Pertanyaan:
Kawan saya yang protestan sering menekankan pentingnya persembahan persepuluhan.. bahkan mereka menunjukan ayat yang mendukung itu misalnya “…ujilah Aku…Aku akan membuka tingkap tingkap langit..dst (wah lupa lengkapnya). Jadi mereka merelakan 10% dari penghasilannya untuk gereja karena bagian tersebut wajib dikembalikan kepada Tuhan.
Bagaimana prakteknya pada Katolik… seorang romo pada homili pernah menegaskan bahwa gereja Katolik tidak mengharuskan persembahan persepuluhan, yang terpenting adalah keikhlasan dari persembahan, karena nilai dari persembahan tersebut adalah relatif… bagi si kaya mungkin persepuluhan adalah sesuatu yang mudah.. tetapi bagaimana dengan umat yang hidup pas-pasan, 10%? …,mana tahan…. tetapi persepuluhan ini juga alkitabiah…
Bagaimana kita menyikapi hal ini… kami serahkan tanggapannya pada forum ini… terima kasih
Tormento.
Jawaban:
Shalom Tormento,
Terimakasih atas pertanyaannya yang mungkin sering menjadi pertanyaan umat Katolik. Memang saya juga sering mendengar tentang ayat yang dipakai untuk menekankan pentingnya persembahan persepuluhan. Maka marilah kita melihat bersama-sama meneliti tentang hal ini.
I. Definisi:
Persembahan yang diberikan kepada imam karena dedikasi mereka kepada urusan keagamaan dan juga pelayanan kasih mereka. Dan ini juga menunjuk kepada persembahan kepada Tuhan, sebagai penguasa atas manusia, yang biasanya persembahan ini diberikan kepada para pelayan Tuhan.
II. Dasar dari Kitab Suci di Perjanjian Lama tentang persepuluhan:
Ada beberapa ayat yang dapat kita lihat tentang persembahan persepuluhan, seperti: Abraham memberikan persembahan persepuluhan kepada imam agung Melkizedek (Kej 14:20). Juga menjadi dikatakan bahwa persembahan tersebut adalah sebanyak sepersepuluh (1 Sam 8:15; 1 Sam 8:17), yang menjadi suatu ekpresi akan pengakuan bahwa semua berkat berasal dari Tuhan (Kej 28:22). Dan peraturan ini juga ditegaskan di dalam kitab Imamat 27:30.
Sepersepuluh juga dapat berupa hasil bumi (Im 27:30), hasil ternak (Im 27:32); persembahan kepada Tuhan (2 Taw 31:6).
Dan akhirnya dipertegas di kitab Maleakhi 3:6-12, dimana di ayat 10 dikatakan “Bawalah seluruh persembahan persepuluhan itu ke dalam rumah perbendaharaan, supaya ada persediaan makanan di rumah-Ku dan ujilah Aku, firman TUHAN semesta alam, apakah Aku tidak membukakan bagimu tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadamu sampai berkelimpahan.”
III. Bagaimana kita mengartikan Perjanjian Lama dalam terang Perjanjian Baru.
- St. Thomas Aquinas (ST, I-II, q. 98-108) mengatakan bahwa ada 3 macam hukum di dalam Perjanjian Lama, yaitu:
- Moral Law: Moral Law atau hukum moral adalah menjadi bagian dari hukum kodrati, hukum yang menjadi bagian dari kodrat manusia, sehingga Rasul Paulus mengatakan “Sebab dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela” (Rom 2:15). Contoh dari hukum ini adalah yang tertulis di 10 perintah Allah, dimana terdiri dari dua loh batu, yang mencerminkan kasih kepada Allah (perintah 1-3) dan juga kasih kepada sesama (perintah 4-10). Hukum kodrati ini adalah hukum yang tetap mengikat (bahkan sampai sekarang) dan dipenuhi dengan kedatangan Kristus, karena hukum kodrati ini adalah merupakan partisipasi di dalam hukum Tuhan.
- Ceremonial law atau hukum seremonial: sebagai suatu ekpresi untuk memisahkan sesuatu yang sakral dari yang duniawi yang juga berdasarkan prinsip hukum kodrat, seperti: hukum persembahan, tentang kesakralan, proses penyucian untuk persembahan, tentang makanan, pakaian, sikap, dll. Hukum ini tidak lagi berlaku dengan kedatangan Kristus, karena Kristus sendiri adalah persembahan yang sempurna, Kristus menjadi Anak Domba yang dikurbankan. Itulah sebabnya di Gereja Katolik sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Yesus dan juga para rasul (Petrus dan Paulus) tidak mempermasalahkan makanan-makanan persembahan, karena bukan yang masuk yang najis, namun yang keluar. Ulasan ini dapat melihat di jawaban ini (silakan klik ini, dan juga klik ini). Kalau kita mau terus menjalankan hukum seremonial secara konsisten, maka kita harus juga menjalankan peraturan tentang makanan yang lain, seperti larangan untuk makan babi hutan, jenis binatang di air yang tidak bersisik (ikan pari), katak, dll. (Lih Ima 11).
- Judicial law: Ini adalah merupakan suatu peraturan yang menetapkan hukuman sehingga peraturan dapat dijalankan dengan baik. Oleh karena itu, maka peraturan ini sangat rinci, terutama untuk mengatur hubungan dengan sesama, seperti: peraturan untuk penguasa, bagaimana memperlakukan orang asing, dll. Contoh dari judicial law: kalau mencuri domba harus dikembalikan empat kali lipat (Kel 22:1), hukum cambuk tidak boleh lebih dari empat puluh kali (Ul 25:3). Setelah kedatangan Kristus, maka judicial law ini tidak berlaku lagi. Kalau kita mau konsisten, kita juga harus menjalankan hukuman rajam, hukum cambuk, dll. Judicial law ditetapkan oleh penguasa sebagai perwakilan dari Tuhan, sehingga hukum dapat ditegakkan untuk kepentingan bersama. Menarik bahwa Yesus tidak mengajarkan judicial law, karena judicial law diserahkan kepada kewenangan otoritas pada saat itu. Dan kewenangan disiplin di dalam kawanan Kristus diserahkan kepada Gereja, dimana disiplin ini dapat berubah sejalan dengan perkembangan waktu dan keadaan. Ini juga yang mendasari perubahan Kitab Hukum Gereja 1917 ke 1983.
- Dari pengertian di atas, maka perpuluhan dalam pengertian yang luas dapat masuk dalam ketiga kategori di atas. Perpuluhan dapat menjadi bagian dari judicial law kalau setiap orang harus memberikan kontribusi kepada penyembahan secara publik sesuai dengan cara yang dipilihnya. Namun di dalam hukum Musa, perpuluhan di atur dengan cara yang begitu khusus sebagai manifestasi dari penghormatan dan persembahan kepada Tuhan. Dalam pengertian yang luas, perpuluhan dapat menjadi moral law, karena mengatur persembahan kepada Tuhan. Namun, pengaturan tentang hari persembahan, dengan cara bagaimana persembahan tersebut diberikan, masuk dalam kategori ceremonial law. Dan pengaturan bagi pelanggaran perpuluhan masuk dalam kategori judicial law.
IV. Ajaran Gereja Katolik
- Dalam Perjanjian Baru:Rasul Paulus mengatakan “Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita” (2 Kor 9:7)
Rasul Paulus tidak mengatakan sepuluh persen, namun menekankan kerelaan hati dan sukacita.
Yesus mengatakan “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan” (Mat 23:23)
Yesus menekankan akan hakekat dari pemberian, yaitu keadilan, belas kasihan, dan kesetiaan. Yesus tidak menekankan akan persepuluhan, namun apa yang menjadi dasar perpuluhan. - Kitab Hukum Gereja: Kan. 222 – § 1. Kaum beriman kristiani terikat kewajiban untuk membantu memenuhi kebutuhan Gereja, agar tersedia baginya yang perlu untuk ibadat ilahi, karya kerasulan dan amal-kasih serta sustentasi yang wajar para pelayan.
§ 2. Mereka juga terikat kewajiban untuk memajukan keadilan sosial dan juga, mengingat perintah Tuhan, membantu orang-orang miskin dengan penghasilannya sendiri.
Kan. 1262 – Umat beriman hendaknya mendukung Gereja dengan bantuan-bantuan yang diminta dan menurut norma-norma yang dikeluarkan oleh Konferensi para Uskup.
Kan. 1263 – Adalah hak Uskup diosesan, sesudah mendengarkan dewan keuangan dan dewan imam, mewajibkan untuk membayar pajak yang tak berlebihan bagi kepentingan-kepentingan keuskupan, badan-badan hukum publik yang dibawahkan olehnya, sepadan dengan penghasilan mereka; bagi orang-perorangan dan badan-badan hukum lain ia dapat mewajibkan pungutan luar biasa dan tak berlebihan hanya dalam kebutuhan
Jadi tidak ada yang mengatakan spesifik sepersepuluh bagian.
V. Kesimpulan
Dari dua dasar di atas, maka Gereja tidak perlu mendefinisikan seberapa besar sumbangan yang harus diberikan, namun lebih kepada pemberian sesuai dengan kemampuan dan juga dengan kerelaan hati dan sukacita. Namun itu tidak berarti bahwa bagi yang mampu untuk memberikan lebih dari sepuluh persen kemudian hanya memberikan bagian yang sedikit. Bagi yang mampu, seharusnya bukan hanya sepuluh persen, namun malah lebih pada itu, jika diperlukan. Bagi kaum miskin yang memang tidak mampu untuk memberikan sepuluh persen, mereka dapat memberikan sesuai dengan kemampuan mereka. Persembahan juga tidak hanya berupa uang, namun juga bakat dan waktu. Yang terpenting, semua persembahan harus dilakukan berdasarkan kasih kita kepada Tuhan sehingga kita dapat mengasihi sesama dengan lebih baik.
Itulah jawaban yang dapat saya sampaikan, semoga dapat menjawab pertanyaan Tormento. Mari kita mengasihi Tuhan dengan mempersembahkan apa yang ada di dalam diri kita, baik uang, waktu dan talenta.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – https://katolisitas.org
Mempersembahkan kepada Tuhan kok cuma 10%. Apa bukan menghina Tuhan tuh. Mustinya, dianugerahi 100% ya dipersembahkan 100%. Apa artinya mempersembahkan 100%?
Pakai setiap sen yang dianugerahkan untuk membangun jiwa raga sebagai putera-puteri Tuhan. Biar hidupnya suci, sehat, sosial, sukses dunia akherat.
Bayangin: 10% untuk perpuluhan (lepas dari tangan pribadi, diserahkan kepada Gereja untuk mengelola), 30% untuk pulsa dan internet, 20% untuk merokok…. yang lain ya untuk rumah tangga dan sosial … hiiii… ngeri donggg….
Lha terus, untuk pembangunan iman pribadi? membangun iman keluarga? membangun iman bersama sebagai lingkungan/wilayah/paroki/kelompok kategorial? Kalau emang gak dirancang ya gak heran kalau di rumah, buku doa/renungan gak ada. adanya alkitab thok. sarana untuk berdoa juga tak tersedia. kebiasaan doa bersama yang kadang perlu juga tambah pernak pernik seperti lilin, salib juga gak ada. bahkan doa bersama yang dilanjutkan dengan makanan kecil dan makan bersama juga gak jalan. lha gak ada budgetnya…
kalau untuk pribadi/keluarga sudah gak ada budget samasekali, bagaimana dengan lingkungan dan paroki?
Shalom Welly,
Gereja Katolik memang tidak membuat patokan 10 % sebagai persyaratan baku persembahan kepada Tuhan. Sebab memang benar, sebagaimana yang Yesus ajarkan, dalam persembahan janda yang miskin yang mempersembahkan segala miliknya kepada Tuhan: bahwa persembahan kepada Tuhan tidak mengenal batas, dan selayaknya menyangkut keseluruhan diri kita.
Namun jangan terlalu lekas menilai bahwa orang yang mempersembahkan perpuluhan itu -secara jasmani- pasti tidak mempersembahkan diri mereka secara rohani kepada Tuhan. Sebab tentang hal ini, hanya Tuhan yang mengetahuinya. Adalah tantangan bagi kita agar kita memiliki kemurahan hati untuk memberi dalam bentuk persembahan kolekte, ataupun bentuk pelayanan kasih lainnya, dari segi waktu, bakat dan harta, dan ini tidak untuk dibatasi hanya 10 persen saja cukup.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Tithes & Offerings
These two words are often spoken in the same breath…but what’s the difference between them? “Tithe” literally means “tenth” or 10 percent. A tithe is the first 10% of your income. An offering is anything you give in addition to 10%. The Bible says in Deuteronomy 14:23 (Living Bible): “The purpose of tithing is to teach you always to put God first in your lives…”Tithing is a reminder that God is the supplier of everything we have. It is also God’spersonal invitation to experience an outpouring of his blessing in each of our lives. InMalachi 3:10, God essentially says:“Go
Dear stef..
Teman protestan saya meyakini tentang perpuluhan dengan ayat diatas ..betulkah demikian.. mohon penjelasan . Terima kasih atas pencerahannya.
Dear stef..
Teman
ahead. I dare you. See if you can out-give me!”
Shalom Heru,
Ketentuan tentang persepuluhan memang kita jumpai dalam sejumlah ayat dalam Perjanjian Lama. Ketentuan itu saling melengkapi, yaitu bahwa persembahan persepuluhan itu untuk diberikan kepada Allah dan juga bahwa persembahan itu untuk diberikan kepada kaum imam dari suku Lewi (lih. Ul 14:22-29, Bil 18:26-28). Maka sebenarnya persepuluhan itu sebenarnya juga termasuk dalam persembahan kepada Allah, termasuk untuk memenuhi perintah-Nya bahwa umat mendukung para imam-imam-Nya. Demikianlah, maka kita membaca di Perjanjian Lama, bahwa persembahan kepada Allah itu dinyatakan dengan persembahan persepuluhan (yang diberikan kepada imam Lewi) dan berbagai jenis persembahan korban-korban bakaran yang disyaratkan untuk ibadah kepada Allah.
Namun demikian, setelah segala korban bakaran dalam Perjanjian Lama digenapi di dalam Korban Kristus dalam Perjanjian Baru, maka tidak ada lagi korban bakaran (lembu, domba, dst) yang relevan untuk dibicarakan sebagai persembahan umat Kristiani. Dalam hal ini maka persembahan kepada Tuhan adalah persembahan keseluruhan diri kita, yang melampaui ketentuan 10 % secara jasmani. Hal ini diajarkan oleh Kristus sendiri, saat Ia memuji persembahan janda miskin (lih. Luk 21:4; Mrk 12:44), dan saat Ia menekankan hal keadilan dan kasih yang harus dilaksanakan (lih. Luk 11:24), sehingga ketentuan persembahan bukanlah semata-mata ketentuan 10 %. Para Rasul juga mengajarkan bahwa persembahan itu harus diberikan dengan suka cita, dan bukan karena paksaan (lih. 2 Kor 9:7).
“Sebab itu aku merasa perlu mendorong saudara-saudara itu untuk berangkat mendahului aku, supaya mereka lebih dahulu mengurus pemberian yang telah kamu janjikan sebelumnya, agar nanti tersedia sebagai bukti kemurahan hati kamu dan bukan sebagai pemberian yang dipaksakan. Camkanlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga. Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita. Dan Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan.” (2 Kor 9:5-8)
Dalam Kisah Para Rasul 15, ketentuan persepuluhan juga tidak disebutkan sebagai suatu ketentuan yang mengikat jemaat. Di konsili/ sidang pertama di Yerusalem itu para Rasul berkumpul untuk menentukan apakah jemaat diharuskan mengikuti hukum sunat dan hukum Musa. Sebagai kesimpulan, sidang itu memutuskan bahwa sunat tidak merupakan keharusan, dan hukum persepuluhan (sebagai salah satu hukum Musa) juga tidak disebutkan sebagai hukum yang harus dilakukan. Disebutkan dalam konsili tersebut, “Sebab adalah keputusan Roh Kudus dan keputusan kami, supaya kepada kamu jangan ditanggungkan lebih banyak beban dari pada yang perlu ini: kamu harus menjauhkan diri dari makanan yang dipersembahkan kepada berhala, dari darah, dari daging binatang yang mati dicekik dan dari percabulan. Jikalau kamu memelihara diri dari hal-hal ini, kamu berbuat baik. Sekianlah, selamat.” (Kis 15:20).
Demikianlah maka kita membaca, bahwa Gereja awal memberikan persembahan sesuai dengan kemampuannya dengan kerelaan/ suka cita, sebagaimana dapat dibaca di surat kepada jemaat di Korintus, “Pada hari pertama dari tiap-tiap minggu hendaklah kamu masing-masing -sesuai dengan apa yang kamu peroleh/ (what it shall well please him– DRB, yaitu apa yang menyenangkan hatinya/hatimu) menyisihkan sesuatu dan menyimpannya di rumah…” (1 Kor 16:2), dan sesuatu yang disisihkan dengan hari yang rela ini, kemudian akan dikumpulkan oleh para Rasul untuk diberikan kepada jemaat di Yerusalem.
Atas dasar ajaran Kristus dan para Rasul inilah maka Gereja Katolik tidak menuntut jumlah yang tertentu bagi persembahan tiap-tiap orang. Sebab dalam mempersembahkan kepada Tuhan diperlukan sikap kerelaan hati dan bukan keterpaksaan. Jangan kita lupa, bahwa segala hukum Musa telah digenapi di dalam diri Kristus. Kita diselamatkan bukan karena melakukan hukum Taurat Musa, namun pertama-tama karena rahmat karunia Allah yang kita terima di dalam Kristus. Rahmat inilah yang harusnya membuat kita mampu untuk melakukan yang lebih utama dari ketentuan hukum Musa dengan persyaratan lahiriah. Adalah perjuangan bagi setiap umat Kristiani, untuk dapat melakukan apa yang dikehendaki oleh Kristus yaitu mempersembahkan diri kita seutuhnya untuk karya keselamatan Allah. Artinya, kita merasul melalui segala yang kita lakukan di dalam hidup kita, maka ini tidak terbatas dari hanya memberikan sejumlah persembahan uang. Maka tak seorangpun layak berkata, bahwa jika ia sudah memberikan 10% kepada Allah, artinya sudah selesailah tugasnya. Namun sebaliknya, jika karena kondisi yang begitu sulit, sehingga tidak memungkinkan baginya untuk memberikan 10% dari pendapatannya kepada Allah, ia tetap dapat memberikan kepada Allah sesuai dengan kemampuannya, tanpa mengabaikan bahwa ia tetap dapat memberikan dirinya kepada Allah melalui waktu dan talenta yang dipercayakan kepadanya, yang tidak terukur dengan uang. Sebab Allah tidak melihat apa yang terlihat dari luar, tetapi melihat ke dalam hati setiap orang. Allah mengetahui sejauh mana dan seberapa tuluskah kita mengasihi Dia.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Bagi saudara2 Katolik pd khususnya dan Kristiani pd umumnya.. mhn sharing.. mohon info bagi kami yg menjalankan persepuluhan.. persepuluhan menurut definisi idealnya itu dihitung dr pendapatan kotor atau bersih ya? apakah kewajiban2 yg menyertai diraihnya pendapatan terkait dpt dipotongkan dahulu, menjadi pendapatan bersih, baru dihitung persepuluhannya? mohon pembahasan utk konteks definisi ideal.. walaupun dlm penerapannya Yesus menekankan yg penting adalah keikhlasannya, tp Yesus jg tdk pernah menghapus satupun isi dr Taurat.. dimana salah satu kewajiban di dlmnya adalah persepuluhan.. mhn masukan dlm konteks definisi, trimakasih, maturnuwun, Berkah Dalem …
[dari katolisitas: Sejauh yang kami tahu, Gereja Katolik tidak pernah memberikan definisi tentang hal ini]
Mau tanya apakah di Katholik ada persepuluhan seperti di Kristen ? kalau ada bagaimana sifatnya ? apakah untuk yang mampu atau semua wajib persepuluhan ?
makasih sebelumnya
[dari katolisitas: Silakan melihat tanya jawab ini – silakan klik]
syalom,
saya sudah beberapa bulan ini menyisihkan 10% penghasilan saya untuk gereja. kadang saya berikan pada waktu misa untuk di doakan dalam perayaan ekaristi dan di amplopnya saya tulis “syukur pada allah atas berkat yang diberikan pada keluarga kami”. kadang juga langsung saya masukan dalam kotak kolekte.
1. Apakah cara ini benar ? (perpuluhan diberikan dalam kotak kolekte
ataukah kolekte harus dipisahkan dengan perpuluhan?)
2. Apakah perpuluhan dapat diberikan dalam bentuk intensi pada saat misa
misalnya : doa untuk para arwah, syukur atas terkabulnya novena Dll. 3. Apabilah jumlah perpuluhan sangat banyak sampai berjuta2, bisahkah
sebagaian kita berikan kebada gereja dan sebagian lagi kita berikan
untuk menolong sesama yang berkekurangan? jika iya, bagaimana cara
pembagiannya? lebih banyak untuk gereja atau sebaliknya ataukah harus
sama rata ?
Mohon penjelasanya !
Shalom Ika,
Terima kasih atas sharingnya tentang persembahan perpuluhan. Secara prinsip persembahan perpuluhan dapat digunakan untuk membantu banyak kegiatan evangelisasi, kegiatan amal kasih, maupun kegiatan menggereja. Tentu saja, membantu kehidupan gereja dalam tingkat paroki adalah satu keharusan, karena Anda juga tinggal dalam paroki tersebut dan bertumbuh secara spiritual melalui paroki tersebut. Dan untuk melaksanakan kegiatannya, maka paroki juga perlu didukung juga secara finansial. Anda dapat memberikannya dalam bentuk kolekte, maupun bentuk yang lain. Kalau memang ada intensi doa dalam Misa, tentu saja masalah kalau Anda juga memperhitungkannya sebagai bagian dari perpuluhan. Anda juga dapat menyalurkan perpuluhan untuk kegiatan-kegiatan lain, seperti: mendukung pendidikan para imam, mendukung kehidupan di panti asuhan, membantu untuk pendidikan, membantu karya-karya evangelisasi, dll. Tentang pembagiannya, Gereja tidak pernah memberikan satu panduan. Yang penting harus mengalir dari hati yang memberi dengan sukacita. Namun, kalau paroki Anda benar-benar membutuhkan dukungan finansial, maka sangat bijaksana untuk menyisihkan setengah atau lebih dari setengah untuk membantu kegiatan paroki. Silakan membawa dalam doa tentang pembagian ini. Bersyukurlah juga bahwa Anda telah memberikan perpuluhan, sebagai perwujudan rasa syukur atas segala rejeki yang telah dilimpahkan Tuhan kepada Anda, serta perwujudan keadilan untuk juga dapat berbagi kepada sesama.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Terima kasih untuk penjelasannya. Terima kasih buat tim katolisitas, situs ini sangat membantu saya.
Shalom…
Terlebih dahulu terima kasih atas peneragan diatas tentang persembahan persepuluhan. Tapi saya masih Keliru.. adakah persembahan persepuluhan sama dgn collection persembahan dalam Misa Kudus? atau kedua2 persembahan ini dilakukan berasingan dan berbeza?
[dari katolisitas: Anda dapat memberikan perpuluhan kepada paroki Anda dalam bentuk kolekte setiap minggu atau dalam bentuk bantuan keuangan untuk membiayai kegiatan-kegiatan lain, atau juga untuk mendukung karya-karya kerasulan lain, seperti karya-karya sosial panti asuhan, evangelisasi, dll.]
Tentang persepuluhan ini kalo aku sih lebih setuju kalo kita memberikan segala sesuatu dilihat dari segi keikhlasan, bukan dari besar kecilnya. Di perjanjian baru ada cerita tentang orang miskin (janda kalo gak salah) yg memberi dalam kekurangannya, dan Tuhan Yesus sendiri yang mengatakan bahwa jumlah persembahan yang diberikan oleh orang miskin tersebut harganya sangat mahal di mata Allah.
Dulu aku pernah skolah di skolah kristen, ada seorang temen yang tanya knapa kita boleh makan babi, padahal alkitab (perjanjian lama, yesaya kalo gak salah.) bilang “celakalah yang menajiskan mulutnya dengan memakan babi … (kira2 isinya gitu, lupa2 inget sih)” Jawaban dari guru agama (beliau Kristen yang amat sangat taat) waktu itu singkat, padat dan jelas, “kan itu perjanjian lama, sekarang kita hidup di perjanjian baru.”
Sekarang sih kalo aku ditanya temen non-katolik kenapa gak kasih perpuluhan, aku jawabnya sama kayak yang diajarin ama guru agama itu,”kan ayat perpuluhan adanya di perjanjian lama, kita kan hidup di perjanjian baru. Ini yang bilang guruku lhoo, orang Kristen yang amat sangat taat.” Udah deh perdebatan berakhir.
NB: Kalo terbaca offensive, silakan diedit.
Shalom Fei,
Sebenarnya ajaran tentang perpuluhan adalah ajaran yang baik, dan tentu baik jika dilakukan. Hal itu sudah dibahas di artikel di atas. Namun jika Gereja Katolik tidak menjadikannya sebagai hukum yang mutlak, disebabkan karena: 1) Tuhan Yesus sendiri menggarisbawahi bahwa yang terpenting adalah prinsip keadilan dan kasih Allah, dan bukan persembahan persepuluhan (lih. Mat 23:23; Luk 11:42); 2) Maka para Rasul memegang prinsip ini, dan menekankan kerelaan hati dalam memberi kepada Tuhan (lih. 2Kor 9:7); 3) Angka perpuluhan tidak menjadi baku, sebab seseorang dapat bahkan memberikan lebih dari perpuluhan, bahkan seluruh hidupnya (jadi dalam hal ini perpuluhan tidak saja diukur dari berkat jasmani/ materi) bagi kemuliaan Tuhan; seperti halnya yang kita lihat jelas pada para biarawan/ biarawati.
Dengan demikian, bagi kita umat Katolik, kita tetap dianjurkan untuk mempersembahkan yang terbaik kepada Tuhan sesuai dengan kerelaan hati kita. Prinsip yang diajarkan oleh Gereja Katolik adalah segala berkat adalah titipan Tuhan, maka sudah selayaknya digunakan kembali ‘demi kemuliaan Tuhan yang lebih besar’ lagi: ‘Ad majorem Dei gloriam‘. Mari kita berdoa agar kita diberi rahmat kemurahan hati, agar tidak hitung-hitungan dalam memberi kepada Tuhan, sebab segala sesuatu yang ada pada kita sesungguhnya adalah milik Tuhan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom..
Perpuluhan jelas sekali menjadi “MESIN” ekonomi yang sangat dahsyat – terutama (maaf) bagi pemimpin “non-katolik” yang sangat menekankan ayat dari malaeki. Bayangkan.. kumpulin 10 org jemaat, maka “tanpa” kerja cari uang, sang pemimpin punya penghasilan rata2 yang sama. Kalau 100 jemaat, dia akan punya 10x dari rata2.. bayangkan kalau jemaatnya ada 10.000 ? 1000x rata2 penghasilan jemaatnya.
Padahal ayat “perpuluhan” aslinya diturunkan kepada Musa bagi Bangsa Israel (saja) dimana Bangsa Israel memiliki 12 Suku, namun hanya 11 suku yang memiliki warisan berupa tanah perjanjian, sedangkan suku Lewi harus mendedikasikan sebagai Imamat dan suku Lewi ini tidak memiliki warisan tanah Israel. Jadi 11 suku memberikan perpuluhan kepada 1 suku Lewi, dan 10% dari penghasilan suku Lewi diberikan kepada Rumah TUHAN. (bil 18:21-24)
Di Jaman Yesus, aturan perpuluhan ini juga sama seperti hukum rajam.. sudah mulai ditinggalkan, karena dalam perjanjian baru, Yesus dan keluarga kudus, juga murid-muridnya tidak ada satupun mencatat aktifitas perpuluhan. Yang ada hanyalah kotak persembahan (sukarela) di Bait Allah atau sinagoga.
Perpuluhan hanya berlaku bagi 11 suku Israel dan yang memungut “hanya boleh” suku Lewi (suku yang tidak memiliki tanah warisan) seperti yg ditulis dalam IBRANI 7:5 “Didalam hukum agama yahudi ditentukan bahwa imam-imam keturunan Lewi harus memungut sepersepuluh dari pendapatan umat Israel, yakni saudara-saudara mereka sendiri..”
Sehingga jelas, perpuluhan adalah HAK kaum Lewi yang tidak mendapatkan tanah warisan, jadi bukan hak pemimpin Agama kristiani.
Namun kalau 10% penghasilan kita merasa itu milik TUHAN, maka sebaiknya kita berikan kepada TUHAN langsung.. manifestasi TUHAN bukanlah gereja atau pemimpin.. manifestasi TUHAN dalam ujud orang2 menderita, tidak punya makanan, tidak punya baju, tidak punya dana untuk berobat.. seperti sabda Yesus dalam MATIUS 25:33-46, (34)Kemudian Raja itu akan berkata kepada orang-orang disebelah kanan Nya ” Marilah kalian yang diberkati oleh Bapa KU, masuklah kedalam kerajaan yang disediakan bagimu sejak permulaan dunia. (35)Sebab pada waktu aku Lapar, kalian memberi Aku makan, dan pada waktu Aku haus, kalian memberi Aku minum.. ”
Demikian penelitian saya pribadi mengenai PERPULUHAN.
Mohon maaf kalau ada kata yang salah.
Richard Roesnadi
[dari katolisitas: Secara prinsip, persembahan perpuluhan adalah sesuatu yang baik kalau dilakukan dengan sukacita. Dengan persembahan ini, maka Gereja mempunyai kemampuan untuk mendanai kegiatan-kegiatan yang lain, seperti evangelisasi, dll.]
Persembahan persepuluhan tetap baik diterapkan di zaman ini, hanya saja besarannya yg. bisa flexibel, bisa lebih atau kurang tergantung kondisi & kerelaan umat.
Jika tidak demikian, bagaimana gereja paroki kita bisa membiayai operasionalnya seperti : listrik, telepon, air, dana sampah, pajak, biaya perawatan gedung, gaji karyawan gereja (koster, juru masak, kebersihan), membeli sebidang tanah untuk perluasan gedung atau parkir, dll.?
Shalom,
Saya ingin bertanya, apakah berarti dengan persepuluhan Tuhan akan melancarkan rejeki kita karena persepuluhan itu menjadi “Jatah Tuhan” untuk membantu pelayanan Gereja? Jujur, saya sempat berdebat dengan kakak saya yang percaya bahwa kita harus memberi perpuluhan agar rejeki kita lancar? Dan saya tidak percaya. Mohon penjelasannya.
Terima Kasih…
Shalom Monica,
Kalau kita memberikan perpuluhan atau tindakan kasih yang lain, maka landasan yang benar adalah karena didasari oleh kasih kita kepada Tuhan yang kemudian diwujudkan dalam kasih kepada sesama. Tuhan pasti akan memperhitungkan segala kasih yang kita berikan kepada orang lain. (lih. Mrk 9:41; Mat 25:31-46) Namun, tidak harus seseorang mendapatkan balasan dari Tuhan di dunia ini. Bahkan mengharapkan Tuhan untuk membalas kasih kita kepada-Nya, dengan memberikan berkat jasmani di dunia ini adalah meminta terlalu sedikit. Mintalah agar Tuhan menaruh belas kasihan kepada kita pada saat pengadilan terakhir, tidak perduli apakah Tuhan akan memberikan berkat jasmani kepada kita di dunia ini atau tidak. Yang terpenting adalah Tuhan memperhitungkannya pada saat pengadilan terakhir.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Shalom Katolisitas,
Apakah katolisitas tahu tentang Bo Sanchez? Seorang pengkotbah ulung dari Filipina. Karena pernah mengecap pendidikan disana, saya berasumsi anda mengenalnya.
Bagaimana pendapat katolisitas mengenai ajarannya? Apakah tergolong new age? Atau teologi kemakmuran? Sebagai contoh yang lebih konkrit, bagaimana dengan ajaran perpuluhan yang sangat dianjurkannya, dan selalu dikaitkan dengan berkat-berkat di bumi. Dalam salah satu tulisannya dia mengomentari bahwa ajaran Gereja tentang perpuluhan tidak tegas/mengambang dan itu dikatakan kurang bagus.
Mohon komentarnya dan terima kasih, Tuhan Yesus memberkati
Shalom Teddy,
Mari kita ketahui prinsipnya saja terlebih dahulu. Seorang pengkhotbah tidak mempunyai kuasa yang ‘infallible‘ (tidak mungkin salah) dalam menyampaikan khotbahnya; dan seringkali segala perkataan yang spontan memang lebih rentan terhadap kesalahan. Dari yang saya ketahui tentang Bo Sanchez, ia memang seorang pengkhotbah awam yang terkenal, karena khotbahnya menarik, pesannya jelas dan jenaka. Tidak semua khotbahnya bernada ‘teologi kemakmuran’, karena sepanjang yang saya ketahui (dan semoga masih tetap demikian sampai sekarang), Bo sendiri memilih hidup sederhana, mengasuh banyak anak- anak yatim dan orang jompo, yang disebut dalam suatu kelompok (mungkin yayasan) yang namanya Anawim. Jika ia mengkhotbahkan agar umat tergerak untuk secara lebih disiplin memberi tithing (persembahan perpuluhan) itu disebabkan karena pengalamannya sendiri, bagaimana dengan kesetiaan memberikan persembahan kepada Tuhan, maka Tuhan berkenan memberikan banyak berkat kepadanya yang kemudian dikembalikannya lagi untuk mengelola berbagai kegiatan amalnya. Ia sendiri sebagai pengkhotbah awam di Gereja Katolik tidak menerima bagian dari perpuluhan umat, sehingga sepertinya yang dimaksudkannya adalah murni untuk mendorong umat memberi kepada Tuhan.
Terus terang saya tidak mengetahui/ belum pernah membaca tulisannya yang dengan jelas mengatakan bahwa “ajaran Gereja Katolik tentang perpuluhan tidak tegas” seperti yang Anda sebutkan. Silakan jika Anda mengetahui sumbernya, dapat disebutkan sehingga dapat kita bahas bersama. Sebab sesungguhnya, yang diajarkan oleh Gereja Katolik adalah memberi dengan sukarela kepada Tuhan, dan karena itu tidak perlu dibatasi sepuluh persen. Jika mampu, bahkan silakan memberi lebih banyak; dan saya pikir Bo Sanchez sendiri telah melakukannya, terlihat dari apa yang dilakukannya dalam mewartakan Injil dalam Gereja Katolik.
Tentang ajarannya yang berbau New Age, saya belum pernah mengetahuinya. Mungkin karena saya sudah lama tidak mendengarkan khotbahnya/ membaca buku-bukunya yang terbaru. Dapatkah Anda menyebutkan terlebih dahulu ajaran apakah yang diberikannya sehingga Anda berkesan demikian?
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
PS: Sedikit ralat ya, bahwa kami (saya dan Stef) tidak pernah mengecap pendidikan di Filipina. Yang benar adalah kami pernah tinggal menetap di Filipina selama sekitar tiga tahun yaitu dari tahun 1998-2000, sehingga pernah juga mendengar dan membaca buku-buku yang ditulis oleh Bo Sanchez.
Shalom bu Inggrid,
Terima kasih atas jawabannya.
Mengenai tulisan Bo sanchez yang saya maksud dapat dibaca di link berikut http://bosanchez.ph/don%E2%80%99t-cheat-yourself-from-the-rewards-of-tithing/
Mohon komentar katolisitas mengenai tulisan di atas.
Terima kasih, GBU
Shalom Teddy,
Mungkin kutipan yang Anda tanyakan adalah pernyataan Bo, demikian:
“I’m a Catholic…..In all the years as a Catholic, I’ve yet to hear a clear teaching on Tithing. Here’s why: Because Catholic Theology says we’re not bound by the Old Testament Law of Tithing, but by the New Testament Law of Generosity. I agree. But we’ve failed in generosity too!
Catholics are known as having the noisiest offerings in the world. “Klang, kleng, kling, klong, klung…” Because everyone gives coins.
One man said, “Catholics aren’t Tithers, they’re Tippers.”
Many Catholics don’t even know what Tithing is.
Thus, we’re missing out on the many blessings of Tithing.”
Menurut hemat saya, di sini Bo hanya mau mengatakan bahwa Gereja Katolik tidak memberikan ajaran yang jelas/ rinci tentang perpuluhan, karena menurut ajaran Gereja Katolik, sekarang kita tidak terikat oleh hukum perpuluhan sebagaimana diajarkan dalam Perjanjian Lama, namun oleh hukum kemurahan hati, sebagaimana diajarkan dalam Perjanjian Baru. Bo setuju akan ajaran ini. Hanya saja, ia mengatakan, karena tidak dijelaskan dengan baik, maka banyak orang tidak mengerti, apa itu hukum kemurahan hati, sehingga nyatanya, orang tetap tidak/ kurang bermurah hati dalam memberikan persembahan kepada Tuhan. Padahal Tuhan mengajarkan kita agar murah hati, karena kitapun akan beroleh kemurahan (lih. Mat 5:7, Luk 6:36, Yak 1:5). Maka kemungkinan Bo menghubungkan ayat-ayat tersebut dengan ajakannya untuk menerapkan persembahan perpuluhan, bukan karena keharusan karena hukum Perjanjian Lama, tetapi karena kemurahan hati (Bo menghubungkannya dengan contoh bahwa sekarang dia rajin mandi bukan karena keharusan, tetapi karena kasih). Selanjutnya ia membagikan pengalamannya bagaimana dengan kesetiaannya menyisihkan sepersepuluh dari penghasilan kotornya sebagai persembahan kepada Tuhan, lalu ia beroleh juga kemurahan dari Tuhan. Mungkin untuk sebagian orang melihatnya seperti mirip dengan ‘teori kemakmuran’, tetapi bagi saya, yang penting dipahami adalah maksud utamanya. Sebab jika motivasi melakukannya adalah kasih (sebagaimana diumpamakan dengan contoh ‘mandi’ tadi), maka ajakan melakukan perpuluhan sesungguhnya adalah sesuatu yang baik dan sesuai dengan ajaran iman Katolik. Tetapi kalau penekanannya adalah ‘harus melakukan perpuluhan’ sebab kalau tidak, ‘nanti tidak diberkati’, itu menjadi tidak sesuai dengan ajaran Kristus, sebab kalau kita memberi, kita tidak perlu mengharapkan balasan. Jika kita diajarkan untuk tidak hitung-hitungan macam ini dengan sesama (lih. Luk 14:13-14), apalagi dengan Tuhan. Kita diajarkan untuk melakukan tugas kita, tanpa menuntut upah dari Tuhan (lih. Luk 17:10), melainkan percaya penuh kepada-Nya bahwa Ia akan memelihara kita dan akan memberikan segala sesuatunya sesuai dengan kesanggupan kita (lih. Mat 25:15) dan dengan kebutuhan kita yang secukupnya (lih. Mat 6:11). Tentu dengan catatan, kita sendiri juga harus rajin bekerja, sebab Kitab Suci juga mengajarkan demikian kepada kita (lih. 2 Tes 3:10).
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
shalom Ibu ingrid
kalau Kita berbicara tentang iman kepercayaan bahwa Kristus adalah sang juru selamat,dalam ayat2 Alkitap,di ayat mana saja kita dapat melihatnya,dan di dalam ayat mana saja ,ajakan bahwa kita harus menyerahkan seluruh kekurangan kita,
mis;yang percaya akan Dia ,maka tingkat2langit akan dibukakan baginya
terima kasih,n maaf kalau membingungkan
Shalom Fransiskus Dany,
Tentang mengapa orang Kristen percaya bahwa Kristus adalah Tuhan Sang Juru selamat kita, silakan klik di beberapa artikel berikut ini:
Mengapa Orang Kristen Percaya bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan
Yesus, Tuhan yang Dinubuatkan oleh para Nabi
Inkarnasi dan Membuktikan bahwa Yesus adalah Tuhan
Sedangkan ayat- ayat tentang Kristus sebagai Juruselamat kita, dapat anda baca di Luk 2:11; Yoh 4:42; Kis 5:31; Kis 13:23; 2Ptr 1:1,11, 2Ptr 2:20; 2 Ptr 3:2,18, 1 Yoh4:14, 1 Tim1:1; 1 Tim 2:3; 1 Tim 4:10; 2Tim 1:10; Flp 3:20; Tit 1:3,4; Tit2:10,13; Tit 3:4,6; Yud 1:25.
Berikutnya tentang bahwa Tuhan membuka tingkap- tingkap langit, itu disebutkan dalam beberapa perikop, misalnya yang mengisahkan hujan pada jaman air bah Nabi Nuh (lih. Kej 7:11); dan juga menggambarkan berkat dari Tuhan berkaitan dengan persembahan perpuluhan (lih. Mal 3:10). Tentang perpuluhan sudah pernah dibahas di artikel ini, silakan klik. Sabda Tuhan memang mengajarkan kita untuk mempersembahkan yang terbaik kepada Tuhan, namun keliru jika kita mempersembahkan sesuatu kepada Tuhan dengan harapan Tuhan harus membalas berkat jasmani yang berlipat- lipat kepada kita, sehingga arahnya menjadi semacam ‘berdagang’ dengan Tuhan. Kita memberi dengan tulus hati dan senang hati kepada Tuhan, namun hal sesudahnya, kita serahkan kepada Tuhan tentang bagaimana Ia akan memelihara kita. Ajaran yang hanya semata menekankan kepada berkat kemakmuran jasmani itu adalah ajaran yang keliru, seperti sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.
Sedangkan jika maksudnya adalah menyerahkan kekurangan kita (baik jasmani maupun rohani) kepada Tuhan agar Tuhan menyempurnakan kekurangan kita dengan kuasa-Nya, itu diajarkan di dalam Kitab Suci, seperti persembahan lima roti dan dua ikan dari seorang anak kecil dalam kisah pergandaan roti (lih. Mat 14:17-19; Mrk 6:38-41; Luk 9:13-16; Yoh 6:9-12) dan selanjutnya dalam durat- surat Rasul Paulus (lih, 2Kor 12:9; 2Kor 13:4). Sikap mengakui kekurangan/ kelemahan kita di hadapan Tuhan adalah sikap kerendahan hati di hadapan Allah, dan tentang kerendahan hati sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam…
mau sedikit komentar tentang persepuluhan..
memang di Perjanjian Lama disebutkan tentang persepuluhan tapi Tuhan menggenapinya dengan perumpamaan tentang janda yang miskin ( kita memberikan persembahan dari kekurangan kita )
Sebagai contoh : misal biasa kita memberikan kepada pengemis 5ribu rupiah, di saat kita sedang bokek, kita tetap memberi, mungkin memberi 1 ribu atau 2 ribu….Tuhan mau kita tetap berbagi walaupun keadaan kita mgkn sedang kesulitan ekonomi….
Dan juga misal tetap menganggap persepuluhan itu penting dan harus dilakukan, saya kasi ilustrasi :
jika seseorang berpenghasilan 1 Milyar, apakah orang tersebut akan memberikan persepuluhan sebesar 100 juta? atau jikalau dia berpenghasilan 10 Milyar, apakah orang tersebut akan memberikan persepuluhan sebesar 1 milyar?? dan seterusnya, saya kira belum tentu….tapi jikalau orang tersebut melakukannya saya salut :)
Persembahan bukan diliat dari berapa banyak dan besarnya kita memberikan, tapi diliat dari niat yang tulus ingin memberi / berbagi ke mereka yg membutuhkan….
[dari katolisitas: di satu sisi, kita juga harus melihat bahwa walaupun Gereja Katolik tidak menentukan persentase dari persembahan. Namun, kalau semua orang Katolik menyadari perlunya memberi sebagai wujud dari kasih kita kepada Allah, maka Gereja Katolik akan semakin baik dalam melakukan karya-karya evangelisasi, dll. Kita mohon hati yang besar dari Tuhan untuk mau memberi.]
Kalau di Gereja Katolik persembahan buat keperluan gereja, tapi bagaimana dengan di Protestan??
Di daerah saya para Protestan juga kerja keras memberikan perpuluhan, namun bukan untuk gereja, tapi untuk pendetanya, makanya kalo gak ada perpuluhan yang cukup, pendetanya gak mau datang kalo diminta khotbah..
Jadi saya tidak merasa ada yang salah jika Katolik bilang memberikan persembahan seadanya saja.. yang penting ikhlas dan mampu, karena itu buat kemajuan gerejaNya, daripada memberikan perpuluhan sepersekian untuk “Gereja” yang secara tidak langsung buat sewa pendetanya khotbah…
Shalom Stefanus,
Saya percaya bahwa setiap komunitas gerejawi mempunyai kebijakan sendiri- sendiri dalam pengatur alokasi dana yang diterima. Maka mari jangan berkata dengan nada sinis demikian kepada mereka yang non- Katolik. Mereka pasti juga mempunyai kebijakan tersendiri, walaupun berbeda dengan yang ditentukan oleh Gereja Katolik.
Lagipula mungkin istilah tepatnya bukan ‘memberikan persembahan seadanya saja‘, bagi persembahan di Gereja Katolik. Katekismus mengajarkan tentang hal ini demikian:
KGK 2043 …… Umat beriman juga berkewajiban menyumbangkan untuk kebutuhan material Gereja sesuai dengan kemampuannya. (Bdk. KHK, Kan 222)
Maka memberikan persembahan perpuluhan bagi kebutuhan Gereja tentu adalah suatu kebiasaan yang baik, dan jika sudah dilaksanakan tentu patut dilakukan terus. Namun bagi yang mampu memberikan lebih, silakan memberi lebih, bahkan persembahan pun tidak terbatas dari segi uang, namun juga waktu dan talenta, untuk kemuliaan nama Tuhan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Maaf ibu namun itulah yang saya lihat,
bahkan hal yang membuat saya juga kecewa karena dulu sempat ada keluarga jauh saya yang anggota gereja — [dari Katolisitas: kami edit, salah satu gereja non Katolik], jujur saja, persembahannya bahkan ditentukan, terlebih lagi keadaan mereka bisa dibilang miskin, jadi mereka pun dijauhi oleh umat lain di gereja — itu, bahkan saat beliau meninggal, tidak ada umat atau anggota gereja yang datang mendoakan atau melawat, hanya satu perwakilan saja yang datang dan HANYA mengantar peti mati lalu pulang, betapa kecewanya keluarga saya itu, dijauhi oleh saudara seimannya hanya karena tak mampu memenuhi perpuluhan.
Bahkan mereka yang membangga-banggakan gerejanya hanya karena gereja mereka punya sound sistem yang “bagus” dan bandnya oke.. Waktu saya ikut KKR di salah satu Gereja Protestanpun, saya mendengar sendiri mereka mengatakan “Puji Tuhan gereja kami bagus, full AC dan sound sistemnya enak banget…”. Saya sendiri bingung apakah katekis saya yang salah jika mengajarkan saya untuk bangga pada Gereja saya sendiri karena Tuhan saya hadir di Altar, atau saya harus bangga pada Gereja saya karena perlengkapannya…
[Dari Katolisitas: Katekis anda benar, Gereja Katolik mengajarkan bahwa yang perlu kita ‘banggakan’ dan kita syukuri adalah kehadiran Kristus sendiri di setiap tabernakel dan juga di altar gedung gereja pada waktu perayaan Ekaristi]
Itu adalah sebagian dari banyak kisah yang saya dengar tentang prinsip gereja mereka,
trims atas sharingnya. Maaf jika saya memang sangat sinis menanggapi mengenai perpuluhan dari gereja sebelah, semoga Tuhan memaafkan saya dan menghapus semua kecewa saya..
Tuhan memberkati.
[Dari Katolisitas: Untuk dapat menghilangkan kepahitan di hati/ luka di batin anda, anda memerlukan rahmat Tuhan. Mohonkanlah rahmat Tuhan itu dalam sakramen Tobat, dan bertekunlah menerima sakramen Ekaristi Kudus. Tuhan Yesus lebih dahulu menerima penolakan dan dijauhi oleh orang- orang yang dikasihiNya, bahkan Ia difitnah dan kepada-Nya dituduhkan perkara yang jahat (menghujat Allah), sehingga harus menanggung hukuman salib. Jika kita merenungkan hal ini, kita akan dapat menyadari bahwa kekecewaan kita sungguh tidak sebanding dengan segala penderitaan Kristus. Kalau Ia melakukannya demi kasih dan ketaatan-Nya kepada Bapa; maka demikian pula seharusnya kita]
Shalom,
saya sudah membaca tetang keselamatan menurut katholik, tetapi ada hal yg ingin saya pertanyakan mengenai hal itu. Saya mempunyai seorang teman yg beragama protestan dan dia gereja di gbi, dan dia pernah mengatakan dengan memberi persepuluhan atau janji iman kepada gereja maka kita akan diselamatkan,apakah kita jg hrs melakukan hal itu juga?
Shalom Elvina,
Terima kasih atas pertanyaannya tentang perpuluhan. Saya rasa, terlalu dangkal kalau kita menghubungkan perpuluhan dengan konsep keselamatan. Katolik mempercayai bahwa keselamatan adalah karena rahmat Allah, dengan iman dan perbuatan kasih. Beberapa artikel tentang keselamatan dapat dibaca di sini:
Arti putra dan putri angkat Allah
Umat non-Kristen tertarik ke Kristen Katolik
Apakah dengan hidup baik saja, kita dapat masuk Sorga?
Apakah agama Kristen bersifat eksklusif atau inklusif?
Roti Hidup dan Perjamuan Kudus
Tentang bangsa Israel
Keselamatan: susah atau gampang?
Nasib orang yang bunuh diri dan hubungannya dengan baptisan
Invincible ignorance dalam jaman ini
Buat apa mempelajari agama kita?
Penjelasan tentang Deklarasi Dominus Iesus
Bagaimanakah kehidupan suami-istri di Sorga?
Dosa berat dalam hubungannya dengan keselamatan
Sesudah selamat lalu apa?
Keselamatan dan hubungannya dengan Baptisan
Mengapa Yesus disunat, kita tidak?
Kasih dan keadilan Allah yang dimanifestasikan melalui pengorbanan Kristus
Apakah keselamatan yang sudah diperoleh melalui Pembaptisan dapat hilang?
Mengapa Yesus memilih salib untuk menebus dosa manusia?
Keselamatan adalah anugerah Allah?
Apakah yang diselamatkan hanya orang Katolik dan yang lainnya pasti masuk neraka?
Apakah hukum dosa dan hukum maut?
Keselamatan: theosentris, kristosentris, eklesiosentris?
Bagaimanakah nasib bayi yang belum dibaptis?
Apa itu “Implicit desire for Baptism?”
Apakah orang Katolik dijamin pasti selamat?
Baptisan rindu menurut St. Thomas
Dosa menghujat Roh Kudus – dosa yang tak terampuni
Iman tanpa perbuatan adalah mati
Paus Benediktus XVI dan Sola Fide
Dosa menghujat Roh Kudus dan dosa berat
Mengapa Gereja Katolik membaptis bayi?
Tidak ada keselamatan kecuali melalui Yesus
Tidak cukup menerima Yesus di hati saja
Sekali selamat tetap selamat – tidak Alkitabiah
Siapa saja yang dapat diselamatkan?
Apakah agama membuat orang masuk Sorga?
Apakah orang yang tidak dibaptis masuk neraka?
Apakah Yudas Iskariot berjasa dalam karya keselamatan manusia?
Adakah Keselamatan di luar Tuhan Yesus/ Gereja Katolik?
Semoga link-link di atas dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
saya berterima kasih kepd ibu inggrid yg tlh menjwb pertanyaan saya.saya punya banyak sekali pertanyaan ttg katolik tp saya tdk tau hrs kemn hrs bertanya.saya harap dikatolitas saya dpt memperkuat iman dg bertambahnya pengetahuan iman katolik saya.saya ad pertanyaan:
kakak saya setiap minggu setiap saya ke gereja selalu titip uang untuk persembahan,bahkan kdng nilainya banyak.demi gereja dn yesus,berapapun g masalah sedangkan saya hanya bisa ngasih sedikit.kadang saya digereja pas persembahan saya malu krn saya tdk bs ksh lbh utk yesus.pertanyaan saya
1.apakah kakak saya lbh diterima drpd saya
2.apakah benar dg memberi persembahan banyak kt jg diberi rejeki banyak?
3.kakak saya jg sering ngasih sedekah kpd pengemis2 dijalan,katanya jg bila kita sering beramal maka rejeki kita akan diperbanyak,benarkah itu?saya tdk berkelebihan utk dpt memberi sedekah atau sering beramal,apa it jg yg menyebabkn rejeki saya tdk banyak atau saya tdk berlebihan spti kakak saya?
terima kasih sebelumnya atas dijawabnya pertanyaan2 saya.
Shalom Elsa,
Terima kasih atas pertanyaanya tentang persembahan. Dalam teologi persembahan (kurban), maka yang terpenting adalah disposisi hati. Persembahan yang dilakukan dengan kerendahan hati dan atas dasar kasih mendapatkan tempat yang begitu istimewa. Inilah sebabnya, persembahan diri Kristus di kayu salib menyenangkan hati Allah. Bukan karena penderitaan yang diderita-Nya, namun karena pengorbanan tersebut dilandasi oleh kasih Kristus yang begitu sempurna. Dengan dasar yang sama, maka persembahan dari diri kita (baik uang, waktu dan talenta) harus benar-benar didasari kasih. Kita mengingat, dalam perumpamaan tentang talenta, maka setiap orang diberikan talenta yang berbeda-beda (lih Mt 25:14-30). Yang terpenting bukan berapa talenta yang diberikan, namun sampai seberapa jauh kita dapat mengembangkan talenta yang diberikan untuk semakin memuliakan nama Tuhan.
Jadi, dengan pemikiran di atas, maka belum tentu bahwa orang yang memberi banyak uang untuk gereja, menjadikan persembahannya dapat lebih diterima. Banyak adalah relatif. Bagi seorang tukang ojek, mengeluarkan uang Rp 10,000 untuk persembahan setiap minggu adalah sudah termasuk cukup banyak; yang kalau dihitung secara prosentase, mungkin sama banyaknya dengan seorang pengusaha besar mengeluarkan 50 juta untuk persembahan mingguan. Jadi, tidak usah berkecil hati dengan sumbangan yang tidak seberapa secara nilai, namun secara prosentase adalah cukup baik. Kembali, Tuhan melihat hati, sehingga persembahan janda miskin berkenan di hadapan-Nya (lih. Lk 21:1-4). Tidak benar bahwa yang memberi persembahan banyak akan diberi rejeki banyak. Yang jelas orang yang mempunyai uang banyak telah dititipkan oleh Tuhan untuk mengelola uang tersebut untuk semakin memuliakan Tuhan dengan membantu sesama. Kalau kita beramal, maka lakukanlah atas dasar kasih kita kepada Tuhan dan bukan karena dengan motifasi untuk diberikan rejeki yang lebih banyak. Biarlah perkara memberi rejeki, kita serahkan kepada Tuhan. Yang terpenting, kita dituntut untuk memberikan sebagian dari milik kita untuk sesama atas dasar kasih kita kepada Tuhan. Besarnya seberapa? Kalau anda mampu, maka anda dapat memberikan 10% atau lebih. Namun, kalau tidak mampu, berikan menurut kerelaan hati dan lakukan dengan suka cita, karena Allah berkenan kepada orang yang memberi dengan sukacita. (lih. 2Kor 9:7). Kita juga dapat mempersembahkan hal-hal lain selain uang, seperti waktu, tenang, talenta untuk semakin memuliakan Tuhan. Silakan melihat tanya jawab di atas tentang perpuluhan – silakan klik. Semoga jawaban singkat ini dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Lebih masuk akal !!
Shalom,
beberapa tahun terakhir ini saya mempraktekkan perpuluhan. Saya memberikan 10% dari penghasilan saya dan setelah berjalan beberapa lama, saya juga merasakan beratnya memberikan perpuluhan pada saat penghasilan menurun ataupun biaya kebutuhan meningkat.
Saya juga mendapati bahwa perpuluhan tidak terbatas pada uang saja. Apapun yang ada pada saya – uang, barang, waktu, harga diri – semuanya pantas dan wajib saya persembahkan kepada Tuhan. Dengan memberikan/melepaskan semua itu, saya menjadi tidak memiliki apa-apa untuk diandalkan selain Tuhan dalam kehidupan saya.
Jadi apabila Gereja Katolik tidak memberikan jumlah yang fixed 10% untuk dipersembahkan, bukan berarti hal itu tidak perlu dilaksanakan. Namun bukankah salah satu ukuran seberapa besar kita mengasihi seseorang adalah dengan seberapa besar pengorbanan kita untuk orang itu. Demikian halnya dengan mengasihi Tuhan.
Dan mengenai berkat, saya juga merasakan bahwa Tuhan memberkati saya bila saya memberikan sebagian dari milik saya. Namun setelah diingat2, dulu waktu sebelum memberikan perpuluhan saya juga sering diberkati Tuhan. Setelah memberikan perpuluhan juga tidak lantas saya selalu memiliki uang lebih.
Mengasihi Tuhan harus jadi motivasi utama dan 10% adalah awal yang baik untuk latihan. Tetapi jangan berhenti sampai disitu dan tidak perlu mengagung-agungkan 10% yang kita beri.
Syalom Agung,
Saya sangat setuju sekali pada pendapatmu. Bahkan ada anak Katolik yang bilang kalau WAJIB PERPULUHAN itu bukan ajaran Gereja Katolik. tapi mari kita memeriksa diri kita sendiri lagi kalau KITA BISA MENYERAHKAN HIDUP KITA SEPENUHNYA, OMONG KOSONG KALAU KITA TIDAK BISA MEMBERIKAN 10% DARI PENGHASILKAN KITA. Ingat, yang dikumpulkan kita di dunia ini adalah HARTA DI SURGA, dan BUKAN harta di dunia
TUHAN YESUS memberkati & BUNDA MARIA selalu menuntun anda pada putraNYA.
Salam damai..
kalo boleh saya utarakan isi hati saya sebenarnya perpuluhan ato sumbangan ke greja itu bukanlah memberi ,tapi lebih arif kalo kita katakan “”mengembalikan” sebagian yg sudah kita terima dari Tuhan
GBus
Salam Damai…
Sekedar sharing, meskipun saya dibesarkan dalam keluarga Katolik dan telah dibaptis katolik sejak 13 tahun yang lalu. Namun saya baru mengetahui adanya konsep perpuluhan sejak menikah hampir dua tahun lalu karena istri saya cukup banyak memperoleh pengajaran dari GKI (meskipun beragama Katolik).
Saya disarankan untuk setiap bulannya memberikan perpuluhan. Cukup lama bagi saya untuk bergumul, apakah keuangan kami mencukupi jika “harus” menyisihkan 10% dari penghasilan untuk gereja?
Namun pada akhirnya saya sadar bahwa saya tidak boleh memandang perpuluhan sebagai 10% dari penghasilan. Bagi saya perpuluhan adalah tetap suatu persembahan kepada Allah Bapa, Putra & Roh Kudus. (di luar dari Kolekte).
Saya merasa bersyukur bahwa setiap bulan telah diberkati Allah dengan penghasilan untuk bisa menghidupi diri dan keluarga. Baiklah bagi saya untuk membagikan sebagian dari apa yang saya terima kepada Tuhan sehingga bisa menjadi saluran berkat bagi orang lain dimana terserah kepada Gereja & Tuhan Yesus mau salurkan kembali.
Pada awalnya memang muncul keragu-raguan apakah dengan menyisihkan penghasilan ini bisa mencukupi kehidupan kami selama sebulan. Keterbatasan sebagai manusia dengan kehendak daging dan pikiran yang terbatas serta ketidakrelaan sempat membuat persembahan ini tidak lancar. Kadang memberi, kadang tidak.
Sampai saat ini pun persembahan keluarga kami belum mencapai 10% dari penghasilan, namun puji Tuhan sekarang, keluarga kami bisa dengan lancar setiap bulan dan dengan kerelaan bisa memberikan persembahan diluar kolekte.
Salam
Shalom bu inggrid
Bu, ini kalimat yg saya copy dari penjelasan Ibu mengenai persembahan perpuluhan:
“Dari pengertian di atas, maka perpuluhan dalam pengertian yang luas dapat masuk dalam ketiga kategori di atas. Perpuluhan dapat menjadi bagian dari judicial law kalau setiap orang harus memberikan kontribusi kepada penyembahan secara publik sesuai dengan cara yang dipilihnya. Namun di dalam hukum Musa, perpuluhan di atur dengan cara yang begitu khusus sebagai manifestasi dari penghormatan dan persembahan kepada Tuhan. Dalam pengertian yang luas, perpuluhan dapat menjadi moral law, karena mengatur persembahan kepada Tuhan. Namun, pengaturan tentang hari persembahan, dengan cara bagaimana persembahan tersebut diberikan, masuk dalam kategori ceremonial law. Dan pengaturan bagi pelanggaran perpuluhan masuk dalam kategori judicial law.”
Mohon penjelasan yang lebih sederhana, karena saya belum bisa mengartikan dengan jelas. Topik ini akan saya bawakan sebagai renungan dalam pertemuan sel. Terima Kasih. Berkah Dalem
Salam
Martha
Shalom Martha,
Terima kasih atas pertanyaannya. Intinya adalah “moral law” tidak dapat berubah, dalam hal ini, persembahan perpuluhan menjadi suatu cara untuk membantu sesama atau perintah untuk mengasihi sesama, yaitu dengan cara memberikan bantuan keuangan bagi yang memerlukannya. Tentang besarnya berapa, maka Gereja, sebagai institusi yang didirikan oleh Kristus dapat memberikan ketentuan, yang dipandang adil dan pada saat yang bersamaan tidak memberatkan bagi umat yang memang sebagian mempunyai penghasilan yang begitu minim. Dalam hal ini Gereja Katolik tidak menentukan besarnya 10%, namun berdasarkan pemberian yang diberikan dengan sukacita tanpa menghilangkan asas keadilan. Di beberapa negara maju, yang memerlukan dana untuk renovasi dan pemeliharaan gereja-gereja, maka umat Katolik diminta untuk menyumbang sebesar 10%. Bagi umat yang sungguh miskin, mungkin 10% terlalu banyak. Bagi yang sungguh-sungguh kaya, mungkin 10% terlalu sedikit. Cobalah membaca artikel di atas dan juga semua diskusi di sini, sehingga dapat memperoleh gambaran yang lebih menyeluruh. Kalau masih ada pertanyaan maupun tanggapan, silakan untuk menyampaikannya kembali. Semoga dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Shalom Stefanus Tay,
Sebelumnya terima kasih atas penjelasannya yang begitu masuk akal dan bisa diterima dengan suka cita….. , bagaimana prakteknya dapat dilakukan ? atau bisa dengan cara transfer ? sebagai catatan , aku adalah umat di gereja Katedral Jakarta , mohon penjelasannya……
Terima kasih ,
Tuhan bersertamu……
Shalom Millenium21,
Terima kasih atas tanggapannya. Secara prinsip, dalam praktek, kita harus melakukannya secara bijaksana. Ini berarti kita harus melihat di bagian mana dari Tubuh Mistik Kristus yang perlu kita bantu. Sudah selayaknya kita harus membantu paroki tempat kita bertumbuh, sehingga mereka juga mempunyai dana untuk membiayai kegiatan evangelisasi dan karya-karya yang lain. Di satu sisi, kita juga dapat menyumbang pada bidang-bidang khusus, seperti: pengembangan calon imam (lewat gotaus / Gerakan Orang Tua asuh untuk seminari), pengembangan misi evangelisasi, karya-karya sosial, dll. Jadi, tidak harus porsi yang kita cadangkan untuk perpuluhan diberikan pada satu organisasi. Yang terpenting adalah, kita harus menjadi bendahara yang bijaksana, yang berusaha dengan setia mempergunakan apa yang diberikan oleh Tuhan untuk mengembangkan Kerajaan Allah di dunia ini, sehingga akan lebih banyak lagi yang mendapatkan keselamatan kekal lewat Gereja-Nya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan
stef – katolisitas.org
Shalom Stefanus Tay,
Terima kasih atas penjelasannya…..
mohon doanya dari saudara2 semua agar saya diberikan kekuatan dari Tuhan untuk mampu memberi kepada sesama terutama untuk Kerajaan Allah dan orang2 yang kekurangan…..
dan semoga persembahan kita diterima demi kemuliaan Tuhan dan keselamatan kita serta seluruh umat Allah yang Kudus…….
semoga kasih karunia dari Allah Bapa dan dari PutraNya Tuhan kita Yesus Kristus selalu berserta kita sekarang dan selama2 nya………..
Ada kalimat : Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan” (Mat 23:23). Apakah ini bukan berarti kedua-duanya mesti dilakukan. Mohon dijelaskan kembali.
Shalom Hendrik Wijaya,
Mat 23:23 mengatakan, “Celakalah kamu, hai ahli- ahli Taurat dan orang- orang Farisi, hai kamu orang- orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan.”
Demikianlah keterangan ayat ini menurut Haydock Commentary on Holy Scriptures:
Maka Gereja Katolik memegang prinsip ini dalam pengajarannya tentang persembahan kepada Tuhan. Jika seseorang melakukan persepuluhan, tentu itu sesuatu yang baik, namun jangan sampai prinsip keadilan dan belas kasihan yang lebih penting, diabaikan. Maka jika sebuah keluarga yang memang sudah sangat miskin, dan berkekurangan dalam segala hal, mereka tidak diharuskan untuk memberikan persembahan persepuluhan. Mereka memang selayaknya memberikan persembahan kepada Tuhan, namun tidak diwajibkan dengan angka sepersepuluh penghasilan mereka. Sebab jika demikian, malah melanggar prinsip belas kasihan dan keadilan; karena biar bagaimanapun orang tua dalam keluarga mempunyai tanggungjawab di hadapan Allah untuk memberikan makanan (sandang pangan) kepada anak- anak dan mendidik mereka dengan layak.
Namun sebaliknya jika seseorang diberkati secara melimpah, maka adalah baik baginya untuk memberikan persembahan kepada Tuhan, tidak hanya sepersepuluh saja, tetapi bisa lebih, bahkan seluruhnya. Dan persembahan kepada Tuhan ini tidak saja terbatas pada persembahan uang saja/ harta benda, tetapi juga persembahan waktu dan bakat (sehingga merupakan 3T: Treasure, Time and Talents). Persembahan diri secara total kepada Tuhan, nyata dalam diri kaum religius, yang membaktikan seluruh hidup mereka bagi Kerajaan Allah. Itulah sebabnya maka Gereja Katolik secara umum tidak terlalu menekankan persembahan persepuluhan (terutama perpuluhan hasil pendapatan) sebagai sesuatu yang ‘kaku’, seperti juga telah disebutkan dasar- dasarnya pada artikel di atas.
Jadi makna Mat 23:23 selayaknya dilihat dalam konteks yang benar, yaitu bahwa prinsip yang lebih utama harus dilaksanakan, yaitu keadilan, belas kasihan dan kesetiaan; dan jika ini sudah dilakukan silakan melakukan persembahan persepuluhan, jika itu tidak melanggar prinsip yang lebih utama itu. Dengan demikian prioritas utama tetap pada hukum kasih kepada Tuhan dan sesama, sedangkan hukum yang mendetail tentang persembahan kepada Tuhan tidak diabaikan, namun berada di bawah hukum yang terutama tersebut.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
shalom,
Pak Stef, dalam diskusi dengan istri yang tak pernah berujung istri saya selalu menekankan persepuluhan terlebih setelah dia mengikuti kegiatan protestan. salah satu dasarnya adalah firman Allah yang terdapat di dalam Kitab Suci.
“Bawalah seluruh persembahan persepuluhan itu ke dalam rumah perbendaharaan, supaya ada persediaan makanan di rumah-Ku dan ujilah Aku, firman TUHAN semesta alam, apakah Aku tidak membukakan bagimu tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadamu sampai berkelimpahan.”
Dari dasar itu di yakini bahwa bahwa dalam ajaran Protestan bahwa dengan semakin sering dan besar memberi persepuluhan maka berkat-berkat semakin dicurahkan. Berkat ada didepan kita dan kita tinggal mengambilnya apabila kita bertekun dalam persepuluhan.
Saya sendiri menjawab salah satu dasar iman Katolik dalam persembahan adalah kisah janda miskin dimana Yesus tidak mementingkan besarnya persembahan tetapi dari ketulusan apa yang dia punya.
Jadi kalau saya tangkap dari sebagian besar kotbah para pendeta bahwa dengan semakin sering memberi persepuluhan maka semakin kita diberi berkat yang berlimpah.
Sementara dalam pandangan saya bahwa berkat adalah sepenuhnya hak prerogatif Tuhan dan Tuhan tidak mudah di suap hanya dengan persepuluhan demi tekabulnya doa dan keinginan kita, bahkan korban bakaran Israel sekalipun pernah di tolakNya karena Tuhan mempunyai segalanya.
Shalom Thomas Biantoro,
Terima kasih atas pertanyaannya tentang perpuluhan. Untuk banyak orang di Indonesia, yang benar-benar hidup di bawah garis kemiskinan, mungkin perpuluhan memang sulit dilaksakan. Namun, untuk orang-orang yang benar-benar kaya, maka sebenarnya perpuluhan tidaklah cukup baik dan mungkin seharusnya dapat memberikan lebih besar. Jadi, secara prinsip, persembahan apapun yang kita berikan kepada Tuhan – baik uang, waktu, talenta – harus dilakukan dengan sukacita. Dan untuk kebanyakan orang, maka perpuluhan adalah sesuatu yang baik untuk dilakukan. Dengan perpuluhan, maka umat dapat berpartisipasi secara aktif dalam membangun Gereja untuk pekerjaan evangelisasi dan pelayanan lainnya. Dan janganlah memberikan perpuluhan dengan harapan bahwa kita akan menerima rejeki yang berlimpah-limpah di dunia ini, karena yang paling penting adalah menerima belas kasihan Tuhan, sehingga pada akhirnya kita dapat berkumpul dengan Tuhan di Sorga. Persembahan perpuluhan yang didasari motif untuk menerima balasan finansial adalah kurang mempunyai intensi yang sempurna. Intensi yang terbaik untuk memberikan perpuluhan adalah karena ingin mengasihi Tuhan. Dengan perpuluhan yang diberikan, maka kasih Tuhan dapat lebih disebarkan ke segala penjuru dunia, entah dalam bentuk evangelisasi, perbuatan kasih, dll. Kesimpulannya, kalau memang keadaan keuangan anda memungkinkan untuk memberikan perpuluhan, maka lakukanlah dengan sukacita dengan motif untuk mengasihi sesama, yang dimanifestasikan dalam kasih kepada sesama. Semoga keterangan ini dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Yang terkasih pasutri Stef & Ingrid,
Terima kasih untuk pencerahan, kali ini mengenai persepuluhan yang tadi malam barusan kami (saya bersama istri dan “anak-anak” ) diskusikan lewat internet. Membaca tanya-jawab di atas tentang masalah ini menjadi jelas bagi saya bahwa pada dasarnya ketentuan (?) persepuluhan yang pada mulanya disebutkan dalam PL itu (Kej.14:20, Im.27:30, 2 Taw.31:6) dielaborasi dan dijelaskan (direvisi?) di PB (khususnya 2 Kor.9:7) sebagai suatu ketentuan yang lebih luwes, meskipun didahului dengan ayat sebelumnya (2 Kor.9:6) bahwa “Orang yang menabur sedikit akan menuai sedikitjuga, dan orang yang menabur banyak akan menuai banyak juga”.
Semua itu saya pahami sebagai suatu ketentuan yang dalam konteks PL pernah dipahami secara harfiah itu, dalam konteks PB kemudain tetap diberlakukan namun rumusan dan interpretasinya diluruskan, dilengkapi., dibuat lebih kontekstual. Hal ini sepertinya berlaku juga pada masalah-masalah lain seperti melakukan pekerjaan-perkejaan di hari sabat (menyembuhkan orang sakit, memakan makanan kurban dll.) yang dilarang dalam konteks PL menjadi dimungkinkan sesuai dengan kebutuhan darurat yang terjadi.
Dapatkah secara umum dikatakan bahwa memang berbagai praktek hidup dalam mejalankan perintah Tuhan banyak hal telah diberikan rambu-rambunya dalam PL. Namun dalam perjalanan waktu dan perkembangan sejarah umat manusia banyak hal disempurnakan patokannya sesuai dengan konteks PB. Dan semua itu terjadi dan dilakukan baik oleh Kristus sendiri maupun oleh para rasul seperti Paulus dalam berbagai kesempatan.
Yang menjadi kesulitan umat zaman ini adalah memastikan praktek dan patokan hidup mana saja yang sudah mengalami perubahan seperti beberapa contoh tsb. dan dapat membantu mengurangi kesimpang siuran mengenai patolan mana yang sebenarnya sudah mengalami penyesuaian untuk menghindarkan berbagai praktek hidup beriman yang tidak sama, bahkan bertentangan, seperti halnya masalah persepukuhan ini, yang kedua-duanya memiliki rujukan di KS.
Terima kasih. Salam,
Soenardi
Shalom Soenardi,
Terima kasih atas pertanyaan dan tanggapan tentang perpuluhan. Kami sangat senang jika artikel dan tanya jawab di site ini dapat berguna, apalagi kalau menjadi bahan diskusi – baik dalam keluarga maupun dalam komunitas. Namun, peraturan yang diberikan dalam Perjanjian Baru tentang pemberian yang harus dilakukan dengan sukacita, tidak boleh sampai menjadi alasan untuk tidak memberikan sumbangan yang sudah seharusnya dilakukan oleh umat Allah. Bagi yang mampu, mungkin seharusnya memberikan sumbangan lebih dari 10%.
Memang, pada waktu kita membaca Perjanjian Lama, maka kita harus melihatnya dalam terang Perjanjian Baru.
Dikatakan dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK, 129) “Jadi umat Kristen membaca Perjanjian Lama dalam terang Kristus yang telah wafat dan bangkit. Pembacaan tipologis ini menyingkapkan kekayaan Perjanjian Lama yang tidak terbatas. Tetapi tidak boleh dilupakan, bahwa Perjanjian Lama memiliki nilai wahyu tersendiri yang Tuhan kita sendiri telah nyatakan tentangnya (Bdk. Mrk 12:29-31). Selain itu Perjanjian Baru juga perlu dibaca dalam cahaya Perjanjian Lama. Katekese perdana Kristen selalu menggunakan Perjanjian Lama (Bdk. 1 Kor 5:6- 8; 10:1-11.) Sesuai dengan sebuah semboyan lama Perjanjian Baru terselubung dalam Perjanjian Lama, sedangkan Perjanjian Lama tersingkap dalam Perjanjian Baru: “Novum in Vetere latet et in Novo Vetus patet” (Agustinus, Hept. 2,73, Bdk. Dei Verbum 16).“
Kita dapat melihat beberapa contoh, seperti tentang perceraian, dikatakan “Telah difirmankan juga: Siapa yang menceraikan isterinya harus memberi surat cerai kepadanya.” (Mt 5:31 merujuk pada Ul 24:1-4). Dan kemudian Yesus melanjutkan apa yang ditulis dalam PL dengan hukum yang baru “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah.” (ay.32), yang berarti tidak boleh ada perceraian. Lihat juga “Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi.” (Mat 5:38 merujuk pada Kel 21:2; Im 24:20; Ul 19:21), yang kemudian disusul dengan perintah yang baru “Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.” (Mat 5:39)
Dapat dikatakan bahwa Perjanjian Lama merupakan “the letter” dan Perjanjian Baru adalah “the grace / the spirit“. Ini berarti hukum-hukum di dalam Perjanjian Lama diperbaharui dari dalam secara spiritual dengan rahmat Allah. Hukum Rahmat inilah yang memungkinkan manusia dapat memenuhi tuntutan perintah Kristus yang begitu tinggi. Bukan dengan mengandalkan kekuatan manusia sendiri, namun mengandalkan rahmat Allah yang bersumber pada misteri Paskah Kristus (penderitaan, kematian, kebangkitan, dan kenaikan Yesus). Hukum rahmat inilah yang memungkinkan bunda Teresa dapat melayani orang-orang yang termiskin dengan senyum di bibirnya dan kebahagiaan di hatinya. Kita juga dapat melihat bahwa hukum di dalam Perjanjian Lama hanya mengikat tangan dan bukan mengikat keinginan (the will) atau dengan kata lain: peraturan dalam Perjanjian Lama menimbulkan ketakutan akan hukuman, sehingga seseorang mempunyai kecenderungan untuk mengikuti peraturan atau kebenaran. Sebaliknya hukum di dalam Perjanjian Baru – dengan kerja Roh Kudus – membuat hati manusia dapat mengasihi kebenaran, bukan karena takut, namun karena kasih kepada Tuhan. (lih. St. Thomas Aquinas, ST, II-I, q.107, a.1)
Untuk menjawab pertanyaan anda tentang hukum manakah yang telah diperbaharui, maka kita harus membaca apa yang tertulis di dalam Perjanjian Baru dan pada saat yang bersamaan mempunyai kerendahan hati untuk mendengarkan apa yang dikatakan oleh Magisterium Gereja, terutama untuk isu-isu yang cukup kompleks. Namun, pada akhirnya semua hukum dan peraturan berdasarkan pada hukum kasih yang bersifat supernatural, yaitu kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama berdasarkan kasih kepada Tuhan. Semoga keterangan singkat ini dapat membantu, walaupun tidak memberikan daftar dari perintah-perintah yang diperbaharui.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Terima kasih banyak atas pencerahannya, termasuk tanggapan umum tentang kaitan antara PL dan PB dalam hal hukum-hukum yang penerapannya sering membingungkan. Bagi saya kaitan dan perbedaan antara ke duanya secara umum akan saya sikapi sebagai yang pak Stef rumuskan sebagai PL adalah THE LETTER sedangkan PB merupakan THE SPIRIT/THE GRACE. Rasanya itu amat mengena. Terima kasih.
Soenardi
Yth. mas Stef,
Tadi malam dalam salah satu siaran TV suasta (namanya LIFE salah satu channel dari INDOVISION yang berisikan renungan Kristiani yang pengirinya hampir semua gereja/komunitas Kristen-Protestan) salah seorang pendeta dengan teramat tegas, pasti dan yakin, mengatakan bahwa PL itu KS-nya bangsa Israel (saja) karena isi dan cerita latar belakangnya memang selalu sejarah dan perjalanan umat Israel dengan berbagai hukum dan pedoman hidup yang cenderung bernada ketat, normatif, seprti yang hingga kini konon masih diberlakukan oleh bangsa Israel dan anda sebut THE LETTER.. Sedangkan PB adalah KS untuk semua bangsa manusia karena semua rumusan dan implementasinya berlaku untuk seluruh umat manusia, tidak saja terumuskan sebagai pedoman hidup bangsa Israel dan bernada lebih universal dan lebih fleksibel, manusiawi, serta anda sebut sebagai THE GRACE atau THE SPIRIT. . Sehubungan dengan pertanyaan saya sebelumnya di atas itu, identifikasi dan pembedaan itu terkesan sesuai dengan kenyataan. Bagaimana pendapat dan tanggapan mas Stef?
Terima kasih.
Soenardi Djiwandono
Shalom Pak Soenardi Djiwandono,
Terima kasih atas pertanyaannya tentang kaitan antara Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB). Untuk mengatakan bahwa PL adalah hanya diperuntukkan untuk bangsa Israel saja, sebenarnya tidak tepat. Hal ini disebabkan bahwa rancangan keselamatan Allah tidak dapat dilepaskan dari karya keselamatan Allah kepada bangsa Israel. Kita harus melihat PL dan PB sebagai satu kesatuan, yang menceritakan rancangan keselamatan Allah secara menyeluruh. Kita dapat melihat perjanjian antara Allah dengan manusia yang dimulai dengan satu perkawinan (Adam dan Hawa), keluarga (Nuh), satu suku (Abraham), bangsa (Musa), kerajaan (Daud), seluruh bangsa (Yesus). Dari sini, kita melihat kaitan antara Perjanjian yang dibuat oleh Yesus dalam Sakramen Ekaristi dengan perjanjian-perjanjian yang dilakukan dalam PL.
Kemudian, PL juga mempunyai nilai-nilai moral yang tetap dijalankan, seperti 10 perintah Allah yang merupakan hukum kodrat yang sempurna, yang berlaku untuk semua bangsa, baik yang mengenal Allah maupun tidak mengenal Allah. Jadi, dengan demikian, kita tidak dapat mengatakan bahwa PL adalah untuk bangsa Israel dan tidak berlaku universal. Kita harus mengakui bahwa PL dan PB diinspirasikan oleh Roh Kudus. Katekismus Gereja Katolik (KGK, 121-122) menerangkannya sebagai berikut:
121. Perjanjian Lama adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Kitab Suci. Buku-bukunya diilhami secara ilahi dan tetap memiliki nilainya Bdk. DV 14. karena Perjanjian Lama tidak pernah dibatalkan.
122.“Tata keselamatan Perjanjian Lama terutama dimaksudkan untuk menyiapkan kedatangan Kristus Penebus seluruh dunia.” Meskipun kitab-kitab Perjanjian Lama “juga mencantum hal-hal yang tidak sempurna dan bersifat sementara, kitab-kitab itu memaparkan cara pendidikan ilahi yang sejati. … Kitab-kitab itu mencantum ajaran-ajaran yang luhur tentang Allah serta kebijaksanaan yang menyelamatkan tentang peri hidup manusia, pun juga perbendaharaan doa-doa yang menakjubkan, akhirnya secara terselubung [mereka] mengemban rahasia keselamatan kita” (DV 15).
Jadi, dari pemaparan di atas, maka kita harus tetap melihat pentingnya PL sebagai bagian dari Kitab Suci, yang diinspirasikan oleh Roh Kudus; yang mempersiapkan kedatangan Kristus; yang memberikan pengajaran moral, pendidikan Ilahi dan kebijaksanaan Allah. Untuk mengatakan bahwa Perjanjian Lama tidaklah berarti apa-apa dan bahkan mengajarkan hal-hal yang tidak baik adalah sama saja dengan pandangan dari bidaah Manichaeism. Sama seperti St. Agustinus yang terbuka matanya ketika dia mendengarkan St. Ambrose menguraikan PL dalam terang PB, maka kita harus senantiasa melihat PL dalam terang PB atau kita harus melihat apa yang tertulis dalam PL dalam terang rahmat Allah yang tercurah melalui Kristus. Semoga keterangan singkat ini dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
“Bawalah seluruh persembahan persepuluhan itu ke dalam rumah perbendaharaan, supaya ada persediaan makanan di rumah-Ku dan ujilah Aku, firman TUHAN semesta alam, apakah Aku tidak membukakan bagimu tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadamu sampai berkelimpahan.”
dari kutipan ayat diatas saya menggaris bawahi kalimat “kedalam rumah perbendaharaan”
maka bisa dikatakan juga bahwa perpuluhan harus diberikan kegereja. kalo diluar itu, semacam kegiatan amal, perbuatan kasih kepada fakir miskin, menolong teman yang kesusahan ya harus dihitung diluar perpuluhan. tapi perpuluhan ya wajib kegereja! begitu kata salah seorang teman saya dari protestan dengan semangatnya. bagaimana menurut ibu inggrid dan pak stevan..?? seblumnya saya ucapkan banyak terimakasih…
Shalom Agustinus Endro,
Gereja Katolik memang tidak menekankan secara literal persembahan persepuluhan, karena:
1. Yesus malah mengajarkan kesempurnaan persembahan, yaitu bahkan semua yang ada pada kita. Ia memuji persembahan janda miskin yang mempersembahkan seluruh nafkahnya (lih. Mrk 12:44, Luk 21:4). Hal serupa diajarkanNya kepada orang muda yang kaya, “Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.” (Mat 19:21). Maka di sini Tuhan Yesus tidak membatasi pada persembahan persepuluhan untuk dibawa ke rumah perbendaharaan/ gereja, tetapi Ia menekankan juga persembahan bagi Tuhan yang diberikan kepada saudara- saudari yang miskin atau membutuhkan pertolongan. Ini sesuai dengan ayat di Mat 25:40, “sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” Jadi di sini Yesus memperluas arti ‘persepuluhan’ dan ‘rumah perbendaharaan’.
2. Prinsip yang diterapkan adalah kasih dan keadilan Allah (lih. Mat 23:23, Luk 11:42). Jadi di sini prinsip kasih dan keadilan Allah menjadi lebih utama daripada tindakan memberikan persembahan persepuluhan. Jadi tentu, bagi yang mampu, silakan dilakukan persembahan persepuluhan ini. Menyisihkan sepuluh persen dari yang kita terima bagi Tuhan adalah suatu awal yang baik sebagai tanda bahwa kita mengasihi dan mengutamakan Tuhan. Namun bagi yang sungguh- sungguh tidak mampu, maka prinsip kasih dan keadilan Allah juga tidak memaksa mereka untuk melakukan persembahan persepuluhan. Jangan lupa juga bahwa persembahan yang bisa diberikan kepada Tuhan, tidak saja hanya uang, tetapi juga bakat dan waktu (3 T= treasure, talent, and time); maka mungkin bagi yang tidak dapat memberikan uang, dapat pula memberi persembahan dalam rupa waktu dan talenta untuk membangun Gereja, yaitu jemaat yang adalah “bangunan Allah” (1 Kor 3:9).
3. Kita perlu melihat bagaimana para Bapa Gereja menafsirkan ayat- ayat ini, dan ini sudah dibahas pada artikel di atas, silakan klik.
Demikianlah yang dapat saya tuliskan untuk menanggapi pertanyaan anda; semoga keterangan di atas membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
terimakasih banyak ibu inggrid atas jawabannya. pointya adalah kesempurnaan persembahan.
Shalom!
Saya bersyukur saya semakin bertumbuh dan mengerti iman Katolik saya. Tuhan sudah mengubah hidup saya dengan menguji iman saya ketika saya dipertemukan dengan seorang wanita dari Protestan. sempat berpikir untuk meninggalkan Gereja Katolik, saya bergumul dan bergumul. Saya akhirnya mendapatkan jawaban-jawaban, baik secara tidak sengaja menemukan situs katolisitas.org (saya tidak ingat kenapa tiba2 situs ini bisa saya temukan). Dari jawban mengenai gambaran Allah orang Kristen di KOMPAS. dan akhirnya Tuhan memberikan saya jawaban dari buku Scott Hahn, Rome Sweet Home. Semuanya terjawab secara ajaib!!. Saya bersyukur saya tidak meninggalkan Gereja yang Tuhan Yesus dirikan. dan saya semakin mengerti dan mendalami iman Katolik saya sedikit demi sedikit. Meski kadang cobaan masi datang menerpa, saya tetap bertahan meski berat. Saya semakin mendalami dan Tuhan memberi jawaban kepada saya lewat buku2 Scott Hahn. Saya semakin mengerti betapa pentingnya warisan Gereja Tuhan. tentang Bunda Maria, tentang Misa, dll. Dan saya semakin bersyukur meski banyak non-Katolik menyerang Gereja Katolik bertubi-tubi. saya semakin mengerti bahwa tugas kita mempertanggungjawabkan iman kita secara lembut dan penuh hormat (1 petrus 3:15).
Yang ingin saya tanyakan, mengenai persepuluhan.
Saya bertanya ke teman saya yang juga katolik (dan saya tidak ingat kenapa saya bisa bertanya seperti itu ke dia, sungguh!!). Saya bertanya ke dia apakah dia membayar perpuluhan. dan dia menjawab, “Iya”
saya sungguh kaget karena Gereja Katolik sudah tidak memberikan perpuluhan dan kita memegang 2 Kor 9:7 dan ayat2 mengenai perpuluhan di perjanjian Lama sudah tidak dipakai lagi dan sudah digenapi di perjanjian Baru. dia menjawab, “Bahkan kadang2 gw bayar lebih malah”. saya bertanya2 kenapa dia membayar perpuluhan. dan dia menjawab. “Gereja kita emank ga wajibin dan ga ngajarin itu, tapi gw sih bayar karena itu perintah Tuhan sendiri”. dia memberitahu saya ttg buku Heaven Is So Real (Surga Sungguh Nyata), Choo Thomas, sang penulis buku yang dibawa Tuhan Yesus ke surga. Saya langsung meminjam buku itu dari dia. dan saya penasaran sekali, saya baca pelan2.
dan di Hal 27. Tuhan berkata kepada Choo Thomas
“Beritahukan anak-anakKu untuk memberitakan Injil. Aku datang segera untuk mereka yang menanti dan siap untuk Aku.” Tuhan menambahkan, “MEREKA YANG TIDAK MEMBERIKAN PERPULUHAN ADALAH ANAK-ANAK YANG TIDAK PATUH”—> saya besarkan Font nya.
Choo Thomas bertanya ke Tuhan, “Apa saya harus menceritakannya kepada siapapun, Tuhan?”
Tuhan menjawab, “Aku mau engkau memberitahukannya kepada setiap orang.”
kemudian Ia mengulangi sesuatu yang pernah diperintahkan-Nya kepada saya untuk mengerjakannya beberapa kali ini, “Tuliskan segala sesuuatu yang Kuperlihatkan dan Kuceritakan kepadamu.”
Saya bingung… apakah tanggapan Gereja Katolik mengenai ini? saya harap saya bisa dibantu dalam hal ini.
saya belum selesai membaca buku ini skrg ketika saya menulis pertanyaan ini.
Kiranya Pak Stefanus atau Bu Inggrid dapat membantu saya, apabila pertanyaan ini sudah pernah ditanyakan, saya mohon maaf sebelumnya.
Tuhan memberkati kita semua!
Shalom Hendri,
Terima kasih atas sharing dan pertanyaannya. Memang seharusnya kita harus bersyukur bahwa kita berada di dalam Gereja Katolik, dimana kepenuhan kebenaran berada di dalamnya. Namun, hal ini juga menjadi tantangan agar kita juga semakin belajar tentang kebenaran-kebenaran yang yang kita imani. Dan memang Tuhan sering mengajar dan membentuk kita lewat penderitaan-penderitaan dan percobaan-percobaan yang kita alami. Semakin kita mengetahui iman Katolik semakin kita mengasihinya, dan semakin kita mengasihinya, maka semakin kita rindu untuk belajar lebih banyak lagi.
Kemudian, pertanyaan perpuluhan, telah saya jawab di artikel di atas. Secara prinsip, bagi umat Katolik yang memang mampu memberikan perpuluhan, seharusnya memang memberikan perpuluhan, bahkan seharusnya lebih, kalau keadaan memungkinkan. Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh teman anda adalah benar. Yang menjadi pertanyaan adalah teman anda melakukannya dengan alasan membaca kesaksian dari Choo Thomas.
Kita tahu bahwa ada wahyu yang bersifat pribadi dan umum.
1. Umat beriman terikat oleh wahyu umum, seperti yang diberitakan lewat Kitab Suci, Tradisi Suci. Dan Magisterium yang menginterpretasikan wahyu-wahyu umum tersebut. Dan sebagai orang Katolik, kita harus mengikutinya.
2. Wahyu pribadi tidak mengikat umat beriman untuk mengikutinya. Ada yang telah diakui oleh Gereja, seperti penampakan di Lourdes dari St. Bernadette Soubirous, stigmata yang dialami oleh Padre Pio, devosi kerahiman Ilahi yang diberikan melalui St. Faustina Kowalska, dll. Namun ada juga yang belum diakui dan tidak diakui oleh pihak Gereja.
3. Biasanya kebenaran dari wahyu-wahyu pribadi akan terlihat dengan perjalanan waktu. Dan oleh sebab itu Gereja benar-benar berhati-hati untuk sampai menyetujui bahwa wahyu pribadi tersebut otentik (benar) dan tidak bertentangan dengan pesan Kristus.
Dengan demikian, apa yang ditulis oleh Choo Thomas adalah termasuk dalam wahyu pribadi. Karena Choo Thomas juga bukan anggota Gereja Katolik dan wahyu yang disampaikannya termasuk wahyu pribadi – sehingga tidak diakui oleh Gereja – kita tidak terikat oleh apa yang disampaikan oleh Choo Thomas. Kita dapat mengerti bahwa persepuluhan adalah penting, karena Yesus dan Gereja-Nya mengajarkannya demikian dan bukan dari wahyu pribadi. Oleh karena itu, kita dapat memberikan perpuluhan – kurang atau lebih – sesuai dengan keadaan kita dan kita harus memberikannya dengan suka cita, karena Tuhan berkenan kepada persembahan yang diberikan dengan suka cita (lih. Rm 12:8). Dan hendaknya kita mengingat apa yang dikatakan oleh rasul Paulus:
Salam kasih dalam Kristus Tuhann,
stef – http://www.katolisitas.org
Syalom,
Melihat ada banyak sekali sejarah dan fakta yg dipaparkan, bisakah saya minta informasi mengenai persepuluhan?
Dalam http://prayershack.freeservers.com/article_Tithing-and-Clergy-Salaries.html
Tithing and Clergy Salaries
by Frank Viola
Article copied exactly as printed from source:
http://www.ptmin.org/tithing.htm
Persepuluhan dihubungkan dengan clergy salary, ada sejarah yg mencatat bahwa pada masa gereja mula2 di abad pertama, praktek persepuluhan tidak ditekankan. Kemudian gereja pada abad 8 menjadikan persepuluhan sebagai peraturan yang wajib dilakukan oleh umat.
nah yang ingin saya tanyakan adalah:
1. Siapa pelopor / bapa gereja yang memberlakukan persepuluhan pada abad 8?
2. Sejak kapan gereja katolik pada akhirnya menghentikan praktek persepuluhan tsb dan bagaimana Gereja Katolik mencukupi kehidupan para romo, uskup, dan pelayan gerejawi lainnya
3. Sejak kapan gereja protestan menghidupkan kembali praktek persepuluhan ini dan apa yang melatar belakanginya?
Jika Bapak punya literatur yang membahas mengenai hal ini, mungkin ada konsili2/ketetapan2 yg ditetapkan oleh gereja mohon saya diberi tahu via email.
Saya mengucapkan banyak terima kasih atas informasinya. Tuhan memberkati.
Shalom David,
Sebelum menjawab pertanyaan anda tentang perpuluhan, saya ingin menggaris bawahi dahulu secara umum ajaran Gereja Katolik tentang hal ini, yaitu yang tertulis dalam Kitab Hukum Kanonik 1983, yaitu Kann. 222, § 1 dan §2, 1262, 1263, seperti yang telah disebutkan di jawaban di atas, silakan klik:
Terutama pada:
Kan. 222 – § 1. Kaum beriman kristiani terikat kewajiban untuk membantu memenuhi kebutuhan Gereja, agar tersedia baginya yang perlu untuk ibadat ilahi, karya kerasulan dan amal-kasih serta sustentasi yang wajar para pelayan.
§ 2. Mereka juga terikat kewajiban untuk memajukan keadilan sosial dan juga, mengingat perintah Tuhan, membantu orang-orang miskin dengan penghasilannya sendiri.
Maka Gereja Katolik memang mewajibkan umat untuk mendukung dan membantu tersedianya kebutuhan Gereja, bagi keperluan ibadat maupun para pelayan Gereja, namun tidak mengharuskan presentasi 10 %. Kata “perpuluhan”-pun tidak muncul dalam KHK ini. Sebab meskipun pada PL hukum perpuluhan ini diberikan oleh Tuhan kepada bangsa Israel untuk mendukung suku Lewi yang menjadi imam dan untuk keperluan ibadat, namun pada PB, Yesus tidak mengharuskannya. (Malah Yesus mengkritik orang Farisi yang tekun membayar perpuluhan, namun tidak melaksanakan hukum kasih, lih. Mat 23:23; Luk 11:42). Sebab Yesus sendiri adalah Sang Imam Agung, dan yang ditekankan oleh Yesus adalah hukum kasih, yang bahkan jika diterapkan malah melebihi prinsip perpuluhan (Mat 19:21; Mrk 10:21; Lk 18:22). Maka prinsip yang diajarkan Yesus adalah umat memberi sesuai dengan kemampuan, dan bagi yang terpanggil, agar memberikan segala yang dimilikinya, dan mempersembahkan hidupnya untuk kemuliaan Tuhan.
Prinsip inilah yang diajarkan oleh Gereja Katolik sejak jemaat awal, dan hal ini dapat kita lihat dari tulisan para Bapa Gereja, seperti Irenaeus (120-122) yang mengajarkan bukan hukum perpuluhan namun memberi seluruh bantuan pada fakir miskin. Dan Tertullian (150-220) yang mengajarkan permberian sumbangan sukarela (free-will offering). ((Lihat Tertullian, Apology, XXXIX, 1-18; Dictionary of Christian Belief, p.9))
Namun dari sejarah Gereja, setelah Gereja Katolik berkembang pesat, dan menjelang era Christendom, maka memang diperlukan biaya yang lebih banyak untuk mendukung Gereja. Maka dapat dimengerti jika diambil kebijaksanaan digalakkannya sumbangan dari umat, dan inilah yang memotivasi diadakannya aturan disipliner yang memang dikenal dengan istilah perpuluhan / “tithing”, seperti yang ditetapkan dalam pertemuan para uskup di Tours (567) dan Konsili Macon (585). Maka Gereja memandang perintah untuk menyumbang Gereja ini sebagai yang berasal dari Tuhan (sebab di PL memang Allah yang memberikan aturan perpuluhan), namun berikutnya setelah PL dipenuhi oleh Kristus dalm PB, aturan untuk menyumbang para imam diberikan kepada Gereja untuk menetapkannya.
Harus diakui di masa itu kemudian terjadi penyalahgunaan, ketika sumbangan yang diterima oleh uskup kemudian disalurkan juga kepada para pangeran/ tuan tanah karena jasa perlindungan mereka terhadap Gereja. Maka, praktek ini kemudian ditolak dan diperbaiki melalui Konsili ketiga Lateran (1179); yang mengatakan bahwa perpuluhan/ sumbangan tidak dapat diberikan kepada orang awam tanpa persetujuan Paus. Pada prakteknya sekarang ini, pada negara-negara Eropa, seperti Inggris, Austria, Jerman sumbangan ‘perpuluhan’ umat ini umumnya disalurkan untuk dana pemeliharaan gedung-gedung gereja. Selanjutnya tentang hal ini, silakan anda membaca di link ini, silakan klik.
Maka, prinsip yang ditekankan di sini, tetaplah Gereja yang diberi wewenang untuk menentukan prinsip “tithing” ini, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan setempat. Prinsip inilah yang diajarkan oleh St. Thomas Aquinas, “Accordingly it is evident that man’s obligation to pay tithes arises partly from natural laws, partly from the institution of the Church; who, nevertheless, in consideration of the requirements of time and persons might ordain the payment of some other proportion.” ((Summa Theologica, II-II, q. 87. a.1)) Selengkapnya, silakan anda membaca di link ini, silakan klik.
Maka untuk mendukung kehidupan para imam, otoritas Gereja dalam hal ini keuskupan yang bersangkutan-lah yang menentukan. Terdapat pula persembahan yang bersifat sukarela yang dapat diberikan oleh umat, jika umat ingin mengajukan intensi Misa Kudus, yang disebut dengan stipendium. Selanjutnya mengenai hal ini, silakan klik di sini. Stipendium ini dimaksudkan untuk mendukung kehidupan imam pada hari itu, dan tidak diperkenankan untuk diakumulasikan.
Setahu saya, memang tidak semua gereja Protestan mengharuskan perpuluhan. Martin Luther sendiri dikatakan tidak setuju mengharuskan perpuluhan, demikian pula penginjil terkemuka seperti Billy Graham, menyerahkan hal perpuluhan ini kepada keyakinan pribadi tiap umat. Bahwa kenyataannya dewasa ini terdapat banyak gereja Protestan yang menggalakkan perpuluhan, kemungkinan berkaitan dengan kepentingan kelangsungan hidup para pelayan/ pemimpin jemaat dalam gereja mereka.
Semoga masukan ini berguna bagi anda.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Shalom Bu Inggrid,
Mohon tanya:
“Setahu saya, memang tidak semua gereja Protestan mengharuskan perpuluhan. Martin Luther sendiri dikatakan tidak setuju mengharuskan perpuluhan…dst”
Apa ada referensinya? Atau tulisan beliau?
Terima kasih
[Dari Katolisitas: silakan membaca tulisan Martin Luther yang berjudul: How Christians should regard Moses (Aug 27, 1525), yang dapat dibaca di link ini, silakan klik]
Kawan saya yang protestan sering menekankan pentingnya persembahan persepuluhan.. bahkan mereka menunjukan ayat yang mendukung itu misalnya “…ujilah Aku…Aku akan membuka tingkap tingkap langit..dst (wah lupa lengkapnya). Jadi mereka merelakan 10% dari penghasilannya untuk gereja karena bagian tersebut wajib dikembalikan kepada Tuhan.
Bagaimana prakteknya pada Katolik… seorang romo pada homili pernah menegaskan bahwa gereja Katolik tidak mengharuskan persembahan persepuluhan, yang terpenting adalah keikhlasan dari persembahan, karena nilai dari persembahan tersebut adalah relatif… bagi si kaya mungkin persepuluhan adalah sesuatu yang mudah.. tetapi bagaimana dengan umat yang hidup pas-pasan, 10%? …,mana tahan…. tetapi persepuluhan ini juga alkitabiah…
Bagaimana kita menyikapi hal ini… kami serahkan tanggapannya pada forum ini… terima kasih
Shalom Tormento,
Silakan melihat jawaban di atas. (silakan klik)
Comments are closed.