Pagi berganti siang, siang berganti pagi, tetapi cinta Tuhan senantiasa indah dan penuh makna.  Cinta Tuhan yang senantiasa ada terungkap dari pengalaman seorang ibu empat anak. Aku mengenal lebih dalam ibu itu dan suaminya dalam retret keluarga yang aku berikan tiga tahun silam. Ia datang bersama rombongan dari Paroki Trinitas –Cengkareng, untuk mengunjungiku setelah sekembaliku dalam perawatan di rumah sakit.

Tuhan membentuknya melalui jalan yang berliku. Kalau Tuhan sudah mau, tidak ada yang bisa berlagu. Kelimpahan materi  pernah ia rasakan. Kelimpahan jasmani ternyata tidak membahagiakan. Sepatah renungan yang kebetulan terdengar dari Oase Rohani di sebuah radio “Setelah mendapatkan segalanya di dunia, what next (apa yang akan engkau lakukan kemudian”) telah membuka kesadarannya sampai lesu.

Di dalam kehampaan hati,  ia meminta sopirnya membawa ke sebuah Gereja. Ia diantar ke Gereja Trinitas – Cengkareng. Ia melangkah menuju ke altar dan menangis tersedu-sedu karena merasakan kehadiran  Tuhan. Seluruh hidupnya berubah dan memberikan dirinya dibaptis. Sejak itu ia menjadi satu-satunya orang Katolik di keluarga besarnya. Inilah jalan Tuhan yang memanggilnya menjadi  murid Tuhan dalam Gereja Katolik. Seandainya sopirnya itu membawanya ke gereja lain, ia tentu akan menjadi anggota gereja itu.

Sejak  dibaptis, kejadian-kejadian buruk dalam pandangan daging terus menimpa dirinya. Ia jatuh dari lantai tiga  yang membuat tangan dan tulang panggulnya patah sehingga tubuhnya penuh dengan besi titanium. Operasi besar selama tiga belas jam dijalaninya. Masa depannya terancam dengan kelumpuhan . Ia terbaring lemah di rumah sakit dengan kateter yang dipasang dalam tubuhnya selama sebulan.  Selama tiga bulan ia ditopang kruk untuk berjalan. Dalam keadaan tak berdaya, ia masih mengucap syukur bahwa kejadian ini menimpa dirinya dan bukan pembantunya : “Tuhan, seandainya kecelakaan ini terjadi dengan pembantunya, alangkah kasihan dia karena pasti tidak mempunyai biaya untuk memulihkan  hidupnya”. Usahanya pun tidak sebaik sebelumnya. Orang-orang yang  tidak menyetujuinya menjadi Katolik mencibirnya : “Itulah akibatnya kalau menjadi Katolik”.

Namun, ia bisa melihat karya Tuhan di balik penderitaan karena ia telah hidup menjadi ciptaan baru dalam Roh. Satu nilai yang ia hidupi : “Aku bisa tabah menghadapi kepahitan ini pasti berkat topangan tangan Tuhan. Kekuatan-Nya nyata justru di dalam keperihan”. Di dalam keterbatasan fisiknya, ia sangat bahagia karena bisa mengurus ayah mertuanya, yang bukan seorang Katolik” , yang terserang  kanker sumsum belakang selama delapan tahun. Ia bersukacita dapat berdoa di samping ayah mertuanya  dan memberikan “tanda salib” di dahinya” sebagai sebuah pelayanan kasih nyata. Ayah mertuanya itu menyampaikan sebuah pesan terakhir kepadanya sebelum ia meninggal dunia belum lama ini : “Suamimu sebaiknya dibaptis”, karena pengalaman kasih yang tercurah darinya.  Tak disangka-sangka suaminya tiba-tiba mengungkapkan keinginannya untuk menjadi seorang Katolik. Keinginannya itu juga disampaikan kepadaku melalui telepon seluler : “Mo, aku sudah  memutuskan untuk menjadi Katolik”.  Kini suami dan keempat anaknya sedang menantikan kelas persiapan menjadi orang Katolik (Katekumenat) di Paroki Trinitas – Cengkareng. Keluarganya yang telah mengenal Tuhan Yesus Kristus sebagai Sang Juru Selamat merupakan kebahagiannya di atas segalanya.

Tuhan Memang TOP .

“Sebab beginilah firman Yang Mahatinggi dan Yang Mahamulia, yang bersemayam untuk selamanya dan Yang Mahakudus nama-Nya: “Aku bersemayam di tempat tinggi dan di tempat kudus tetapi juga bersama-sama orang yang remuk dan rendah hati, untuk menghidupkan semangat orang-orang yang rendah hati dan untuk menghidupkan hati orang-orang yang remuk” (Yesaya 57:15).

Pesan indah yang perlu kita renungkan : “Tuhan tidak senantiasa memberikan apa yang kita pinta, tetapi senantiasa memberikan apa yang kita butuhkan”.

Tuhan memberkati.

Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC