Dalam Injil Matius, Yesus mengatakan bahwa Kerajaan Allah seumpama pukat di laut yang menjaring berbagai jenis ikan (Mat 13:47-53). Ada ikan yang baik dan ikan yang buruk. Ikan baik akan dikumpulkan dalam pasu, sementara ikan buruk akan dibuang. Cerita tersebut adalah gambaran akhir zaman, yang tentu saja tidak bisa dihindari, termasuk olehku. Tentu saja, kalau ditanya mau jadi ikan yang baik. Kenapa? Supaya tidak dibuang dong. Masih mending dimasak jadi Tim Ikan untuk makanan Raja daripada dibuang.
Ini mengingatkanku pada pertanyaan yang dulu sering muncul dalam lamunan siang bolongku : “Mengapa kita harus jadi orang baik?” Aku pikir pertanyaan ini sering juga muncul dalam benak orang banyak. Apalagi, di zaman sekarang, menjadi orang baik sering dipandang lebih banyak ruginya. Ungkapan “Jujur iku ajur” (jujur itu hancur) adalah salah satu ungkapan yang menggambarkan pandangan itu. Daripada jujur, mending jujur kacang hijau, eh.. bubur maksudnya. Bubur kacang hijau masih bisa bikin perut kenyang, kalau jujur belum tentu bisa bikin kenyang, apalagi bikin kaya. Kalau hidup benar hanya sekali, kenapa tidak kita manfaatkan sebaik mungkin untuk kesenangan kita? Kenapa harus susah-susah berjuang menjadi orang sabar? Ditindas orang-orang demi menjadi rendah hati? Dipojokkan sana-sini karena menjadi orang jujur? Buat apa?
Tentu saja, aku mengimani ajaran Gereja bahwa ada kehidupan setelah kematian. Ada kebangkitan badan, sehingga semua yang aku lakukan dalam hidup ini bukan sekedar angin lalu. Hidupku bukanlah pameran ukiran es, yang diukir dengan cantik untuk satu musim lalu meleleh dan musnah pada ketiadaan. Bukan patung pasir yang mengagumkan di pinggir pantai, namun hilang tersapu ombak pasang di malam hari. Ada kehidupan abadi yang nyata sedang menungguku, dan perjalanan hidup ini adalah perjalanan persiapan menuju kehidupan tersebut. Oleh sebab itu, segala perbuatanku di dunia ini akan mempengaruhi kehidupan abadi yang mana yang akan aku alami. Persatuan abadi dengan Allah, atau keterpisahan kekal dari Sumber Kebahagiaan.
Namun, Injil hari ini belum puas dengan jawabanku. Dengan ngototnya, Ia menanyaiku lagi melalui Sabda-Nya. “Kalau begitu, kamu cuma mau numpang selamat aja dong? Cuma penumpang kereta api yang berharap mendapat tiket dan tidak ketinggalan kereta menuju tempat tujuan. Setelah sampai tempat tujuan, kamu mau ngapain?” Benar juga. Apakah cinta, semangat, dan perjuangan yang aku lakukan untuk Tuhan hanyalah supaya aku tidak ketinggalan kereta? Jika aku hanya menjadi ikan yang baik hanya demi tidak ketinggalan kereta, apakah aku akan tetap mencintai Yesus dengan semangat dan cinta yang sama kuatnya setelah tempat tujuan kekal nanti tercapai?
Aku pikir, motivasiku mencintaiNya harus lebih dimurnikan. Orang tidak bisa menjadi sabar dalam sehari, tapi harus berlatih setiap hari untuk selalu bersabar. Seorang wanita yang belajar mencintai sedari kecil, akan tumbuh menjadi seorang ibu yang mencintai anak dan keluarganya dengan tulus. Apabila aku mencintaiNya hanya untuk motivasi pribadi tertentu, aku tidak akan terbiasa mencintaiNya dengan tulus ketika di surga nanti. Perajin gulali ini harus belajar memintal gulali dengan sepenuh hati semenjak hidup di dunia ini. Jika tidak, ia akan memintal dengan setengah hati ketika di Surga nanti. Entah gulanya cuma setengah sendok, cuma setengah bungkus, atau cuma setengah warna. Yang pasti, Raja Surga tidak akan suka anak-anak-Nya mendapat gulali yang separuh-separuh begitu.
“Cinta Sang Pengantin, Sang Cinta Pengantin sendiri, hanya minta balasan cinta dan setia” –St. Bernardus.
cinta separuh porsi, hanya memahami sepintas.
Comments are closed.