas, dan kekekalan;
      • perintah yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk menguji ketaatannya;
      • pelanggaran terhadap perintah ilahi karena bujukan setan dalam rupa ular,
      • penurunan tingkat orang tua pertama (Adam dan Hawa) dari keadaan awalnya yang tidak berdosa; dan
      • janji akan Sang Penebus di masa mendatang.

      Memang butir-butir kebenaran ini mungkin saja tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, namun sebaliknya, tidak ada bukti ilmiah yang dapat menunjukkan bahwa ini tidak benar. Selanjutnya tentang apa saja kebenaran historis yang disampaikan dalam ketiga bab pertama Kitab Kejadian dapat dibaca di artikel ini, silakan klik.

      Maka, yang dijabarkan dalam Kitab Suci adalah tentang “apa/ what” yang terjadi dalam Penciptaan itu, dan bukan secara detail menjabarkan “bagaimana/ how” hal tersebut terjadi. Demikianlah, misalnya, Kitab Suci tidak menjabarkan secara rinci tentang proses ataupun jangka waktu penciptaan dunia. Tentang hal ini, silakan saja sains membuktikan, namun yang penting kita memegang prinsipnya, bahwa meskipun dikatakan bahwa penciptaan alam semesta terjadi secara bertahap, namun semua itu diciptakan oleh Allah, sebagai Penyebab Pertama dari terciptanya segala sesuatu.

      Dengan demikian, hal evolusi makro yang mengarah kepada hipotesa bahwa segala mahluk terjadi dari evolusi sebuah sel yang terjadi dengan sendirinya tanpa campur tangan Sang Pencipta, itulah yang patut dipertanyakan kebenarannya, sebab hal ini bertentangan dengan “self-evident principle” (prinsip yang sudah begitu jelas dengan sendirinya, sehingga tidak perlu dibuktikan), yaitu bahwa sesuatu tidak dapat memberi apa yang tidak lebih dahulu dimilikinya. Dengan prinsip ini, diketahui bahwa mahluk bersel satu, tidak mungkin berkembang sendiri menjadi mahluk lain yang lebih kompleks. Anggapan bahwa mahluk bersel satu dapat menjadi mahluk yang lebih kompleks dengan sendirinya, sebenarnya juga mensyaratkan asumsi yang juga tidak dapat dibuktikan.

      Fakta bahwa umumnya kelompok mahluk hidup (ikan, burung, kucing , anjing, buaya, dst) sudah merupakan kelompok yang stabil dalam kurun waktu yang sangat lama, merupakan bukti yang cukup kuat bahwa evolusi makro bukanlah merupakan teori yang mudah dibuktikan. Dalam hal ini surat dari Benedictus Prima mungkin relevan untuk dibaca, silakan klik.

      Di samping itu, fosil yang membuktikan keberadaan ‘mahluk transisi’ antara suatu jenis hewan dengan hewan lainnya, sejauh ini belum/ tidak ditemukan. Dan sekalipun dianggap ditemukan, hal itu melibatkan asumsi sejumlah peneliti, sehingga belum dapat dipastikan kebenarannya. Dalam ranah iman, ‘mahluk transisi’ yang diyakini sejumlah peneliti sains sebagai mahluk yang menurunkan manusia pertama, menjadi bahan diskusi yang cukup serius. Sekilas tentang ‘Manusia Purba’ ini telah pernah diulas di sini, silakan klik.

      Gereja terbuka terhadap masukan penelitian sains, namun tentu hal ini tetap harus didasarkan oleh argumen yang kuat, dan tanpa mengorbankan prinsip akal budi dan self-evident principle, sebagaimana telah disebutkan di atas.

      Sejujurnya, pertanyaan/ pernyataan yang serupa dengan komentar Anda sudah pernah ditanyakan oleh seorang pembaca yang lain, dan juga sudah pernah kami tanggapi dengan cukup panjang, di tanya jawab ini, silakan klik.

      Silakan untuk membaca tanya jawab tersebut terlebih dahulu.

      Selanjutnya tentang pertanyaan Anda: Mengapa perubahan dari suatu bentuk menjadi bentuk lain dijadikan tujuan akhir dari sebuah evolusi?, itu bukanlah ranah kami untuk menjawabnya. Sebab kami tidak menyatakan bahwa perubahan bentuk menjadi bentuk lain adalah tujuan akhir dari evolusi. Definisi evolusi yang umum diterima para ahli adalah: ‘sebuah proses di mana organisme berubah dalam kurun waktu tertentu sehingga keturunannya menjadi berbeda dari nenek moyangnya’. Di sini tidak disebutkan tentang tujuan akhir evolusi, namun hanya apa yang diartikan sebagai evolusi. Bahwa oleh sejumlah peneliti, manusia dianggap sebagai tujuan akhir dari evolusi mahluk hidup, kemungkinan dihubungkan dengan fakta bahwa sepanjang sejarah yang diketahui manusia, belum ada mahluk lain yang diturunkan oleh manusia, yang lain daripada manusia yang merupakan mahluk yang lebih tinggi/ lebih sempurna dari manusia.

      Anda benar bahwa evolusi menjadi suatu cara untuk beradaptasi, menyesuaikan diri dengan lingkungan atau untuk mempertahankan diri/ survival. Maka memang benar, evolusi tidak harus diartikan bahwa evolusi adalah perubahan suatu mahluk hidup untuk menjadi mahluk hidup yang lain. Evolusi yang terjadi karena adaptasi dengan lingkungan ataupun survival, dapat terjadi dalam lingkup kelompok mahluk hidup itu sendiri, dan inilah yang umum dikenal sebagai evolusi mikro. Hal ini dapat dibuktikan secara ilmiah, dan karena itu tidak ada masalah bagi kita untuk juga mengakuinya.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

      • Dear Inggrid,

        Terima kasih atas responnya. Saya apresiasi pola pikir skeptik anda, dan saya harapkan dari para pembaca juga mencoba untuk bertindak skeptik terhadap apapun, tanpa pandang bulu.

        Yang pertama saya ingin menanggapi tentang pernyataan berikut :
        “Memang butir-butir kebenaran ini mungkin saja tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, namun sebaliknya, tidak ada bukti ilmiah yang dapat menunjukkan bahwa ini tidak benar. ”
        Saya setuju bahwa tidak bisa mengatakan bahwa penciptaan manusia tidak benar 100% karena tidak ada permbuktiannya. Namun, at least ada teori alternatif yang di back-up dengan evidence sehingga menurut saya probability keabsahan teori evolusi lebih tinggi dari sains Penciptaan.

        Yang kedua mengenai fosil, boleh lah anda berpendapat bahwa ada gap.
        Namun evolution with natural selection tidak hanya bisa dibuktikan dengan penemuan fosil, namun juga melalui kemiripan urutan basa DNA antara species-species di bumi ini.
        Jika kita membandingkan urutan basa penyusun genome makhluk hidup, maka kita akan melihat sebuah “family tree”. Ini menunjukkan bahwa perbedaan-perbedaan phenotype yang terjadi antara species terjadi karena akumulasi dari ribuan, jutaan, milyaran evolusi mikro.

        Terima kasih sebelumnya.

        • Shalom Bonek,

          Sesungguhnya apa yang Anda anggap sebagai evidence bagi teori evolusi makro itu juga dibangun atas hipotesa. Karena, dari fosil yang ditemukan misalnya, tetap dimasukkan hipotesa rekonstruksi dari sang peneliti, tentang seperti apakah kiranya bentuk ‘mahluk hidup’ aslinya, dari serpihan/ bagian-bagian fosil yang ditemukan. Hipotesa ini terus diuji oleh penelitian dari waktu-waktu, sehingga masih dapat direvisi oleh ilmuwan yang lain di zaman yang lain. Terlihat di sini, misalnya dalam berbagai teori/ hipotesa Manusia Purba, yang pernah kami ulas sekilas di sini, silakan klik.

          Berbagai hipotesa sehubungan dengan evolusi itu sendiri sifatnya masih demikian ‘cair’, sehingga para ilmuwan sendiri masih mempunyai pandangan yang berbeda-beda tentang asal usul mahluk hidup di dunia ini. Teori evolusi yang berpegang bahwa keberagaman mahluk hidup tercipta karena proses perubahan secara perlahan yang dimulai dari satu sel sederhana, atas seleksi alam yang terjadi secara kebetulan/ random semata, juga kemudian dipertanyakan setelah ditemukannya klaim penemuan fosil akibat Cambrian Explosion yang diperkirakan terjadi sekitar 550 juta tahun yang lalu. Sebab sejumlah ilmuwan berpendapat, bahwa baru sejak saat itu terciptalah berbagai jenis kehidupan yang tak dikenal sebelumnya, dan beragam jenis ini sangatlah berbeda dengan kehidupan organisme sebelumnya yang umumnya terdiri dari sel-sel sederhana yang sesekali membentuk koloni. Dengan fakta ini saja, kita mengetahui bahwa penelitian tentang evolusi mahluk hidup masih mengundang perdebatan di kalangan para ahli. Kita dapat membaca mengenai hal itu melalui sumber-sumber informasi di internet, lewat google atau wikipedia, sehingga tak perlu dibahas di sini.

          Dalam scoope yang lebih sempit, perdebatan para ahli juga melahirkan perbedaan pandangan tentang urutan evolusi kuda, yang berakhir dengan pernyataan sang ahli yang bersangkutan bahwa transformasi yang seragam dan terus menerus dari Hyracotherium into Equus, yang sudah dikenal akrab oleh berbagai penulis buku textbook sebagai asal usul kuda dari serigala, kemungkinan tidak pernah terjadi. Tentang hal ini pernah dibahas di sini, silakan klik.

          Nah, dengan berbagai hasil penyelidikan ilmiah, memang bisa saja dijumpai kemiripan struktur genetika antara suatu mahluk hidup yang satu dengan yang lainnya, namun adalah suatu hal yang berbeda, untuk mengatakan bahwa kemiripan tersebut pasti berasal dari satu sumber yang sama. Atau bahwa pasti evolusi makro dapat terjadi dari akumulasi jutaan atau milyaran evolusi mikro. Setidaknya hal itu tidak dengan mudahnya dibuktikan oleh sains itu sendiri, sehingga para ahli pun sampai sekarang belum mencapai kata sepakat tentang hal itu.

          Nah, sesungguhnya Gereja Katolik tidak menutup diri tentang penyelidikan ilmiah tentang teori evolusi. Sejauh ini, Paus di Vatikan menerima masukan dari Pontifical Academy of Sciences, yang juga dengan sungguh-sungguh meneliti tentang hal ini. Gereja Katolik berpegang, sekalipun dapat dibuktikan bahwa makro-evolusi itu ada, yaitu bahwa tubuh manusia tercipta dari sesuatu yang lain (sehingga ini menjadi interpretasi bagi ‘pre-existing matter‘ atau apa yang disebut sebagai ‘debu tanah’ Kej 2:7), hal tersebut hanya mungkin terjadi karena campur tangan Tuhan. Namun sejauh ini, belumlah ada hasil penyelidikan ilmiah yang dianggap final, yang dapat dijadikan dasar bagi Gereja Katolik untuk menyatakan demikian. Sebagai umat Katolik, kita menunggu saja pernyataan dari Magisterium tentang hal ini.

          Jadi yang ditolak oleh Gereja Katolik adalah kesimpulan umum yang dicanangkan oleh paham evolutionism yang mengarah kepada interpretasi materialistik, yaitu bahwa segala proses itu terjadi secara acak, sebagai sesuatu yang terjadi begitu saja tanpa campur tangan Sang Penyebab segala sesuatu -yaitu Tuhan. Sebab paham ini mensyaratkan pembuktian secara materi, Tuhan, yang bukan materi. Di sinilah seharusnya masuk peran suatu cabang ilmu lain yaitu metafisika/ filosofi yang ditunjang oleh logika akal budi. Sayangnya tak semua dari para ilmuwan itu mau terbuka mendengarkan masukan dari filosofi ini, yang sesungguhnya juga diberikan Tuhan kepada manusia, sebagai bagian dari salah satu sayap bagi manusia untuk sampai kepada pengetahuan akan kebenaran; selain dari satu sayap lainnya yaitu peran iman terhadap apa yang diwahyukan Tuhan.

          Demikianlah tanggapan saya akan komentar Anda. Bagi saya, tidak apa jika Anda menganggap saya skeptis. Bagi saya, yang terpenting adalah berpegang kepada pengajaran Magisterium Gereja Katolik, yang telah diberi kuasa oleh Kristus untuk mengajar tentang iman dan moral, yang tidak mungkin salah (lih. Mat 16:18-19). Sedangkan mengenai pandangan sains tentang evolusi, bisa saja itu menjadi bahan bacaan dan masukan, namun karena semua itu masih merupakan hipotesa yang belum dapat dipastikan kebenarannya, saya memilih untuk tidak langsung mempercayainya. Adalah hak Anda jika Anda berpandangan sebaliknya, dan mari kita saling menghormati pandangan kita masing-masing.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          Ingrid Listiati- katolisitas.org

          • Shalom Bonek,

            Silakan membaca terlebih dahulu artikel ini, silakan klik, yang baru saja ditayangkan untuk menanggapi komentar Anda.

            Ya, saya juga setuju, jika diskusi kita tentang evolusi ini kita akhiri sampai di titik ini, karena memang tidak ada lagi yang dapat kami sampaikan sehubungan dengan posisi Gereja Katolik yang tidak berubah, bahkan juga dengan pernyataan yang diajukan oleh Paus Fransiskus belum lama ini.

            Ada banyak berita media massa yang salah menafsirkan pernyataan Paus, sehingga membuat kesan seolah-oleh Paus telah mengubah posisi Gereja Katolik tentang evolusi, namun sebenarnya tidaklah demikian. Apa yang disampaikan Paus Fransiskus itu senada dengan yang pernah disampaikan oleh para pendahulunya, termasuk St. Paus Yohanes Paulus II dan Paus Benediktus XVI.

            Untuk lain kali, untuk lebih memahami makna pemberitaan Kepausan, lebih baik Anda mengacu kepada sumber- sumber Katolik (seperti CNA, CNS, EWTN), dan bukan kepada mass media sekular, yang mempunyai kecenderungan untuk menyesuaikan topik yang diberitakan dengan opini publik, ataupun opini sang penulis/ peliput, yang belum tentu sesuai dengan maksud sang narasumber, yaitu dalam hal ini, Paus Fransiskus.

            Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
            Ingrid Listiati- katolisitas.org

  5. Syalom Ibu Inggrid,
    Terimakasih atas penjelasan yang sangat rasional, argumentatif dan komprehensif tentang pandangan Katolik tentang teori evolusi. Saya percaya, jawaban ini juga adalah pekerjaan Allah yang dinyatakan melalui Roh Kudus. Saya benar-benar mengikuti alur diskusi ini dengan cermat. Satu hal yang perlu saya tambahkan bahwa antara teori evolusi dengan teori creatio (penciptaan)tidak ada pertentangan. Teori penciptaan yang menjadi dasar pemikiran Katolik menjelaskan tentang penciptaan sesuatu dari yang sebelumnya tidak ada menjadi ada. Sedangkan teori evolusi menjelaskan bagaimana sesuatu itu berproses setelah sesuatu itu ada.

    Sekalipun saya awam tentang sains, satu hal yang mengganjal dalam diri saja tentang teori Evolusi Darwin adalah evolusi yang menyebabkan perubahan spesies, misalnya dari kera menjadi manusia. Pertanyaanya: entah setelah manusia sekarang ini, manusia akan menjadi apa lagi? Hal ini cukup sulit dibuktikan sebab tidak ada manusia pun menguasai Sang waktu untuk mengamati aliran evolusi itu. Tentu akan lebih rumit lagi dengan adanya prinsip mutasi gen yang menjelaskan teori Darwin untuk menegaskan tentang perubahan spesies. Itu berarti bisa saja mutasi Gen menyebabkan satu spesies yang tidak ada hubungan sama sekali misalnya dari kera menjadi pohon. dalam konteks inilah saya berpikir bahwa Teori evolusi belum saya terima secara akal sehat sehingga masih bersifat hipotesa sekalipun sebagian besar ahli sains mengakuinya seperti yang dikatakan Saudaraku Terkasih Mas Djoko. Saya juga berpikir bahwa dalam ilmu pengetahuan, kebenaran ilmiah bukan dinyatakan oleh mayoritas penerima sebab kebenaran ada dalam dirinya sendiri (in se) bukan soal banyaknya pengakuan terhadapnya. Bisa saja para ahli tidak sempat berpikir alternatif karena mereka dibatasi oleh paradigma pemikiran yang sama. Jadi, menurut saya hal ini masih menjadi hipotesa, sebab tidak ada pembuktian yang cukup tentang hal ini sebab rentang waktu yang sangat lama tidak bisa membuktikan apakah satu spesies sekarang ini muncul dari satu spesies yang juga ada sekarang ini. Akhirnya dasri pergulatan akal sehat saya menyimpulkan bahwa penjelasan akal sehat belum mampu menjelaskan realitas yang ada. Imanlah yang mampu menjelaskan semua hal yang berada di luar jangkauan itu. Ratio hanya salah satu media untuk menjelaskan iman (ancillae fides)

    • Shalom Kristian,

      Sebagaimana telah diuraikan panjang lebar di atas, Evolusi ini ada dua macam, evolusi makro dan evolusi mikro. Gereja Katolik dapat menerima adanya evolusi mirko, karena memang dapat dibuktikan secara ilmiah. Sedangkan, evolusi makro inilah yang tidak dapat langsung diterima oleh Gereja, karena teori evolusi makro ini berhubungan anggapan bahwa seluruh dunia berasal dari satu sel yang terjadi dengan sendirinya, yang kemudian berevolusi menjadi semakin kompleks. Nah maka ada dua masalah besar di sini, yaitu 1) selain bahwa masih belum dapat dibuktikannya perubahan species dari binatang yang lebih rendah/ sederhana ke binatang yang lebih tinggi/ lebih kompleks (dan juga perubahan dari tumbuhan menjadi binatang, atau binatang menjadi manusia); juga 2) tidak bisa dibuktikan bahwa satu sel yang menjadi asal dari segalanya itu, terjadi dengan sendirinya, entah oleh big bang atau suatu kejadian sejenis itu, yang terjadi secara kebetulan, tanpa ada yang menyebabkan.

      Nah, namun argumen Anda memang masuk akal. Sebab teori Darwin itu sendiri menjadi pertanyaan besar, sebab kalau argumennya adalah bahwa setiap mahluk itu terus berevolusi linear, mengapa sampai sekarang masih ada ikan, burung, kucing dan anjing, kera dan segala binatang yang lain, tanpa semuanya berevolusi menjadi manusia. Atau kalau manusia semua ini juga berevolusi, menjadi apakah nanti kiranya manusia? Keterbatasan manusia mengamati (karena hanya dapat hidup sekian tahun saja) dibandingkan dengan durasi proses evolusi makro itu, kalaupun ada, yang beribu atau berjuta tahun itu, yang menjadikan sulitnya manusia menyediakan bukti akurat bagi hipotesa/ teori evolusi tersebut.

      Jika Anda tertarik dengan topik ini, mungkin bisa membaca juga artikel tentang Manusia Purba, di sini, silakan klik, dan juga tanya jawab di bawahnya.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  6. Dear Bu Ingrid,
    Penjelasan anda “super” sekali.
    Saya sangat puas dengan penjelasan anda.

    Ada “kata-kata bijak” :
    Closed minded people never had a challenging thought.

    Saya sendiri banyak debat juga di page-page (pernah debat di page bhs Inggris), dengan orang Atheis, dll.
    Saya juga mengalami, bahwa kadang orang-orang yang “menutup diri” pada iman, sama sekali tidak mau mendengar tentang “penjelasan iman”, dan biasanya akhirnya akan “pusing sendiri”.

    Saya salut pada kesabaran Bu Ingrid dalam menjawab.
    Semoga Tuhan Yesus dan Roh Kudus selalu membimbing kita di dalam kebenaran, di dalam seluruh pencarian kita, di dalam kemajuan science yang kita usahakan untuk kemaslahatan seluruh umat manusia.
    Amin.

    [Dari Katolisitas: Sesungguhnya jika mau disebut ‘super’ dalam penjelasan di atas, adalah penjelasan dari ajaran Gereja Katolik, yang membantu kita memahami hubungan antara iman dan ilmu pengetahuan yang dapat kita ketahui melalui akal budi kita.]

  7. Shalom,
    Saya mau bertanya?
    Orang yg percaya teori evolusi pada umumnya adalah anti penciptaan sebagai yang tertulis dalam Kitab Kejadian.
    Bagaimana kita menjelaskan bahwa bumi berusia puluhan ribu tahun dan bukan jutaan tahun seperti teori evolusi katakan?
    Thanks before

    [Dari Katolisitas: Untuk hal sains yang tidak ada kaitannya dengan iman, silakan saja merujuk kepada penjelasan sains. Maka tentang usia bumi tidak perlu menjadi bahan perdebatan. Namun yang menjadi perhatian Gereja adalah hal asal usul manusia, dan tentang hal ini kita mengacu kepada ajaran Gereja.]

    • @Raynd, kalau anda punya anak dan bertanya seperti itu, masa mau bilang usia bumi puluhan ribu tahun? ini bukan zaman kegelapan lagi, sudah nyata kok iptek membuktikan usia bumi 4.5 – 5 milyar tahun, memang masih bisa berubah tapi tidak akan jadi puluhan ribu tahun, karena jika perkiraan usia bumi berubah pun, kemungkinan malah jadi lebih lama lagi. Saran saya percaya iman ya sebatas percaya saja, jangan membandingkannya dengan ilmu pengetahuan, akan terlihat (maaf) bodoh.

      [Dari Katolisitas: Ajaran iman tidak ada yang menyatakan bahwa bumi berumur puluhan ribu tahun. Itu adalah interpretasi dari sejumlah orang. Maka tidak perlu membandingkan asumsi ini dengan ilmu pengetahuan dan kemudian terlihat bodoh. Hal usia bumi, tidak berhubungan dengan ajaran iman, jadi tidak perlu diperdebatkan di sini.]

  8. hanya ada dua hasil jika anda membenturkan sains dengan iman:

    1. sains kalah dengan iman membuta yang tidak dapat diobservasi.
    2. iman kalah dengan bukti-bukti sains yang dapat diobservasi.

    Dalam kasus artikel ini, anda membaca sains (teori evolusi) dengan gelas penuh dengan iman, apapun yang anda baca mengenai sains adalah baik SELAMA tidak bertentangan dengan iman. Jika bertentangan, maka anda membaca untuk menolaknya, bukan lagi dengan pandangan objektif.

    anda mengatakan “Teori Evolusi yang kita kenal sebenarnya merupakan suatu hipotesa”.

    kenyataannya, teori evolusi BUKAN hipotesa. Jika masih hipotesa, maka akan terjadi perdebatan di kalangan sains mengenai kesahihan data dan argumen evolusi, tetapi nyatanya teori evolusi TIDAK PERNAH menjadi perdebatan di kalangan sains. Baik jika ia seorang kristen yang taat (misalnya Francis Collins) maupun seorang ateis (misalnya Richard Dawkins), SEPAKAT tentang teori evolusi. Sama halnya para saintis sepakat dengan teori atom, teori relativitas dan seterusnya.

    Anda mengatakan:
    “Teori Darwin berpendapat bahwa dari mahluk yang lebih rendah dapat dengan sendirinya naik/ membentuk mahluk yang lebih tinggi, yang disebabkan oleh kebetulan semata-mata, (dan bukan disebabkan karena campur tangan ‘Sesuatu’ yang lebih tinggi derajatnya). Ini bertentangan dengan prinsip utama akal sehat: sesuatu/ seseorang tidak dapat memberikan sesuatu yang tidak dimilikinya.”

    Ini kesalahan umum mereka yang tidak paham teori evolusi dan menganggap teori evolusi seperti tangga, misalnya anak tangga pertama adalah kucing, anak tangga kedua, monyet, anak tangga ketiga manusia. Kenyataannya, teori evolusi seharusnya dilihat menyerupai pohon dengan banyak dahan, dahan pertama mungkin kucing, dahan kedua monyet, dahan ketiga manusia.

    Anda mengatakan:
    “Teori Darwin tidak berdasarkan fakta konkrit bahwa species tertentu memiliki ciri khusus yang tidak dipunyai oleh species lain; sebab teori ini beranggapan bahwa semua species seolah-olah tidak punya ciri tertentu dan dapat berubah menjadi species yang lain, seperti tikus menjadi kucing, kucing menjadi anjing, dst. Hal ini tentu tidak terjadi dalam kenyataan.”

    Jangan menyebutkan “Teori Darwin”, Darwin hanya mencetuskan teori evolusi yang kemudian diteruskan oleh saintis lainnya, SEMUA ilmuwan biologi sepaham dengan Darwin, jadi jika anda menentang teori evolusi, yang anda tentang bukan hanya Darwin tetapi seluruh ilmuwan biologi. Teori evolusi berhubungan erat dengan genetik, salah jika anda mengatakan teori evolusi beranggapan semua species seolah-olah tidak punya ciri tertentu, tahukah anda bahwa manusia memiliki gen tertentu yang sama dengan binatang? Karena itu kembali ke poin sebelumnya, lihatlah teori evolusi seperti pohon. Variasi mahluk hidup yang ada membawa gen dari nenek moyangnya.

    Anda mengatakan:
    “Teori ini mengajarkan bahwa kemungkinan variasi terjadi karena ‘kesalahan’/ hanya kebetulan; dan ini seperti mengatakan bahwa musik disebabkan oleh ‘keributan’ semata-mata.”

    Kesalahan? Kebetulan? Anda tidak pernah mendengar istilah natural selection (seleksi alam)? Analogi anda pun tidak logis dan tidak nyambung, maksudnya apa menyebut musik disebabkan keributan? Hubungannya dengan teori evolusi?

    Anda mengatakan:
    “Teori Darwin tidak dapat menjelaskan perbandingan paralel antara hasil karya manusia dan satu sel mahluk hidup. Karena akal sehat dapat melihat secara objektif bahwa hasil karya manusia/ teknologi betapapun bagus dan rumitnya tidak memiliki kehidupan…”

    Anda tidak pernah mendengar tentang karya manusia yaitu kloning yang bisa menghasilkan kehidupan?

    Anda mengatakan:
    “Evolusi tidak dapat menjelaskan keberadaan keindahan alam di dunia. Jika segala sesuatu adalah hasil kebetulan yang murni, maka hal itu tidak dapat menjelaskan bagaimana kebetulan itu bisa menghasilkan keindahan yang ditimbulkan oleh keteraturan/ ‘order’. Dari pengalaman sehari-hari, kita mengetahui tidak mungkin terdapat kebetulan-kebetulan murni yang bisa menghasilkan keteraturan dan keindahan.”

    Anda menutup mata pada bencana alam? Tanah gersang? Longsor? Ataukah itu juga termasuk “keindahan alam”?

    Anda mengatakan:
    “Teori Darwin tidak membuktikan bahwa Tuhan Sang Pencipta tidak ada, melainkan teori ini mengambil asumsi ketidak-adaan Tuhan sebagai titik tolak. Bahwa kemudian dikatakan bahwa pembuktian ‘kebetulan secara ilmiah’ tersebut menunjukkan demikian, itu hanya merupakan demonstrasi untuk mengulangi suatu pernyataan yang diasumsikan sebagai kebenaran.?”

    Teori evolusi tidak membicarakan Tuhan. Kaum yang merasa terancam keyakinannya yang mencari segala alasan menggelikan untuk menggugurkan teori yang sudah merupakan fakta, tetapi sebenarnya sama sekali tidak mengerti teori evolusi. Btw apakah anda pernah mendengar penentang teori evolusi berasal dari ilmuwan?

    Anda mengatakan:
    “Kenyataannya, species mahluk hidup sudah jelas memiliki keterbatasan ciri-ciri yang secara genetik tidak dapat berubah. Sampai saat ini tidak ada bukti nyata tentang pembentukan species baru dari species lain menurut seleksi alam. Jikapun ada, maka mahluk persilangan ini tidak mempunyai kemampuan untuk berkembang biak. Contoh: ‘mule’ , persilangan antara kuda dan keledai, tidak dapat berkembang biak/ steril.”

    Lucu bahwa anda menyebut kuda dan keledai. Tahukah anda bahwa kuda, keledai, zebra memiliki moyang yang sama dan ini adalah fakta?

    Anda mengatakan:
    “Hasil penemuan fosil tidak menunjukkan perubahan yang berangsur secara terus menerus pada species yang satu dan yang lain. Yang ditemukan adalah bentuk yang stabil untuk jangka waktu yang lama, dan tidak ditemukan fosil species perantara yang menghubungkan satu species dengan yang lain. Jika benar ada mahluk antara kera dengan manusia, tentu fosil mahluk antara kera dan manusia harus banyak ditemukan, namun sampai saat ini tidak demikian, sehingga dikatakan bahwa terdapat ‘missing links’ antara fosil kera dan fosil manusia. Betapa ini menunjukkan bahwa mahluk penghubungnya tidak ditemukan karena memang tidak ada!”

    Tahukah anda sudah ditemukan fosil dinosaurus berbulu? Lalu bagaimana pendapat anda tentang fosil manusia purba?

    Anda mengatakan:
    “Mutasi menunjukkan adanya pengurangan organ ataupun modifikasi organ yang sudah ada, karena kebetulan dan tidak essensial, seperti perubahan warna, bentuk, dst. Namun mutasi tidak dapat menjelaskan sesuatu yang tadinya tidak ada jadi ada. Jadi prinsipnya ‘indifferent/regressive’ dan bukan ‘progressive’.”

    Kata-kata anda seolah-olah mengatakan bulu ketek anda tiba-tiba muncul padahal waktu bayi belum ada, dan itu adalah mukjizat yang tidak dapat dijelaskan teori evolusi.

    Sampai sini saya menyerah melanjutkan membaca tulisan anda, terlalu banyak kesalahan di sana-sini walaupun berusaha terlihat saintis.

    • Shalom Joko,

      1. Apakah teori Evolusi bukan hipotesa? Apakah tidak pernah terjadi perdebatan di kalangan sains? 

      Suatu kaidah yang sudah diterima (bukan hipotesa), umumnya tidak mengundang perdebatan. Ini terlihat dalam hukum gravitasi, hukum phytagoras, hukum Archimedes ataupun teori-teori fisika lainnya, yang memang dapat dibuktikan secara empiris. Namun, fakta menunjukkan, bahwa sampai sekarang masih terjadi perdebatan di kalangan sains tentang teori evolusi. Walaupun masyarakat sains umumnya menerima teori evolusi makro ala Darwin, namun mereka tidak sepakat tentang mekanismenya. Teori Darwin mengatakan bahwa pada dasarnya semua mahluk hidup di bumi berasal dari satu sel (“a single last universal ancestor“) yang berkembang menjadi semakin kompleks, oleh karena variasi secara kebetulan dan seleksi alam. Menurut Darwin, varietas mahluk hidup tertentu cenderung berkembang biak dalam bentuk yang baru dan termodifikasi tersebut, di mana ciri-ciri yang tidak cocok akan terbuang secara mekanis. Lalu species sebelum modifikasi karena seleksi alam itu akan punah, dan species yang baru yang termodifikasi itu akan terus hidup.

      Pernyataan inilah, yang tidak langsung dengan mudah diterima secara aklamasi oleh para ilmuwan. Sebab secara umum memang dikenal dua jenis evolusi, yaitu evolusi yang terjadi di dalam satu species (dikenal dengan sebutan evolusi mikro) dan evolusi yang mengakibatkan species yang berbeda (disebut evolusi makro, sebagaimana dikemukakan oleh Darwin). Nah, memang penemuan fosil-fosil dan hasil penelitian membuktikan adanya evolusi mikro -perubahan yang terjadi dalam satu species- dan karena itu, hal ini tidak perlu diperdebatkan. Namun tentang evolusi makro, yang mengatakan bahwa adanya evolusi dari suatu species menjadi spesies yang lain atas dasar seleksi alam, inilah yang masih diperdebatkan. Selain itu, bukti-bukti yang dianggap mendukung teori makro evolusi ini, juga melibatkan faktor asumsi. Sebagai contoh adalah evolusi kuda, yang menurut kaum evolusionists (misalnya Prof. Gaylord Simpson yang dianggap pakar dalam hal ini) konon berasal dari species semacam serigala (Hyracotherium/ Eohippus). Sebelum klaim Darwin, Hyracotherium ini dihubungkan dengan golongan Hyrax, babi dan binatang pengerat (rodents). Namun dengan klaim evolusionist, Hyracotherium lalu dianggap sebagai moyangnya kuda. Sayangnya, dalam prosesnya, terdapat gap (jeda), karena tidak ada fossil antara yang dapat menjelaskan perubahan drastis antara satu species dengan spesies yang lainnya, yang runtun dari Hyracotherium (sejenis serigala) sampai Equus (sejenis kuda). Adalah fakta, bahwa yang dianggap sebagai turunan dari moyang pertama (Hyracotherius) yaitu Orohippus dan Epihippus, ukurannya tidak membesar melainkan mengecil, baru kemudian pada Mesohippus terjadi loncatan ukuran. Loncatan sedemikian juga tidak dapat sepenuhnya dijelaskan. Demikian pula, teori bahwa Hyracotherium/ Eohippus merupakan moyang dari kuda, dibangun atas dasar asumsi. Sebab ilmuwan lainnya, seperti biochemist Dr. Gerald. A Kerkut mempertanyakan dasar asumsi-asumsi fundamental yang dianggap menjadi dasar evolusi (lih. G.A Kerkut, Implications of Evolution, New York: Pergamon Press, 1960, atau silakan membaca teks lengkapnya di situsnya), seperti mengapa hyracotherium/ eohippus dianggap sebagai moyangnya kuda. Bahkan Prof. Simpson sendiri menerima bahwa eohippus mungkin saja tidak menjadi moyangnya kuda, melainkan moyangnya tapir atau badak, walaupun ia berpegang bahwa mayoritas para ilmuwan mengklasifikasikannya sebagai moyangnya kuda. Prof. Simpson akhirnya mengatakan, “The uniform, continuous transformation of Hyracotherium into Equus, so dear to the hearts of generations of textbook writers, never happened in nature“. (George Gaylord Simpson, Life of the Past  (New Haven, CT: Yale University Press, 1953), p. 125).

      Demikian pula, perlu dipertanyakan pandangan kaum evolusionist yang mengatakan bahwa, species awal yang termodifikasi oleh seleksi alam akan punah, sebab jika benar, maka moyang ini (Hyracotherium/ Eohippus)/ jenis hyrax, karena proses seleksi alam sekarang sudah punah. Namun ini tidak cocok dengan kenyataan. Sebab menurut Prof. H. Nilsson, di Timur Tengah dan Afrika, Hyrax (serigala berkuku empat) sekarang ini masih eksis dan dapat ditemukan.

      Fakta lain yang juga cukup kuat adalah bahwa satu species mahluk hidup cenderung bersifat statis, misalnya laba-laba tetap tak berubah selama 300 juta tahun, demikian pula kecoa 350 juta tahun. Dengan demikian teori yang mengatakan bahwa terdapat kemungkinan perubahan species secara perlahan menjadi species lain, mengundang pertanyaan lanjutan, seberapa lamanyakah waktu yang diperlukan, jika species yang awal saja sudah relatif stabil sampai sekian lama. George Salet mengatakan”…ilmu pengetahuan menemukan fungsi DNA, duplikasinya dan perkembangannya memberi dasar bagi spekulasi matematika bahwa, … periode geologis harus dikalikan dengan 10 diikuti dengan ber-ratus atau ber-ribu-ribu nol, untuk memberikan waktu bagi terbentuknya sebuah organ baru, walaupun organ yang paling sederhana sekalipun.” (diterjemahkan dari George Salet, “Hasard et certitude. Le transformisme devant la biologie actualle, Paris, 1972, p. x).

      2. Seorang Kristen yang taat (misalnya Francis Collins) dan atheis (misalnya Richard Dawkins) sepakat tentang teori evolusi? Semua ilmuwan setuju dengan teori Darwin?

      Walaupun mayoritas ilmuwan setuju dengan teori evolusi, namun tidak benar jika dikatakan semua ilmuwan sepakat tentang teori evolusi Darwin. Sebab terdapat juga banyak ilmuwan yang mempertanyakan teori Darwin ini, contohnya Michael John Denton, dengan bukunya Evolution: A Theory in Crisis, (1985), yang menentang prinsip seleksi alam yang terjadi dengan sendirinya sebagai kunci terjadinya evolusi. Walaupun Denton juga seorang Agnostic (tidak beragama tertentu), tetapi dia tidak setuju dengan teori Darwin.

      Denton tidak sendirian, masih banyak ilmuwan yang tidak sepaham dengan Darwin. Beberapa di antaranya adalah Michael Behe, Stephen Gould, Stephen Meyer. Behe mengatakan bahwa variasi secara kebetulan dan seleksi alam memang cukup untuk menerangkan terjadinya mikro evolusi dan mutasi tertentu, tetapi tidak cukup untuk menerangkan makro evolusi, di mana terjadi perkembangan sistem yang kompleks di mana semua elemen harus secara sempurna terintegrasikan. Sebab dibutuhkan jangka waktu yang sangat panjang untuk terbentuknya suatu mutasi menjadi species yang lain, jika ditinjau dari segi probabilitas matematika. Adanya loncatan perubahan tidak cukup dijelaskan dengan seleksi alam ataupun kebetulan semata, namun mengacu kepada keterlibatan “intelligent designer” agar terjadi perkembangan sistem-sistem yang kompleks itu dalam jangka waktu yang ada.

      3. Teori Darwin tidak mengatakan bahwa Tuhan tidak ada?

      Walaupun teori Darwin tidak mengatakan secara eksplisit bahwa tidak ada Tuhan, namun karena teori itu mengajarkan bahwa kunci dari segala proses terbentuknya mahluk hidup adalah variasi secara kebetulan dan seleksi alam, maka menurut Darwin, proses penciptaan terjadi dengan sendirinya dan bukan karena intervensi dari Sang Ilahi. Memang di akhir bukunya, “On the Origin of Species” yang diterbitkan tahun 1859, Darwin masih menunjukkan kepercayaannya akan keberadaan Tuhan, dengan menyebutkan adanya keterlibatan Sang Pencipta dalam evolusi (lih. Charles Darwin, On the Origin of Species, p. 648-649, Darwin mengatakan, “There is grandeur in this view of life, with its several powers, having originally breathed by the Creator into a few forms or into one; and that…from so simple a beginning endless forms most beautiful and most wonderful have been, and are being evolved.”) Namun seiring dengan berjalannya waktu, pandangan Darwin bergeser kepada seleksi alam dan kebetulan semata (lih. Charles Darwin: Life and Letters, 2:6). Di tahun 1868, ia mengatakan bahwa hanya satu di antara ini yang harus dipilih: Tuhan atau seleksi alam, sehingga mempertentangkan keduanya (Charles Darwin, Variations of Domesticated Animals and Plants, vol. 2 (New York: D. Appleton and Company, 1896), 428). Karena ia sendiri cenderung pada seleksi alam, maka Darwin menyebutkan teorinya sebagai “injil Setan/ “the Devil’s gospel,” (Charles Darwin, The Correspondence of Charles Darwin, vol. 8, 1860, ed. Frederick Burkhardt (Cambridge: Cambridge University Press, 1993), 316) dan ia menyebut seleksi alam sebagai “Tuhan saya.” (Darwin, Life and Letters, 2:165.) Dalam autobiografinya, Darwin menulis, “Misteri awal segala sesuatu tidak ada solusinya bagi kita; dan saya… harus puas untuk tetap menjadi seorang Agnostik… Tidak ada yang lebih luar biasa daripada penyebaran tentang skepticism ataupun materialism sepanjang separuh waktu yang terakhir dalam hidup saya.” (Darwin, Autobiography, 94–95. Writers such as Maurice Mandelbaum have rightly called Darwin’s agnosticism “an undogmatic form of atheism.” “Darwin’s Religious Views,” Journal of the History of Ideas 19 (June 1958): 376)

      Prinsip inilah yang mengakibatkan adanya hubungan yang dekat antara Darwinism dengan Agnosticm atau bahkan Atheism, yaitu aliran yang tidak percaya akan adanya Tuhan.

      Maka teori evolusi Darwin tidak saja berkisar semata dalam paham bahwa suatu mahluk hidup yang kompleks berasal dari mahluk yang sederhana, namun juga bahwa proses ini tidak membutuhkan intervensi Tuhan. Anggaplah teorinya benar (for the sake of the argument), toh teori Darwin tidak dapat menjelaskan, bagaimana bisa sampai terbentuk satu sel/ molekul yang pertama yang kemudian ber-evolusi. Teori Big Bang atau pure chance tidak bisa menjawab tuntutan akal sehat bahwa segala akibat itu ada penyebabnya. Imanlah yang akhirnya dapat menjawab, bahwa penyebab pertama dari segala sesuatu itu adalah: Apa yang disebut sebagai Tuhan.

      4. Teori evolusi seperti tangga, atau seperti pohon?

      Pertumbuhan normal suatu species memang menyerupai pertumbuhan organik suatu pohon, namun teori makro evolusi tidak dengan mudah di-analogikan dengan pertumbuhan organik suatu pohon, justru karena dalam prosesnya terjadi mutasi-mutasi, yang menghasilkan perubahan total dari species-species yang bersangkutan (yang dianggap sebagai common ancestor dan yang menjadi turunan akhirnya).

      Contoh yang umum diutarakan oleh para evolutionists adalah evolusi kuda yang konon berasal dari sejenis serigala, atau burung yang konon berasal dari binatang reptilia. Hal ini telah saya uraikan di point 1, juga 7 dan 8.

      5. Apa hubungan variasi secara kebetulan dalam proses evolusi dengan keributan dalam musik? Bagaimana dengan bencana alam apakah itu keindahan alam?
      Karya manusia/ teknologi tidak menghasilkan kehidupan? Bagaimana dengan kloning?

      Kenyataan sehari-hari menunjukkan bahwa segala sesuatu yang terjadi secara kebetulan ataupun suatu kesalahan tidak dapat menghasilkan suatu kreasi yang holistik yang terintegrasi dengan baik. Musik yang indah tidak tersusun dari keributan tanpa aturan. Suatu kota yang berjalan dengan baik sistemnya maupun perencanaan tata kotanya, tidak pernah terjadi tanpa perencanaan. Demikianlah juga, mahluk hidup yang begitu kompleks seperti manusia, tidak mungkin terjadi karena variasi kebetulan, tanpa perencanaan.

      Bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, dst yang terjadi tiba-tiba karena proses alam, tidak menghasilkan keteraturan ataupun keindahan. Contohnya sangat jelas baru-baru ini di Jakarta. Itulah sebabnya, proses seleksi alam tidak memadai untuk menjelaskan terjadinya penciptaan manusia yang demikian teratur, indah dan kompleks, dari mutasi mahluk lain yang lebih rendah, yang terjadi dengan sendirinya.

      Karya manusia/ teknologi tidak menghasilkan kehidupan, dalam arti, manusia tidak menciptakan kehidupan itu, atau menciptakan sesuatu yang sama sekali baru dari ketiadaan. Dalam hal kloning ataupun bayi tabung sekalipun, manusia hanya mengoperasikan suatu sistem reproduksi, yang mengambil dari sesuatu yang sudah ada, yang sudah mempunyai kehidupan, dan bukan menciptakan suatu kehidupan yang baru dari ketiadaan. Demikian juga hasil karya manusia pada umumnya, seperti seni rupa, teknologi, produksi dst, juga mengambil dasar dari sesuatu yang sudah ada, dan hasil karyanya, tidak mengandung kehidupan.

      6. Kuda, keledai dan zebra mempunyai moyang yang sama?

      Sebagaimana telah ditulis di point 1, hal ini melibatkan asumsi para ilmuwan secara umum. Pembuat bagan evolusi kuda itu sendiri, Prof. Simpson, mengakui hal tersebut. Demikian pula, G.A. Kerkut, “It is a matter of faith that the textbook pictures are true, or even that they are the best representations of the truth that are available to us at the present time.” (lih. sub judul 148 dalam situsnya).

      Adalah suatu fakta bahwa dalam golongan kuda, terdapat lebih dari 20 jenis turunan (pedigree), dan setiap jenisnya berbeda. Maka seandainya keledai dianggap satu rumpun dengan zebra, tidak mengubah kenyataan bahwa jenis mereka tidak sama. Faktanya, campuran antara kuda dengan keledai yang dikenal dengan sebutan mule, juga tidak bisa berkembang biak/ steril, membuktikan bahwa kedua jenis ini tidak dapat dicampuradukkan, karena berasal dari species yang berbeda, dan karena kromosomnya tidak dapat dipasangkan maka tidak dapat berkembangbiak.

      7. Tentang fosil dinosurus berbulu? Tentang fosil manusia purba?

      Jika yang Anda maksudkan adalah fosil dinosaurus berbulu, yang konon berkembang menjadi burung, ini juga melibatkan pertanyaan lanjutan. Sebab jika benar terjadi transformasi ini, maka seharusnya ditemukan juga banyak fossil antara yang menunjukkan separuh reptilia dan separuh burung. Sebab perubahan ini melibatkan perubahan total kerangka tulang, perubahan total susunan syaraf, pencernaan, sistem otot tubuh. Kaki depan yang berubah menjadi sayap, sisik yang menjadi bulu. Nah, sejauh ini, fossil antara yang menunjukkan perubahan ini belum ditemukan. Yang disebutkan sebagai ‘fossil antara’ sejauh ini adalah Archaeopteryx, yang konon sudah punah. Dikatakan bahwa salah satu ciri Archaeopteryx adalah mempunyai gigi, namun beberapa tipe burung yang punah juga mempunyai gigi. Ciri lainnya adalah bahwa Archaeopteryx mempunyai ekor yang panjang, tetapi ekor yang panjang tidak otomatis menunjukkan bahwa ia adalah binatang reptilia. Demikian pula adanya cakar di ujung sayapnya, sebab hal itu juga ada pada burung hoatzin di Amerika selatan dan touraco di Afrika. (lih. Dr. Duanne Gish, Evolution- the Fossils say No!, (San Diego, California: Creation-Life Publishers, 1979), p. 62). Tengkorak kepala Archaeopteryx adalah tipe tengkorak kepala burung. Tidak seperti binatang reptil yang berdarah dingin, Archaeopteryx adalah binatang berdarah panas, seperti burung-burung lainnya. Selanjutnya, fakta menunjukkan bahwa ditemukan juga fossil burung yang lebih tua zamannya daripada Archaeopteryx menurut Science News (Sept 1977) sehingga jika hal ini benar, menggeserkan posisi Archaeopteryx sebagai fossil antara.

       Tentang fosil manusia purba/ manusia kera (ape-man) seperti Piltdown man, Australopithecines, Pithecanthropus erectus (Java man) dan Peking man: Sejujurnya klaim-klaim penemuan ini mengandung faktor asumsi: seperti penemuan fosil antara satu tulang dengan tulang yang lain yang berjarak sekian meter (beratus-ratus feet bahkan sekian mil) dan di dalam jangka waktu yang berbeda (bahkan terpisah sekian tahun) kemudian diasumsikan sebagai milik satu species yang sama, pe-rangkaian fragmen dari fosil-fosil tersebut juga merupakan proses rekonstruksi, dengan demikian memasukkan faktor asumsi dari ilmuwan yang meneliti.

      Sekarang tentang fosil manusia purba. Sekalipun klaim missing links tersebut benar-benar dianggap otentik, tetaplah menjadi suatu pertanyaan, mengapa temuan fosil-fosil itu relatif sangat sedikit/jarang ditemukan. Piltdown man, sekarang sudah ditolak karena tahun 1953 terbukti sebagai suatu forgery (pemalsuan), kesimpulan tentang adanya Peking man dan Java man (pithecanthropus erectus) juga tidak dapat disebut tanpa kontroversi. Juga,  jika teori missing links ini memang benar, maka seharusnya fosil peralihan tersebut harus dengan mudah ditemukan, sebab perubahan tersebut terjadi secara gradual dalam waktu yang lama, sehingga fosilnya seharusnya relatif mudah/ banyak ditemukan, seperti penemuan fosil kera dan fosil manusia, kedua species yang konon dihubungkan oleh “the missing links” tersebut. Kenyataan bahwa tidak demikian, menimbulkan pertanyaan tersendiri.

      8. Tumbuhnya bulu pada manusia dewasa tidak dapat dijelaskan secara ilmiah?

      Tentu saja dapat. Hal tumbuhnya bulu atau gigi pada manusia dewasa yang tidak ada pada bayi, tentu dapat dijelaskan secara ilmiah dan ini tidak tergolong sebagai mutasi. Pada bayi sudah ada organ kelenjar pada kulit yang kelak darinya akan tumbuh bulu, demikian juga rahang mulut yang darinya akan tumbuh gigi. Ini adalah pertumbuhan organik yang tidak mengubah keseluruhan sistem maupun fungsi di dalam tubuh. Namun mutasi yang tidak dapat dengan mudah dijelaskan adalah misalnya, dari mahluk yang tidak bersayap lalu menjadi bersayap, dari yang bersisik menjadi berbulu, dari hewan berdarah dingin menjadi hewan berdarah panas.

      Gereja Katolik terbuka terhadap hasil penelitian ilmu pengetahuan, namun tetap selalu menyandingkannya dengan ajaran iman. Sebab hal Adam sebagai manusia pertama tidak bertentangan dengan ditemukannya fosil purbakala oleh para arkeolog. Sebab meskipun dianggap benar bahwa tubuh manusia ‘berasal’ dari perkembangan tubuh mahluk lain (walau hal ini tetap memerlukan pembuktian lebih lanjut), tetap tidak mengubah prinsipnya bahwa diperlukan intervensi Tuhan untuk mengubah tubuh mahluk lain tersebut untuk dapat menjadi tubuh manusia yang cocok untuk menerima jiwa manusia. Prinsip ini tidak menentang makna yang disampaikan oleh Kitab Kejadian, sebab Tuhan membentuk tubuh manusia juga dari ‘sesuatu materi’ yang sudah ada, yaitu debu tanah (lih. Kej 2:7).

      Masalahnya sekarang, banyak fosil ditemukan, yang diyakini sebagian orang berasal dari semacam ‘kera’/ ape yang berevolusi menjadi manusia. Namun fosil-fosil yang menunjukkan perubahan pelan- pelan secara kontinu antara kera menjadi manusia itu tidak ditemukan (yang ada adalah relatif sedikit klaim tentang ditemukannya fosil ape-man yang jika dibaca kisah kronologisnya mengandung kontroversi dan sebagian malah sudah dinyatakan palsu). Maka fosil peralihan antara ‘kera’ menjadi manusia yang tidak ditemukan itu disebut sebagai ‘the missing link‘ (rantai yang hilang). Jika ditinjau dari prinsip logika berpikir, kita akan dapat menerima, bahwa ‘rantai yang hilang’ ini bukannya hilang, tetapi memang tidak ada. Sebab tidak mungkin mahluk yang lebih rendah bisa berubah jadi mahluk yang lebih tinggi dengan sendirinya, atas dasar prinsip: ‘sesuatu tidak dapat memberi, jika sebelumnya ia tidak punya’. Maka kalau pada kera tidak ada akal budi dan kehendak bebas seperti pada manusia, maka tidak mungkin mereka dapat disebut sebagai ‘orang tua’. Dengan kata lain, tanpa campur tangan Tuhan, suatu mahluk hidup yang lebih rendah derajatnya dari manusia tidak dapat berubah pelan- pelan/ ber-evolusi menjadi manusia. Sekalipun terjadi perubahan (jika saja teori evolusi makro ini suatu hari dapat dibuktikan secara meyakinkan), perubahan itu hanya mungkin terjadi karena campur tangan Tuhan Sang Pencipta, sehingga dapat mengakibatkan perubahan drastis yang tidak lagi menyerupai kera, tetapi sungguh menjadi tubuh manusia yang layak menjadi kediaman jiwa manusia. Di saat itulah, Tuhan menciptakan Adam dan Hawa, manusia pertama yang menjadi orang tua pertama bagi umat manusia.

      Demikianlah yang dapat saya sampaikan sebagai tanggapan komentar Anda. Semoga berguna.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

      • Dear Ingrid, saya rangkumkan fakta kesimpulan diskusi kita, karena kita bicara sains, maka yang saya tulis adalah berdasarkan sains. Saya tidak mengkritik religi tertentu, saya mengkritik informasi “scientific wanna be” seperti tulisan anda yang berpotensi menyesatkan orang di Internet.

        1. Fakta: Evolusi adalah teori, bukan hipotesa.
        Anda tentu mengetahui definisi teori dalam science bukan? Juga mengetahui bedanya teori dan hipotesa bukan? Nah, tidak pernah dalam kalangan sains menyebut evolusi sebagai hipotesa. Jadi jelas statemen anda yang mengatakan evolusi adalah hipotesa adalah salah dan menyesatkan.

        2. Teori evolusi tidak pernah menjadi perdebatan di kalangan sains.
        Artinya, kalangan sains menerima teori evolusi seperti menerima teori gravitasi, atom, dan lain-lain. Teori evolusi hanya sulit diterima oleh iman dan kaum creationist, dan itu adalah masalah mereka, bukan masalah sains. Penjelasan panjang lebar anda tentang evolusi kuda oleh para ilmuwan, menunjukkan satu hal nyata: semua ilmuwan tersebut SEPAKAT bahwa kuda berevolusi! Perdebatan mereka bukan pada hal yang esensial, melainkan pada penjelasan terbaik untuk MENDUKUNG teori evolusi.

        3. Laba-laba dan semut juga berevolusi.
        Anda mengemukakan dua contoh makhluk hidup yang menurut anda bersifat statis, yaitu laba-laba dan semut. Demi ilmu pengetahuan, jangan menyesatkan orang bu. Laba-laba jelas berevolusi, tahukah anda menurut taksonominya, terdapat 109 family laba-laba dan lebih dari 40 ribu spesies laba-laba? Variasi spesies inilah yang tidak dapat disangkal, merupakan evolusi. Bahkan beberapa spesies laba-laba tidak memiliki jaring, bagaimana mungkin anda bisa mengatakan laba-laba bersifat statis? Bagaimana dengan semut? Sama saja, spesies semut saat ini berjumlah sekitar 20 ribu, jadi spesies semut mana yang anda anggap statis? Beberapa spesies semut justru membuktikan evolusi konvergen.

        4. Teori sains tidak dapat dipatahkan oleh teori non-sains.
        Kita semua tahu bahwa melawan teori evolusi (sains) dengan kutipan ayat kitab suci (non sains) adalah konyol. Sama seperti yang anda kemukakan berikut:
        – Buku Michael Denton berjudul Evolution: A Theory of Crisis. Anda sudah baca bukunya? Kalau saya belum, tapi tidak sulit untuk mencari apakah buku ini saintis atau tidak, saya kutipkan dari http://en.wikipedia.org/wiki/Evolution:_A_Theory_in_Crisis: Reviews by scientists say that the book distorts and misrepresents evolutionary theory and contains numerous errors. Lihat kan, buku yang Anda rekomendasikan sebagai pembantah teori evolusi ternyata tidak diterima oleh kalangan sains. Silakan ajukan karya-karya dari tokoh ilmuwan yang anda sebut menolak evolusi (Michael Behe, Stephen Gould, Stephen Meyer), mari kita lihat seberapa jauh karya mereka diterima kalangan sains. Ingat bahwa sains tetap sains, opini tetap opini, dan opini bukan sains walaupun diucapkan oleh saintis. Seperti ucapan-ucapan Darwin yang Anda kutip mengenai Tuhan, itu adalah opini pribadi dia dan bukan statemen sains. Sains ada cabang ilmunya masing-masing, Darwin menjelaskan evolusi, mengapa anda menuntut Darwin untuk menjelaskan bagaimana terbentuk satu sel/ molekul yang pertama? Pelajari cabang ilmu lainnya untuk memahami pembentukan sel/molekul pertama, yaitu astrobiology.

        5. Jika penciptaan manusia direncanakan, maka itu adalah rencana yang gagal.
        Anda mengatakan proses seleksi alam tidak memadai untuk menjelaskan terjadinya penciptaan manusia yang demikian teratur, indah dan kompleks. Hal pertama yang perlu diluruskan agar tidak menyesatkan orang adalah: evolusi tidak hanya terjadi karena seleksi alam, tetapi juga karena faktor genetik dan mutasi. Hal kedua yang perlu diluruskan adalah penciptaan manusia bukannya demikian teratur dan indah, terbukti manusia memiliki organ vestigial, salah satunya adalah vertebra ekor pada embrio manusia, namun karena selnya mati maka tulang ekor ini menghilang. Masih banyak contoh organ vestigial lainnya tidak hanya pada manusia, tetapi juga spesies makhluk hidup lainnya, organ vestigial mengindikasikan jika ada yang merencanakannya, tentulah si perencana itu plin-plan dan rencananya sering gagal.

        6. Cukup menghadirkan satu buruk gagak putih untuk meruntuhkan statemen “semua burung gagak hitam”.
        Poin ini merefer pada sanggahan saya pada statemen anda:
        – “hasil karya manusia/ teknologi betapapun bagus dan rumitnya tidak memiliki kehidupan” (saya sanggah dengan fakta kloning)
        – “sehingga dikatakan bahwa terdapat ‘missing links’ antara fosil kera dan fosil manusia. Betapa ini menunjukkan bahwa mahluk penghubungnya tidak ditemukan karena memang tidak ada!” (saya sanggah dengan fosil dinosaurus berbulu dan manusia purba).
        Seluruh sanggahan anda tidak membuat statemen awal anda menjadi benar, saya merasa tidak perlu meladeni sanggahan anda karena toh yang saya kemukakan adalah fakta yang tidak terbantahkan untuk meluruskan statemen menyesatkan dari anda. Kecuali anda bisa menunjukkan fakta kebalikannya, yaitu tidak ada kloning dan tidak ada fosil penghubung.

        Semoga bermanfaat bagi pembaca website ini untuk lebih berpikir lebih kritis.

        • Shalom Joko,

          Pertama-tama, saya ingin menegaskan di sini bahwa situs ini adalah situs Katolik, dan tujuannya adalah menyampaikan ajaran iman Katolik, dan memang bukan untuk membahas murni tentang sains. Maka jika kami membahas tentang Evolusi, kami meninjaunya dari sudut pandang iman. Pembaca yang tertarik untuk mengetahui tentang sains, silakan mengunjungi situs-situs yang memang dikhususkan untuk itu.

          1. Evolusi adalah teori bukan hipotesa?

          Sesungguhnya itu tergantung dari definisi yang kita gunakan. Mengambil definisi dari Wikipedia: Teori adalah abstraksi rasional dan kontemplatif atau pemikiran secara umum untuk menginterpretasikan fakta; sedangkan hipotesa adalah proposal penjelasan tentang sebuah fenomena. Maka tak mengherankan, jika seseorang hanya melihat dari sisi sains, dapat saja ia menganggap bahwa evolusi merupakan teori, namun bagi kalangan mereka yang percaya akan adanya Tuhan Sang Pencipta, maka evolusi -dalam hal ini evolusi makro- belum dapat diterima sebagai teori, sebab belum dapat dikatakan sebagai pemikiran secara umum yang dapat didamaikan dengan ajaran iman.

          Memang, banyak ilmuwan setuju dengan adanya evolusi kuda, namun sebagaimana telah disampaikan dalam tanggapan kami sebelumnya, penetapan moyang bersama/ common ancestor-nya melibatkan faktor hipotesa. Demikian pula adanya loncatan ukuran tubuh, yang tidak dapat dijelaskan secara ilmiah. Maka masalahnya yang ingin dikemukakan di sini adalah bahwa di dalam teori evolusi makro itu, ada hal-hal yang tidak dapat dengan meyakinkan dibuktikan, misalnya mengapa terjadi loncatan ukuran tubuh, dan bagaimana dapat terjadi demikian. Demikian pula, dalam penentuan dasar argumen bahwa Hyracotherium adalah common ancestor, juga memasukkan unsur hipotesa, walaupun hipotesa ini kemudian disetujui oleh sejumlah ilmuwan, sebagaimana dikatakan sendiri oleh sang pembuat skema evolusi tersebut, Prof. Gaylord Simpson.

          2. Teori evolusi tidak pernah menjadi perdebatan di kalangan sains?

          Walaupun mayoritas kalangan sains menerima teori evolusi, namun tidak dapat dikatakan bahwa tidak pernah menjadi perdebatan di kalangan sains tentang evolusi. Sebab evolusi dalam skala mikro (yang terjadi di dalam satu kelompok organisme tertentu, memang ada, sehingga tidak perlu diperdebatkan). Namun dalam hal evolusi makro, di kalangan sains sendiri tidak terdapat kata sepakat, entah apakah hal evolusi suatu binatang tertentu menjadi binatang lain (atau manusia) itu sungguh terjadi, ataupun tentang bagaimana mekanisme evolusi makro itu sendiri. Sebab para ilmuwan yang menyetujui evolusi makro-pun tidak sepaham dengan Darwin yang mengatakan bahwa evolusi tersebut disebabkan karena kebetulan semata dan seleksi alam.

          3. Laba-laba dan semut ber-evolusi?

          Kami tidak menyangkal bahwa di dalam satu species dapat terjadi evolusi (ini disebut evolusi mikro). Namun, jenis variasi species tidak membuktikan evolusi makro. Sebab yang dipermasalahkan di sini adalah klaim kaum evolutionist bahwa laba-laba atau semut atau apapun serangga lainnya, dulunya kalau dirunut-runut berasal dari satu sel. Dan ini yang belum ada buktinya. Sedangkan variasi ataupun mutasi yang terjadi di dalam satu species laba-laba ataupun species semut, itu memang dapat terjadi, sehingga tidak perlu disangkal.

          4. Teori Sains tidak dapat dipatahkan oleh teori non- sains?

          Tidak ada yang sedang melawan teori evolusi dengan kutipan ayat Kitab Suci. Gereja Katolik menyandingkan penemuan ilmiah dengan ajaran iman, dan melihatnya sebagai dua sayap yang membawa manusia kepada kontemplasi kebenaran. Itulah sebabnya Paus Benediktus XVI di tahun 2009 menunjuk Francis Sellers Collins, seorang physician-geneticist menjadi anggota Pontifical Academy of Sciences (PAS, yaitu lembaga independen yang meneliti tentang ilmu pengetahuan di bawah naungan kepausan), meskipun Collins bukan seorang Katolik, dan bukan juga dari kalangan creationist. Hal ini menunjukkan keterbukaan Paus Benediktus XVI terhadap penelitian ilmu pengetahuan, sambil terus melihat bagaimana korelasinya dengan ajaran iman. Maka bukan maksud Gereja untuk mempertentangkan ajaran iman dengan hasil penelitian ilmu pengetahuan, namun bagaimana melihat keduanya sama-sama menjelaskan kebenaran.

          Darwin menjelaskan tentang evolusi, namun ia tidak dapat menjelaskan bagaimana sampai dapat terbentuk satu molekul pertama yang menjadi titik acuan evolusi tersebut. Sejauh yang dapat saya baca di internet tentang Astrobiologi, juga tidak menjabarkan bagaimana dapat terbentuk molekul pertama yang menjadi asal semua kehidupan. Yang dikatakan di sana memang adalah studi tentang asal usul, evolusi, distribusi dan kehidupan alam semesta, dan menyelidiki kemungkinan kehidupan di luar dunia. Walaupun melandaskannya pada ilmu fisika, kimia dan biologi, namun dikatakan juga bahwa ilmu ini, “Although speculation is entertained to give context, astrobiology concerns itself primarily with hypotheses that fit firmly into existing scientific theories.” Jadi tetaplah di cabang ilmu ini melibatkan hipotesa-hipotesa tertentu yang dianggap sesuai dengan teori ilmiah yang sudah ada. Nah, sejauh ini, sepanjang pengetahuan saya, belum ada teori ilmiah apapun yang dapat menjelaskan asal usul sel/ molekul pertama tersebut. Di sinilah peran iman untuk mengisi kekosongan tersebut, yaitu bahwa penyebab awal/ asal usul segala sesuatu, adalah Allah.

          5. Jika penciptaan manusia direncanakan, maka itu adalah rencana yang gagal?

          Saya paham bahwa walaupun menurut Darwin penekanan mekanisme evolusi adalah seleksi alam, namun menurut Neo-Darwinism, selain seleksi alam ada juga prinsip genetik yang menjelaskan kemungkinan mutasi sebagai cara pembentukan variasi. Hal itu sudah saya sebut di artikel di atas, di alinea ke-2. Maka tidak ada yang bermaksud menyesatkan, dan tidak ada yang perlu diluruskan, karena sejak awal di artikel di atas juga sudah dituliskan demikian.

          Lalu tentang adanya vertebra ekor pada manusia. Pandangan tentang adanya ‘ekor’ pada embrio manusia umumnya mengambil dasar gambar dari Ernst Haeckel, yang kemudian dikritik oleh Michael Richardson, seorang embryologist di London, sebagai foto yang dipalsukan (cf. Michael Richardson et al, Anatomy and Embryology, 196(2):91–106, 1997, cf. Elizabeth Pennisi, Haeckel’s Embryos: Fraud Rediscovered, Science 277 (5331):1435, 5 September 1997), cf. Embryonic fraud lives on, New Scientist 155(2098):23, 6 September 1997). Terlepas dari apakah kritik ini benar atau tidak, kita melihat secara obyektif, bahwa memang ada kemiripan antara embrio manusia dan embrio hewan tertentu, namun hal ini tidak juga otomatis membuktikan bahwa manusia dan hewan- hewan itu asalnya sama. Sebab semakin besar pertumbuhannya, semakin menunjukkan ciri-ciri khas yang membedakannya antara satu species dengan species yang lainnya.

          Organ-organ vestigial pada manusia maupun mahluk hidup lainnya sering dijadikan argumen oleh kaum evolutionists untuk mendukung teori mereka, bahwa organ-organ tersebut tidak berguna, dan kemudian hilang; dan ini Anda anggap sebagai semacam kegagalan dari pihak Allah yang merencanakan. Namun pertanyaannya adalah: apakah benar ada organ-organ vestigial yang terbukti tidak berguna pada manusia?  Jerry Bergman Ph.D. menuliskan dalam bukunya Vestigial Organs are fully functional, (ISBN 0-940384-09-4) bahwa organ-organ tersebut mempunyai fungsi, sehingga bukan organ yang tidak berguna. Bergman mengatakan bahwa daftar organ vestigial yang konon berjumlah 180 di tahun 1890, di tahun 1999 dinyatakan nol. Selanjutnya silakan membaca  di link ini, silakan klik, dan klik di sini. Maka mau disebut apapun organ-organ tersebut, tidak menjadikan bukti bahwa Tuhan gagal mencipta, sebab ternyata organ-organ itu mempunyai fungsi tertentu.

          6. Cukup menghadirkan satu gagak putih untuk meruntuhkan statemen “semua burung gagak hitam”?

          Cloning?

          Dari argumen Anda, Anda mengumpamakan cloning sebagai contoh yang meruntuhkan pernyataan bahwa hasil karya manusia tidak memiliki kehidupan. Tentu saja, dalam beberapa karya manusia, dapat terlihat ada kehidupan, seperti dalam rangkaian bunga, ataupun desain aquarium. Tetapi pointnya di sini adalah kehidupan itu bukan manusia yang menciptakannya. Dengan demikian kehidupan yang nampak, bukan timbul dari rangkaian atau desainnya itu sendiri tetapi karena secara kodrati benda-benda itu sendiri sudah mempunyai kehidupan ataupun potensi kehidupan, yang tidak diciptakan oleh manusia.

          Di dalam cloning, manusia hanyalah mendayagunakan kekuatan perkembangbiakan secara kodrati yang tertanam dalam kodrat manusia. Cloning sesungguhnya mirip dengan ilmu pengobatan, yang mendayagunakan kekuatan-kekuatan penyembuhan secara biologis dan kodrati, dan memperkuat kekuatan-kekuatan tersebut dan mengarahkannya. Semua bentuk seni, termasuk ilmu kedokteran, mesin, konstruksi, dst., menggunakan kekuatan-kekuatan kodrati yang melekat pada kodrat benda-benda. Kita manusia tidak menciptakan kodrat-kodrat itu, tetapi mendayagunakan kodrat- kodrat itu yang sudah ada, dan kekuatan-kekuatan yang melekat pada kodrat-kodrat tersebut. Bahkan jika manusia berhasil menciptakan sebuah sel yang hidup dari material yang tidak hidup di dalam tabung test (test-tube), ia hanya melakukan peniruan kodrat, dan secara cerdas menggunakan kekuatan-kekuatan yang melekat di dalam kodrat tersebut. Dengan kata lain, dalam karya menciptakan kehidupan itu, jika berhasil, menunjukkan intelligent design dan fakta bahwa manusia meniru sebuah desain yang lebih besar yang dapat ditemui di dalam kodrat alam. Maka benarlah jika dikatakan, meskipun hasil karya manusia menunjukkan adanya kehidupan, namun kehidupan itu sendiri tidak diciptakan oleh manusia, tetapi disyaratkan sudah ada sebelumnya oleh manusia [untuk menciptakan sesuatu].

          Missing links?

          Argumen Anda mengatakan seolah Anda fosil dinosaurus berbulu dan fosil manusia purba sebagai missing links, sehingga mematahkan argumen bahwa tidak ada fosil penghubung.

          Namun sejujurnya kalau dasar argumen Anda adalah penemuan fosil (dalam hal ini fosil yang Anda anggap sebagai missing links) itu bukan dasar argumen yang kuat. Sebab kalau benar binatang-binatang peralihan semacam itu ada (separuh reptil separuh burung, atau separuh kera separuh manusia) semacam itu ada, seharusnya ada berjuta-juta, dan bahkan milyaran di seluruh dunia. Namun kenyataannya, klaim itu hanya sebagian kecil sekali, dan bahkan klaim itupun tidak disetujui oleh semua ilmuwan.

          Darwin sendiri mengakui dalam bukunya, The Origin of Species, bahwa langkanya bukti fosil peralihan ini adalah fakta yang paling kuat menentang teorinya:

          “If my theory be true, numberless intermediate varieties, linking most closely all of the species of the same group together must assuredly have existed… Consequently evidence of their former existence could be found only amongst fossil remains…
          (Charles Darwin, The Origin of Species: A Facsimile of the First Edition, Harvard University Press, 1964, p. 179).

          …Why, if species have descended from other species by fine gradations, do we not everywhere see innumerable transitional forms? Why is not all nature in confusion, instead of the species being, as we see them, well defined?… But, as by this theory innumerable transitional forms must have existed, why do we not find them embedded in countless numbers in the crust of the earth?… But in the intermediate region, having intermediate conditions of life, why do we not now find closely-linking intermediate varieties? This difficulty for a long time quite confounded me.” (Charles Darwin, The Origin of Species by Means of Natural Selection, The Modern Library, New York, p. 124-125. (emphasis added)

          “But I do not pretend that I should ever have suspected how poor was the record in the best preserved geological sections, had not the absence of innumerable transitional links between the species which lived at the commencement and close of each formation, pressed so hardly on my theory.” (Charles Darwin, The Origin of Species by Means of Natural Selection, ch. 10)

          Nah, argumen Darwin adalah, karena penemuan fossil sejauh ini belum cukup maksimal. Ia yakin bahwa jika penyelidikan fossil ini dilakukan terus, maka missing links akan ditemukan. Namun sejauh ini perkiraan Darwin belum terpenuhi. Sekitar seabad kemudian,  di tahun 1970 penelitian fosil yang dilakukan oleh Stephen J. Gould, Niles Eldrege dan Steven Stanley menunjukkan: 

          Sejarah mayoritas fosil species menunjukkan dua ciri khas yang tidak sesuai dengan prinsip gradualisme [dalam teori Darwin]:

          1. Bukti geologis menunjukkan bahwa species tidak berubah secara signifikan sejalan dengan waktu. Untuk berjuta-juta tahun,  mayoritas species tetap konstan, tidak menunjukkan perubahan sepanjang masa kehidupannya di bumi. Keadaan ketika muncul di rekaman fosil kurang lebih sama dengan keadaan ketika mereka menghilang.
          2. Bukti fosil yang ditemukan menunjukkan bahwa asal-usul species terjadi secara tiba-tiba. Di daerah manapun suatu species tidak muncul secara gradual oleh karena perubahan yang terus menerus dari moyangnya, tetapi ia muncul sekaligus dan dalam bentuk yang sempurna (‘fully formed’).

          Maka kedua contoh yang Anda sebutkan (Archaeopteryx, yang umum disebut fosil dinosaurus berbulu, dan manusia purba) tidak mempunyai dasar yang kuat untuk dianggap sebagai missing links ini. Mengacu kepada contoh khusus yang langka, sebagai kesimpulan yang berlaku secara umum, itu serupa dengan mengatakan bahwa Indonesia adalah negara beriklim dingin, hanya karena pernah sesekali terjadi hujan es.

          Archaeopteryx, adalah jenis burung purba yang langka, yang sering dianggap oleh kaum evolutionists sebagai peralihan antara dinosaurus (reptilia) dan burung. Ia mempunyai ciri-ciri khusus, seperti mempunyai gigi dan di ujung sayapnya terdapat semacam cakar. Namun, ada juga burung-burung lain yang punya gigi juga, klik di sini, dan cakar di ujung sayap ini juga dipunyai oleh beberapa jenis burung tertentu, yaitu hoatzin di Amerika Selatan dan touraco di Afrika. Hanya mengambil contoh Archaeopteryx dan kemudian menggeneralisasikannya sebagai species peralihan, nampaknya merupakan keputusan yang tergesa-gesa. Diperlukan bukti-bukti fosil peralihan yang lebih banyak, yang dapat diperoleh di banyak tempat di seluruh dunia, untuk mendukung argumen ini, untuk mengukuhkan posisi Archaeopteryx  sebagai species peralihan. Tanpa bukti-bukti ini, maka belum dapat dikatakan bahwa species burung harus melewati tahapan Archaeopteryx, sebelum memiliki ciri-ciri yang stabil sebagai burung. Dengan prinsip ini, maka Archaeopteryx  belum tentu adalah “gagak putih untuk menggagalkan semua gagak itu hitam”. Sebab ia tetap termasuk gagak hitam dengan varian tertentu, namun tetap gagak hitam”.

          Sedangkan tentang fosil manusia purba yang melibatkan asumsi sang peneliti, sesungguhnya tidak dapat secara obyektif dianggap sebagai bukti yang meyakinkan. Jika Anda tertarik, silakan membaca sekilas kisah di balik klaim-klaim fosil manusia purba, silakan klik.

          Maka kesimpulannya, cloning tidak membuktikan bahwa manusialah yang menciptakan kehidupan. Sedangkan tentang fosil penghubung, masih diperlukan penemuan dan penelitian lebih lanjut, untuk dapat memastikan bahwa keberadaan organisme penghubung itu memang benar-benar ada dalam sejarah mahluk hidup, secara khusus, dalam sejarah manusia.

          Akhirnya, saya juga setuju bahwa kita semua sebagai manusia yang berakal budi, dipanggil untuk berpikir kritis dalam segala sesuatu. Maka biarlah dengan pikiran kritis ini, kita memeriksa semua informasi yang dapat kita peroleh, manakah yang masuk akal dan manakah yang tidak masuk akal. Manakah yang mempunyai dasar yang kuat dan manakah yang tidak, karena masih merupakan hipotesa dan membutuhkan pembuktian lebih lanjut.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          Ingrid Listiati- katolisitas.org

           

          • Dear Ingrid,

            1. Menjadi situs Katolik tidak berarti bisa seenaknya menyelewengkan fakta.

            Pada dasarnya saya tidak mendebat iman anda. Anda menulis tentang evolusi, saya paham tentang evolusi, saya mengetahui yang anda tulis salah, dan saya memberitahukan kesalahan itu hanya dengan tujuan meluruskannya karena sesuatu yang salah adalah salah, apalagi kesalahannya jelas terbukti. Menjadi situs katolik tidak berarti pengunjung situsnya hanya orang katolik, tidak berarti anda bisa seenaknya menyelewengkan fakta sains. Justru jadikanlah situs katolik sebagai cermin umat katolik yang bijak. FYI saya adalah (ex) katolik, kebanyakan keluarga saya katolik, saya sangat paham katolik, dan jujur artikel anda tentang evolusi ngga katolik banget.

            2 Paus Yohannes Paulus II mengakui teori Darwin.

            Tulisan anda tentang evolusi juga tidak mewakili pendapat umat katolik walaupun jelas anda ingin mempengaruhi pembaca agar anti teori evolusi. Faktanya Paus Yohannes Paulus II pun mengakui teori evolusi, silahkan baca http://id.wikipedia.org/wiki/Paus_Yohanes_Paulus_II, tertulis:

            Pada 22 Oktober 1996, dalam sesi pleno Akademi Ilmu Pengetahuan Kepausan di Vatikan, Paus Yohanes Paulus II menyatakan bahwa teori evolusi Charles Darwin adalah fakta, dan sepenuhnya kompatibel dengan ajaran Gereja Katolik Roma.
            Namun, meski menerima teori evolusi, Yohanes Paulus II memberikan satu perkecualian – jiwa manusia. “Jika tubuh manusia berasal dari sesuatu materi hidup yang pernah ada sebelumnya, jiwa rohani diciptakan langsung oleh Allah”.
            Hal ini bisa dimaklumi karena sains belum dapat melakukan observasi pada jiwa (jika ada). Tapi jelas statemen Paus sangat berbeda dengan statemen anda sbb:

            Teori Evolusi yang kita kenal sebenarnya merupakan suatu hipotesa, yang masih memerlukan pembuktian lebih lanjut, agar dapat dikatakan sebagai kebenaran.

            Jelas-jelas Paus saja sudah menganggap teori evolusi sebagai FAKTA!

            3. Untuk kesekian kalinya: Evolusi adalah teori, bukan hipotesa.

            Memang lucu kalau ada yang mengatakan teori evolusi bukan teori, berkali-kali pula. Sudah jelas namanya teori evolusi dan bukan hipotesa evolusi. Baca kutipan Wikipedia berikut:

            Dalam ilmu pengetahuan, teori dalam ilmu pengetahuan berarti model atau kerangka pikiran yang menjelaskan fenomena alami atau fenomena sosial tertentu. Teori dirumuskan, dikembangkan, dan dievaluasi menurut metode ilmiah. Teori juga merupakan suatu hipotesis yang telah terbukti kebenarannya.

            sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Teori

            Karena teori evolusi dibangun atas dasar sains, jangan membelokkan arti teori dengan makna lain, yang digunakan jelas pengertian teori dalam sains.

            4. Loncatan ukuran tubuh tidak bisa dibuktikan secara ilmiah?

            Satu lagi statemen ketidaktahuan atau mungkin pembohongan publik dari anda, ingat posisi anda ini menulis di website katolik, saya rasa umat katolik diajarkan untuk jujur bukan? Loncatan ukuran tubuh jelas bisa dibuktikan, tentu saja tidak tepat dibilang “loncatan” karena ukuran tubuh tidak serta-merta berubah, makanya namanya evolusi, perubahannya melewati generasi demi generasi. Bukti bahwa ukuran tubuh bisa dibuktikan secara ilmiah adalah melalui fosil, sudah tersusun kok bagaimana evolusi kuda dari tingginya hanya setengah meter sampai setinggi nyaris dua meter saat ini. Bukti lainnya adalah fosil cetacea, silakan lihat di http://en.wikipedia.org/wiki/Evolution_of_cetaceans. Sudah terpampang nyata!

            5. Ketahui perbedaan teori yang diperbarui dan paradigma shift

            Berkali-kali anda ngotot terjadi perdebatan ilmuwan dalam teori evolusi, padahal sudah saya katakan komunitas sains (ilmuwan) mendukung teori evolusi, dan mereka sama-sama mengembangkan teori Darwin, makanya saya katakan menentang teori evolusi bukan hanya menentang Darwin, tetapi juga menentang komunitas sains. Saya paham maksud anda tentang evolusi makro Darwin, anda harus tau bahwa Darwin tidak mengetahui ilmu genetika, ia hanya mengajukan bahwa evolusi terjadi karena seleksi alam, para ilmuwan bukannya tidak setuju dengan hal tersebut, tapi para ilmuwan kemudian berhasil menjelaskan bahwa evolusi juga dapat terjadi karena faktor mutasi dan genetik (hal ini yang belum diketahui Darwin). Jadi pada dasarnya para ilmuwan memperbarui teori evolusi yang dicetuskan Darwin, tetapi anda menganggapnya seolah-olah menggantikan/membantah Darwin. Kalau membantah, itu namanya paradigma shift, satu teori digantikan dengan teori lain yang sangat berbeda, contohnya teori matahari mengelilingi bumi digantikan dengan bumi mengelilingi matahari. Pada evolusi tidak terjadi paradigma shift, tetapi sekali lagi, teori evolusi diperbarui.

            6. Masalah organ vestigial

            Saya jadi geli sendiri membaca tautan yang anda berikan, sumbernya kok dari website creationist! :) dari sini saja sudah terlihat keengganan anda mencari sumber yang objektif. Website creasionist sudah jelas tidak objektif dan anda menelan mentah-mentah informasi didalamnya. Satu fakta yang pasti bagi yang memahami apa itu organ vestigial: tidak mungkin organ vestigial jadi 0! Otot telinga jelas merupakan organ vestigial, karena vestigial bukan selalu artinya tidak berfungsi, tapi bisa juga kehilangan banyak fungsi asalnya. Silakan cari di wikipedia yang lebih objektif, walaupun anda sudah menutup diri dengan kenyataan sains dengan mengatakan “mau disebut apapun organ-organ tersebut, tidak menjadikan bukti bahwa Tuhan gagal mencipta, sebab ternyata organ-organ itu mempunyai fungsi tertentu”. Nah sekarang coba jelaskan apa fungsinya vertebra ekor pada embrio manusia yang lalu menghilang sendiri karena selnya mati? baca: http://www.talkorigins.org/faqs/comdesc/section2.html#ontogeny_ex4 (perhatikan website ini mengutip berbagai sumber sains yang terpercaya).

            Saya tunjukkan juga bagaimana website creationist itu isinya kebanyakan hanya sampah, memutarbalikkan fakta, mereka mengutip kata-kata Anthony Smith (Smith ini juga bukan ilmuwan lho!) sebagai berikut: “The human embryo does not develop a tail. Anthony Smith wrote..blablabla…”, ya memang bukan itu masalahnya, masalahnya apa fungsi vertebra ekor pada embrio manusia yang tumbuh lalu menghilang lagi karena selnya mati? Jadi anda lihat sendiri, web creationist mengutip apapun (sekalipun bukan dari ilmuwan) hanya untuk berusaha terlihat berargumen secara sains padahal tidak nyambung.

            7. Makhluk hidup saat ini berasal dari organisme bersel tunggal

            Ini sudah fakta ilmiah, ingat bahwa kehidupan di bumi sudah berlangsung sekitar 3.5 milyar tahun, jadi bahkan manusia dan amuba memiliki common ancestor yang sama, hal ini sudah bukan perdebatan dalam dunia sains. Yang masih merupakan hipotesa adalah darimana asal single-cell organism itu, karena yang terpenting adalah harus terdapat “building blocks of life” sebagai dasar kehidupan, dan ini bisa diperoleh dari proses senyawa kimia dengan percobaan Miller-Urey, bisa juga diperoleh dari meteor/asteroid yang jatuh ke bumi. Nah selama belum terbukti secara sains, silakan mengklaim bahwa building block of life diciptakan oleh Tuhan, seperti banyak orang juga bisa mengklaim building block of life diciptakan oleh Zeus dan mengimaninya. Tapi mengenai evolusi, seluruh makhluk hidup memiliki nenek moyang yang sama, bisa dibuktikan benar secara sains.


            8. Lagi-lagi missing links.

            Ya, cukup menemukan satu atau beberapa fosil penghubung yang dapat diverifikasi secara sains, maka sudah bisa meruntuhkan anggapan ada missing links. Tidak ditemukan banyak fosil penghubung bukan berarti fosilnya tidak ada. Apalagi yang ditemukan sebenarnya cukup banyak, seperti fosil cetacea pada link wikipedia yang saya lampirkan di atas. Kemajuan evolusi sudah sangat jauh meninggalkan zaman Darwin, meninggalkan zaman saat di sekolah-sekolah pun masih menekankan missing links sebagai kelemahan teori evolusi, tapi itu sudah puluhan tahun lalu. Hari ini teori evolusi sudah semakin kuat dan missing links tidak pernah lagi jadi alasan meragukan teori Darwin, kecuali bagi mereka yang tidak mengikuti perkembangan sains. Silakan baca http://en.wikipedia.org/wiki/Transitional_fossil#Missing_links:

            “Missing link” is still a popular term, well recognized by the public and often used in the popular media. It is, however, avoided in the scientific press, as it relates to the concept of the great chain of being and to the notion of simple organisms being primitive versions of complex ones, both of which have been discarded in biology. In any case, the term itself is misleading, as any known transitional fossil, like Java Man, is no longer missing. While each find will give rise to new gaps in the evolutionary story on each side, the discovery of more and more transitional fossils continues to add to our knowledge of evolutionary transitions.

            Salam.

            koreksi:
            Ya, cukup menemukan satu atau beberapa fosil penghubung yang dapat diverifikasi secara sains, maka sudah bisa meruntuhkan anggapan tidak ada missing links.

            seharusnya:

            Ya, cukup menemukan satu atau beberapa fosil penghubung yang dapat diverifikasi secara sains, maka sudah bisa meruntuhkan anggapan ada missing links.

          • Shalom Joko,

            1. Kami menyelewengkan fakta?

            Saya telah menjelaskan kepada Anda, maksud tulisan saya yang Anda anggap salah. Namun nampaknya Anda tidak menerima penjelasan saya. Dari pihak saya, jelas saya tidak berniat menyelewengkan fakta, dan sejauh dari yang saya ketahui, tidak ada dari tulisan saya di atas itu yang menyelewengkan fakta.

            2. Paus Yohanes Paulus II mengakui Teori Darwin?

            Ini adalah kesimpulan yang tergesa-gesa yang diambil oleh media massa, namun tidak sesuai dengan keseluruhan perkataan Paus. Mari melihat langsung dari apa yang dikatakan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam kata sambutannya di hadapan the Pontifical Academy of Sciences (22 Oktober 1996), yang keseluruhan teksnya dapat dibaca di sini, silakan klik. Kata sambutan Paus itu disampaikannya dalam perayaan 60 tahun Akademi tersebut. Tema yang dipilih oleh para akademisi dalam perayaan itu adalah asal usul kehidupan dan evolusi.

            Di awal kata sambutannya yang berjudul, “Truth Cannot Contradict Truth“, Paus mengatakan ada dua prinsip yang telah ditetapkan sebagai framework oleh pihak Magisterium, sehubungan dengan topik tersebut, yaitu:

            1) Tidak ada pertentangan antara evolusi dan ajaran iman tentang manusia

            Mengacu kepada ajaran Paus Pius XII dalam ensiklik Humani Generis (1950), Paus Yohanes Paulus II mengatakan, bahwa tidak ada pertentangan antara evolusi dan ajaran iman tentang manusia, asalkan tidak diabaikan beberapa hal yang sudah jelas dan tidak perlu dipertanyakan. Adalah penting untuk dipahami cara menginterpretasikan Kitab Suci, agar seseorang terhindar dari interpretasi yang keliru dari teks Kitab Suci. Ahli Kitab Suci dan teolog harus mengikuti perkembangan hasil penemuan sains, dan menjadikannya sebagai bagian dari studi mereka sendiri.

            Dalam ensiklik Humani Generis, dikatakan bahwa teori evolusi adalah hipotesa yang serius, yang layak diperiksa dan dipelajari, sebagaimana juga dilakukan terhadap hipotesa yang menentangnya. Pandangan tentang evolusi tidak boleh diambil begitu saja sebagai sesuatu yang seolah-oleh sudah pasti, ajaran yang sudah terbukti, seolah-olah seseorang dapat menyimpulkannya dari wahyu ilahi tentang segala permasalahan yang timbul tentangnya.

            Setelah hampir 50 tahun berlalu dari ensiklik tersebut, ilmu pengetahuan baru telah mengarahkan kepada pengakuan terhadap teori evolusi sebagai lebih dari sekedar hipotesa. Adalah hal yang luar biasa bahwa teori ini telah secara berangsur-angsur diterima oleh para peneliti…. Hasil kerja yang dilakukan secara terpisah, yang menuju kepada kesimpulan yang konvergen, adalah argumen yang mendukung teori ini.

            [Namun] apakah pentingnya sebuah teori? Sebuah teori adalah penjabaran meta-ilmu, yang berbeda dari hasil penelitian, namun konsisten dengannya. Melalui teori, data dan fakta independen dihubungkan dan diinterpretasikan di dalam kesatuan penjelasan. Ke-sahan teori tergantung dari apakah teori tersebut dapat diverifikasi; teori secara terus menerus diperiksa terhadap fakta-fakta. Jika teori tidak dapat menjelaskan fakta, itu menunjukkan keterbatasan dan ketidaklayakannya, sehingga harus dipikirkan kembali.

            Selanjutnya, sekalipun rumusan sebuah teori seperti teori evolusi sesuai dengan tuntutan konsistensi sehubungan dengan data yang diamati, teori itu meminjam prinsip-prinsip tertentu dari filosofi kodrati (natural philosophy).

            Dan, sebenarnya, kita harus berbicara tentang beberapa teori evolusi, bukan hanya suatu teori evolusi tertentu. Di suatu sisi banyak teori ini berhubungan dengan penjelasan-penjelasan yang berbeda-beda lebih lanjut tentang mekanisme evolusi, dan di sisi lain, berhubungan dengan berbagai filosofi yang atasnya teori tersebut mengambil dasar…. Apa yang harus diputuskan di sini adalah peran sejati dari filosofi dan lebih dari itu, peran teologi.

            2). Wahyu ilahi mengajarkan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (lih. Kej 1:27-29).

            Konsili Vatikan II telah menjelaskan ajaran ini dengan mengatakan bahwa manusia adalah “satu-satunya mahluk ciptaan di dunia yang diinginkan Tuhan demi dirinya sendiri” (Gaudium et Spes, 24). Dengan kata lain, manusia tidak dapat diturunkan sebagai murni sarana atau alat, entah terhadap species atau kelompok; manusia mempunyai nilainya sendiri. Ia adalah seorang pribadi. Dengan akal budi dan kehendaknya, ia dapat membentuk hubungan persekutuan, solidaritas dan pemberian diri dengan sesamanya…. Bahkan lebih lagi, manusia dipanggil untuk masuk dalam hubungan kasih dengan Tuhan sendiri….

            Adalah karena jiwa rohaninya, maka manusia memiliki martabat yang sedemikian, bahkan nampak di dalam tubuhnya. Pius XII menekankan point penting ini: Jika tubuh manusia mengambil asal dari suatu materia hidup yang sudah ada, jiwa rohani tetap diciptakan secara langsung oleh Tuhan. (lih, Humani Generis, 36). Oleh karena itu, teori-teori evolusi yang, …menganggap bahwa jiwa timbul dari kekuatan materia yang hidup atau hanya sebagai fenomena sekunder dari materia ini, tidak sesuai dengan kebenaran tentang manusia.

            Selanjutnya Paus menjelaskan bahwa peran penelitian sains adalah untuk menjabarkan dan mengukur beragam manifestasi kehidupan dengan presisi yang makin meningkat dan menghubungkannya dengan jangka waktu. Namun saat peralihan menuju ke mahluk rohani, tidak dapat menjadi obyek penelitian macam ini, yang biar bagaimanapun dapat menemukan banyak tanda-tanda yang menunjukkan apa yang menjadi ciri spesifik manusia. Namun pengalaman tentang pengetahuan metafisik, tentang kesadaran diri dan refleksi dirim tentang hati nurani, kebebasan, atau pengalaman estetika dan religius, merupakan ranah analisa filosofis dan refleksi, sementara teologi menjelaskan artinya menurut rencana Sang Pencipta. (lih. Truth Cannot Contradict Truth, 4-6)

            Maka Paus tidak mengatakan bahwa ia menganggap bahwa teori evolusi adalah fakta. Yang dikatakan Paus adalah ilmu pengetahuan baru telah mengarahkan bahwa teori evolusi adalah lebih dari sekedar hipotesa, dengan didukung oleh argumen yang mengatakan bahwa hasil karya/ penelitian yang dilakukan terpisah menghasilkan kesimpulan yang konvergen.

            Namun Paus sendiri tidak menyatakan setuju atau tidak setuju terhadap argumen ini. Ia hanya menyampaikan fakta bahwa memang para peneliti sekarang berangsur menerima teori evolusi. Paus mengingatkan agar teori evolusi tersebut senantiasa diuji berdasarkan dengan fakta. Meskipun ditemukan bahwa hasilnya konsisten dengan data, Paus mengingatkan bahwa teori evolusi itu meminjam prinsip-prinsip tertentu dari filosofi, sehingga keberadaan filosofi, dan teologi yang mengatasinya, perlu diperhitungkan.

            Selanjutnya, Paus kembali menegaskan ajaran Gereja bahwa manusia diciptakan sesuai dengan gambar dan rupa Allah. Dengan demikian, sekalipun suatu saat terbukti bahwa tubuh manusia berasal dari sesuatu materi yang sudah ada, tetap harus tetap dipegang bahwa jiwa rohani manusia tetap diciptakan langsung oleh Allah.

            Maka tidak benar jika ada orang yang mengatakan bahwa Paus Yohanes Paulus II menyetujui teori evolusi Darwin (yang menyatakan bahwa manusia berasal dari evolusi kera, dengan mekanisme seleksi alam). Ini adalah kesimpulan yang dibuat tanpa membaca keseluruhan teks perkataan Paus Yohanes Paulus II.

            3. Untuk kesekian kalinya: Evolusi adalah teori, bukan hipotesa?

            Untuk kalangan sains, evolusi disebut sebagai teori yang hampir dianggap sebagai fakta. Namun bagi kami yang melihat teori tersebut dari sudut pandang iman, sekalipun kami menyebutnya sebagai teori, namun kami tetap menganggapnya sebagai suatu rumusan yang masih harus dibuktikan dengan fakta-fakta (dengan demikian memiliki sifat sebagai hipotesa yang masih memerlukan pembuktian/ pemeriksaan kembali), sehingga bukan suatu rumusan yang sudah final. Hal ini nyata dalam dokumen-dokumen Gereja Katolik.

            4. Loncatan ukuran evolusi tubuh?

            Yang saya maksudkan dengan adanya loncatan ukuran tubuh pada evolusi kuda yang tidak dapat dijelaskan adalah loncatan pada rantai Eohippus ke Mesohippus. Memang saya tidak menyebutkan secara detail dalam argumen saya sebelumnya, karena saya pikir akan menjadi terlalu spesifik dan teknikal. Namun sekarang, karena ditanyakan, maka baik juga disampaikan sebagai contoh yang menunjukkan adanya faktor hipotesa di balik penyusunan skema “pohon kuda” itu.

            Walaupun dalam textbook anak-anak sekolah digambarkan adanya evolusi kuda, namun fakta yang terjadi dalam penyusunan skema tersebut menunjukkan adanya keterlibatan hipotesa dari para ilmuwan penemunya. Moyang kuda ditemukan oleh Richard Owen seorang paleontologist di tahun 1841, namun ia tidak menyebut fosil temuannya sebagai hippus (kuda), namun hyracotherium sebab lebih menyerupai hyrax (semacam kelinci/ badger). Bahwa di buku-buku pelajaran kemudian digambarkan seperti kuda kecil itu adalah kreasi dari artist yang menggambarnya.

            Tahun 1860 seorang paleontologist bernama Othniel Charles Marsh, pendukung teori Darwin, berusaha menemukan fosil-fosil peralihan agar dapat membuktikan teori Darwin. Maka ia mencari fosil tersebut di Amerika barat. Ditemukanlah variasi fosil dari kuda kecil sampai besar, sehingga dapat disusunlah urutan dari Mesohippus, Merychippus dan akhirnya Equus, semua terlihat seperti kuda dengan variasi ukuran dari kecil semakin besar. Sebagai awalnya, Marsh memilih untuk menempatkan Orohippus (kuda gunung) sebagai moyang kuda. Eohippus sendiri ditemukan oleh David Cope, saingan Marsh. Namun kemudian Thomas Huxley, pendukung utama teori Darwin datang ke Amerika, untuk melihat koleksi fosil kuda tersebut. Saat itulah ia menetapkan bahwa moyang kuda adalah Eohippus

            Sekarang, kalau dilihat, tanpa Hyracotherium/ Eohippus dan Orohippus, rantai evolusi tersebut hanya merupakan variasi ukuran kuda. Namun dengan adanya Eohippus dan Orohippus, ada semacam loncatan ukuran tubuh yang tidak bisa dijelaskan antara Eohippus/Orohippus itu ke mata rantai Mesohippus. Loncatan inilah yang tidak bisa dijelaskan bahkan oleh para ilmuwan sendiri, sehingga antara mereka sendiri dapat terucap komentar sedemikian:

            “The evolution of the horse provides one of the keystones in the teaching of evolutionary doctrine, though the actual story depends on who is telling it and when the story is being told. In fact, one could easily discuss the evolution of the story of the evolution of the horse. … In the first place, it is not clear that Hyracotherium was the ancestral horse”. (G. A. Kerkut, Implications of Evolution, 1960, pg 149.)

            The first animal in the series, Hyracotherium (Eohippus) is so different from the modern horse and so different from the next one in the series that there is a big question concerning its right to a place in the series … [It has] a slender face with the eyes midway along the side, the presence of canine teeth, and not much of a diastema [space between front teeth and back teeth], arched back and long tail.” (H.G. Coffin, Creation: Accident or Design? (1969), pp. 194-195).

            The family tree of the horse is beautiful and continuous only in the textbooks. In the reality provided by the results of research it is put together in three parts, of which only the last can be described as including the horses. The forms of the first part are just as much little horses as the present day damans are horses. The construction of the whole Cenozoic family tree of the horse is therefore a very artificial one, since it is put together from non-equivalent parts, and cannot therefore be a continuous transformation series.” (Prof Heribert Nilsson, 1954, the Revised quote book quote #55)

            Akhirnya, Hyracotherium/ Eohippus akhirnya dibuang dari pohon keluarga kuda oleh sains. Kuda akhirnya diputuskan ada dalam kelas yang disebut perissodactyls (Reference: Phylogenetic systematics of basal perissodactyls Froehlich, DJ, Journal of Vertebrate Paleontology, 1999, 19(1): 140). Bukankah ini membuktikan bahwa suatu temuan urutan evolusi kuda itu sendiri melibatkan suatu hipotesa, hingga akhirnya saja bisa dibatalkan dan direvisi? Sebab jika sudah merupakan fakta yang tak terbantahkan, maka para ilmuwan sendiri tak perlu merevisinya. Pencoretan Hyracotherium/ Eohippus dari mata rantai evolusi kuda, dan menggantinya dengan Perissodactyla, dapat menghasilkan skema yang berbeda dari skema terdahulu.

            Terlepas dari hal moyang kuda, perbedaan ukuran dan bentuk pada variasi kuda lainnya, memang dapat terjadi karena seleksi alam akibat perubahan lingkungan ataupun perubahan makanan. Namun variasi itu tidak otomatis merupakan bukti evolusi di mana variasi yang lebih awal dalam mata rantai akan berubah menjadi variasi kuda berikutnya. Buktinya, di sisi timur laut Oregon, USA, fosil Neohipparian -berkuku 3 (jenis Merychippus) dan Pliohippus – berkuku 1 (jenis Equus) ditemukan di lapisan batu yang sama, sehingga membuktikan bahwa Equus tidak mungkin merupakan hasil evolusi dari Merychippus, sebab keduanya ternyata hidup pada zaman yang sama. Bahkan sekarang ini kuda berkuku 3 masih eksis. OC Marsh sendiri mengakui bahwa beberapa kuda di baratdaya Amerika ada yang berkuku 3, menyerupai jenis kuda Protohippus di zaman 15 juta tahun yang lalu. Maka nampaknya teori evolusi ini masih perlu terus dibuktikan dengan fakta-fakta penemuan berikutnya.

            David Raup, seorang paleontologist dan evolutionist mengatakan:

            “Darwin’s theory of natural selection has always been closely linked to evidence from fossils, and probably most people assume that the fossils provide a very important part of the general argument that is made in favor of Darwinian interpretations of the history of life. Unfortunately this is not strictly true. …  The evidence we find in the geologic record is not nearly as compatible with Darwinian natural selection as we would like it to be. Darwin was completely aware of this. He was embarrassed by the fossil record, because it didn’t look the way he predicted it would, and, as a result, he devoted a long section of the ‘Origin of the Species’ to an attempt to explain and rationalize the differences… Darwin’s general solution to the incompatibility of fossil evidence and his theory was to say the fossil record was a very imcomplete one… Well we are now about 120 year after Darwin, and the knowledge of the fossil record has been greatly expanded. We now have a quarter million fossil species, but the situation hasn’t changed much. The record of evolution is surprisingly jerky, and ironically, we have fewer examples of evolutionary transition [changes over time of species] than we had in Darwin’s time.  By this I mean that some of the classic cases of Darwinian change in the fossil record, such as the evolution of the horse, in North America, have had to be discarded or modified as a result of more detailed information-that what appeared to be a nice simple progression when relatively few data were available now appears to be more complex and much less gradualistic.  So Darwin’s problem has not be alleviated the last 120 years and we still have a record which does show change but one that can hardly be looked upon as the most reasonable consequence of natural selection. (David Raup in “Conflicts between Darwin and Paleontology”, Field Museum of Natural History Bulletin Jan. 1979, Vol. 50 No. 1, p. 22, 25)

            Maka memang faktanya terdapat tanda perubahan- perubahan ciri struktur tubuh dalam rekaman fosil. Namun perubahan itu perlu diidentifikasikan terlebih dahulu, apakah itu berasal dalam satu keluarga organisme, dan dengan demikian disebut evolusi mikro (yang tentang ini tak perlu diperdebatkan, karena memang terjadi), ataukah memang berasal dari organisme lain yang lebih sederhana, yang disebut evolusi makro (yang diajarkan oleh Darwin).

            Contoh link yang Anda sertakan, yaitu link Wikipedia tentang evolusi cetacean (ikan paus, ikan lumba-lumba), memang jelas menyampaikan variasi cetacean (ini dapat digolongkan evolusi mikro dalam kelompok organisme yang sama), namun yang belum jelas di sini adalah moyang dari kelompok cetacea tersebut. Ini justru menurut saya adalah contoh yang paling jelas menunjukkan bahwa teori evolusi itu melibatkan faktor asumsi ilmuwan sebagai dasarnya, dalam hal ini dalam menentukan moyang dari cetacean itu, yang konon berasal dari hewan mamalia darat. Sebab para ahli tidak sepakat tentang hewan apakah yang menjadi moyang ikan paus dan lumba-lumba tersebut yang berasal dari hewan mamalia darat. Berikut ini saya kutip saja dari link Wikipedia yang Anda sertakan:

            “The most widely accepted hypothesis before the 1990s was the closest relatives to whales were the fossil group Mesonychia. These were hooved, predominantly carnivorous mammals known only from fossils. But, today, few authorities still consider mesonychids to be more closely related to whales than artiodactyls. Instead, they are usually considered to be the closest relative of the Cetartiodactyla as a whole….”

            Terlepas dari apakah benar lumba-lumba dan ikan paus mempunyai moyang yang sama, namun di sini terlihat adanya keterlibatan asumsi dari para ahli yang menghubungkan hewan mamalia darat dengan ikan paus dan lumba-lumba. Sebelum tahun 1990, para ahli memperkirakan bahwa Mesonychia adalah moyangnya cetacean (atas dasar kemiripan bentuk gigi dan tengkorak). Kini diperkirakan Cetartiodactyla adalah moyang dari cetacean (atas dasar analisa DNA). Gambar yang ada di wikipedia merupakan rekonstruksi, yang juga melibatkan asumsi ilmuwan yang meneliti.

            Memang pertanyaan selanjutnya adalah, apakah yang menjadi dasar bahwa kemiripan suatu ciri, atau keserupaan struktur DNA, dapat menjadi indikasi bahwa suatu hewan tertentu adalah moyang dari hewan lain, yang berbeda secara drastis? Jika diamati gambar skemanya saja, kita melihat adanya perbedaan yang besar antara Mesonychia ataupun Cetartiodactyla (hewan mamalia darat yang berkaki) dengan keluarga ikan paus dan lumba-lumba. Pakicetus dan Ambolucetus yang sering disebut-sebut sebagai mahluk peralihan antara mamalia darat dan ikan paus/ lumba-lumba adalah hewan berkaki empat dengan tipe tulang mamalia, yang gambarnya menurut Wikipedia adalah seperti ini, klik di sini. Dari gambar ini dibuat suatu rekonstruksi yang nampaknya dibuat agar lebih mirip dengan ikan, klik di sini, sebagaimana juga kita lihat di National Geography. Di sinilah terlibat asumsi dari peneliti (dan si pembuat gambar) untuk merekonstruksikan Ambolucetus, sebab fosil yang ditemukan juga tidak mencakup seluruh badan, sebagaimana kita baca di situs-situs evolutionists. Maka tentang selaput yang terbentuk di antara jari-jari kaki sehingga menyerupai sirip, nampaknya itu lebih berkaitan dengan asumsi peneliti dan tidak langsung dapat disimpulkan dari rekaman fosil. Sebab sesungguhnya, dari rekaman fosil yang sama, dapat juga dibentuk rekonstruksi Ambolucetus sebagai mahluk mamalia yang secara kelompok berdiri sendiri, tidak menjadi moyang dari ikan paus ataupun lumba-lumba. Pendapat ini dipegang oleh evolutionist dari Rusia yang terkenal, G.A. Mchedlidze, yang tidak menganggap bahwa Pakicetus, Ambulocetus natans, and hewan berkaki empat lainnya sebagai moyang dari ikan paus (G. A. Mchedlidze, General Features of the Paleobiological Evolution of Cetacea, trans. from Russian (Rotterdam: A. A. Balkema, 1986), p. 91).

            5. Perbedaan teori yang diperbaharui dan paradigma shift?

            Memang sementara ini kalangan sains banyak yang mendukung teori evolusi. Namun yang ingin kami sampaikan di sini adalah fakta bahwa dalam proses perumusan teori ini, ada keterlibatan asumsi dari ilmuwan penelitinya, sehingga agar teori dapat terbukti kebenarannya, memerlukan bukti-bukti yang lebih banyak dan konsisten, yang mendukung teori tersebut. Klaim Java man (Pithecanthropus erectus) oleh Eugene Dubois (1891) yang sudah dianggap sebagai kebenaran oleh para evolutionist (bahkan sudah ditentukan sebagai salah satu mata rantai mahluk peralihan antara kera dan manusia), memerlukan konfirmasi lebih lanjut dari penemuan-penemuan berikutnya, sebab kalau kita melihat keseluruhan kisah penemuannya, melibatkan faktor asumsi, bahkan misteri (sebagaimana pernah kami tulis di sini, silakan klik). Penemuan-penemuan fosil yang masih akan terjadi akan sedikit demi sedikit menguak apakah klaim Java man ini valid atau tidak.

            Gereja tidak anti penemuan sains, sepanjang memang itu benar dan dapat dibuktikan dengan fakta-fakta. Maka posisi Gereja sekarang adalah menunggu dan mengamati “wait and see“, dengan tetap berpegang kepada prinsip ajaran bahwa sekalipun terbukti bahwa tubuh manusia berasal dari mahluk lain yang sudah ada, namun: 1) loncatan peralihan dari tubuh mahluk lain tersebut ke tubuh manusia, hanya dapat terjadi karena intervensi Tuhan; 2) jiwa manusia tetaplah diciptakan langsung oleh Tuhan.

            6. Tentang Organ Vestigial

            Yang mengatakan bahwa organ-organ Vestigial itu “not so useless after all” itu bukan hanya para creationists, tapi juga para ahli di luar kalangan creationists. Situs seperti National Geographic, pernah menuliskan juga tentang hal itu. Pandangan bahwa organ-organ tersebut “relatif kurang berguna” pada manusia, itu disebabkan karena pembandingan kegunaan organ-organ tersebut pada mahluk lain, yang kemudian dianggap sebagai moyang manusia. Namun jika organ tersebut dipandang secara independen, maka organ-organ tersebut mempunyai kegunaannya, sesuai dengan keadaan tubuh manusia. Tulang ekor manusia merupakan pertemuan bermacam otot, tendon dan ligamen tubuh, dan juga merupakan struktur penopang tubuh untuk mendukung posisi duduk pada manusia. Dengan kegunaan ini maka, tidak dapat dikatakan bahwa organ-organ tersebut membuktikan kesalahan desain Sang Pencipta.

            7. Mahluk hidup saat ini berasal dari organisme bersel tunggal?

            Ini menurut Anda sudah fakta, tetapi sejujurnya ini belum dapat dikatakan fakta. Sebab buktinya belum ada, itu adalah prediksi berdasarkan klaim penemuan- penemuan fosil missing links yang konon mendukung teori makro evolusi Darwin. Dengan anggapan ditemukannya sebagian dari mata rantai evolusi tersebut, maka diprediksikan bahwa terjadi evolusi juga dalam skala keseluruhan, yaitu bahwa segala mahluk hidup berasal dari satu sel. Padahal, kemungkinan ini sangat kecil atau hampir tidak ada, jika ditinjau dari probabilitas matematika. 3.5 milyar tahun bukan apa- apa jika dibandingkan dengan waktu yang mendekati tak terhingga yang dibutuhkan untuk evolusi dari satu sel menuju tubuh manusia dengan kompleksitas yang sangat tinggi. Salah satu tokoh evolusi seperti  Jacques Monod (1910-1976) sendiri mengakui bahwa kemungkinan evolusi dari mahluk bersel satu adalah “hampir nol” dan kemungkinan terjadi hanya sekali (Jacques Monod, Chance and Necessity, NY, Alfred A. Knopf, 1971, p.114-145). George Salet, seorang ahli matematika dari Perancis mengatakan, “ilmu pengetahuan menemukan fungsi DNA, duplikasinya dan perkembangannya memberi dasar bagi spekulasi matematika bahwa, … periode geologis harus dikalikan dengan 10 diikuti dengan ber-ratus atau ber-ribu-ribu nol, untuk memberikan waktu bagi terbentuknya sebuah organ baru, walaupun organ yang paling sederhana sekalipun.” (diterjemahkan dari George Salet, “Hasard et certitude. Le transformisme devant la biologie actualle, Paris, 1972, p. x)

            Eksperimen Miller- Urey yang Anda katakan itu adalah suatu eksperimen yang diadakan sekitar 60 tahun yang lalu, yang masih harus dibuktikan kebenarannya, jika mau dikatakan sebagai bukti yang mendukung argumen evolusi semua mahluk hidup dari organisme satu sel; ataupun argumen bahwa dari sel-sel mati dapat terbentuk kehidupan. Sebab yang dihasilkan dari eksperimen Miller- Urey itu adalah asam-asam amino dan zat-zat organik lainnya yang memang diperlukan untuk terbentuknya protein, tetapi bukan proteinnya itu sendiri, apalagi kehidupan suatu organisme. Jika memang eksperimen ini demikian plausible, tentu sudah ada bukti lainnya di zaman ini sebagai kelanjutan dari eksperimen Miller – Urey itu di mana ilmuwan benar-benar dapat membuat suatu mahluk hidup dari letupan zat-zat inorganik. 

            8. Lagi-lagi missing links

            Link wikipedia yang Anda temukan itu bukan artikel istimewa yang membuktikan bahwa species penyambung missing links itu benar-benar ada. Biarlah hasil penelitian dan penemuan-penemuan fosil yang masih terus berlanjut membuktikan tentang hal ini dengan lebih jelas. Mungkin menurut sebagian orang bahwa asalkan ditemukan satu species saja yang nampak seperti mahluk penghubung dua kelompok organisme, itu sudah cukup menjadi bukti teori evolusi makro. Namun jika kita mau konsisten dengan pengertian dan cakupan evolusi makro itu sendiri, maka satu contoh yang spesifik macam itu tidak cukup kuat untuk dijadikan patokan umum. Baru jika sudah teruji dengan penemuan fosil lainnya yang mengindikasikan adanya kontinuitas dari mata rantai organisme peralihan itu menuju kelompok organisme yang kita kenal sekarang, maka posisinya sebagai penghubung missing link itu dapat dikonfirmasi.

            Nah posisi Archeopteryx, sebagai hewan peralihan antara dinosaurus dan burung, masih harus dibuktikan, sebab fosil burung yang berasal dari zaman yang kurang lebih sama dengannya, Confuciusornis (sekitar 140 juta tahun yang lalu), yang ditemukan di China tahun 1995, menunjukkan bulu, paruh dan kerangka yang sama dengan burung pada masa ini, namun tidak mempunyai gigi (lih. Pat Shipman, “Birds do it… Did Dinosaurs?,” New Scientist, 1 February, 1997, p. 31). Penemuan fosil burung primitif lainnya (sekitar 130 juta tahun yang lalu) di China tahun 1996, yang diberi nama Liaoningornis, juga sudah menunjukkan struktur tulang dada dan ciri-ciri lainnya yang tidak dapat dibedakan dari ciri burung di zaman ini, kecuali bahwa burung tersebut mempunyai gigi. Jika semua penemuan ini benar, maka Archeopteryx tidak dapat dikatakan sebagai moyang semua burung; sebab ada ciri-ciri yang tidak konsisten yang nampak dari urutan tersebut, jika mau dianggap bahwa Acheopteryx adalah moyang paling awalnya. Ciri bergigi (pada Archeopteryx), tidak bergigi (pada Confuciusornis) lalu menjadi bergigi lagi (pada Liaoningornis), tidak menunjukkan kontinuitas evolusi yang membuktikan bahwa kedua species burung itu bukan merupakan turunan Archeopteryx yang sedang berevolusi menuju burung modern (Belum lagi ditambah fakta, bahwa walaupun umumnya burung modern tidak bergigi, terdapat jenis burung zaman ini yang juga mempunyai gigi sebagaimana saya katakan di tanggapan saya yang terdahulu). Bahwa Liaoningornis telah mempunyai ciri-ciri burung modern, membuat sejumlah ahli menyimpulkan bahwa burung tidak berasal dari turunan dinosaurus (lih. “Old Bird,” Discover, March 21, 1997), sebab sejak zaman primitif itupun, burung sudah eksis dengan ciri-cirinya seperti sekarang. Maka, tak mengherankan, sejumlah ahli mempunyai hipotesa yang berbeda, setelah mereka menemukan jaringan dan kerangka tubuh yang berbeda antara dinosaurus dan burung (lih. Ruben, J. A., T. D. Jones, N. R. Geist, and W. J. Hillenius, 1997, “Lung Structure and Ventilation in Theropod Dinosaurs and Early Birds.” Science, 278:1267-1270). Mereka menyimpulkan bahwa dinosaurus theropod, termasuk yang fosilnya baru saja ditemukan, Sinosauropteryx, tidak mempunyai tipe paru-paru diafragma pada burung, tetapi lebih menyerupai tipe pada buaya, sehingga ini memperbesar jarak antara burung dan dinosaurus. Jika hipotesa ini benar, maka tidak dapatlah ditarik suatu mata rantai evolusi dari dinosaurus ke burung. (Di sini kita melihat bahwa sesungguhnya hal pengelompokan rangkaian rantai evolusi dalam teori evolusi makro, juga tidak sedemikian mudah disimpulkan. Padahal kalau suatu saat dibuktikan bahwa makin banyak kelompok organisme yang keberadaannya tidak tergantung dari kelompok organisme yang lain (tidak merupakan hasil evolusi dari kelompok organisme yang lain), maka teori evolusi makro tidak lagi mempunyai dasar yang kuat.)

            Selanjutnya, gambar skematik yang ditampilkan di link Wikipedia tentang “missing link” tersebut,  yang menunjukkan evolusi dari satu amuba sampai menjadi manusia, juga merupakan gambar reinterpretasi dari Ernst Haeckel di tahun 1874, yang sejujurnya merupakan gambar/ skema yang masih harus dibuktikan dengan fakta penemuan-penemuan yang ada. Sebab contoh yang konon paling jelas yaitu Archeopteryx, juga ternyata tidak terlalu meyakinkan, sebagaimana telah dibahas di atas. Belum lagi contoh mahluk “missing link” lainnya, yang sudah dianggap benar, yaitu Java man (Pithecanthropus erectus), yang melibatkan asumsi dan misteri, sebagaimana pernah kami tuliskan juga di artikel ini, silakan klik

            Dengan demikian, nampaknya benar apa yang dikatakan oleh Paus Yohanes Paulus II bahwa sebagai sebuah teori, teori evolusi masih perlu dibuktikan lebih lanjut, oleh fakta-fakta yang ada. Jika memang benar teori tersebut, tentu akan semakin terbukti. Namun sekalipun teori evolusi (dalam hal ini evolusi makro) terbukti, hal itu juga tidak berpengaruh terhadap iman Kristiani, sejauh tetap dipegang bahwa peralihan hingga membentuk tubuh manusia hanya dapat terjadi karena intervensi Tuhan, dan bahwa jiwa manusia diciptakan oleh Tuhan.

            Akhirnya, saya ingin menutup diskusi dengan Anda tentang topik evolusi ini. Memang masih banyak hal yang dapat dibahas, namun karena keterbatasan waktu dan tenaga, maka kami tidak dapat melayani semua diskusi, mengingat masih banyak pertanyaan yang lain, yang juga membutuhkan perhatian dan tanggapan. Terima kasih atas masukan Anda, dan mari bersama-sama terbuka terhadap informasi yang membangun, baik dalam hal ilmu pengetahuan, maupun dalam hal iman.

            Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
            Ingrid Listiati- katolisitas.org

          • Salam damai dalam Kristus,

            Ibu Inggrid , terimakasih atas tulisannya,

            Saya membaca tema ini karena beberapa hari yang lalu bertemu dengan seorang Pastur yang mengatakan bahwa Gereja Katolik mengakui teori evolusi, hal itu saya tentang dengan pertanyaan saya : ” kenapa tidak ada kera yang sedang berubah jadi manusia saat ini ? “, beliau hanya diam saja.
            (Saya jadi bingung, kenapa ada Pastur yang berpendapat seperti itu, dan berapa banyak Pastur yang berpendapat seperti itu ? ). Sangat menyesatkan.

            Setelah membaca ” the Pontifical Academy of Sciences (22 Oktober 1996) ” , memang tidak ada pernyataan dari Paus Johanes Paulus II yang mengakui teori Darwin. Dibawah ini cuplikannya .

            “Consequently, those theories of evolution are incompatible with the truth about the people – guided by the underlying philosophy – keep the mind for shaping the forces of living matter or as a mere epiphenomenon of this matter. These theories are otherwise unable to justify the personal dignity of man.”

            Cuplikan dari:
            Christian conception of man and modern theories of evolution .
            Message of Pope John Paul II to the Members of the Pontifical Academy of Sciences on the occasion of their Plenary Assembly on 22 October 1996

            Terimakasih.
            Christopher

          • Saya juga tidak begitu memahami, mengapa pastor itu mengatakan demikian. Namun dugaan saya adalah, karena terjadi kerancuan di sini, tentang evolusi mikro dan evolusi makro. Sebab tentang evolusi mikro, yaitu perubahan secara perlahan-lahan yang terjadi dalam satu species entah karena perubahan iklim atau perubahan lingkungan habitatnya, memang dapat terjadi, dan itu dapat dibuktikan, dan karena itu kita sebagai umat Kristiani dapat menerimanya. Sedangkan evolusi makro, yang merupakan perubahan suatu species ke species lainnya (seperti dari ikan ke anjing, kera ke manusia misalnya), nah ini yang sejujurnya belum dapat dibuktikan secara memuaskan. Kami pernah mengulasnya sekilas di sini, tentang teori Manusia purba, silakan klik di sini. Jika Anda tertarik dengan topik ini silakan juga membaca artikel tersebut dan tanya jawab di bawahnya.

            Teori evolusi makro itu umumnya mendasarkan argumennya, bahwa mahluk hidup asalnya hanya berasal dari satu amuba saja, yang berevolusi dengan sendirinya (tanpa ada campur tangan Tuhan Sang Pencipta), sampai akhirnya menjadi manusia. Nah hal ini tentu tidak sejalan dengan ajaran iman Kristiani, dan bahkan tidak sejalan dengan akal sehat. Hal ini sudah kami coba paparkan di atas.

            Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
            Ingrid Listiati- katolisitas.org

          • Artikelnya menarik, terlebih diskusi antara bu Inggrid dan Pak Joko, saya mengikutinya selalu.

            Saya awam baik terhadap pembahasan iman maupun teknologi, tapi mengenai kloning, saya kira saya sependapat dengan bu Inggrid, bahwa kloning bukan proses penciptaan kehidupan, karena sejauh yang saya tahu, membutuhkan sel induk (yang sudah hidup/ sedang hidup) yang nantinya akan dicopy secara genetik.

            Kalau dikatakan bahwa objek kloning memiliki kehidupan tentu saya sependapat, tapi kalau dikatakan bahwa itu membuktikan bahwa manusia dapat menciptakan kehidupan, saya tidak sependapat.

            Salam.

          • Salam damai Pak Kris,

            masalah cloning saya tampilkan untuk membantah kalimat bu Ingrid sbb:

            “Karena akal sehat dapat melihat secara objektif bahwa hasil karya manusia/ teknologi betapapun bagus dan rumitnya tidak memiliki kehidupan…”

            kehidupan awal memang tidak diciptakan oleh cloning, tetapi cloning menduplikasikan kehidupan yang sudah ada dan ini adalah hasil karya dan usaha manusia yang terbukti memiliki kehidupan. Jadi saya pikir cukup untuk membantah statemen bu Ingrid. Mengalihkannya menjadi isu penciptaan awal sudah keluar konteks.

            Jika konteksnya berubah menjadi penciptaan awal kehidupan, saya bisa mengcounternya dengan argumen experimen Miller-Urey (link http://en.wikipedia.org/wiki/Miller_urey) yang mampu menciptakan senyawa organik dari anorganik karena reaksi kimia. Tapi tentu saja hal ini kemudian dapat dialihkan lagi menjadi “tapi kan manusia tidak mampu menciptakan senyawa anorganik” dst dst yang tidak ada habisnya dan semakin keluar konteks. Sering kali orang menggunakan cara ini dan dia menganggap argumennya belum terbantahkan walaupun kenyataannya sudah terbantah berkali-kali.

            Jadi saya lebih memilih fokus pada diskusi awal yang intinya, teori evolusi bukanlah hipotesa, tapi teori yang sudah teruji kebenarannya di komunitas sains. Demikian.

            Salam,
            Joko

          • Shalom Joko,

            Maksud saya dengan pernyataan itu adalah, bahwa hasil karya manusia yang menunjukkan kehidupan, bukan berarti karya itu memiliki kehidupan dari dirinya sendiri, sebagai akibat penciptaan manusia. Dalam hal cloning, kehidupan tidak dapat ada jika sebelumnya tidak ada kehidupan yang akan dicopy. Proses peng-copy-an itu sendiri tidak “menghasilkan” kehidupan, namun hanya menunjukkan duplikasi dari kehidupan yang sudah ada. Maka dalam cloning, yang dilakukan manusia adalah menciptakan proses duplikasi kehidupan, tetapi bukan kehidupan itu sendiri. Proses duplikasi ini sendiri tidak memiliki kehidupan. Dalam artian inilah saya menuliskan bahwa hasil karya manusia tidak “memiliki” kehidupan, walaupun dapat saja hasil karya manusia itu “menunjukkan” adanya kehidupan.

            Eksperimen Miller- Urey dalam link yang Anda sertakan itu adalah suatu eksperimen yang diadakan sekitar 60 tahun yang lalu, yang masih harus dibuktikan kebenarannya, jika mau dikatakan sebagai bukti bahwa dari sel-sel mati dapat terjadi kehidupan. Sebab yang dihasilkan dari eksperimen itu adalah asam-asam amino dan zat-zat oranik lainnnya yang memang diperlukan untuk terbentuknya protein, tetapi bukan proteinnya itu sendiri. Maka dikatakan di link encyclopedia.com, bahwa tetaplah menjadi suatu pertanyaan yang lebih besar tentang asal usul materi genetik, yaitu asal usul DNA dan RNA, (yang dapat menjadi suatu ciri kehidupan) dan ini belum dapat dibuktikan dari hasil penelitian Miller. Lagipula meskipun sudah ada unit DNA, RNA dan protein yang merupakan komponen penting dalam asal usul molekul biologis dan kehidupan di dunia, keberadaan semua molekul ini masih jauh tahapannya dari keberadaan sel-sel yang hidup/ berfungsi. Dengan kata lain, percobaan itu masih memerlukan pembuktian lebih lanjut, dan belum dapat dikatakan sebagai bukti final bahwa dari material yang tidak hidup (inorganic) dapat terjadi kehidupan dengan sendirinya sebagai akibat dari reaksi peristiwa-peristiwa alam. Dengan demikian tetaplah hasil eksperimen Miller- Urey ini tidak dapat dijadikan argumen untuk mematahkan argumen bahwa “hasil karya manusia tidak memiliki kehidupan”. Karena yang diciptakan oleh Miller dan Urey ini, hanya suatu proses yang menghasilkan suatu komponen yang penting bagi kehidupan, tetapi yang dihasilkannya itu masih jauh sekali dari definisi kehidupan/ sel-sel yang hidup. Maka percobaan Miller-Urey ini belum dapat dikatakan sebagai bukti bahwa manusia dapat menciptakan kehidupan dari sel-sel yang tidak hidup (inorganic).

            Teori evolusi memang dapat saja sudah diterima oleh kalangan sains, namun itu belum cukup untuk menjelaskan asal usul kehidupan manusia secara keseluruhannya (tubuh dan jiwa).

            Demikianlah, saya ingin mengakhiri dialog kita sampai di sini, sebab nampaknya kita memang mempunyai titik tolak yang berbeda, sehingga nampaknya tidak akan terjadi suatu titik temu. Namun demikian, saya tetap percaya hasil dialog ini akan bermanfaat bagi pembaca, sebagaimana juga telah memberikan manfaatnya bagi saya sendiri untuk semakin mamantapkan iman saya. Untuk hal ini, malah saya harus berterima kasih kepada Anda.

            Maka, silakan saja kalau Anda yakin dan mau berpegang pada teori evolusi untuk menjelaskan asal usul Anda sendiri, namun bagi orang-orang yang berpegang pada ajaran Kristiani, nampaknya hal teori evolusi ini belum menjadi suatu yang meyakinkan untuk diterima sebagai fakta dan kebenaran.

            Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
            Ingrid Listiati- katolisitas.org

  9. Shalom Mba Ingrid,

    Saya mau bertanya. Di artikel di atas diterangkan “Namun demikian, para ilmuwan dapat terus menyelidiki hipotesa bahwa tubuh manusia dapat diambil dari kehidupan yang sudah ada (ancestral primate)”. Menurut para evolutionist, matters ini berkembang dari milyaran tahun yang lalu, sedangkan menurut Injil (kalau diaproksimasi), kita diciptakan 6000 tahun yang lalu. Menurut teori evolusi : tubuh manusia berevolusi dari matter selama jutaan tahun, sedangkan manurut Kitab Suci, manusia pertama diciptakan dalam satu hari.

    Bagaimana juga tentang all matters, apakah dari jutaan tahun yang lalu (misalnya dinosaurus berevolusi dari crustacea menurut evolutionist) atau alam semesta diciptakan dalam 6 hari saja (Kitab Suci dan Creationist theory)?

    Saya kagum dengan perkembangan dua teori (Evolutionist dan Creationist) dan efeknya pada perkembangan ateis.

    Oh ya, pertanyaan terakhir, apakah Humani Generis dan MESSAGE TO THE PONTIFICAL ACADEMY OF SCIENCES:ON EVOLUTION termasuk Papal Infalibility?

    Terima kasih banyak.

    • Shalom Ucha,

      1. Tubuh manusia hasil dari evolusi satu sel?

      Teori makro-evolusi yang mengatakan bahwa tubuh manusia adalah hasil evolusi dari satu sel sederhana, itu masih merupakan hipotesa. Mengapa? Karena hal itu belum dapat dibuktikan dan sesungguhnya malah tidak masuk akal, sebagaimana telah diuraikan di artikel di atas (lihat penjabaran point A dan B), terutama point B 5 dan 6. Berikut ini saya ambil kutipan- nya:

      Perhitungan matematika, yaitu teori probabilitas menunjukkan bahwa kemungkinan perubahan dari mahluk sederhana (1 sel atau lebih) menjadi mahluk yang kompleks adalah sangat kecil dan seluruh sejarah manusia tidak cukup untuk merealisasikan perubahan itu. Mungkin alibi ini termasuk yang paling mungkin dari pandangan ilmiah untuk membuktikan bahwa evolusi makro itu tidak mungkin terjadi. Salah satu tokoh evolusi seperti  Jacques Monod (1910-1976) sendiri mengakui bahwa kemungkinan evolusi dari mahluk bersel satu adalah “hampir nol” dan kemungkinan terjadi hanya sekali (Jacques Monod, Chance and Necessity, NY, Alfred A. Knopf, 1971, p.114-145). Monod seorang ahli biologi, menyuarakan pendapat dalam hal biologis, namun hal ini tidak sejalan dengan kemungkinan secara matematika, yaitu bagaimana satu kemungkinan yang langka tersebut dapat terjadi, dan dapat menjadi dasar perkembangan manusia dalam kurun waktu sejarah manusia yang terbatas. Menurut statistik, hal ini tidak mungkin.

      Seandainya benar, maka diperlukan waktu yang sangat panjang untuk realisasi kemungkinan mutasi/ ‘kebetulan’ ini. Keterbatasan waktu sejarah manusia yang menunjukkan paling lama sekitar 10.000- 15.000 tahun tidak memberikan jawaban untuk kemungkinan teori ini. George Salet menulis, “…ilmu pengetahuan menemukan fungsi DNA, duplikasinya dan perkembangannya memberi dasar bagi spekulasi matematika bahwa, … periode geologis harus dikalikan dengan 10 diikuti dengan ber-ratus atau ber-ribu-ribu nol, untuk memberikan waktu bagi terbentuknya sebuah organ baru, walaupun organ yang paling sederhana sekalipun.” (diterjemahkan dari George Salet, “Hasard et certitude. Le transformisme devant la biologie actualle, Paris, 1972, p. x)

      Sedangkan jika disebutkan bahwa manusia diciptakan pada hari ke-6 dalam Kitab Suci, tidak berarti bahwa manusia diciptakan sebagai evolusi dari satu sel atau ‘matter‘ yang diciptakan di hari pertama. Penjelasan tentang 6 hari Penciptaan sudah diuraikan di sini, silakan klik.

      2. Berkembangnya teori makro-evolusi sejalan dengan Atheism?

      Tidak mengherankan jika demikian. Sebab memang teori makro-evolusi cenderung menyimpulkan bahwa dunia terjadi bukan karena diciptakan oleh Tuhan, namun hanya karena kebetulan saja/ blind chance. Ini sendiri adalah merupakan hipotesa, sebagaimana diakui oleh Jacques Monod sendiri, bahwa hal blind chance ini masih problematik, dan lebih tepat disebut sebagai ‘teka-teki’. (lih. Jacques Monod, Chance and Necessity, NY, Alfred A. Knopf, 1971, p.143).

      Orang- orang yang ber- Tuhan mengakui bahwa ‘teka-teki’ itu terjawab, karena percaya akan adanya Pribadi yang mengatasi segalanya [yaitu Tuhan] yang menciptakan segala sesuatu; sedangkan mereka yang sudah sejak awalnya tidak percaya kepada Tuhan, menyerahkan hal teka-teki itu kepada asumsi bahwa penciptaan itu terjadi dengan sendirinya secara kebetulan.

      3. Dapatkah terjadi bahwa tubuh manusia terbentuk dari ‘pre-existing matters’?

      Dalam surat ensiklik Humani Generis (1950), Paus Pius XII menolak ide evolusi total manusia (yaitu tubuh dan jiwa) dari kera (primate). Dalam dokumen tersebut Paus Pius XII mengajarkan bahwa meskipun dalam hal asal usul tubuh manusia, masih dapat diselidiki apakah terjadi dari proses evolusi, namun yang harus dipegang adalah: semua jiwa manusia adalah diciptakan langsung oleh Tuhan. Namun demikian mengenai evolusi tubuh manusia itu sendiri, masih harus diadakan penyelidikan yang cermat, dan tidak begitu saja dapat disimpulkan bahwa manusia yang terbentuk dari ‘pre-existing matter‘ tersebut sebagai sesuatu yang definitif.

      Berikut ini saya sertakan teks dari Humani Generis yang menjelaskan tentang hal ini:

      36. For these reasons the Teaching Authority of the Church does not forbid that, in conformity with the present state of human sciences and sacred theology, research and discussions, on the part of men experienced in both fields, take place with regard to the doctrine of evolution, in as far as it inquires into the origin of the human body as coming from pre-existent and living matter – for the Catholic faith obliges us to hold that souls are immediately created by God. However, this must be done in such a way that the reasons for both opinions, that is, those favorable and those unfavorable to evolution, be weighed and judged with the necessary seriousness, moderation and measure, and provided that all are prepared to submit to the judgment of the Church, to whom Christ has given the mission of interpreting authentically the Sacred Scriptures and of defending the dogmas of faith. Some however, rashly transgress this liberty of discussion, when they act as if the origin of the human body from pre-existing and living matter were already completely certain and proved by the facts which have been discovered up to now and by reasoning on those facts, and as if there were nothing in the sources of divine revelation which demands the greatest moderation and caution in this question.

      37. When, however, there is question of another conjectural opinion, namely polygenism, the children of the Church by no means enjoy such liberty. For the faithful cannot embrace that opinion which maintains that either after Adam there existed on this earth true men who did not take their origin through natural generation from him as from the first parent of all, or that Adam represents a certain number of first parents. Now it is in no way apparent how such an opinion can be reconciled with that which the sources of revealed truth and the documents of the Teaching Authority of the Church propose with regard to original sin, which proceeds from a sin actually committed by an individual Adam and which, through generation, is passed on to all and is in everyone as his own.

      4. Apakah Humani Generis dan Message to the Pontifical Academy of Sciences: on Evolution termasuk Papal Infalibility?

      Nampaknya perlu diketahui dahulu, apakah sebenarnya yang Anda tanyakan di sini. Sebab yang disampaikan oleh Humani Generis dan Message to the PAS on Evolution itu bukan doktrin yang baru yang diajarkan oleh Paus sehingga mensyaratkan Papal infalibility. Kedua dokumen tersebut hanya menggaris bawahi apa yang sudah disampaikan Sabda Allah dalam Kitab Suci, dan karena Sabda Allah, maka pasti infalibel (tidak mungkin salah), yaitu bahwa kita manusia berasal dari sepasang manusia pertama yang diciptakan oleh Tuhan.

      Demikianlah keterangan yang disarikan dari Ludwig Ott, Fundamentals of Catholic Dogma, p. 94-95:

      Artikel Iman yang tidak mungkin salah ini berbunyi:  

      1. Manusia pertama diciptakan oleh Tuhan (de Fide, D 428, 1783). Konsili ke-4 di Lateran (1213/ 1215) telah mendefinisikan hal ini, yang kemudian ditegaskan kembali oleh Konsili Vatikan. Dalam penciptaan, saat Allah menciptakan manusia pertama, harus dimengerti bahwa jiwa adalah creatio prima, dan tubuh adalah creatio secunda.

      Teori evolusi, yang menganggap bahwa manusia secara keseluruhan, tubuh dan jiwanya, merupakan hasil perkembangan mekanik dari binatang, harus ditolak. Jiwa dari manusia pertama diciptakan langsung dari ketiadaan oleh Tuhan. Berkenaan dengan tubuhnya… secara fundamental, ada kemungkinan bahwa Tuhan menghembuskan jiwa spiritual kepada benda mati, yaitu ke dalam sebuah tubuh hewani. Adalah layak disimak, bahkan meskipun belum dapat diputuskan secara absolut, dasar-dasar paleontologis dan biologis nampaknya menemukan hubungan genetik antara tubuh manusia dengan bentuk- bentuk tertinggi tubuh hewani. [Artinya di sini adalah, walaupun masih harus diteliti lebih lanjut, namun jika terbukti, tidaklah bertentangan dengan Kitab Suci jika dikatakan bahwa dapat saja Tuhan menggunakan tubuh hewani yang tertinggi sebagai pre-existing matter (yang dilambangkan sebagai debu tanah dalam Kitab Suci), namun kemudian tubuh itu diubah/ diciptakan Allah sedemikian rupa agar sesuai untuk menerima jiwa manusia, yang langsung diciptakan-Nya dari ketiadaan. Namun sekali lagi, untuk sampai pada kesimpulan ini haruslah ditemukan cukup bukti secara ilmiah. Sebab tidaklah mungkin ada perubahan tubuh hewani menjadi tubuh manusia yang terjadi dengan sendirinya jika tidak ada intervensi dari Allah yang mengatasi segala ciptaan yang menghendakinya demikian].

      Maka surat ensiklik “Humani Generis” dari Paus Pius XII (1950) memaparkan bahwa pertanyaan tentang asal usul tubuh manusia terbuka bagi penelitian bebas oleh para ilmuwan dan teolog. Paus menekankan kepada pertimbangan yang seksama akan dasar- dasar pro dan kontra bagi asal usul dari materi yang sudah ada/ hidup dan memperingatkan para umat beriman agar waspada terhadap asumsi bahwa penemuan- penemuan sampai sekarang ini menentukan dan membuktikan asal usul tubuh manusia dari sebuah tubuh organik, dan Paus mengatakan bahwa di dalam masalah ini, diperlukan acuan dan perhatian yang terbesar yang bersumber dari Wahyu Ilahi. (D 3027, lih. D 2286)

      Bukti Kitab Suci tentang Penciptaan manusia pertama oleh Tuhan adalah:

      “Allah menciptakan manusia itu menurut gambaran-Nya” (Kej 1:27)
      “Tuhan membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi mahluk yang hidup.” (Kej 2:7)

       Tuhan juga membentuk tubuh perempuan dari tubuh manusia laki-laki pertama (lih. Kej 2:21-22, 1 Kor 11:8). Dengan demikian, para Bapa Gereja mengajarkan bahwa Tuhan secara langsung menciptakan tubuh dan jiwa manusia. [Jiwa manusia langsung diciptakan Allah dari ketiadaan, sedangkan tubuh manusia diciptakan dari sesuatu yang sudah ada, yaitu ‘debu tanah’ (pre-existing matters); namun demikian, tetap saja diperlukan intervensi penciptaan langsung dari Tuhan untuk menjadikannya sebagai tubuh manusia yang layak menerima jiwa manusia. ‘Debu tanah’ itu tidak dengan sendirinya berubah menjadi tubuh manusia]

      2. Seluruh umat manusia berasal dari satu pasang manusia (Sent. certa.)

      Memang, ajaran tentang kesatuan seluruh ras umat manusia (monogenisme) bukan merupakan dogma, tetapi merupakan presuposisi (persyaratan awal) dari dogma Dosa Asal dan Penebusan Kristus. …. Kesatuan ras umat manusia merupakan salah satu dari kenyataan-kenyataan yang mempengaruhi pondasi agama Kristiani, yang tentang hal ini harus dimengerti di dalam arti literal dan historis (D 2123). Surat ensiklik Humani Generis dari Paus Pius XII menolak poligenisme karena hal itu tidak kompatibel dengan ajaran tentang dosa asal (D 3028).

      Bukti Kitab Suci diperoleh dari kisah Penciptaan. Secara eksplisit dikatakan demikian:

      “… dan belum ada orang untuk mengusahakan tanah itu” (Kej 2:5) 
      “Manusia itu memberi nama Hawa kepada isterinya, sebab dialah yang menjadi ibu semua yang hidup.” (Kej 3:20).

      “Dari satu orang saja Ia telah menjadikan semua bangsa dan umat manusia untuk mendiami seluruh muka bumi…” (Kis 17:26) Lihat juga Keb 10:1; Rom 5:12- ; 1Kor 15:21-; Ibr 2:11.

      Dengan demikian, mengingat bahwa artikel-artikel iman yang dibahas dalam Humani Generis oleh Paus Pius XII (yang kemudian juga ditegaskan kembali oleh Paus Yohanes Paulus II dalam Message to the PAS on Evolution) dasarnya adalah dari Kitab Suci yang tidak mungkin salah, maka pernyataan tersebut juga tidak mungkin salah; bukan atas dasar karena penyataan itu dikatakan oleh Paus, tetapi karena sudah secara eksplisit diajarkan dalam Kitab Suci.

      Demikianlah yang dapat saya sampaikan menanggapi pertanyaan/ penyataan Anda. Semoga berguna.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

       

    • Shalom Ucha,
      Saya ingin menanggapi singkat saja. Menurut saya tidak mungkin sel tunggal berevolusi menjadi organisme sel jamak.

      [Dari Katolisitas: baiklah jika kita tidak turut berspekulasi di sini. Yang terpenting adalah, sekalipun ini dibuktikan terjadi, kita percaya segala sesuatunya terjadi karena intervensi Ilahi (Divine Intelligence), sebab secara nalar manusia memang sepertinya tidak mungkin terjadi]

      Serupa tapi tak sama, kita tahu bahwa evolusi terjadi karena adanya mutasi genetik. Juga kita tahu bahwa bakteri dan virus mempunyai kemampuan yang luar biasa untuk bermutasi, makanya industri antibiotik dan antivirus seperti kejar-kejaran dengan mereka. Karena begitu mutasi maka antibiotik yang paling baru pun tidak mampu lagi membunuh mereka. Tetapi apakah kemudian bakteri dan virus bisa menjadi organisme sel jamak atau mengontrol manusia seperti dalam film2 science fiction? Tentu ada maksudnya diberi label fiction. Karena itu cuma khayalan saja. Virus tidak selalu jahat, dalam riset virus seringkali digunakan sebagai sarana untuk memindahkan gen yang diingin ke dalam bakteri untuk memproduksi protein tertentu. Jadi dalam hemat saya, mereka ada juga dalam rencana Allah untuk kesejahteraan umat manusia. Manusia diberikan logika untuk mengembangkan dirinya untuk mengatasi alam. Sama seperti bayi yang diberi mainan untuk melatih kecerdasan otak. Kecerdasan kita pun tumbuh berkembang. Manusia yang mengingkari Allah dan merasa paling pintar lalu jadi ateis bukankah sama seperti bayi yang tumbuh berkembang dan tidak mengakui keberadaan orang tuanya. Dia merasa tumbuh dewasa karena kehebatannya sendiri?

      Salam,
      Edwin ST

  10. Bisa kasih pendapat para tokoh gereja tentang teori evolusi gak ? Dengan referensinya. Trims.Tuhan Memberkati.

    [Dari Katolisitas: Menurut pengetahuan kami, pihak Gereja Katolik tidak menolak sama sekali hasil penyelidikan ilmu pengetahuan tentang evolusi. Namun demikian Gereja tetap memegang prinsip utama yang diajarkan dalam Kitab Suci yaitu bahwa 1) Tuhanlah yang menciptakan jiwa manusia dan tubuh manusia yang layak untuk menerima jiwa manusia, 2) Seluruh umat manusia diturunkan dari sepasang manusia pertama, Adam dan Hawa (monogenism), dan bukan dari banyak pasang manusia pertama (polygenism). Selanjutnya silakan membaca sekilas di link ini, silakan klik. Mohon maaf karena terbatasnya waktu dan banyaknya pertanyaan lain yang masuk, kami belum dapat menerjemahkannya/ mengulasnya lebih lanjut.]

  11. Saya sangat terkesan dengan tulisan Katolisitas mengenai evolusi. Saya pribadi berpendapat bahwa evolusi tidak disebabkan aspek kebetulan, melainkan kebenaran (diciptakan oleh Yang Maha Pencipta). Menurut saya Tuhan Sang Pencipta menciptakan segala sesuatu melalui suatu mekanisme sistem yang saling terkait dan dan rasional, dan akal manusia belum dapat memahami (dan tidak akan sampai) pada rasio Ketuhanan.

  12. Yth Katolisitas,
    Saya ingin bertanya mengenai Iman vs Science Knowledge
    Dengan iman, kita percaya bahwa manusia langsung dibentuk dari image Allah.

    Science bilang kalau berjuta2 tahun yg lalu, kehidupan tercipta dari mahluk2 sederhana, yang kemudian berkembang hingga ke sekarang ini.
    Semua dibuktikan (dengan pengetahuan manusia saat ini) dengan berbagai metode ilmiah:
    – teori evolusi
    – cara hitung usia fosil
    – analisa mineral
    – eksplorasi outer space
    – dan lain-lain

    Bagaimana menggabungkan ke dua hal ini? Bisa tidak digabungkan? (tentunya sesuai Iman Katolik bagaimana)

    Saya tunggu jawabannya, Tuhan Yesus memberkati.

Comments are closed.