Pernahkah kita berpikir, mengapa cukup banyak orang Katolik yang meninggalkan Gereja Katolik walaupun hampir semua telah mengalami proses katekese atau pelajaran agama selama satu tahun? Data di Amerika menunjukkan bahwa sekitar 10% orang Katolik meninggalkan Gereja Katolik. Mungkin data di Indonesia tidak jauh berbeda. Lalu, bagaimanakah kita menyikapi hal ini?
Kami, dari tim katolisitas.org ingin mengundang semua teman-teman dan pengunjung katolisitas.org untuk membagikan pengalaman, atau masukan apa yang harus diperbaiki dalam proses katekese, sehingga umat Katolik yang telah mengikuti proses katekese ini dapat benar-benar menjadi umat Katolik yang mengetahui dan mengasihi iman Katolik. Bagian dari proses katekese manakah yang harus diperbaiki? Apakah dari segi bahannya? Apakah cara pengajarannya? Ataukah sistemnya? Silakan memberikan sumbang saran anda, sehingga kita bersama-sama dapat membangun Gereja Katolik yang kita kasihi.
Terima kasih atas semua sumbangan saran, kritik yang membangun, dan pengalaman menjalani proses katekese ataukah pengalaman mengajar katekumen.
Tuhan memberkati.
Tim katolisitas.org
Dear Tim Katolisitas,
Pertama2 saya sangat senang dengan keberadaan web ini yg sudah membantu saudari saya menemukan alasan yg kuat mengapai dia harus menjadi Katolik dan tetap Katolik.
Untuk katekese dewasa saya ada usul buat tim Katolisitas agar membuatkan seri katekese dlm bentuk vcd, karena saya anggap untuk saat ini rata2 kita di Indonesia budaya membaca masih belum ada artinya jika umat kita diajak untuk menggali lewat membaca tentu hasilnya tidak maksimal, kemudian bila diajak untuk ikut pertemuan lingkungan biasanya waktunya tidak dapat dimaksimalkan karna pertemuannya yg terbatas, maka dari itu saya melihat bahwa yang ada untuk saat ini yaitu budaya menonton tapi berhubung tontonan yg paliing banyak siaran tv terutama sinetron yg isinya sungguh mempihatinkan. Siaran EWTN bagus tapi kendalanya tidak semua umat kita bisa berbahasa inggris. Ini sedikit usul saya. Terimakasih.
Salam Kasih, selamat bertugas.
Lorentnc.
[dari katolisitas: Beberapa pembaca katolisitas juga mengusulkan hal yang sama. Mohon doanya semoga kerinduan ini dapat terwujud.]
Yth, Katolisitas
Saya mau menanyakan masalah anak sambut baru, kenapa digereja katolit itu begitu ribet dan mempersulit anak2 yg mau sambut baru (komuni pertama)
Di paroki saya ada absen yg harus dipenuhi, 3x tidak datang, gugur
[Dari Katolisitas: Mari melihat dari sisi lainnya. Karena peristiwa menerima Komuni pertama itu adalah sangat penting dan sangat dalam maknanya maka harus dipersiapkan dengan baik. Maka ketentuan dibuat agar mencapai tujuan itu, jadi sesungguhnya baik tujuannya. Jika Anda ada suatu keperluan mendesak yang sangat genting misalnya ada anggota keluarga yang meninggal, ada bencana, ada yang sakit parah, dst sehingga ketentuan ini tidak dapat dipenuhi, silakan membicarakannya dengan pastor paroki Anda, yang kemungkinan besar akan dapat mamahaminya dan memberikan jalan keluar bagi Anda.]
Terlambat mendaftar, nggak diberi kesempatan utk ikut pelajaran sambut baru, disuruh ikut tahun berikutnya. Padahal yg harus mendaftarkan atau mengantar kan orang tua dan bagaimana bila orang tua si anak lalai menjalankan tugasnya? Kenapa anaknya yg harus menerima hukuman dilarang ikut sambut baru? Bukankah ini rahmat? Kenapa paroki sering mempersulit anak2?
[Dari Katolisitas: Benar, ini adalah rahmat, maka dari itu, baik anak maupun orang tua harus dipersiapkan untuk proses ini, bukan sembarangan saja. Sebab bahkan sudah dijelaskan dengan benar saja, masih banyak orang tidak mengerti dan menangkap maksud Komuni kudus, apalagi jika penjelasan tidak lengkap]
Apakah hanya untuk mendisiplinkan anggotanya harus melupakan kasih?.
[Dari Katolisitas: Kasih kepada Tuhan juga akan membuat seseorang tidak mengeluh dan marah jika harus mempersiapkan batin untuk menerima rahmat Tuhan. Sebab kasih akan membuat kita melihat betapa banyak yang Tuhan sudah lakukan untuk kita, berkurban hingga wafat di salib. Masakah hanya dengan harus mengikuti pengajaran sekian minggu saja kita sudah mengeluh dan bersungut-sungut? ]
Haruskah anak sambut baru mendapat alkitab baru utk hadiah? Bukankah biaya ini dibebankan ke ortu? Bagaimana dgn ortu yg tidak mampu? Kan boleh alkitab yg sdh dimiliki kita kemas ulang walaupun alkitab tsb sdh pernah diberkati? Kan boleh juga tanpa hadiah alkitab? krn rata2 setiap keluarga katolik sdh memilikinya sesuai jumlah keluarganya namun jarang dibaca.
[Dari Katolisitas: Silakan bicarakan hal ini dengan pihak panitia dan pastor paroki, jika benar-benar Anda tidak sanggup membeli Kitab Suci baru. Namun idenya mungkin adalah agar anak mempunyai perasaan memiliki Kitab Suci itu sehingga mau membacanya sendiri, karena itu adalah miliknya, (bukan milik bersama/ milik orang tua).]
Kenapa saat anak mendapat pelajaran sambut baru, ortu juga ikut mendapat pelajaran? Memang bagus, tapi apakah gereja tidak memikirkan kl ortu tsb mungkin punya pekerjaan yg harus diselesaikan atau ada anak lainnya yg harus diurus dirumah?
[Dari Katolisitas: Ini mungkin adalah pengorbanan dari pihak orang tua yang harus dicari jalan keluarnya. Mungkin teman sekomunitas/ selingkungan atau sahabat atau saudara dapat dilibatkan untuk membantu sementara waktu, jika Anda membutuhkan bantuan. Jika tidak ada silakan bicarakan dengan panitia, semoga ada jalan keluar]
Belum lagi biaya sambut baru yg lumayan harus dipenuhi, mungkin utk ukuran org mampu ini tidak masalah, tp kenapa gereja tidak memikirkan ortu yg tidak mampu, kadang Rp.100.000 saja susah buat mereka. Kenapa ortu tidak dibikinkan seminar sehari saja? Kenapa anak yg terlambat mendaftar tidak diberi kesempatan? Kan bisa pakai nilai agama disekolah? Kalaupun ada anak yg tidak bisa bikin tanda salib (ini ada terjadi), kenapa anak yg sudah pintar tidak digandengkan dengan yg belum bisa, bukankah ini kasih? Jadi mereka bisa belajar dari awal. Kenapa langsung ditolak?.
[Dari Katolisitas: Silakan membicarakannya dengan panitia/ pastor agar jika benar terjadi demikian dapat diusahakan subsidi dari seksi sosial di paroki. Persiapan Komuni tidak sama dengan pelajaran agama di sekolah. Tujuannyapun berbeda, maka tak dapat disamakan.]
Sedikit kesaksian saya,
Maaf, sy awalnya non katolik dan jadi katolikpun krn ikut suami ( keluarga kami berdua non katolik), saat mendaftarkan pernikahan kamipun dipersulit. Hanya masalah adm sektor/paroki. Maaf..kami berdua tidak tau dan tidak mengerti. Kami dioper dari gereja satu ke gereja lainnya (sangat dipersulit). Namun Tuhan masih berkenan kami menikah di gereja katolik krn akhirnya ada pasangan yg baik hati mau membantu. Dan sejak awal saya sdh berkomitmen utk tidak mau aktif di gereja (awalnya kami hanya ikut misa saat natal saja). Walaupun ada doa disebelah rumah kami, kami tidak mau hadir. Saya mengeraskan hati utk tidak mau aktif mengingat sedikit ejekan org2 sektor saat itu, “alah, pas mau nikah aja mohon2 daftar sektor, kl sdh selesai nikah, mana mau aktif”. Keaktifan di sektor atau komunitas gereja koq dipaksakan?. Kenapa org gereja tidak menyelesaikan saja tugasnya mereka dan biarkan Tuhan menyelesaikan sisanya. 9 tahun pernikahan saya baru sy aktif digereja, aktif pelayanan, itu juga krn begitu banyak kebaikan dan kemurahatian Tuhan. Sy dgn suami berjanji jika sampai kami masuk sektor/paroki, kami akan menghilangkan birokrasi.
[Dari Katolisitas: Peraturan dibuat adalah untuk kebaikan bersama. Silakan membicarakan dengan Romo Paroki yang adalah Ketua Dewan Paroki.]
Hal sambut baru sempat mau sy sampaikan ke romo paroki, tapi berhubung romo sdh tua dan sakit2an, sy mengurungkan niat saya. Tapi masalah sambut baru dll masih sangat rumit. Kemana saya harus menyampaikan hal ini ? Selain romo dan anggota paroki? Krn anggota paroki sdh tidak ada kasih dihati mereka. Malah saya disarankan utk belajar tutup mata dan telinga selama 3,5 bulan ini (anak saya saat ini ikut pelajaran sambut baru) ikuti aturan, selesai. Saya berbicara disini bukan atas nama anak saya, krn saya dan anak saya mengikuti semua aturan yg ada. Saya berbicara atas anak diluar sana yg mendapat kemurahan hati Tuhan dan dihalang2i oleh lembaga gereja. Kemana hal ini hrs saya sampaikan? Saya bisa mengumpulkan data anak yg dipersulit dari tahun 80an. Banyak dari mereka yg menjauh akhirnya. Sangat disayangkan.
Terimakasih atas perhatiannya
[Dari Katolisitas: Sesungguhnya jika Anda melihat proses ini sebagai proses mempersiapkan hati anak untuk menerima Tuhan Yesus dalam Komuni Kudus, dan hati Anda sendiri untuk menjadi pendamping anak dalam menghayati peristiwa iman yang besar dan penting ini, selayaknya Anda tidak perlu menuduh bahwa Gereja menghalang-halangi rahmat Tuhan bagi anak-anak. Bahwa mungkin di paroki Anda ada sesuatu yang dapat diperbaiki, sehubungan dengan sikap panitia terhadap mereka yang bermasalah dalam hal keuangan, namun ini tidak menjadikan bahwa semua proses persiapan itu harus ditiadakan atau dipersingkat. Sebab faktanya, walau menurut ajaran iman Katolik, pengajar iman utama adalah orang tua, namun pada kenyataannya banyak orang tua yang sampai anak berusia 7 tahun belum mengajarkan anak berdoa sederhana, bahkan membuat tanda salib. Maka masa persiapan Komuni pertama menjadi masa yang penting untuk menutupi kekurangan itu.]
[Dari Katolisitas: Komentar ini digabungkan karena masih satu topik]
Maaf, ketinggalan, sy ada beberapa ide yg mau sy tuangkan dlm proposal utk perubahan cara pengajaran sambut baru. Bukan utk mendepak yg lama, hanya utk mengkoreksi sedikit, semua jadi berperan tanpa menyerahkan hal ini mutlak pada gereja. Gereja hanya membantu dan peran aktif ortu juga bisa digunakan tanpa menyita banyak waktu ortu dan juga anak2 yg belum bisa dapat di partnerkan dgn yg sdh bisa agar tidak terjadi kesombongan dan rasa rendah diri pada si anak. Terimakasih
[Dari Katolisitas: Benar, bahwa orang tua adalah guru iman yang pertama bagi anak, tetapi silakan dilihat, berapa banyak orang tua yang sungguh sudah melakukan hal ini? Sudah mengajari anak berdoa dan membacakan Kitab Suci sejak usia dini (2 tahun) misalnya? Maka bukan maksud Gereja untuk menyita waktu orang tua. Jika orang tua sudah melakukan tugasnya dengan baik, dan anak sudah fasih berdoa (doa-doa dasar) dan mengenal ajaran Kitab Suci dan ajaran iman Katolik sejak awal, maka saya percaya proses persiapan Komuni pertama bisa dibuat lebih singkat. Jika Anda terpanggil untuk memperbaiki sistem, silakan adakan pembaharuan untuk menggiatkan pasangan muda untuk mulai mengajarkan anak berdoa, membaca Kitab Suci dan iman Katolik kepada anak sejak usia dini. Ini akan sangat membantu, baik bagi paroki Anda meupun juga bagi pertumbuhan rohani Anda sendiri. Sebab ketika sambil Anda menggiatkan mereka, Anda juga menerapkan peran Anda sebagai pengajar iman yang utama bagi anak Anda di rumah. Dan lihatlah, jika Anda tekun melaksanakan hal ini, Anda sendiri yang akan memetik buahnya.
Mari mengingat pepatah: Daripada mengutuk kegelapan, lebih baik menyalakan lilin.]
Terimakasih sebelumnya atas keberadaan website ini sangat membuka “cakrawala” baru untuk keimanan katolik dan saya baru menemukannya.
Untuk hal katekese sebenarnya sudah cukup bagus dan standard walaupun masing-masing orang mempunyai “style” tersendiri untuk pengajarannya dan ini sangat lumrah krn setiap orang punya background yang unik dan berbeda. Hanya ada SATU yang hilang yaitu CINTA, mengajarkan katekese dengan cinta kasih bukan sbg “GURU” bukan sbg “LEBIH TAHU” bukan sbg “SENIOR” dan bukan sbg PENGENDALI”. Jadi saran saya : setiap pengajar katekese harus menjalani retret atau “regresi” masa lalunya ( berdamai dengan masa lalunya ) dan masa depannya dulu. Agama mengajarkan kerajaan Allah dan katekese bagiannya. Kita sering tejebak dengan membawa cara-cara “dunia” untuk mengajarkan kerajaan Allah (baca katekese), padahal rumusnya sudah jelas : kerajaan Allah berbanding terbalik dengan (kerajaan) dunia. Apalagi di tempat tetentu saya perhatikan dalam mengajar katekese ada “rewards” & “punishment”.
[Dari Katolisitas: Terima kasih atas masukan Anda. Memang tanggungjawab seorang katekis cukup berat, yaitu bahwa ia harus terlebih dahulu mengamalkan sendiri apa yang dikatakan/ diajarkannya. Maka menjadi penting di sini ialah para katekis harus pertama-tama mengetahui dengan sungguh ajaran iman Katolik yang benar, bukan hanya ‘kata orang’ atau ‘menurut pendapat saya’, agar dapat mengamalkannya dengan baik. Nah, setelah para katekis mengetahui ajaran iman Katolik yang benar, sebagaimana diajarkan oleh Kristus dan para rasul dan yang sampai sekarang dilestarikan oleh Gereja Katolik, langkah berikutnya adalah mereka perlu menyampaikannya dengan bijak dan rendah hati, dengan santun dan hormat, dan dengan motivasi kasih, kepada para pendengarnya. Semoga Tuhan memberkati dan membimbing dengan Roh Kudus-Nya, semua orang yang mengambil bagian dalam tugas katekese umat.]
Methode Katekese.
Salom Katolisitas.
Puji Tuhan, saya menemukan web ini yang sebenarnya telah lama mencari-cari web katolik dan trimakasih beberapa pertanyaan saya telah terjawab bahkan saya telah mendapatkan pencerahan yang sangat luas dan mendalam.
Saya punya pengalaman sama dengan Bp Sumadi yang diskusinya saya baca di web ini yang prihatin karena merasa pengajaran iman yang didapat dari gereja katolik minim. Untuk meningkatkan katekese tidak lepas dari teori, metode dan teknik psikologi pendidikan. Untuk memenuhi harapan tim katolisitas saya menyarankan untuk memanfaatkan keahlian saudara-saudara kita yang ada di lembaga pendidikan seperti Sanata Dharma Ygyakarta atau para ahli pendidikan yang tergabung pada ISKA. Saya yakin mereka akan dengan senang hati membantu.
frans.
Yth Katolisitas.org,
Menurut saya, Gereja harus mewajibkan setiap Paroki :
1) Mengadakan kegiatan kelompok pendalaman & bimbingan Kitab Suci yg rutin setiap minggu kepada umat. Kewajiban tidak hanya di tingkat Keuskupan saja, tapi harus di setiap Paroki. Dibuka dalam 2 kelompok umur (30 thn). Manfaat yg didapat selain umat mendapatkan pedoman ayat2 KS, merekapun mjd lebih dkt dgn Gereja. Sekaligus prtmuan tsb bisa mjd landasan Apologetik bg umat.
2) Untuk gerakan Katolik Karismatik, harus dilakukan diluar hari Minggu & tidak diberlakukan Sakramen Ekaristi utk Ibadat tsb + Penyembuhan yg berpura-pura.
Terima kasih.
Shalom Antonius Wenang,
Terima kasih atas masukannya. Memang seharusnya di setiap paroki harus ada kelompok pendalaman Kitab Suci, yang diselenggarakan secara rutin dan bukan hanya pada bulan-bulan tertentu yang digariskan oleh keuskupan. Dan Misa untuk kelompok kategorial tertentu memang perlu dipikirkan lebih lanjut, apakah benar-benar dapat membantu umat agar dapat menghayati liturgi dengan lebih baik, dan membantu umat untuk semakin berfokus pada misteri Paskah Kristus.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Yg terakhir betul tuh Pak Stef.
FYI ttg Karismatik; pernah kejadian sewaktu saya masih studi, selama setahun penuh sy mgikuti ibadah2 dari macam2 denom “tempat ibadah” di daerah saya (ttp pd hari minggu sy tetap masuk Gereja juga). Beberapa kali sy diundang teman, ada juga karena sy pingin bergaul aja.. Tiap kali hadir di satu denom, sy lgsg diajak ke depan katanya akan dibacakan jampi2 XDDDD WTF utk menghilangkan dosa2 sy (sy sblmnya sdh tau ritual2 beginian sblmnya). Setelah mereka berkomat kamit dgn mantranya sy mmg tau bhw prosesnya si objek harus jatuh ke blkg. Pglman pertamanya sih sy gugup swktu mdkti giliran sy, soalny sy gak jatuh2 stlh merekanya komat kamit, sy tau sdh ada org di blkg yg siap mmgang sy… ehhh koq tiba2 jidat sy di dorong sialan. Akhirny sy pura2 jatuh aja, tapi sy bikin malu mereka, sblmnya sy bergerak mau duduk dulu baru sy tidur XDDDDD. Begitulah strusnya yg trjd pd t4-2 ibadah lainnya juga. Sy prihatin, Ajaran yg baik ttg penyembuhan sdh mereka salah gunakan utk mdptkan penganut & materi. Semoga saja Gereja tidak mempraktekan hal tipu2 tsb dlm ajaran Katolik Karismatik, Amin.
Duc in altum,
Antonius
[dari katolisitas: Di mana-mana ada kasus yang memang tidak mengenakkan. Walaupun demikian, kita juga melihat ada buah-buah positif dari gerakan ini. Silakan melihat diskusi ini – silakan klik.]
Permasalahan utama pasti bukanlah di umat, mohon para imam & hirarki gereja menyadarinya.
Kita tidak usah malu atau trauma dgn sejarah gereja, para imam & hirarki gereja sebaiknya menyatakan ulang dgn tegas disiplin iman & hidup kudus, daripada umat mereka2 sehingga menyesat jiwa mereka.
Kekurangan tenaga para imam memang menjadi suatu kendala, tetapi saya yakin semakin kudus (dgn mengutamakan pelayanannya pada umat) kehidupan seorg imam/pejabat hirarki gereja maka dgn sendirinya akan membangkitkan semangat umat utk mendedikasikan diri memenuhi panggilan memjadi imam/biarawan/biarawati, terutama dari kaum muda. Lagi2 kembali kepada para imam itu sendiri.
Terima kasih, maaf jika ada yg tidak berkenan.
[dari katolisitas: Masing-masing dari kita harus mengintrospeksi, baik hirarki maupun awam. Di satu sisi ada yang perlu ditingkatkan dari para immam, namun di sisi yang lain, kita juga melihat bahwa kaum awam juga dalam kapasitas masing-masing harus turut membantu untuk menyelesaikan permasalahan. Sebagai contoh: sebagai katekis paruh waktu, maka harus benar-benar mempelajari imannya dengan baik, sehingga dapat semakin baik untuk mengajar. Jadi, mari kita juga bertanya pada diri kita sendiri, apa yang dapat saya sumbangkan untuk dapat membangun Gereja yang kita kasihi.]
betul sekali mas thomas more ini.,…kritikan yg cerdas.Tetapi hal itu sangat suylit trewujud…. biar alam yg akan menyewleksi. Jangan – jangan Yesus dah bosan mendekat ke katolik. tapi berganti ke kaum yg miskin.
[Dari Katolisitas: Yang pasti Yesus tidak pernah mengingkari janji-Nya, yaitu Ia akan menyertai Gereja-Nya sampai akhir zaman (Mat 28:19-20), sehingga karena janji ini, kita tahu bahwa sampai akhir zaman Yesus akan terus menyertai Gereja Katolik, yaitu Gereja yang didirikan-Nya sendiri di atas Rasul Petrus (lih. Mat 16:16-19). Gereja Katolik tidak pernah meninggalkan kaum miskin. Bahwa memang selalu masih ada yang harus dan dapat dilakukan untuk semakin meningkatkan pelayanan terhadap kaum miskin, itu benar, tetapi sampai kapanpun Gereja Katolik tidak dapat dipertentangkan dengan kaum miskin. Sebab kaum miskin justru menjadi titik perhatian utama Gereja, sebagaimana diajarkan oleh Kristus sendiri (lih. Mat 25:40; Konsili Vatikan II, Lumen Gentium, 8,23; Gaudium et Spes, 69]
katekese merupakan sebuah sarana komunikasi iman. karena itu proses katekese harus disadari sebagai kesempatan Allah yang berkomunikasi dengan umat-Nya. maka dalam berkatekese saya kira kita mesti memakai kerangka komunikasi yakni:
1. message: pesan yakni karya keselamatan Allah: bisa disampaikan lewat gambar, foto, video, dll
2. Sender: Kristus sebagai komunikator utama (kita adalah alter christi)
3. reciver: mesti tahu siapa penerima pesan
4. effect: sasarannya apa? pertobatan, hidup baru,dll?
5. situation:
Ada banyak latar belakang mendorong dan tujuan ingin diperoleh orang Katolik yang meninggalkan gereja antara lain adalah:
Latar belakang;
1. kualitas keimanan yang kurang dilandasi oleh pengetahuan tentang katoliksitas.
2. ketauladanan dalam lingkungan kehidupan.
Tujuan;
1. sosial (percintaan, pertemanan, karir)
2. ekonomi
3. politik
Saran pemecahan adalah dengan meningkatkan / intensitas / fanatisme terhadap katolisitas melalui:
1. pembudayaan menghadiri Misa bukan hanya hari minggu dan hari besar.
2. pembudayaan membaca Injil
3. mengintensifkan evangelisasi dan katekese.
Semoga bermanfaat.
Masalah banyaknya orang beragama Katolik pindahn agama.
Setelah kami amati, rupanya Gereja Katolik sendiri melalui Para gembala, katekis, belum memaksimalkan ajaran tentang Gereja Katolik itu sendiri.
Kami amati, setiap hari Minggu dalam kotbah yang disinggungb adalah tentang ajarann Tuhann Yesus. Benar dan tepat sekali.Namun tidak pernah menyinggung kekayaan yang ada dalam Gereja Katolik itu sendiri. Pasti dengan alasan kalau menerangkan hal-halm yang ada dalam Gereja nanti kotbahnya / homilinya terlalu lama sehingga umat menjadi gelisah. Benar dan tepat sekali. Disamping itu para gembala sendiri tifak pernah turun ke lingkungan dan stasiuntuk anjang sana dengan umat untuk membicarakan masalah kekayaan Gereja. Kunjungan ke lingkungan atau stasi pada umumnya untuk perasaan ekarisi/misa. Benar adanya. Pasti para gembala dengan alasan sibuk. Ataukah kekayaan yang a da dalam Gereja itu hanya menjadi milik para gembala yang dipelajari di Seminari tinggi kah? Sehingga umat tidak boleh memngetahui.
Para katekis, pada umumnya katekis di sekolah, sedangkan katekis-katekis asli di lingkungan dan stasi amat jarang melaksanakan tugas. Katekis-katekis yang jebolan sekolah Sekolah Tinggi Pastoral pada umumnya bekerja di sekolah saja, kurang aktif di lingkungan maupun di stasi, pasti dengan alasan bermacam-macam. Dan pada umumnya juga kunjungan ke linmgkungan atau stasi dalam bentuk ibadat saja. Kekayaan Gereja tak pernah dibagi pada masyarakat. Katekis di sekolah pada dasarnya mengajar sesuai dengan kurikulum mata pelajaran agama Katolik saja, tak pernah memnyimpamng dari itu. Apakah para katekis di sekolah yang telah dipelajari selama kurun waktu empat tahun itu dipakai sendiri, tidak dibagikan ke umat. Mungkin sekali. Bagi umat sendiri sering tidak mau mengerti atau tidak mau tahu ( maaf malas tahu), yang penting aku hidup seperti ini sudah cukup. Untuk apa? Toh sudah menjadi Katolik. Jaminan pasti masuk sorga, karena Tuhan Yesus pergi untuk mempersiapkan tempat bagimu, upahmu di sorga,karena namamu ada di sorga, dan diakhiri sama dengan para penjahat yang disalib bersama Tuhan Yesus. umat Katolik sangat menghayati dari Luk 23: 42-43, Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engklau datang sebagai Raja,Kata Yesus: ” Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus”. Pada dasarnya umat pindah agama karena belum mengenal agama Katolik itu secara penuh. Pengalaman kakak saya dan adik keponakan pindah agama karean si jantung hati yaitu wanita dengan berbagai alasan.Sorong, 9 Juli 2012
Shawlom,
proses/prioritas Katekese sebaiknya dimulai dari/pada usia dini & diterapkan dari lingkungan atau gabungan dr beberapa lingkungan. Orang tua memang kerap mengajak anak2nya utk mengikuti kegiatan/arisan rutin lingkungan, namun materi yg dibahas tentulah bukan “makanan” bagi anak2. Bina Iman yg dilakukan di Gereja tdklah cukup jika seluruh anak2 se-paroki datang, bahkan parkiranpun akan kewalahan jika ini terjadi. Saran saya adalah membentuk bina iman per-lingkungan, atau gabungan bbrp lingkungan, dibawah/didasari perintah/anjuran Gereja.
“Biarkanlah anak-anak itu datang kepada-Ku, dan jangan kamu menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah.” (Luk 18:16)
anak: tp bagaimana klo gak ada yg anterin, klo dekat kan bs pergi sendiri.
Terimakash, Ad Maiorem Dei Gloriam.
Tim Katolisitas, saya ingin menyarankan agar para penggemar juga membaca rubrik “Katekese dan Khotbah” yang diedarkan oleh situs Yesaya. Ada banyak katekese yang ditulis oleh Santo Yohanes M Vianney. Terima kasih.
shalom..
Bolehkah saudara memberikan saya silibus untuk kelas Inisiasi kristian dewasa yang sedang diguna pakai di Indonesia..?
[Dari Katolisitas: Buku yang mungkin baik untuk dijadikan acuan adalah Mengikuti Yesus Kristus- Buku Pegangan Calon Baptis, jilid 1 sampai 3, yang dikeluarkan oleh Komisi Kateketik Keuskupan Agung Semarang, penerbit: Kanisius, 1997]
Salam Damai dalam Kasih Tuhan Yesus,
Katolisitas.org yang saya hormati saya lahir dari seorang ibu yang beragama Katolik (ibu saya keturunan indo belanda) dan ayah juga Katolik (walaupun sebelum nikah ayah saya seorang Muslim dan naik ke pelaminan sudah beragama Katolik), saya tumbuh dan berkembang melalui sekolah Katolik dan sekarang usia saya sudah memasuki setengah abad (50 Th). Saya sangat mencintai agama Kristen (Katolik) dan bahkan sudah berumah tangga dan dikaruniai 2 anak (putra dan putri) semuanya beragama kristen yang Katolik. Dalam kondisi sekarang ini saya semakin kecewa melihat mereka yang mengaku sebagai pelayan umat khususnya mereka yang mengemban tugas sebagai pengurus gereja (para Romo dan Dewan Parokinya), apalagi setelah melihat dan mengetahui romo-romo yang sudah “OUT OF POSITION” alias keluar dari kegembalaannya. Terus terang saya memiliki sifat dan karakter keras dan juga idealis tetapi saya selalu berusaha untuk tidak mudah “EXPLOSIVE” dalam menyikapi segala permasalahan yang berkaitan dengan “PELAYANAN”, anak-anak saya sangat aktif di dalam kegiatan gereja (Putra Altar dan Bina Iman Remaja). Saya juga aktif membina anak-anak remaja melalui BIR paroki dan saya tidak pernah berhitung untung rugi dalam mendedikasikan diri bekerja di ladang Tuhan itu, tetapi sebagai manusia biasa saya sering terbentur dengan permasalahan inkonsistensi yang dilakukan oleh para “gembala-gembala” umat itu, di dalam memberikan pelayanan iman kepada anak-anak remaja saya selalu berusaha untuk tidak marah dan membenci mereka bahkan saya lebih sering mengalah untuk sabar membina mereka yang nota bene adalah manusia-manusia yang masih labil dalam hal berpikir, bertindak, dan berperasaan.
KESIMPULANNYA : Saya sangat marah jika melihat hal-hal yang berkaitan dengan “pelayanan iman” tetapi masih bermain dengan birokrasi gereja, saya sangat membenci orang-orang yang bekerja di ladang TUHAN tetapi masih mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu untuk mendapatkan keuntungan duniawi semata, termasuk melihat para ROMO yang seharusnya “menggembalakan domba-domba” yang tidak berdaya malah membuatnya semakin menderita seperti : 1. datang ke lingkungan untuk mengadakan misa tetapi minta dijemput. 2. Hanya mau berkunjung ke rumah umat yang tertentu saja sedangkan untuk datang ke rumah umat yang sedang mengalami masalah tidak berani bahkan tidak mau. 3. Selalu berteori “Cinta Kasih” tetapi kenyataannya inkonsistensi. 4. Hanya bisa menilai umatnya melalui masukkan dari sepihak tanpa melalui proses pendekatan kekeluargaan (pendekatan seorang gembala terhadap dombanya yang sedang mengalami “kesulitan”). 5. menolak seseorang yang ingin terjun ke dalam pelayanan umat dengan dalih “anda tidak memahami bekerja dalam dewan paroki”, sedangkan mereka yang duduk di “DEWAN PAROKI” tidak pernah mau mengerti dan bahkan masa bodo (acuh tak acuh) dengan arti “PELAYANAN” yang sesungguhnya.
– Apakah menjadi seorang Romo/Pastor mutlak menjadi “PENGUASA” juga?
– Pastor/Father/Romo/Bapak bukankah figur seorang laki-laki yang harus dan wajib bertanggung jawab terhadap tumbuh dan berkembangnya sebuah keluarga dan berani mengatakan ya atau tidak terhadap kemunafikan?
– Bukankah seorang “Gembala” harus menjadi figur seorang “Romo/Bapak” dan seorang Romo/Bapak harus menjadi seorang gembala dalam arti yang sesungguhnya? – Bukankah pengurus dewan paroki, prodiakon, dan pelayan-pelayan umat dalam sebuah paroki wajib menjadi “PELAYAN” yang selalu siap untuk mau mengundurkan diri bila tidak bisa menjadi pelayan yang benar dan bisa disenangi umatnya?
– “Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit” (Mat,9:37), saya ingin menjadi pekerja untuk menuai, tetapi selalu ditolak oleh mereka yang empunya tuaian mengapa ???????………….
Salam Ignatius Priadi,
Terimakasih atas curhat Anda. Saya pun ikut prihatin jika memergoki rekan imam yang sengaja melalaikan tugas atau sengaja malas, tanpa alasan yang bisa dipertanggungjawabkan. Mereka pasti saya ingatkan dengan penuh kasih. Saya katakan: “jika Anda merasa ada kesulitan, bicaralah dengan uskup dan pimpinan ordo. Saya bisa bantu pula memberitahukan ke pimpinan jika Anda kesukaran”.
Selanjutnyan bukan urusan saya lagi secara langsung, yang penting saya sudah megingatkan dan melakukan yang harus saya lakukan, lalu saya melakukan tugas pokok saya kembali. Memang, kita ini ikut Kristus dalam Roh Kudus menuju Bapa Sang Mahasempurna. Artinya, tingkat kesempurnaan kita sekarang belum 100 persen. Karenanya Tuhan bersabda: “Jadilah sempurna seperti Bapa di surga sempurna” (Mat 5:48), menuju sempurna dalam memahami dan memaafkan, sempurna dalam kebenaran, sempurna dalam memahami kemanusiaan kita yang istimewa sekaligus rapuh. Inilah kekudusan: menjadi manusiawi dalam rahmat Allah, menjadi damai dari dalam ketika sekeliling kacau, karena Kristus sendiri yang ada dalam hati kita.
Kristus sendiri mengalami situasi tidak ideal, namun ia konsisten melakukan kehendak Bapa demi keselamatan manusia. Tolok ukur kita ialah Dia yang tersalib. Para imam, uskup, bahkan paus pun harus menjalani proses yang sama ini dengan rendah hati. Penghayatan akan Kristus dalam Gereja yg riil inilah yg diharapkan kita gunakan untuk membantu kita makin kudus, makin sempurna.
Jawablah pertanyaan dengan jujur:
Pernahkan Anda membicarakan hal-hal yang Anda sebut di atas kepada pastor paroki, dari hati ke hati? Jika belum, mengapa belum? Saya kira akan fair jika Anda bicara langsung empat mata. Jika sudah, mengapa masih mengeluh? Apakah Anda tidak terpikir untuk bicara dengan pastor yang lain di paroki yang sama? Anggota Dewan Paroki hanya sementara (3 tahun). Tentu mereka pun berbagai ragam kemampuan rohaninya. Apakah Anda pernah membicarakan ini dengan tulus kepada salah satu dari mereka yang Anda anggap paling terpercaya? Bisa jadi mereka akan menyingkapkan kebenaran mengenai sisi Anda yang lain. Untuk itu silahkan berjiwa besar untuk mensyukurinya, demi makin sempurnanya Anda sendiri. Namun bisa jadi mereka punya pandangan yang keliru, maka Anda bisa membetulkannya. Jangan lupa, Anda punya uskup tempat mengadu. Bisa saja Anda ke keuskupan di Jl Katedral jika memang perlu.
Jika Anda selalu marah melihat situasi tidak ideal, saya yakin Anda sendiri yang bersusah, sementara yang Anda marahi tidak tahu menahu, dan jika demikian Anda akan selalu marah karena planet bumi bukan tempat yang tepat bagi yang menginginkan sempurna mutlak. Anda harus ingat bahwa Yesus Kristus justru lahir di planet bumi yang rapuh, dan memilih para rasul dan kita yang tidak sempurna. Ia mengajak kita berjalan bersama Dia menuju kesempurnaan. Tolong jawab pertanyaan pertama saya di atas yang sebenarnya merupakan saran.
Pertanyaan kedua, bagaimana relasi Anda dengan Allah Tritunggal sakramen, doa pribadi), dengan Anggota Gereja yang sudah di surga(Bunda Maria, para kudus)? Saya sarankan Anda selalu berdoa rosario dan mohon doa santo pelindung Anda serta menjadi tenang syukur karena Dia mau tinggal bersama kita yang lemah. Apakah Anda merasa perlu retret pribadi? Pertanyaan kedua ini pun sebenarnya saran.
Semoga membantu.
Salam
Yohanes Dwi Harsanto, Pr
Salam dan kasih Tuhan menyertai Rm, Yohanes D H, Pr.
Saya merasa bukanlah manusia yang sempurna tetapi saya selalu berpandangan realistis dan idealistis menghadapi situasi yang saya alami.
Saya memiliki motivasi hidup dan prinsip kehidupan yakni “Saya ingin meninggalkan dunia ini kalau bisa tanpa menyusahkan anak dan istri dalam hal yang wajar seperti saat ayah saya meninggalkan anak-anaknya dan bahkan ibu saya sekarang ini telah diwarisi kelimpahan finansial oleh ayah yang nota bene adalah seorang pahlawan dan pejuang kemerdekaan, serta saya selalu berusaha untuk tidak mudah menyakiti orang lain dan apabila itu terjadi baik sengaja atau tidak saya selalu mendahulukan untuk minta maaf.” Dalam arti saya adalah orang yang memiliki komitmen dan konsekuen dalam menyikapi kehidupan ini (berani berbuat dan berani bertanggung jawab). Tetapi di satu sisi saya adalah orang yang mudah berbalik sikap apabila saya didahului untuk disakiti, dan bahkan saya tidak pernah mau peduli siapa orang yang saya hadapi itu. Pernah suatu peristiwa di tahun 1998 anak saya menghadiri pesta natal saudara sepupu (waktu itu anak saya berusia 3 Th.) di gereja Paroki SERVASIUS Kp. Sawah, Bekasi. Pada saat itu semua anak kecil sebaya anak saya menghadirinya karena memang adalah peristiwa pesta natal untuk anak-anak, hampir semua anak-anak membawa terompet dan tidak ketinggalan anak saya pun akhirnya saya belikan satu. Waktu itu saya sangat hati-hati sekali dan selalu memperhatikan anak saya untuk tidak meniup terompetnya sembarangan, memang saat kejadian itu saya sangat tahu persis ada seorang anak meniup terompetnya di mana situasi gereja sedang masuk ke dalam doa Syukur Agung, tiba-tiba ada seorang “Tantib” dengan sigap dan galaknya mengambil dengan paksa terompet anak itu dan yang saya heran terompet anak saya yang tidak dibunyikan ikut diambilnya dengan cara yang sama. Selesai misa natal saya mencari orang tersebut dengan maksud meminta kembali terompet anak saya yang selama misa menangis karena merasa tidak bersalah, tetapi apa jadinya saya begitu marah sekali dengan orang tersebut karena ternyata terompet yang diambilnya sudah dirusak dengan alasan ” perintah dari ROMO” Dan selanjutnya saya sangat marah apalagi semua orang tahu bahwa Romo “K/C” (sudah almarhum dan maaf hanya inisialnya saja dan beliau adalah romo belanda) adalah seorang romo yang galak kepada umat tetapi itu tidak berlaku untuk saya yang saat itu tahu persis bahwa anak saya tidak melakukan kesalahan.
Masih banyak lagi cerita saya yang berkaitan dengan “Pelayanan Kegembalaan” dan tidak akan saya ceritakan di sini, artinya saya ingin mengatakan kepada Romo Yohanes inilah karakter saya sebagai manusia biasa, dan sekarang saya sedang menghadapi suatu dilematis yang berkaitan dengan pelayanan kegembalaan yang akhirnya setelah saya pertimbangkan dan melalui doa secara khusus saya lebih baik mengambil sikap untuk menjadi orang yang beriman katolik biasa-biasa saja artinya, saya memutuskan untuk tidak lagi menjadi katekis, pembina BIR dan tidak aktif di paroki, karena saya lebih baik melayani umat di lingkungan saja. Hanya umat di lingkungan yang mau menerima dan mengerti tentang saya, dan puji Tuhan sejauh ini di lingkungan saya tidak pernah bermasalah dan dipermasalahkan. Dan jawaban saya secara jujur kepada Romo Yohanes Dwi Harsanto, Pr :
Yang pertama : Saya tidak akan berkomunikasi dengan romo paroki.
Yang kedua : Romo Yohanes jangan mengkhawatirkan tentang iman saya terhadap TRITUNGGAL MAHAKUDUS dan BUNDA MARIA sampai akhir hayat saya.
Shalom Ignatius,
Adalah sesuatu yang baik jika kita yakin dengan iman kita, namun keyakinan iman itu selayaknya nampak juga dalam sikap dan perbuatan kita, yaitu dalam hal kasih. Kasih itu terlihat dari keputusan untuk mengampuni pihak-pihak yang pernah melukai hati kita, termasuk jika Anda merasa telah ‘dilukai’ oleh beberapa orang aktifis di paroki atau bahkan oleh pastor/ imam di paroki. Mungkin waktu juga yang akan memulihkan Anda, seiring dengan setiap kali Anda mendaraskan doa Bapa Kami, “….. dan ampunilah kesalahan kami seperti kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami…”
Lagipula jika dipikirkan dengan sikap yang lebih netral, sesungguhnya, ada sesuatu yang memang kurang tepat dengan keadaan waktu itu, mengapa diperbolehkan ada terompet (entah yang dibagikan atau karena membawa sendiri) pada anak-anak selagi Misa berlangsung. Mungkin jika hal tersebut didiskusikan dengan seksi liturgi, maka untuk selanjutnya pengalaman Anda yang kurang mengenakkan tersebut dapat dihindari, sebab tidak perlu terjadi, seandainya terompet dibagikan setelah selesai Misa Kudus, misalnya. Selalu ada hal yang dapat diperbaiki, jika maksud hati adalah untuk saling membangun atas dasar kasih.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Pak Ignatius Priadi.
Paroki anda sama dengan paroki kami keadaannya. Malah lebih parah. Terpaksa sendiri saja saya berusaha untuk memperbaikinya.
Memang masih jauh dari harapan. Tetapi yang terpenting adalah hati nurani. Berani menyuarakan dengan lantang Kebenaran. Jangan disimpan di hati. Kalau masih belum bisa merubah tingkah pengurus DPP, lakukan dengan menulis dalam koran pribadi , dan sebarkan pada semua umat. Seperti demo pribadi / contoh tulisan Dahlan Iskan. Saya sudah lakukan mulai kemarin , membuat koran pribadi. Dan mencantumkan penulis, hadapi dengan gagah berani kalau masih dalam kebenaran. Memang butuh pengorbanan tetapi tidak seberapa dibanding dengan SALIB KRISTUS.
Semoga bermanfaat.
[dari katolisitas: Kita harus minta rahmat kebijaksanaan dari Tuhan, sehingga kita dapat mengambil cara yang paling tepat. Berani saja tidaklah cukup. Namun, pertimbangan matang, bijaksana dalam menentukan langkah, sesuai dengan prinsip Kristus yaitu kasih dan benar, akan memberikan solusi yang lebih baik.]
Segi yang sulit adalah : Orang Katolik mau menjadi katekis saat sudah pensiun , dan saat itu baru mulai baca Kitab Suci.
Untuk jadi katekis harus menguasai Teologi Katolik.
Dalam doa lingkungan , tata caranya sama dengan Ibadat saat di Misa. Homili nya sama saja dengan di Misa.
Maka yang perlu diperhatikan adalah terlalu banyak Filter yang diterapkan Romo untuk menjadi Katekis Awam . Maka yang menjamur dan menjadi pengkhotbah dadakan tumbuh subur di KTM / Kharismatik. Setiap sel sudah ada yang bisa khotbah.
Coba saja di dalam doa Lingkungan siapa saja boleh memberikan Khotbah. Baik , buruk atau apapun , lambat laun akan kelihatan mana yang bisa dan mana yang tidak .
Shalom Tomy King,
Pada akhirnya, paroki dan keuskupan harus membuat keputusan, apakah ingin menggalakan katekis purna waktu atau paruh waktu. Katekis purna waktu tentu saja dapat memberikan pengajaran yang lebih baik, karena ditunjang dengan pendidikan teologi yang baik. Di satu sisi, paroki maupun keuskupan harus menyisihkan dana yang cukup untuk menunjang kebutuhan mereka. Sedangkan katekis paruh waktu biasanya adalah orang-orang yang mau, yang mungkin mempunyai dasar teologis atau orang yang benar-benar mau belajar. Tentu saja, karena katekis paruh waktu tidak mempunyai latar belakang teologi secara formal, maka mungkin mereka kurang dapat mendalami materi katekese secara mendalam. Namun, apapun langkah yang diambil oleh paroki atau keuskupan setempat, pada akhirnya calon baptis sebenarnya mempunyai hak untuk mendapatkan penjabaran iman Katolik secara baik dan terstruktur. Semakin calon baptis disiapkan dengan baik, maka mereka akan menjadi umat Katolik yang lebih dewasa secara iman dan tidak mudah goyah.
Tentang kegiatan dan pendalaman Kitab Suci di lingkungan, maka yang diharapkan adalah banyak pemandu-pemandu yang terampil dalam penguasaan bahan dan dalam menghidupkan sharing kelompok. Jadi, di tingkat ini, sebenarnya yang diperlukan adalah pemandu dan bukan pewarta. Namun, tentu saja mau sebagai pemandu atau pewarta, semuanya harus diberi pembekalan yang baik, sehingga pertemuan lingkungan dapat berjalan dengan baik. Jadi, mari dalam kapasitas kita masing-masing, kita memberikan diri kita untuk membangun lingkungan, paroki, keuskupan dan Gereja Katolik yang kita kasihi.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Bapak Stef/Ibu Ingrid Ytk,
Shalom,
Saya baru membaca sebagian dari beberapa topik mengenai Katekese, ada beberapa hal yg ingin saya tanyakan,mohon kiranya bapak/ibu dapat membantu saya.
2 minggu lalu kakak laki2 saya meninggal dunia, ketika sedang dirawat di rumah sakit dgn kondisi kakak yg banyak tertidur krn pengaruh obat penahan sakit yg diberikan, istrinya sempat bercerita kepada saya, bahwa kakak saya sempat berkata kalau dia meninggal dunia, dia ingin tetap diadakan doa secara Katolik walaupun ia belum menjadi seorang Katolik karena kakak ipar dan anaknya seorang Katolik, Kakak bukan tidak ingin menjadi Katolik, sudah cukup lama ia merindukan menjadi Katolik, dulu pernah mengikuti katekese tapi krn kesibukannya mencari nafkah akhirnya tidak tuntas proses pembelajaran, krn sering absen ia jadi tidak bisa mengikuti penerimaan Sakramen Permandian.
Sampai akhirnya ia menderita sakit yg cukup parah, ketika mendengar kakak berpesan utk didoakan secara Katolik,saya jadi berpikir bahwa kakak sebenarnya sangat merindukan menjadi Katolik, di dukung lagi dgn ketekunannya bersama keluarga berdoa Rosario, Novena yg diajarkan istrinya.
Kemudian saya mengusulkan kepada kakak ipar coba utk menemui Romo Paroki, akhirnya dgn diantar seorang teman dr Legio (..saya tidak bisa menemani krn harus gantian menjaga kakak) menemui Romo dan menanyakan apakah suami nya masih bisa menerima Sakramen Permandian dengan kondisinya saat itu, singkat cerita Romo menanyakan tentang status perkawinan kakak, diceritakan oleh kakak ipar bahwa krn ketika dia menikah, orangtua dr pihak kakak ipar ini tidak mengijinkan utk pernikahan diberkati di Gereja, krn kakak ipar hanya seorang diri dlm keluarganya yg Katolik, akhirnya mereka hanya nikah catatan sipil dan dgn secara adat Tionghoa.
Ternyata Romo boleh dibilang marah (menurut cerita Kakak ipar dan teman yg mengantar) dan berkata bahwa kakak ipar sdh berdosa krn dia anggap statusnya ‘kumpul kebo’ (sedih saya mendengarnya … apa tidak ada kata lain yg lebih pantas diucapkan seorang Romo) dan ia sangat berdosa masih tetap menerima komuni.
Singkat cerita lagi Romo tidak bersedia memberikan Sakramen permandian dan tidak ada usaha dr sang Romo utk hanya sekedar menawarkan diri jika ingin dikunjungi utk didoakan, sepertinya kakak dan kakak ipar sedemikian kotor dan berdosanya, sehingga tidak layak utk sekedar di doakan
Singkat cerita sampai akhirnya ketika dokter mengatakan bahwa kakak sdh semakin lemah dan disuruh mengumpulkan keluarga, dgn hanya dibantu seorang kenalan yg adalah seorang pendeta yg mau datang jauh2 dan di malam hari pula mendoakan kakak bersama keluarga.
Dan beberapa hari lalu saya mendengar dr teman saya yg mengantar kakak ipar saya ketika bertemu Romo, teman saya menceritakan kebingungannya … krn Sang Romo bertanya mengenai kabar dr orang sakit yg ingin minta Sakramen permandian itu (maksudnya Kakak saya) teman saya mengatakan bahwa orang yg dimaksud sudah meninggal, katanya Romo terdiam, lalu berkata Apakah teman saya itu sudah mempermandikannya ??
LOH … teman saya bingung kok Romo malah bicara spt itu …
Nah .. lewat kejadian ini kami sebagai umat yg mengaku Katolik … hanya bisa melongo dan khususnya saya sangat menyesal krn tidak mendampingi kakak ipar waktu itu, seandainya saya yg pergi mendampingi pasti akan saya tanyakan lebih detail alasan penolakan Romo, yg dr mulut Romo ini sendiri dulu pernah mengatakan kepada saya ….
JANGANLAH PERATURAN YG DIBUAT MANUSIA HANYA AKAN MENYULITKAN MANUSIA ITU SENDIRI … KITA HARUS MERANGKUL DGN PENUH KASIH ORANG2 YG INGIN MENGIMANI KRISTUS DAN MASUK MENJADI ANGGOTA GEREJA KATOLIK.
Woooaaalllaaa Romo .. kenapa kok ngomong bisa berubah-ubah …. sedih, kesal, marah wajar saya rasakan krn saya hanya manusia biasa yg msh merasa sakit jika alami luka berdarah.
Pertanyaan saya :
1.Bagaimana sebenarnya peraturan mengenai penerimaan sakramen permandian ketika orang itu sedang sakit ?
2.Mengapa kakak saya tidak bisa digolongkan kedalam penerima Pembaptisan Kerinduan ?
3.Mengapa Romo tsb mengaitkan Sakramen Permandian dgn Pemberkatan Pernikahan ?
Jika ada referensi buku yg bisa menjadi pegangan umat buku apa yg harus saya baca agar lebih memahami.
Ini baru salah satu cerita yg saya alami dlm kehidupan saya, masih ada beberapa kejadian dlm keluarga yg saya alami seputar kehidupan rohani saya, dimana saat2 ini saya sedang dalam proses pembelajaran ingin lebih mendalami pengajaran agama Katolik dan dgn berbagai tata aturan serta hukum2 nya, mencoba utk aktif dalam kegiatan di gereja, malah dihadapkan pada kejadian2 yg benar2 menguji Iman saya.
Akhir kata saya ucapkan terima kasih utk bantuan penjelasan dr Bapak/Ibu.
Salam dalam Kasih Kristus.
Shalom Fransisca,
Terima kasih atas sharingnya. Secara prinsip, Gereja Katolik mengajarkan bahwa Baptisan adalah perlu dan bahkan menjadi syarat keselamatan, yang diperkuat oleh Mrk 16:16 “Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum.” Silakan melihat artikel ini – silakan klik dan diskusi ini – silakan klik.
Sekarang mari kita melihat kasus dari kakak anda. Dari cerita yang anda paparkan, maka kakak ipar anda (sebagai istri) adalah Katolik namun karena alasan tertentu tidak menikah secara sah secara Katolik. Sebagai seorang Katolik, maka selain terikat pada hukum ilahi, kita juga terikat pada hukum Gereja. Silakan melihat artikel ini – silakan klik. Namun, sesungguhnya perkawinan yang tidak sah ini dapat dibereskan dengan memberikan konvalidasi – yaitu pengesahan perkawinan oleh Pastor dan dihadiri dua saksi.
Dengan demikian, mungkin tindakan yang paling tepat, yang sesungguhnya dulu dapat dilakukan adalah: membereskan perkawinan dengan melakukan konvalidasi. Kalau kakak anda berada di rumah sakit karena sakit parah, maka konvalidasi dapat dilakukan di rumah sakit dengan disaksikan oleh dua orang saksi, yang didahului pengakuan dosa dari kakak ipar anda. Setelah status perkawinan beres, maka kakak anda dapat dibaptis. Setelah dibaptis, maka secara otomatis perkawinan tersebut diangkat derajatnya ke tingkat sakramen. Dan setelah dibaptis, kakak anda dapat secara langsung menerima Sakramen Perminyakan atau Sakramen Orang Sakit dan juga menerima Tubuh Kristus. Jika ini dilakukan, maka kakak anda dapat meninggal dalam kondisi telah menerima Sakramen Perkawinan, Sakramen Baptis dan Sakramen Perminyakan dan juga menerima Ekaristi Kudus. Itu adalah penyelesaian ideal yang seharusnya dapat dilakukan.
Namun kini semuanya telah terjadi tidak dalam kondisi yang ideal. Walaupun begitu, satu hal yang perlu kita sadari adalah kakak anda sebenarnya telah merindukan untuk menerima Sakramen Baptis. Dengan demikian, dalam belas kasih Allah, sebenarnya dari cerita anda, dapat dikatakan bahwa kakak anda telah menerima baptisan rindu. Jadi, walaupun kondisi yang terjadi tidak ideal, kita tetap mempunyai pengharapan besar di dalam Kristus akan keselamatan jiwa kakak anda. Yang perlu dilakukan adalah terus mendoakan jiwa kakak anda. Anda dapat mempersembahkan ujud Misa untuk keselamatan jiwa kakak anda. Dan tentang kakak ipar anda, ia dapat mengaku dosa dalam sakramen Pengakuan Dosa sehubungan dengan kegagalannya memenuhi persyaratan perkawinan menurut Gereja Katolik, sehingga, setelah itu dia dapat menerima Komuni Kudus tanpa ada halangan dosa.
Semoga kejadian ini tidak menyurutkan niat baik dan apa yang telah Anda lakukan untuk terus berkarya dalam Gereja.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Dear Fransisca, ………..
Saya setuju dan mengimani ucapan dari seorang pastor yang anda maksud itu “JANGANLAH PERATURAN YG DIBUAT MANUSIA HANYA AKAN MENYULITKAN MANUSIA ITU SENDIRI … KITA HARUS MERANGKUL DGN PENUH KASIH ORANG2 YG INGIN MENGIMANI KRISTUS DAN MASUK MENJADI ANGGOTA GEREJA KATOLIK” artinya “HUKUM GEREJA JUGA ADALAH BUATAN MANUSIA”, (maka selain terikat pada hukum ilahi, kita juga terikat pada hukum Gereja) nah sekarang permasalahannya apakah orang-orang yang membuat hukum gereja itu adalah manusia-manusia yang suci tanpa dosa ???????…………….
dan sekarang bacalah kembali Injil Lukas 18:1 – 8,dan Lukas 23:41 – 43 dan dari sinilah saya mengatakan “Jangan Takut karena Saya percaya bahwa Tuhan Yesuslah yang memberikan keselamatan pada diri kita kelak” bukan melalui mulut pastor yang tidak memiliki nilai-nilai kegembalaan “Seorang Pastor saya imani sebagai “Wakil YESUS” pada saat di atas Altar Gereja sebagai Imam yang memimpin EKARISTI” selebihnya tidak !, karena dia hanyalah manusia biasa yang menyandang gelar “Seorang Gembala”. Gembala”
Salam Bina Iman,
kalau anda hanya melihat Hukum Gereja adalah buatan manusia belaka, dan dipandang seolah-olah tanpa dasar yang jelas, maka pertanyaan yang saya ingin berikan adalah: Coba berikan salah satu contoh dari Hukum Gereja yang seolah-olah tidak mempunyai kaitan dengan pengajaran. Sebagai catatan, coba anda buka Kitab Hukum Kanonik dan silakan melihat peraturan yang terlihat tidak masuk akal. Kalau peraturan-peraturan tersebut tidak perlu dituruti, maka apakah yang mengatur kehidupan umat beriman? Siapa yang dapat memberikan keputusan akhir? Dan apakah dasar dari keputusan akhir ini? Tidak ada yang menolak bahwa keselamatan adalah datang dari Kristus. Dan tidak ada yang mengatakan bahwa keselamatan datang dari pastor.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Shalom Bina Iman Remaja, Fransiska, dan teman-teman. Saya setuju bahwa seorang gembala harusnya taat pada HUKUM KANONIK yang sebenarnya kata seorang romo, intinya ialah Cinta Kasih dan kepastian kebenaran. Tapi saya tak setuju pada Bina Iman Remaja. Saya tak setuju karena itu silakan membaca buku kesaksian dan penelitian teologis karangan Scott & Kimberly Hahn, “Rome Sweet Home, Roma Rumahku” terbitan Dioma Malang. Pendapat Scott dan Kimberly yang adalah pendeta protestan presbyterian dan kebanyakan protestan ialah seperti pendapat Anda bahwa. Namun setelah Scott Hahn dan Kimbery menelaah lebih jauh, ternyata mereka sendirilah yang salah lalu masuk Katolik. Nah, bagaimana tuh? Coba baca-baca. Juga silahkan klik http://www.chnetwork.org di mana banyak orang protestan memberi kesaksian mereka masuk pulang ke Gereja yang didirikan dan dikehendaki Kristus. Bukan karena emosional tetapi karena kebenaran, demi kebenaran, demi mau menuruti perintah Kristus yaitu menerima Tubuh-Nya. Baca sendiri sajalah. Maka kita harus baca Hukum Kanonik supaya tahu apa yang dibuat. Bisa saja romo itu lupa pada pasal-pasal tertentu pada kasus tertentu maka kita yang ingatkan, karena semua kena hukum, tiada yg lepas. Walau saya ini juga belum pernah memegang buku itu, tapi kita bisa buka di http://www.imankatolik.or.id bagian hukum kanonik.
Ytk, Sdr. Santosa Wijaya
Salam damai dan kasih dalam nama Tuhan Yesus,
Pemasalahannya di sini saya menyikapi jawaban seorang romo yang nota bene adalah seorang “GEMBALA” dan bukan seorang penguasa, sekali lagi saya mengatakan berdasarkan konsili vatikan menurut pengetahuan yang saya dapatkan dari mengikuti KDKU dan MBKU (itulah yang pernah saya ikuti sebeluM saya menjadi katekis)bahwa “DI LUAR GEREJA ADA KESELAMATAN”, artinya siapapun manusia di muka bumi ini akan diterima kedalam “Kerajaan Allah” apabila yakin dan percaya bahwa YESUS KRISTUS adalah JALAN KEBENARAN DAN JURU SELAMAT KITA, nah coba anda renungkan kakak kandung dari Sdri. kita Fransisca (Istrinya sebagai kakak ipar bersama anak-anaknya sudah menjadi Katolik dan dia menjelang ajalnya sudah berpesan untuk didoakan secara katolik artinya dia sudah yakin dan percaya akan agama yang diimani oleh Istri dan anak-anaknya) sudah berusaha melalui prosedur yang tepat yakni memanggil seorang “ROMO”, paling tidak datanglah untuk mau mendoakannya. Tetapi bukannya datang sebagai gembala melainkan memarahi umatnya dan bahkan mengeluarkan kata-kata “…BERDOSA …. KUMPUL KEBO …”, apa pantas seorang ROMO/BAPAK/FATHER/ memvonis seseorang dengan kata-kata itu …………?????????????????
Shalom Bina Iman,
Terima kasih atas komentar anda. Tentang dogma di luar Gereja tidak ada keselamatan atau EENS (Extra Ecclesiam Nulla Salus) silakan membacanya di sini – silakan klik. Vatikan II tidak pernah mengatakan ada keselamatan di luar Gereja Katolik. Silakan membaca Lumen Gentium di sini – silakan klik, terutama art.14 dan 16. Saya sudah mencoba menjelaskan dalam kondisi dari kakak Fransisca telah menerima Baptisan Rindu, yang berarti keselamatan juga terbuka baginya. Tidak ada yang menyangkal bahwa ada yang lebih baik yang harus dilakukan oleh pastor tersebut. Namun, kita juga jangan melupakan ada begitu banyak pastor yang sungguh-sungguh menjalankan tugasnya dengan sungguh baik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
salom stef
benar ini masalah kita bersama,,sebagai fasilitator katekese saya rasa pengetahuan saya tentang katekese dan pengetahuan pendukungnya kurang memadai, sehingga berbagai pertanyaan dari umat sering tak bisa dijawab, maklum pendidikan saya hanya spg, jadi saya mohon rubrik katekese ini sebagai ajang bagi pengetahuan (khususnya pengetahuan praktis) mulai dari katekese itu sendiri dll.
[Dari Katolisitas: Silakan, jika Anda pandang berguna, untuk membaca di situs ini tentang topik-topik Katekese. Sudah ada relatif cukup banyak topik di situs ini, silakan Anda mengetik kata kuncinya pada fasilitas pencarian di sisi kanan atas homepage, lalu tekan enter. Semoga Anda menemukan beberapa pembahasannya]
Shalom Tim Katolisitas.org ,
Membaca untuk menambah pengetahuan itu penting. Di Lingkungan saya tidak ada pembinaan iman. Merasa kalau sudah membuat acara piknik, maka tugas Lingkungan itu hebat. Saya kurang atau tidak cocok. Begitu banyak tulisan, karangan, ulasan yang dapat diberikan kepada umat Lingkungan setiap minggunya. Misalnya satu topik dalam kolom “Tanya Jawab” katolisitas.org setiap minggu diberikan kepada umat Lingkungan dan dipilih satu untuk dibahas setiap bulan, memberikan manfaat yang sangat besar, ketimbangan tidak ada pembinaan sama sekali.
Kita harus mengajak seluruh umat gemar membaca.
Syalom Team Katolisitas
Membaca artikel diatas,hati terasa pedih,sekedar sharing saja,saya pribadi memang merasa dalam gereja katolik,sungguh minim pengajaran tentang iman,didalam gereja pengupasan firman cukup singkat,dalam lingkungan tidak ada ditemukan pertumbuhan iman,malah membosankan.
sampai akhirnya saya ketemu Katolisitas,yang dapat memenuhi kerinduan itu,dan sekarang sedang mengikuti KEP gelombang XII,dan akan lanjut pada kerasulan kitap suci
Dari sekian banyak orang yang saya sharingkan,hanya satu jawaban kenapa iman katolik itu bisa demikian,yaitu tidak paham,dan membosankan,tidak paham tentang isi alkitap
menurut hemat saya,kita Katolik,harus berani mengupas firman lebih dalam,atau memberi kupasan tentang firman yang akan dibawakan pada pertemuan lingkungan kepada yang mampu menjadi romo kecil dalam lingkungan
Dahulu saya memberi kolekte cukup irit(yah lima ribu sdh cukup)itupu di bagi dua,dan sampai sekarang pun,yang bawa mobil ke gereja kolekte hanya dua ribu.memberikan sumbangan APP atau pembangunan gereja seakan menjadi beban.Tetapi hari ini semua berobah dalam diri,karena Zakheus bertobat,dan Yesus berkata Berikanlah menurut kerelaan hatimu tanpa paksaan
menurut saya,dalam lingkungan atau didalam PDKK,LEGIO MARIA,atau persekutua lainnya dalam hal memberikan firman bisa lebih hidup sehigga hati para umat bisa lebih tergugah tentang iman.
hal ini saya lagi bicarakan dalam lingkungan dan saya mencoba untuk memberi pelayanan pada pertemuan lingkungan ke II dalam masa prapaskah,dan ketua lingkungan merasa ada perobahan dari tahun sebelunya, sebab saya menekankan bukan menjadi sakheus yang memberi setengah hartanya,atau membayar empat kali lipat,tetapi memberi dari kerelaan hati seperti yang diajarka oleh Yesus,dan saya mengajak menjadi sakheus baru melalui kotak aksi puasa dan kartu pembangunan gereja Imakulata.
Mungkin singkat kata,kita kurang siraman Rohani,sehingga lambat bertumbuh.
terimakasih
buat katolisitas.org terima kasih atas web ini yg telah menumbuhkan iman Katolik kami yg sedang terombang ambing di samudera raya, dgn adanya katolisitas.org kami dapat berlabuh dengan tenang dan mempelajari iman Katolik yg sejati.
sedikit masukan buat para katekese ……….
katekese yg akan di berikan kepada umat yg baru belajar alangkah baiknya jika mereka di berikan pengarahan tentang perbedaan Katolik dan non Katolik. Agar umat dapat memjawab dan mengerti serta mempertanggung jawabkan iman katolik mereka ketika di serang dari pihak non katolik. dari pengalaman sy banyak umat Katolik yg setia ke gereja dan berdoa sesuai dgn iman Katolik dan mereka masih setia karena pengaruh dari lingkungan dan teman yg mayoritas Katolik, tetapi ketika mereka sdh merantau ke luar negeri dan jauh dari teman seiman, mereka pada pindah ke gereja lain dan bahkan mereka sudah pintar utk memojokkan iman Katolik. Bahkan ada teman sy yg dulunya non Kristen dan sekarang udah menjadi Kristen non Katolik dengan pengetahuannya yg selalu memojokkan iman Katolik. Nah dari manakah dia mendapat pengajaran utk memojokkan iman Katolik kalau bukan dari pendetanya. Maka saya sarangkan supaya para katekese dapat mengajar umat tentang mempertanggungjawabkan iman katolik…contoh
-mengapa kita memohon doa kepada Bunda Maria
– mengenai api penyucian
-pengampunan dosa lewat imam
-mendoakan para arwah
dan lain lain
thanks…dominic.k
Saya belum membaca seluruh komentar dalam diskusi ini, namun saya sangat setuju dengan Pak Petrus. Saya sendiri belum pernah terlibat dalam pengadaan program katekese di Indonesia. Pengalaman katekese di sana hanyalah sebagai penerima selama saya sekolah di sekolah Katolik sejak SD sampai SMA.
Di New Zealand ini saya mengkoordinasi Religious Education (RE) di paroki kami, di mana salah satunya adalah katakese untuk anak, remaja dan dewasa. Program katekese anak dilakukan setiap hari Minggu dan tahun ini adalah tahun ketiga sejak pastor paroki kami yg baru menghidupkan program ini.
Ada beberapa hal yg saya amati di sini. Awalnya kami (saya dan suami) diminta untuk memakai material dari Keuskupan. Tanpa mengurangi rasa hormat pada Bapa Uskup kami dan staff-nya, kami melihat materi itu sangat kurang substantial. Banyak hal yg terlihat cantik dan manis di luar tapi kosong di dalam. Seperti candy floss (permen gula kembang). Rupanya banyak Keuskupan yang sangat khawatir ajaran Gereja terlalu keras untuk dunia yg modern ini dan akibatnya ajaran tsb diencerkan (watered down). Beruntunglah kami “menemukan” rangkaian materi lain dari kelompok Catholic United for the Future (CUF) dari Amerika yang sangat substantial, sangat indah dan sangat mendidik. Di dalam materi ini para katekis diberi ide2 untuk simulasi, contoh, dll yg sangat menarik dan kreatif.
Di luar perkiraan semua orang, pendidikan yg substantial tanpa mengurangi Kebenaran ajaran Gereja Katolik ini malah “membakar” hati anak2 di paroki kami dan mereka selalu menunggu-nunggu kelas katekeses selanjutnya. Demikian juga remaja dan OMK, mereka haus akan Kebenaran dan tidak tertarik pada candy floss theology.
Menurut perkiraan saya, mungkin ini juga terjadi di Indonesia yg multi-ras dan multi-agama. Bagi sebagian katekis atau Keuskupan mungkin sangat sulit untuk mengajarkan anak2 bahwa (contohnya) Gereja Katolik adalah satu2nya gereja yang didirikan oleh Yesus. Padahal kenyataannya toleransi yg salah atau kebablasan menjadi bahaya besar dalam mengajarkan Kebenaran Sejati, dan memberi resiko besar akan krisis iman untuk anak2 kita di kemudian hari.
Semoga Roh Kudus mengaruniakan keberanian pada para katekis dana para Uskup dan membakar cinta mereka pada Gereja Katolik, ajarannya yang benar dan Bapa Paus.
In Christ,
Henny
[Dari Katolisitas: Pesan ini digabungkan karena masih satu topik]
Sebagai tambahan, profil dari katekis juga sangat penting. Kami dibantu oleh sekelompok anak muda (awal 20-an) dalam memberikan kelas katekesis ini. Mereka (JP2 generation) sangat paham dan taat akan ajaran Gereja, sangat mencintai Tuhan dan Bapa Paus dan sangat peduli akan pembinaan iman anak2 Katolik. Cinta dan ketaatan mereka ini sangat menular dan anak2 sangat menyukai dan mendengarkan mereka dan menjadikan guru2 ini idola mereka.
Shalom, Ms Matheson dan Katolisitas.org.
Tolong informasinya, apakah ada website CUF berikut materi katekisasinya? Thx. (Yg saya temukan setelah googling umumnya adlh organisasi politik non profit di AS yg bernama Catholic United ataupun trust fund Catholic United Financial).
Pak Herman,
Ini website-nya CUF untuk Faith and Life series: http://www.cuf.org/faithandlife.asp
Sedangkan ini dari penerbitnya:http://www.ignatius.com/promotions/FaithAndLife/
God bless,
Henny
OK noted, n thx alot. Shalom.
KATEKESE YANG
HAMBAR DAN MEMBOSANKAN
Petrus Danan Widharsana *)
Salah satu hasil dari Sidang KWI yang diselenggarakan pada bulan November 2011 adalah sebuah pesan pastoral tentang Katekese. Di dalam pesan pastoral tersebut disadari kembali pentingnya katekese dalam kehidupan Gereja. Dikatakan “Gereja mempunyai tugas utama untuk mewartakan, sesuai perintah Kristus: “…. pergilah, jadikanlah segala bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Mat 28:19-20). Perintah Kristus ini menjadi dasar perutusan Gereja dalam karya katekese.”
Sungguh menggembirakan bahwa para pimpinan Gereja menekankan kembali pentingnya katekese dalam kehidupan Gereja. Tentu hal ini tidak lepas dari kenyataan di lapangan yang sering menempatkan katekese pada posisi yang “hambar dan membosankan”. Seperti disinyalir oleh para Bapa Uskup “Isi katekese seringkali dirasakan kurang memadai. Di satu pihak, katekese yang memberi tekanan pada tanggapan iman atas hidup sehari-hari seringkali kurang memberi tempat pada aspek doktrinal, sehingga umat seringkali canggung dan takut ketika berhadapan dengan orang-orang yang mempertanyakan iman mereka. Di lain pihak, ketika katekese lebih memberi perhatian pada unsur-unsur doktriner, katekese dirasakan menjadi terlalu sulit bagi umat dan kurang bersentuhan dengan kenyataan hidup sehari-hari. Katekese yang kurang menyentuh hati dan memenuhi harapan ini rupanya merupakan salah satu alasan yang mendorong sejumlah orang katolik, khususnya anak-anak dan orang muda yang pindah dan lebih tertarik cara doa dan pembinaan Gereja-gereja lain yang dirasakan lebih menarik.” Ada nada keprihatinan dalam Pesan Pastoral ini. Tak dapat disangkal, kemunduran kegiatan katekese berarti kemunduran Gereja. Namun, betapa sering hal ini kurang mendapatkan perhatian serius baik di kalangan para pastor, maupun umat. Yang memprihatinkan, kegiatan katekese sering dikalahkan oleh kegiatan mencari dana, pembangunan ini dan itu, bahkan kegiatan pesta-pesta paroki, yang memang jauh lebih menarik dan membanggakan daripada kegiatan katekese.
Masalah Isi dan Matode Katekese
Berbicara tentang isi katekese tentu kita tidak bisa melepaskan diri dari pokok-pokok iman sesuai dengan Ajaran Gereja. Dalam hal ini sebenarnya tidak banyak perubahan. Sebagian besar doktrin Gereja tidak berubah dari awal berdirinya hingga sekarang. Sahadat iman kita tetap. “Credo” yang diyakini sebagai ringkasan iman kita dan diikrarkankan sejak abad-abad pertama hingga sekarang tidak berbeda sama sekali.
Kalau para Bapa Uskup menyatakan pentingnya menghubungkan aspek doktrinal dengan kehidupan sehari-hari, masalahnya tentu bukan pada isi melainkan pada metode. Di sinilah pada umumnya letak “hambar dan membosankan”-nya kegiatan katekese. Mengapa? Karena pokok-pokok iman itu diajarkan sebagai suatu dogma yang harus diterima, kalau bisa dihafal, dan tidak perlu dipertanyakan. Orang harus berbuat ini dan itu, harus tunduk ini dan itu, harus hidup seperti ini dan itu, tanpa memperhatikan sikap kritis manusia, kondisi konkrit manusia dan kebutuhan manusia untuk memahami pokok iman tersebut secara lebih dalam. Contoh: zaman sekarang tidak cukup kita mengajarkan Doa “Salam Maria” hanya sebagai doa yang harus dihafalkan. Orang Katolik sendiri banyak yang mempertanyakan mengapa kita harus berdoa “Salam Maria”. Ini menuntut suatu penjelasan yang sangat mendasar, yang tidak cukup dijawab dengan beberapa kalimat saja. Perlu dipersiapkan dengan matang suatu pengajaran yang didasarkan pada Alkitab, Tradisi Gereja dan praktek-praktek liturgi. Perlu dibahas satu per satu keberatan-keberatan dari Gereja lain yang sering diajukan berkaitan dengan penghormatan kepada Maria. Penjelasan yang alkitabiah, jelas dan tuntas sangat diperlukan. Contoh lain: zaman sekarang tidak cukup kita mengajarkan “Tritunggal Mahakudus” sebagai dogma saja, sebab di luar orang berhadapan dengan umat dari agama lain yang mempertanyakan dogma tersebut. Ini menuntut penjelasan yang dapat diterima oleh pihak lain, baik dari sisi alkitab maupun rasionalitas. Kebanyakan orang Katolik merasa “mentok” pada “inilah dogma Gereja”. Jika tidak ada suatu penjelasan yang bisa meyakinkan orang Katolik sendiri mustahil katekese menjadi sesuatu yang menarik, sebab katekese tidak menambah apapun bagi pemahaman iman mereka. Bagaimana mungkin ini diterjemahkan dan dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari? Inilah salah satu tugas penting katekese pada zaman ini.
Pentingnya sensitivitas dan kreativitas
Dalam pesan pastoralnya itu, para Uskup juga menyatakan: “Kenyataan ini menantang kita untuk lebih bersungguh-sungguh menciptakan dan mengembangkan model katekese yang bermutu dan menanggapi harapan.” Ungkapan ini menuntut sensitivitas dan kreativitas pihak-pihak yang bertanggungjawab di bidang katekese, khususnya para pelaksana katekese di lapangan di bawah pimpimnan para pastor paroki. Dewasa ini banyak para katekis yang berjalan sendiri. Mungkin mereka diberi buku referensi oleh para pastornya, tetapi mereka tidak dibekali dengan suatu pembaruan, baik di bidang iman maupun metode pengajaran. Akhirnya kegiatan katekese yang mereka jalankan kembali ke praktek dogmatis yang hambar dan membosankan.
Kalau kita jeli sebenarnya tersedia banyak cara untuk melakukan pembaruan di bidang katekese. Zaman dulu para katekis biasa menggunakan sebuah terbitan yang disebut “Katekismus Jerman” yang pasti tidak relevan lagi untuk zaman sekarang. Namun jangan salah, pada tahun 1985 Konferensi Uskup Jerman telah menerbitkan “Katekismus Jerman” yang baru, sebagai buku panduan untuk para katekis dan katekumen “Katolischer Erwachsenen Katechismus: Das Glaubensbekenntnis der Kirche” (“Katekismus Katolik untuk Orang Dewasa: Pengakuan Iman Gereja”), yang benar-benar berusaha menjawab kerinduan umat Katolik akan pemahaman yang mendasar tentang iman mereka. Buku-buku seperti ini bisa banyak memberi inspirasi untuk membuat katekese kita bermutu dan menaggapi kerinduan umat.
Multimedia, khususnya internet, memberikan sumber-sumber tak terbatas tentang berbagai permasalahan iman dan jawaban yang bisa kita berikan. Jika kita bisa memanfaatkan sumber-sumber tersebut dengan baik, banyak inspirasi yang bisa kita dapatkan untuk menjawab berbagai macam permasalahan iman di kalangan umat. Di samping itu, produk-produk audio-visual yang bersumber pada kisah-kisah Alkitab, juga menawarkan suatu sarana menarik yang bisa digunakan dalam katekese. Saat ini Injil Lukas, Matius dan Yohanes sudah dibuat filmnya. Demikian juga kisah-kisah alkitabiah yang lain. Dengan program komputer sederhana, kita bisa mengedit bahan-bahan tersebut sedemikian rupa, misalnya mencuplik dan menggabungkan kisah Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru, sehingga bisa menjadi alat bantu mengajar yang sangat menarik. Zaman ini manusia dibanjiri dengan berbagai sarana audio-visual, seperti TV, CD/DVD, Internet, dsb. Mengapa kita tidak juga memanfaatkan sarana itu dalam kegiatan katekese? Semakin banyak indera yang dirangsang, semakin banyak dan lama bahan pengajaran itu tertanam di hati kita. Sebagai alat bantu mengajar, sarana-sarana tersebut akan menjadikan katekese menyentuh hati. Apalagi kalau isi dari katekese itu sendiri sudah disusun sedemikian rupa sehigga bermutu dan menanggapi harapan umat.
Mungkin ada yang berpendapat bahwa bahan-bahan seperti tersebut di atas tentu sangat mahal. Dewasa ini, perlengkapan seperti tersebut di atas tidak lagi dianggap sebagai barang mewah. Tambahan pula para Uskup dalam Pesan Pastoralnya juga mengatakan: “Salah satu tanda bahwa karya katekese merupakan prioritas utama dalam Gereja ditampakkan dalam dukungan finansial bagi program-program katekese maupun bagi pembinaan dan penghidupan para petugas pastoral yang berkarya di bidang katekese.”
Nah, apakah kita mau memahami bahwa katekese adalah prioritas utama dalam kehidupan Gereja dan dengan demikian juga mau membenahi dan memperbarui katekese kita?
NB: Tulisan ini dimuat di Majalah Hidup, tanggal 11 Desember 2011
*) Pengajar Katekese di Stasi St. Albertus, Paroki St. Mikael Kranji.
[dari katolisitas: Silakan juga melihat katekese dewasa dari katolisitas di sini – silakan klik]
Syallom pengasuh Katolisitas…!
Saya seorang awam tapi ingin turut urun rembug nih… Menurut saya yang menyebabkan banyaknya orang Katholik yang pindah greja bahkan agama ini disebabkan karena kebanyakkan pondasi iman mereka yang salah sihingga tidak bisa memahami ajaran Katholik yang benar. Banyak diantara umat Katholik (bukan hanya awam tapi bahkan Pastorpun ada)yang mempunyai pendapat/pemahaman salah mengenai “di luar gereja ada keselamatan”. Bahkan saya pernah mendengar (2 orang romo) yang dalam kotbahnya mengatakan kalo dalam agama Islampun (yang menyangkal kalo Yesus itu Tuhan)ada keselamatan. Dan hal ini juga banyak diwartakan sleh Seksi Pewartaan baik di lingkungan maupun paroki-parioki.
Menurut saya, hal inilah yang paling perlu diperbaiki! Bukannya menyalahkan mereka (guru agama/katakese, seksi Pewartaan, Pastor)namun pemahaman mereka yang salahlah yang harus diperbaiki..
Tuhan memberkati!
[dari katolisitas: Tentang dogma EENS, silakan melihat penjelasannya di sini – silakan klik]
Pak Stef, saya ingin nimbrung lagi nih.
Berbicara mengenai Katekese dalam Gereja Katolik, sebenarnya sudah lama ingin menyampaikan uneg-uneg saya. Saya pernah bertemu dengan seorang Katolik yang sudah 2 tahun dibaptis, sebelumnya dia beragama Budhisme. Karena ingin tahu saya mengajaknya mengobrol. Ketika saya sedang berbicara tentang Yesus dan Mujizat-Nya, saya terkejut ketika orang ini bertanya :
“O, jadi Yesus itu benar-benar ada ya pak?”
Saya langsung berpikir dalam hati :”Apa sih yang dipelajari orang ini selama ikut katekisasi? Masa baru disadarinya bahwa Yesus itu benar-benar ada?”
Dari pengalaman itu, saya mencoba mengingat lagi apa yang saya peroleh selama saya mengikuti Katekisasi. Kesan saya, apa yang diajarkan terlalu Baku dan Kaku. Para pengajar lebih sering membicarakan aturan Gereja dari pada bagaimana menjadi Umat Katolik yang benar dalam hidup sehari-hari.
Artinya, mereka lebih banyak membicarakan tentang Isi seluruh Kitab Suci, dari pada inti Ajaran Yesus, dan bedanya dengan ajaran Agama lain. Sebab, salah satu Kebenaran yang dimiliki Iman Katolik, yang paling penting, adalah menunjukkan bedanya antara Yesus dengan Nabi yang lain, bukan dalam bentuk Ajaran yang rumit ala teologi, tetapi berupa ajaran yang bisa umat jalankan dalam hidup mereka, sesuai ajaran Yesus.
Perbedaan ini sangat penting, karena dengan inilah umat memiliki pegangan ketika mereka hidup bersama umat agama lain. Seperti kata Yesus, ketika kita melepas seorang Umat yang baru dibaptis,ke masyarakat, kita seperti melepaskan domba diantara serigala. Tanpa pegangan yang kuat, umat akan dengan mudah berpindah agama.
Saya sering berhasil meyakinkan umat Katolik untuk tidak meninggalkan agamanya, dengan kata-kata Yesus sendiri, dalam Yohanes 14 : 6 , “Akulah Jalan dan Kebenaran dan Hidup. Tidak seorangpun yang datang kepada Bapa kalau tidak melalui Aku.”
Saya jelaskan bahwa bila Nabi yang lain itu seperti Guide, hanya menunjukkan Jalan, maka Yesus adalah Jalannya. Guide boleh banyak, tetapi tanpa Jalan, tidak ada sesuatupun yang bisa ditunjukkan oleh sang guide.
Dan yang terpenting, para pengajar harus menunjukkan bahwa meskipun di masyarakat kita, agak sulit untuk membedakan tingkah laku umat Katolik dengan umat agama lain, itu disebabkan karena umat itu tidak menjalankan Ajaran Yesus dalam hidupnya. Sebab dalam Yesus bukan hanya berbeda sebagai Pribadi, tetapi juga dalam Ajaran-Nya. Mengasihi Musuh dan mendoakan mereka yang menganiaya kita, itu ajaran yang tidak ada dalam agama manapun. ini contohnya.
Demikian pendapat saya,
Salam dalam Kasih Yesus
Shalom FX. Slamet,
Kalau orang tidak tahu bahwa Yesus sungguh-sungguh ada, walaupun telah mengikuti katekese, sebenarnya dapat dikatakan keterlaluan. Katekese untuk menuju pada baptisan seharusnya mengajarkan iman Katolik – yang berpusat pada Kristus – secara sistematis. Dan tentu saja tidak dapat dilepaskan dari teologi, karena teologi dapat didefinisikan sebagai iman yang mencari pengertian. Dan pengertian dan pengetahuan akan iman diperlukan, sehingga seseorang kemudian dapat mengasihi imannya dan kemudian menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan berpegang pada iman yang berdasarkan kesaksian dari Kristus dan diteruskan oleh Gereja, maka umat akan mempunyai iman yang kuat, dan tidak mudah diombang-ambingkan oleh pengajaran-pengajaran yang bertentangan dengan iman Katolik. Tentu saja agar iman dapat terus bertumbuh diperlukan rahmat dan kerjasama manusia dengan rahmat Allah. Mari, kita bersama-sama berjuang.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Shalom Katolisitas.org dan sidang pembaca, salam kasih dalam Tuhan Jesus.
Saya belum membaca habis semua ulasan dan usulan sidang pembaca berikut jawaban Katolisitas.org sehingga barangkali tulisan ini mengulang tulisan sebelumnya. Ini hanyalah renungan pribadi dari pengalaman hidup (usia saya sudah kepala 5) yg barangkali bisa melengkapi ulasan sebelumnya.
Saya bersekolah di sekolah Katolik (TK hingga SMA). Pelajaran Agama Katolik di SD sebenarnya lebih tepat disebut pelajaran Budi Pekerti. Barangkali dirancang demikian karena hampir separuh murid bukan Katolik. Ketika SD kelas 1-4, yg mengajar agama katolik adalah Suster Belanda yg baik hati. Dia cuma bawa gambar besar (misalnya Adam dan Eva diusir dari Firdaus, bahtera Nabi Nuh, kisah Exodus dsb) dan lantas bercerita tentang tokoh tsb. Bagi kami, hal tsb cukup menarik karena mirip2 cerita kancil-buaya yang lumayan seru. Di kelas selanjutnya ya sami mawon. Guru mengajar dengan improvisasinya sendiri. Saya tidak ingat lagi bagaimana saya bisa lulus pelajaran agama karena yg saya ingat ya cuma kisah verbalnya saja dengan pesan moralnya yg sumir: jadilah orang yang baik, titik! Saat itu, hal tsb tidak menjadi masalah bagi saya, tapi setelah dewasa, saya merasakan kekurangan pengetahuan Alkitab berikut katekismus (gak usahlah bicara soal surat gembala, dokumen konsili, ensiklik paus, hukum kanonik dlsb). Barangkali karena terbiasa mendengarkan dongeng, maka ketika beranjak remaja-dewasa saya tidak punya inisiatif untuk mencari bacaan2/materi yg berkaitan dengan iman/gereja. (Saya babtis lahir, sehingga TIDAK PERNAH ikut katekisasi!). Tapi di sisi lain mungkin saya masih beruntung karena di SD masih diajarkan lagu2 Latin yang sederhana. [Sampai sekarang saya sering terharu dan ingat masa kecil jika ada misa dgn ordinarium dan nyanyian Latin yg biasa2, maksudnya tercantum dlm PS/MB]. Untungnya lagi, saya ikut kelompok misdinar yg waktu itu juga masih diajar doa2 dasar dlm Latin berikut jawaban umat. Dengan ikut misdinar, saya punya pengetahuan sedikit2 mengenai tata cara ibadat serta berbagai sakramen gereja, selain itu juga ikut menjaga pergaulan semasa SD-SMP.
Di SMP, pelajaran agamanya lebih terarah, ada silabus dan buku pegangan tapi masih terkesan sebagai pelajaran budi pekerti, moral serta sedikit2 ada pengenalan pendidikan sex. Selama di SMP, tidak pernah sekalipun kami membawa/ membuka Alkitab di kelas! Sama sekali tidak ada pengetahuan mengenai Alkitab, bahkan yang sangat dasar sekalipun.
Ketika SMA, kami mendapat guru agama yang sama dari kelas 1-3 (hanya dia satu2nya yg guru agama di sekolah, jadi beliau kenal masing-2 pribadi murid2nya). Beliau (konon hampir jadi pastor), cukup mumpuni dalam teologi dan filsafat Katolik. Mengajarnya tidak pakai silabus/buku teks, jadi kami terpaksa mendengar-mencatat “kuliah” lisannya yg ruwet karena lebih menitik beratkan pada “filsafat”, yaitu apa2 yg menjadi makna dibalik ayat2 yg ada pada Alkitab! Seingat saya, tidak pernah ada materi yang serius perihal pengenalan Alkitab. [Pengetahuan saya mengenai ini cuma : Alkitab t.d PL dan PB, injil ada 4; injil Yoh. tidak termasuk sinoptik dsb dsb, yang belakangan saya ketahui bahwa hal2 tsb sebenarnya memalukan untuk orang dewasa yang mengaku Kristen]. Dilanjutkan lagi ya. Selama 3 tahun diajar beliau, ulangannya selalu essay hingga bisa 3 lembar folio bolak-balik. Saya lebih banyak ngedobos sehingga nilai agama di rapot umumnya 65an alias pas2an. Yang ingin saya katakan adalah, kami “terengah-engah” karena kurangnya pengetahuan dasar Alkitab/doktrin gereja untuk mengimbangi keinginan sang guru untuk mencerahkan horison nalar murid2nya dengan mencoba berfilsafat! Jujur saja, saya merasa mabok karenanya dan beberapa tahun setelah lulus SMA saya tidak mau membuka-buka Alkitab! [Namun metode mengajar sang guru tsb ada bagusnya juga, membiasakan kami untuk kuliah nanti].
Dari pengalaman itu, sekarang saya sadar bhw sejak kecil saya tidak dibekali pengetahuan
yang TERSTRUKTUR mengenai Alkitab dan Katekismus Gereja Katolik (KGK). Hal ini kelihatan jelas ketika saya “sok2an” membeli Alkitab; ternyata yg saya beli adlh Alkitab tanpa Deuterokanonika! Ketika kuliah, kondisi tsb terus berlanjut. Pelajaran agama yg hanya 1 semester tidaklah berarti apa2 selain memenuhi syarat kelulusan. Karena keterbatasan waktu, pada akhir semester, dosen yang juga Pastor hanya bisa berpesan sambil memberi copy-an bacaan yg disarankan spt berbagai ensikilik dan pokok-2 KGK dgn harapan akan dibaca “kapan-kapan” (sampai sekarang juga belum selesai membacanya dan malahan sudah hilang!).
Jika demikian halnya, mengapa kita heran ketika mendengar banyak teman2 saya sejak SD hingga kuliah banyak yg pindah agama? Bahkan juga adik misdinar saya! Katekisasi yg diterima oleh umat generasi saya boleh dibilang amburadul!! Sungguh benar statement sebuah buku (saya kurang pasti, tapi barangkali The Da Vinci Hoax), bahwa segala heboh akibat buku TDVC tidak akan terjadi jika Gereja Katolik (baca: termasuk umatnya) melakukan katekisasi dengan benar. Bahwa saya dan yg lain2 masih merasa sejuk dan bahagia di dalam pangkuan gereja Katolik, bukanlah terutama karena saya memiliki iman yang hebat, tapi karena persaudaraan yg hangat dalam jemaat di lingkungan-paroki (walaupun kadang2 ada juga friksi kecil2an) serta contoh kehidupan kristiani yg baik dari orang tua saya (yg menjadi Katolik sejak bersekolah di Muntilan sebelum perang dunia).
Pengetahuan dasar Alkitab saya baru mulai tumbuh ketika berumur 40an(!) waktu ikut kursus Alkitab di paroki. Saya “terlongo-longo” karena ada buku2 yg bagus dan dapat menerangkan Alkitab dgn bahasa enteng seperti “Awal Persahabatan dengan KS” (I.M Windu), “Pengantar ke dalam PL/PB (C. Groenen, OFM) dan beberapa lainnya. Namun saya juga agak kecut campur geli karena pengetahuan dasar yg disajikan buku2 itu seharusnya sudah saya kuasai sebelum lulus SMA! Belakangan ini makin banyak buku2 bagus terbitan Obor, Kanisius, Dioma dsb, baik karya penulis Indonesia maupun terjemahan. Masalahnya: apakah kita mau dan mampu menyisihkan waktu untuk membacanya?
Kembali ke pelajaran agama di sekolah (saat ini). Dari apa yg saya lihat di paroki dan sekolah (Katolik) anak saya, saya mau memberi kredit “cukup baik” kepada dua lembaga tsb. Bimbingan untuk komuni pertama dan krisma, kerja sama antara sekolah dengan paroki, jauh lebih baik dan intensif daripada yg saya terima dulu. Porsi “budi pekerti” dalam buku pegangan murid (disupervisi oleh Kom.Kateketik – KAJ) tidak lagi terlalu menonjol seperti jaman saya sekolah; ayat2 Alkitab dibahas cukup komprehensif untuk ukuran anak2 namun anak2 masih belum dibiasakan membuka Alkitab. Dalam satu semester, saya melihat anak2 hanya membawa Alkitab sekali-dua kali ke sekolah. Tapi “katekisasi” di sekolah masih jauh dari ideal karena anak2 sudah sangat terbebani dengan kurikulum sekolah.
Selain sekolah Katolik, masih ada Bina Iman Anak/Remaja (BIA/R) di lingkungan/ wilayah. Ada BIA/R yang semarak tapi lebih banyak yang mati suri. Hal ini terlihat waktu acara Natal Wilayah; lingkungan yang BIA/Rnya semarak, akan aktif menyumbang acara. Lingkungan saya termasuk yg BIAnya mati suri. Anak2 saya, ketika TK-SD, ogah2an datang karena, katanya, jenuh dan sudah lelah di sekolah (kebetulan hari pertemuan BIA bertepatan dengan pelajaran ekstra/Misa Jumat I untuk murid2 Katolik). Artinya, BIA ditempat saya tidak memiliki daya tarik bagi anak2. Saya melihat BIA tidak maju di lingkungan yg taraf ekonomi keluarga Katoliknya biasa2 saja. Maaf bila ini menyakitkan dan vulgar, namun itulah fakta yang saya lihat. Di lingkungan itu, pengasuh BIA benar2 bekerja “pro Deo”. Lingkungan sudah bagus bila dapat menyisihkan sekedar uang transpor untuk menghargai para pengasuh. Barangkali perlu dipikirkan semacam subsidi dari paroki. Hal ini sebetulnya bisa karena (ada) paroki (yang) sanggup mengadakan pasar murah/pengobatan gratis yang nota bene sebagian besar dinikmati oleh warga non-Kristen! [Untuk Sekolah Minggu level paroki, saya tidak bisa bicara banyak karena tidak pernah mengamati. SM ini diadakan untuk membantu pelajar yg bersekolah di sekolah negeri/swasta bukan Katolik, yaitu dalam rangka memberi nilai pelajaran agama karena tidak ada guru agama di sekolah tsb. Namun bolehlah kita berharap bahwa bobotnya sama dengan pelajaran agama di sekolah Katolik].
Bagaimana dengan gereja lain?
Waktu SD saya pernah 2-3 kali diajak-ajak ikut Zondags Scholl /Sekolah Minggu (SM) [tentu tanpa sepengetahuan orang tua] dan teman dekat saya waktu muda dulu (namun sudah lama bubar) aktif dalam pelayanan SM, maka saya bisa cerita sedikit tentang itu. Menurut hemat saya, kita bisa mencontoh kebijakan dan metode katekisasi yg bagus dari beberapa gereja Protestan meskipun tentu tidak bulat-bulat 100%. Beberapa gereja memiliki kebijakan katekisasi yg ketat untuk anak2 dan remaja. Pada level TK-SD, SM tidak melulu berisi les agama tapi porsi bermainnya dominan. Pada level SMP, pengarahannya makin serius dan berpuncak pada sidi (semacam sakramen penguatan). Karena dilakukan secara KONTINYU TIAP HARI MINGGU, maka pada diri anak2 ditumbuhkan pemahaman atas imannya serta rasa saling memiliki dalam persekutuan iman. Pada usia SMA/universitas, biasanya remaja2 ini sudah mampu menjadi fasilitator Sekolah Minggu tsb atau minimal membantu pelayanan para mentor. Mereka melakukan penginjilan di segala kesempatan yg mungkin. Pada acara olahraga bersama dihalaman gerejanya, misalnya, pada saat rehat diselipkan renungan Alkitab yg ringan dan singkat oleh seniornya sembari minum sirop dengan gaya yang santai dan tidak mengajari (hanya menyampaikan pesan).
Mereka melaksanakan SM yang tidak terkait dgn sekolah/pelajaran agama di sekolah. Sepanjang penangkapan saya, jemaat gereja2 tsb harus mengadakan SM karena pelajaran agama di sekolah tidak dapat diandalkan 100% mengingat banyaknya aliran2 Kristen Protestan serta gurunya belum tentu berasal dari gereja yang sama. Saya melihat hasil katekisasi mereka sangat baik. Anak2 Protestan seumur SMP sudah mampu menghafal ayat2 yg penting dari Alkitab (terutama Mazmur) serta tahu urutan2 kitab serta garis besar isi PL dan PB. Pada umur SMA dan kuliah, banyak dari mereka yg berani berdebat jika ada yg tanya2 pokok2 iman-nya.
Tentu saya paham bahwa materi ideal yang harus dilahap oleh seorang Katolik jauh lebih berat dari itu semua karena kita memiliki surat gembala Paus/Uskup, dok. Konsili, hukum kanonik, berbagai tulisan Bapak Gereja purba dll selain Alkitab; tapi, seperti telah diulas sebelumnya oleh seorang pembaca, kita harus memulainya dari segala sudut; dari anak2 hingga orang tua; dari berbagai kelompok kategorial; dan dimulai dari keluarga sendiri lalu ke lingkungan. [Dan saya merasa belum mencapai apa2].
Sekian dulu, Shalom.
[dari katolisitas: Terima kasih atas sharingnya yang dapat menjadi permenungan bagi kita semua.]
katekese kita bersifat terlibat:
kita menyelami kehidupan
menyelami realitas umat yang dilayani
terbuka terhadap perkembangan baru sebagai sarana pewartaan yang kontekstual
“penjara utama manusia dalam hidup manusia adalah hati yang tertutup” untuk rahmat Tuhan dan kehadiran orang lain.
[Dari Katolisitas: Sifat menyelami kehidupan umat dan keterbukaan terhadap perkembangan harus dilakukan sedemikian tanpa mengorbankan kebenaran sebagaimana yang sudah terus diajarkan oleh Gereja Katolik sejak awal sampai di abad ke 21 sekarang ini]
Saya menjadi Katolik sejak 1995 (babtis dewasa). Selama 15 th menjadi Katolik, saya baru tahu yang namanya Magisterium, Tradisi Katolik. Saya juga baru tahu cara memahami Alkitab menurut Katolik setelah mengikuti kursus Alkitab. Sebelumnya ada keinginan saya untuk pindah agama, karena merasa gersang di Katolik. Mengikuti kegiatan di Lingkungan ya cuma begitu2 saja, monoton dan tidak ada hal2 yang dapat menguatkan iman saya. Belajar katekese hanya pada saat mau dibabtis saja, setelah itu berhenti. Lalu siapa yang bertanggung jawab? Mau bertanya, tidak tau apa yang harus ditanyakan. Mau kemana juga tidak tau tujuannya.
Menurut saya, Gereja harus berperan lebih aktif, dapat menemukan persoalan di lingkup bawah karena cuma Gereja yang tau ukurannya. Tingkatkan kerasulan awam sampai ke tingkat Lingkungan. Membina pengurus di Lingkungan spy dapat mengajar katekese kepada warga. Katekese harus berjalan kontinyu
Menurut hemat saya, yang pertama dan terutama diperkenalkan kepada katekumen adalah Yesus Kristus, Tuhan kita. Siapa Dia, apa yang sudah dilakukan bagi kita, apa yang dikehendaki-Nya, bagaimana melakukan kehendak-Nya. Hal-hal lain, termasuk tentang Gereja kurang penting. [dari Katolisitas: Sesungguhnya kita tidak dapat melihat Gereja terpisah dari Kristus, sebab Gereja adalah Tubuh Kristus yang tidak terpisah dari Kristus yang adalah Sang Kepala. Maka secara prinsip pengajaran pokok iman Katolik mencakup: 1) Apa yang kita percayai (tentang Credo Aku percaya), 2) Bagaimana merayakan apa yang kita percayai (tentang sakramen-sakramen), 3) Bagaimana hidup sesuai dengan apa yang kita percayai (tentang moralitas dan sepuluh Perintah Allah; 4) Bagaimana menimba kekuatan dalam doa untuk melaksanakan apa yang kita percayai (tentang doa, terutama doa Bapa Kami)]
Oleh karena itu mestinya 80-90 % dari waktu yang satu tahun itu digunakan untuk membicarakan tentang Tuhan Yesus Kristus. Dengan demikian dapat lebih diharapkan bahwa pada akhir masa katekumenat katekumen cukup banyak mengenal Kristus sedemikian rupa sehingga dapat menerima Tuhan Yesus Kristus sebagai penyelamatnya ( inilah yang terpenting, bukan?) dan dapat menerima Gereja Katolik apa adanya dengan segenap kekurangannya. Calon dapat memahami bahwa hanya Tuhan Yesuslah yang sempurna.
Perihal adanya sejumlah umat yang memilih berpisah dari Gereja Katolik kiranya cukup ditanggapi secara proporsional. Hal itu terjadi di sepanjang sejarah Gereja; bukan hal baru. Justru hal tersebut menjadi bahan refleksi terus menerus bagi Gereja Katolik untuk semakin mementingkan Tuhan Yesus dan menghayati-Nya dalam hidup sehari-hari, baik secara pribadi maupun secara komunal. Bukankah Gereja ada memang untuk melakukan kejendak-Nya, melayani-Nya, percaya akan kasih-Nya, dan memuliakan Bapa?
Saya cinta Gereja Katolik, selamanya.
Karena katrkese mrupakan masalah yg luas dan dalam skl, utk menghadapinya kita harus mulai menghadapinya dgn cara sepotong2.
1- Pembagian mnrt umur : kanak2, remaja, muda , setengah baya,dan lansia., menentukan seberapa dalamnya subyek pembahasan. dlm pelbagai segi bahan katekese.
2- Krn medium katekese yg akan digunakan adalah internet, sudah barang tentu perhatian akan ditujukan pd segmen umur yg banyak menggunakan internet, yaitu kaum muda umur 20 – 35 th.
Utk ini lalu diperlukan networking dgn pelbagai situs yg banyak dikelola oranr2 muda utk meningkatkan content mereka, belum lagi situs Keuskupan yg hampir semuanya [edit: kurang dikelola dengan baik].
3- Utk bahan , pertama2 ya YOUCAT yg dipopulerkan sewaktu WYD di Madrid di tahun ini [ yg dikembangkan oleh UskupAgung dari Austria.], seperti yg digariskan oleh Bapa Suci B16.
Kedua,dari artikel yg begitu melimpah dari puluhan blogs dari USA, disontek saja,diterjemahkan. Tentu saja mencantumkan sumber2nya.
Perlu di terjemahkan krn oranr2 muda kebanyakan agak malas membaca bhs Inggis, meskipun mereka itu sebenarnya mampu kalau mau meperdalam bahasa dan isinya.
Untuk bahan dari blogs ini, sekiranya katolisitas .org kurang tenaganya, saya mengajukan diri utk membantu mencari artikel2, lalu menyampaikannya pd kat.org utk dipilih, kemudian saya coba menterjemahkannya, lalu kembali pd kat.org utk dipoles.
4- Kita harus memulai dgn sesuatu yg sederhana yg konkrit, dan berhenti dulu berwacana yg tak ada ujung realisasinya
Shalom Agustinus Purnama,
Terima kasih atas masukan yang anda berikan. Youcat sedang diterjemahkan oleh Romo Santo. Dan tentang menterjemahkan bahan dari beberapa blog di Amerika, maka diperlukan proses filter. Untuk bahan katekese, sebenarnya kami sendiri tidak kekurangan bahan, karena kami telah mempunyai cukup banyak buku untuk dapat membuat bahan katekese. Rencananya, memang suatu saat akan ada satu bahan katekese dewasa yang komprehensif dan sistematis. Jadi dari beberapa masukan tentang katekese ini, kita dapat melihat melihat apa yang menjadi kekurangan dan juga yang menjadi masalah di lapangan. Apakah anda juga bersedia untuk menterjemahkan atau menyadur tentang artikel-artikel yang lain, seperti perkembangan umat Katolik di dunia atau berita-berita seputar kegiatan Paus, dll? Bahan bisa dilihat dari beberapa site, seperti zenit.org atau L’osservatore Romano. Terima kasih.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Sebagai guru dan katekis saya sangat prihatin dengan kondisi umat Katolik di Indonesia khususnya di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, sebagai domba yang keluar dari kandangnya mereka mudah dipengaruhi dan bahkan melihat serta mengalami sendiri akan permasalahan yang terjadi di dalam struktur gereja dan parokinya sendiri. Yang saya maksud di sini adalah situasi dan kondisi yang muncul dikarenakan para gembalanya atau pelayan umatnya tidak menunjukkan sikap dan perilaku yang sesuai dengan ajaran kasih, contoh: 1) seorang pastor yang masih minta dilayani umatnya secara berlebihan misalnya datang untuk melayani kunjungan Misa lingkungan harus dijemput dan kalau tidak dijemput tidak mau datang dan bahkan dijadikan bahan kotbah untuk pembenaran. 2) pengurus PGDP yang suka arogan dan bahkan terlalu birokratis untuk hal-hal yang berkaitan dengan uang umat misalnya untuk dana pendidikan, dan dana sosial. 3) seorang prodiakon yang masih berperilaku dan bersikap apriori dan egois dalam kehidupan sehari-harinya sehingga umat sangat mengetahui siapa sebenarnya dia?……. 4) ini kejadian yang saya anggap parah sebagai gembala, saat memimpin Misa memarahi misdinar yang melakukan kesalahan pelayanan di hadapan para umat. Dan ini terjadi pada salah seorang Mgr. di Jakarta pada th. 1974 atau 1975 (kalau saya tidak salah) waktu itu saya masih kelas 1 atau 2 SMP. Dan masih banyak lagi hal-hal yang saya anggap tidak pas untuk seorang pastor atau pelayan umat lainnya dalam suatu paroki, apalagi sekarang ini saya aktif menangani Bina Iman Remaja semakin jelas melihat betapa mereka seharusnya menjadi pelayan umat tetapi malah menjadi pelayan tamu yang memberikan keuntungan pribadi dan kelompoknya.
Jangan salahkan domba yang sakit karena dia tidak pernah diobati atau jangan salahkan domba yang keluar kandang karena didalam kandang ada domba-domba yang sakit.
Salam Ignatius Priadi,
Memang tidak dipungkiri, ada beberapa oknum pastor yang secara manusiawi kadang-kadang berkelakuan memprihatinkan seperti yang Anda kisahkan. Ada pula umat Katolik yang kebetulan sedang dipercaya menjadi pengurus ataupun pelayan umat / asisten imam yang berkelakukan tidak melayani melainkan arogan, angkuh dan tidak sesuai nilai-nilai cinta kasih dan pelayanan sesuai amanat Injil. Sikap semacam itu sangat merugikan pewartaan Injil dalam hal keteladanan. Bukan hanya Anda, Yesus pun tentu prihatin.
Hierarki Gereja Katolik Indonesia sudah berusia 50 tahun pada tahun 2011 ini. Maka paradigma cara kerjanya tentu harus diubah. Perubahan ini disadari oleh para uskup Indonesia dan bersama seluruh uskup Asia. Paradigma yang harus dihayati oleh Hierarki (para uskup) dan para pelayannya ialah melayani, demi menjadi “Gereja yang Mendengarkan” (“listening Church”). Anda bisa melihat dokumen-dokumen yang bagus itu di FABC Papers (FABC = Federation of Asian Bishops’ Conferences), silakan klik.
Maka, jika Anda umat Keuskupan Agung Jakarta, Anda sebaiknya menegur imam dan pelayan umat yang cara kerjanya buruk, dengan mengindahkan nasehat Kristus yaitu dengan bicara empat mata maupun menulis surat, dengan mengacu pada “Arah Dasar Keuskupan Agung Jakarta 2011-2015” misalnya yang ada di link ini, silakan klik.
Semoga dengan tindakan kasih yang Anda tunjukkan, mereka berubah (bertobat) menjadi pelayan yang gembira, dan dengan tindakan Anda itu, Anda menjadi umat Katolik yang penuh kasih, yang mendapatkan rahmat berlimpah dari Allah selalu.
Salam,
Yohanes Dwi Harsanto, Pr
Bahwa mereka meninggalkan gereja, tentu saja karena mereka tidak meyakini. Kebanyakan beriman Katolik tetapi tidak menjalankan, sebagian lagi tidak tersentuh oleh pelayanan romonya. Sebagian lagi terombang-ambing oleh kebenaran yang mereka merasa apa yang diajarkan gereja Katolik kurang meyakinkan, dalam banyak kasus konversi agama disebabkan karena perkawinan, di mana pihak Katolik harus mengalah.
Ini semua tanggung jawab siapa ? Kita semua. Ada banyak hal yang kita harus lakukan. Saya kira sudah waktunya kita menjadi sadar bahwa penginjilan adalah tugas semua orang Katolik. Sudah waktunya setiap paroki menjadikan keluarga sebagai keluarga yang tidak sekedar beragama Katolik, tetapi siap menerima pengajaran dari Tuhan. Evangelisasi keluarga kiranya akan banyak menolong keluarga-keluarga Katolik menerima kekatolikan sebagai anugerah.
Cuma masalahnya siapa yang memulainya ? Karena ada kecenderungan banyak imam yang sudah habis tugasnya untuk pelayanan yang sifatnya liturgi. Kalau kita masih berpikir pada paroki saja, tanpa peduli terhadap keluarga-keluarga, maka apa yang terjadi di Amerika dan Eropa, akan menimpa kita, tinggal tunggu waktu. Apakah kita kan menunggu bencana seperti itu datang. Pendidikan imam kiranya perlu ditautkan dengan tantangan jaman.
Marilah kita semua mengambil tanggung jawab. Tidak hanya kaum berjubah saja..
Jika saya boleh usul, saya rasa dalam proses katekese, para katekis juga perlu menyampaikan segala jawaban dari pertanyaan2 umat Protestan, misalnya yang sering dibahas di sini, perihal peran bunda Maria, berdoa di depan patung dan sebagainya, sebab saya yakin bahwa salah satu alasan banyak yang meninggalkan Gereja Katolik adalah karena tidak dapat menjawab pertanyaan2 tadi dari pihak Protestan sehingga umat menjadi bingung dengan iman Katoliknya sendiri dan ujung2 nya pindah agama karena berpikir bahwa imannya “selama ini salah toh,”
Trims
Pertama kita melihat bagimana Tuhan Yesus minta dipermandikan oleh Yohanes Pembaptis di sungai Yordan dengan cara yang sederhana, dimana Yesus datang tidak membawa apa -apa dan pulang juga tidak membawa apa-apa, dalam hal ini Yesus mau memberi contoh kepada kita bahwa seseorang mau dipermandikan secara katolik hanya dengan modal rasa percaya ( iman ) yang tulus. lalu apa yang oleh hirarki gereja setelah itu? Gereja melahirkan dogma yaitu menetapkan hukum-hukum gereja seperti kanonika yang mengatur tentang : permandian, komoni pertama, perkawinan, yang berlebihan bahkan cendrung otoriter kita ambil Contoh [edit: nama paroki dihapus] : –
1. untuk permandian Bayi; dimana orang tua harus menyiapkan sepotong kain putih polos untuk membersihkan kepala Bayi setelah disirami air permandian oleh pastor,dan kedua orang tua dan saksi Permandian harus ikut pembinaan ,kemudian untuk permandian dewasa; harus mengikuti pendidikan katekumen paling kurang 6 ( enam) bulan dan apabila tidak maka calon katekumen itu digugurkan (ditolak)
2. calon komoni pertama harus mengikuti pembinaan selama tiga bulan kalau tidak digugurkan .
3. calon pengantin; harus mengikuti persiapan perkawinan,harus minta surat Liberti (surat keterangan belum menika ) dari Paroki asalnya dan surat permandian harus diperbaharui karena masa berlakunya hanya 6 (enam) bulan.
Dan hal yang umum terjadi adalah prilaku Pastor yang suka serono belum lagi kotbahnya ngalor-ngidul yang membuat hati umat tidak teduh, tenang ,damai justru meresahkan dan lebih menjijikan lagi ada dua orang pastor yang bertugas diparoki kami tahun 70 an dan 90 an terlibat perselingkuhan dan perzinahan dan mereka kawin. apa yanag saya paparkan ini sebagai contoh kecil saja dan saya yakin hal serupa terjadi dimana -mana dalam gereja katolik. hal inilah yang kadang-kadang membuat iaman umat menjadi goyah.sekian dari saya, terima kasih.
Shalom Zakarias Madun,
Terima kasih atas sharing anda. Kita harus melihat bahwa peraturan-peraturan yang dibuat adalah untuk menciptakan kondisi agar umat Allah dapat melakukan segala sesuatu secara bersama-sama untuk mencapai tujuan. Pada waktu jumlah orang yang diatur tidak terlalu banyak, kita mungkin tidak butuh peraturan yang banyak, sebagai contoh dalam keluarga. Namun, kita juga tahu, bahwa dalam keluarga juga tetap ada peraturan. Berikut ini adalah tanggapan saya:
Memang benar, bahwa Yesus dibaptis di sungai Yordan pada waktu itu. Namun, apakah dengan demikian kita bersama-sama ke sungai untuk dibaptis? Kalaupun kita dibaptis di sungai, kita juga memerlukan handuk, yang mungkin diperlukan peraturan agar semua orang yang dibaptis membawa handuk. Jadi, kita melihat tetap ada aturan agar upacara baptisan dapat berjalan dengan baik. Jadi, dalam kasus yang anda ceritakan, saya memandang tidaklah terlalu berat bagi orang tua untuk menyiapkan kain polos (berfungsi sebagai handuk kecil) untuk mengelap air dari kepala bayi. Kalaupun anda keberatan dengan hal ini, anda dapat mendiskusikannya dengan koordinator dari acara baptisan ini. Kedua orang tua memang sudah selayaknya untuk ikut pembinaan, karena dalam baptisan bayi, orang tua harus menyadari tanggungjawabnya untuk memberikan pendidikan iman Katolik bagi anak-anaknya. Dan untuk baptisan dewasa, para katekumen memang harus mengikuti katekese selama kurang lebih satu tahun atau dapat juga lebih lama. Hal ini bertujuan agar para calon baptis dapat benar-benar mengetahui dan mengasihi iman Katolik. Tanpa proses katekese yang baik, maka banyak umat Katolik terombang-ambing dengan banyaknya pengajaran yang bertentangan dengan iman Katolik. Kalau seseorang (yang memungkinkan untuk menjalankan proses ini, dan tidak termasuk orang-orang yang sakit parah) ingin dibaptis dan tidak mau mengikuti katekese, maka perlu dipertanyakan keseriusannya. Jangan lupa, bahwa pada masa jemaat awal, mereka setiap hari bertekun dalam pengajaran para rasul. (lih. Kis 2:42) Begitu juga prinsip persiapan untuk calon komuni pertama adalah untuk memberikan pembekalan iman Katolik yang baik.
Calon pengantin juga harus mengikuti pembinaan, mengingat bahwa tidak ada perceraian di dalam Gereja Katolik. Calon pengantin harus mengetahui hakekat perkawinan yang dikehendaki Allah, sehingga harapannya dengan persiapan yang baik, mereka akan semakin mengetahui hakekat perkawinan Katolik dan kemudian dapat menempuh bahtera perkawinan dengan baik. Dan untuk menghindari halangan perkawinan, yang salah satunya adalah tidak terikat dalam perkawinan sebelumnya, maka pasangan tersebut memang harus menyediakan surat keterangan belum menikah serta akan diadakan tiga kali pengumuman di gereja. Keterangan menikah ini akan dicantumkan di dalam surat baptis, sehingga akan tercatat bahwa memang pasangan ini telah menikah. Kita seharusnya berterimakasih karena ada prosedur ini, sehingga tidak ada individu yang dirugikan. Kalau tidak ada prosedur seperti ini, mungkin akan banyak individu yang dirugikan, karena dapat saja seseorang menikah dengan orang yang masih terikat perkawinan yang sah. Jadi, dari sini, kita dapat melihat bahwa peraturan-peraturan yang diberikan sebenarnya bertujuan untuk melindungi umat Allah.
Tentang pastor yang mungkin tidak sesuai dengan harapan anda, maka saran saya, kalau memungkinkan anda dapat memberi masukan kepada pastor yang bersangkutan dengan semangat kasih. Dan kalau mereka tidak setia dengan panggilan mereka, maka ada baiknya umat juga dapat menciptakan suasana yang baik, sehingga pastor tersebut benar-benar dapat lebih setia terhadap panggilan imamatnya. Dalam beberapa kesempatan, ucapkan terima kasih atas pengorbanan mereka untuk meninggalkan segala sesuatunya dan menjawab panggilan Tuhan untuk menjadi seorang imam. Yang terpenting adalah kita harus mendoakan pastor, uskup dan paus setiap hari. Bahwa ada pastor yang tidak setia adalah suatu kenyataan, namun adalah satu kenyataan juga bahwa ada banyak pastor yang setia dan begitu baik, yang benar-benar menjalankan panggilannya dengan sungguh-sungguh serta penuh sukacita. Kalau karena kejadian ini, iman sebagian umat goyah, maka menjadi tugas semua umat beriman dan hirarki untuk lebih memberikan pendalaman iman yang lebih baik. Iman kita tidak tergantung dari apa yang terjadi pada pastor. Bahwa pendosa menjadi batu sandungan memang benar. Namun, sudah seharusnya iman kita berkembang lebih dewasa dan tidak goyah dengan kasus-kasus yang tidak baik. Kalau iman kita tergantung dari hal ini, maka sebenarnya kita juga dapat goyah terhadap kekristenan karena hampir 10% dari rasul yang dipilih Kristus ternyata berkhianat – karena satu (Yudas Iskariot) dari duabelas orang berkhianat. Namun, iman kita tidak berfokus pada Yudas maupun pastor-pastor yang tidak setia, namun berfokus pada Kristus sendiri. Mari, dalam keterbatasan kita, kita benar-benar membangun Gereja Katolik yang kita cintai dari dalam, dengan juga mengasihi para imam yang telah dipilih Kristus sendiri. Semoga dapat diterima.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
mungkin umat yang mengikuti katekumen perlu di jelaskan juga beberapa hal pengajaran yang salah tentang Protestan dan memberikan fakta tentang Khatolik yang sejarahnya memang sudah benar. selain itu banyak umat yang masuk Protestan mungkib juga karna mereka berpikir barah khatolik itu hanya itu-itu saja. ekaristi tiap minggu dan hanya duduk, berdiri, berlutut lalu pulang.
para pengajar perlu menjelaskan apa saja makna dari semua perayaan itu. ada arti mendalam dari setiap hal yang dilakukan. mengapa umat harus berlutut misalnya? selain itu pangajar juga harus memberi kesaksian imannya sendiri atau para santo/santa yang sungguh suci dalam khatolik bahkan sampai yang jenazahnya yang tidak hancur dimakan waktu. jadi itu bisa menguatkan.
hal lain juga tiap kegiatan rohani perlu dijelaskan maknanya. seperti novena atau kharismatik atau legio Maria. perlu ditekankan juga betapa pentingnya hidup bersatu dalam lingkup khatolik dan beberapa ayat kitab suci yang mengatakan tentang kebenaran khatolik.. saya juga pernah beberapa kali di rayu untuk pindah, ke Gereja Bethel lha, Gepekris lah, Bethani lah bahkan Pantekosta juga. tapi puji Tuhan saya masih bisa menjaga iman Khatolik saya, juga pesan sederhana namun sangat bermakna yang disampaikan oleh pengajar katekis saya, “ketika kita di ajak ke Gereja lain, kita jangan mau, kita sudah punya Gereja senddiri kok,, kalo kita pindah trus gimana nasib Gereja kita.?? Kita harus setia pada Gereja kita dan iman kita..”.
maaf jika ada salah2 kata,, trims..
Shalom katolisitas.org
Mungkin ini ada sedikit input saja, berikut ini adalah hasil pantauan saya tentang para katekumen setelah dibaptis mereka pindah ke gereja tetangga.
1. Kebanyakan yang pindah itu adalah yang kader yang aktif karna sampai saat ini paroki-paroki katolik jarang mengadakan suatu pelatihan/rekoleksi, umumnya para moderator lebih sibuk dengan kegiatan yang diluar parokinya.
2. Untuk para katekis, apa yang para katekis sampaikan lebih ke kepenaksiran KS atau semacam kursus KS dan pada akhirnya para katekis tidak dapat menjawab pertanyaan yang diajukan para katukumen atau membingungkan. (ini yang terjadi di paroki saya KAJ)
3. Mengenai uang, dewasa ini setiap Sakramen baptisan/Komuni pertama, kalau ada pertemuan lebih banyak membicarakan uang stipandium/honorarium atau setidaknya para katekumen kalau mau dibaptis harus siap dengan dana untuk ini dan itu.
4. Perilaku Pastor, guru katekis, ketua lingkungan dan tokoh-tokoh gereja yang ada di sekitar paroki yang selalu berbeda dalam percakapan dan perbuatan sehingga menjadi muak/munafik didalam pewartaan.
5. Saling menyudutkan dalam perwartaan antar seksi, kategolrial, komunitas.
6. Mungkin perlu perubahan besar-besaran dalam tubuh komisi/seksi katekese agar para moderator, katekis bukan sekedar mengejar target.
Bagi saya ini adalah sebuah pemikiran/pandangan yang sangat membangun iman gereja katolik dewasa ini, siapapun anda pastor, suster, dan awam yang aktif maupun yang tidak aktif mari kita mewartakan karya keselamatan Kristus untuk sesama, terima kasih untuk tim katolistas.org
Salam Kasih dalam Kristus Tuhan,
= Stefanus AT
Shalom katolisitas.org,
Saya ingin bertanya, apakah ada jalur katekisasi untuk penerimaan Sakramen Pembaptisan diluar katekisasi formal (dalam arti, melalui pembelajaran rutin di paroki)? Karena dalam kasus ini, ada orang yang ingin dibaptis namun selalu berhalangan untuk ikut dalam program katekisasi yang ditetapkan paroki. Apakah seseorang bisa, dengan hanya belajar secara informal (dengan teman, guru, dll.) dan kemudian dapat menerima Sakramen Pembaptisan?
Terima Kasih.
Pax Vobis
Shalom Yohanes,
Tentang program katekese, maka harus dilihat kondisi apakah yang menyebabkan teman anda tidak dapat mengikuti program katekese yang ada di paroki. Kalau waktu yang tidak memungkinkan, dapatkah dia mengikuti program katekese di paroki yang lain? Apakah masalahnya dia tidak mau berusaha menyediakan waktunya, atau apakah ada alasan yang lain? Kalau orangnya sudah tua sekali, maka pastor dapat mengutus seseorang ke rumahnya untuk memberikan pelajaran agama seperlunya. Namun, kalau teman anda sehat dan masih muda, apa yang menghalanginya ikut pelajaran agama seperti yang telah ditentukan oleh paroki? Kalau teman anda mempunyai alasan khusus, silakan menghadap pastor paroki anda dan kemudian bicarakan solusi yang harus diambil dalam mengatasi persoalan ini. Semoga teman anda dapat dibaptis secepatnya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Salam Kasih dan Damai Kristus,
Saudara2 ku dalam karya pewartaan… Jawaban saya sangatlah singkat.
Hal yang perlu diperbaiki dalam ” Dunia Katekese ” adalah Teladan sang Pewarta nya, alasannya :
1. Banyak orang Katolik , baik awam maupun biarawan/wati bahkan Imam sekalipun… Dirasakan kurang memberi teladan hidup yang sesuai dengan Ajaran Yesus Kristus sendiri. Pintar bicara tapi realitas hidup sehari2 kurang bijak dalam berkarya nyata di tengah umat. Dampaknya … Pewartaan jadi ‘ miskin ‘ dan tdklah heran memunculkan sikap antipati / kurang tertarik .
2. Kurang ada dukungan pada Pewarta Katekese [ Guru Agama di sekolah , Katekis Paroki/Wilayah ].
Dukungan yang utama adalah secara moralitas dan spiritualitas di dalam pelaksanaan pewartaan.
Jadikanlah para Guru Agama dan Katekis Paroki/Wilayah sebagai REKAN KERJA bukanlah sebagai pelengkap tambahan.
Sekian dan terimakasih, Tetaplah semangat dalam melayani sesama lewat Karya Katekese.
Amin.
Salam Damai Kristus,
Saya akan menceritakan pengalaman saya pada saat mengikuti Pendalaman Kitab Suci di salah satu lingkungan saya di Kota Kediri. Topiknya adalah tentang kitab Keluaran kalau tidak salah ingat yang ada ayat…”Dengarlah, hai orang Israel : TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa ” lalu dilanjutkan ayat seterusnya termasuk pada ayat untuk mengajarkan dengan tekun iman mereka kepada anak2 mereka. Yang lucu dari pembahasan tersebut adalah ada yang bertanya Israel itu dimana? ada yang bertanya apakah sama Israel dulu dengan Israel yang di Palestina sekarang? Benar-benar di luar kontek.
Ada seorang ibu-ibu yang terkesan kritis, penuh kritik dan tidak simpatik sama sekali yang bertanya apakah nama lain dari Israel? Dan yang lebih mengejutkan lagi pemimpin atau yang membawakan Firman tidak bisa menjawab pertanyaan ibu tadi yang tentu aja akan dijawab dengan mudah oleh anak sekolah minggu di gereja-gereja protestan (mungkin juga di gereja katolik). Tidak hanya berhenti disitu saja ibu tadi seperti dengan bangga mengkritik bahwa umat Katolik kalau ke Gereja itu bawa Puji Syukur tidak pernah bawa Alkitab dan itu di amini oleh semua. Lalu ada yang mencoba membela diri bahwa orang Katolik itu lebih kearah pengamalan hidup daripada teori. Ah…saya jadi bingung…apakah pengalaman luar biasa bersama KRISTUS melalui Sakramen Ekaristi dimana kita dibawa masuk ke dalam Kitab Suci tidak mereka alami???
Saya baru dilingkungan tersebut dan saya datang terlambat jadi tempat duduk saya diluar. Sementara itu ditempat luar obrolan lebih seru yang tidak menyambung sama sekali dengan yang dibahas. Saya berusaha menjawab beberapa pertanyaan dan ada pujian dari dalam…wah ternyata ada anak muda yang aktif ikut kegiatan pendalaman kitab suci wah…itu bagus. Hei….sebentar dulu….pujian itu tidak membuat saya bangga tetapi teramat sangat mengejutkan saya….. Umur saya sudah 31 tahun dan saya dibilang muda untuk mencintai Firman TUHAN… Teman-teman saya dari Gereja Reformasi yang lebih muda dari saya SANGAT-SANGAT MENGUASAI KITAB SUCI dan doktrin Gereja mereka.
Lalu pertanyaan yang ada di benak saya adalah…jika begini…bagaimana caranya kita bisa mendidik anak kita dengan iman Katolik kita. Bagaimana kita bisa mempertahankan dari pengaruh argumentasi dari Gereja Reformasi yang memang sola scrupture dan bahkan dari Saksi Yehuwa…???
Menjawab pertanyaan tersebut saya jadi berpikir begini. Kenapa kita tidak mencotoh cara agama Yahudi dalam mendidik anak mereka pada jaman Yesus Kristus. Konon dari apa yang saya baca pada jaman Yesus anak-anak harus mempelajari taurat dan kitab para nabi yang dikelompokkan sesuai dengan umurnya termasuk juga Tuhan Yesus. Jadi seperti halnya Sekolah Minggu sebagai pengenalan awal ditiap-tiap Gereja, Sekolah-sekolah Katolik, harus ada tempat untuk anak-anak Katolik untuk belajar dan mengenal iman Katolik mereka yang bersumber dari Kitab Suci, Tradisi Suci, dan Magisterium Gereja secara kontinyu. Jadi tidak hanya diadakan klo mau babtisan,krisma,ataupun menikah tetapi harus kontinyu sehingga anak mencapai umur yang sudah ditentukan untuk dilepas ke masyarakat (mungkin seusia anak yang lulus SMA).
Pada setiap tingkatan ada seperti ijasah yang merupakan tanda kelulusan dan setiap tahap tersebut mengantar mereka untuk menentukan sudah bisa atau tidak menerima sakramen Ekaristi, sudah bisa atau tidak menerima Sakramen Krisma, sudah bisa atau tidak menerima Sakramen Perkawinan.
Semoga wacana yang saya lontarkan ini yang memang agak kontroversial menjadi masukan lain dalam menjalankan proses Katekese.
TUHAN memberkati kita.
Shalom Bernardus Aan,
Terima kasih atas wacana yang anda berikan. Memang ada cukup banyak kondisi yang membuat kita prihatin. Namun, pada dasarnya semua umat Katolik akan mempunyai dasar iman yang kuat, kalau keluarga, paroki dan sekolah menjalankan fungsinya dengan baik. Untuk itu, saya ingin mengundang anda dan seluruh pembaca katolisitas untuk datang dalam sarasehan “Pembinaan anak sejak usia dini di dalam keluarga, paroki dan sekolah.” Silakan melihat detailnya di sini – silakan klik, dan kemudian silakan mendaftar dengan segera, karena tempat terbatas. Kita dapat berdiskusi bersama dengan tim Katolisitas: Romo Wanta, Romo Santo, Ingrid dan Stef, serta Romo Adi – sekretaris Komisi Kateketik KWI. Semoga sarasehan ini dapat berguna. Kami tunggu kedatangan anda dan para pembaca katolisitas.org.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Shalom Bp. Stef,
Saya berterimakasih sekali atas undangannya sungguh suatu kehormatan bagi saya. Namun mohoh maaf saya tidak bisa datang dikarenakan posisi saya ada di Kediri jawa Timur dan saya bekerja pada lembaga swasta yang sgt ketat dalam meberikan cuti. Namun begitu saya berdoa agar sarasehan “Pembinaan anak sejak usia dini di dalam keluarga, paroki dan sekolah.” berjalan dengan lancar dibawah bimbingan Roh Kudus sehingga menjadi salah satu langkah perbaikan dalam mendidik anak2 yang beriman Katolik sempurna.
Terimakasih sekali lagi Bp. Stef dan perlu Bp. Stef, ibu Ingrid dan seluruh tim Katolisitas yang berperan dalam pelayanan melalui situs bahwa pelayanan kalian menjadi berkat bagi banyak umat Kristiani termasuk kami sekeluarga.
Tuhan memberkati Bp. Steff dan seluruh Tim Katolisitas.
Shalom,
Bernardus Aan
Menurut saya, mengapa banyak dari orang Katolik meninggalkan Kekatolikannya karena selama ini, kegiatan keagamaan dalam Gereja Katolik, terutama dalam pelaksanaan Katekese Umat di tingkat-tingkat basis hanya berjalan sebatas doa. Sifatnya yang rutin dan kurang menyentuh pada persoalan konkret yang dihadapi umat setempat dalam persoalan hidup mereka sehari-hari, membuat umat semakin jauh dari cara-cara hidup seperti yang diterapkan oleh cara hidup jemaat awal.
Untuk kembali menjadi kabar dan pembawa sukacita, maka Gereja Katolik mesti serius dalam program pemberdayaan Komunitas Basis Gerejani. Memang, gereja sudah memulainya, namun dalam pelaksanaannya masih banyak ditemui kekurangan-kekurangan yang seakan – akan dibiarkan oleh para pengurus Gereja lokal. Kekurangan-kekurangan itu misalnya nampak dalam langkah-langkah konkrit dalam mengatasi persoalan hidup yang cul dari setiap pertemuan KBG. Umat cenderung bertindak untuk dirinya sendiri masing-masing, masih sulit untuk berbuat sesuatu terutama jika berhubungan dengan orang lain, atau kelompok lain. Dari hal ini, nampak bahwa umat Katolik menjadi tidak merasakan keselamatan yang selalu diwartakan dalam gereja katolik.
Umat membutuhkan keselamatan, tidak saja rohani tetapi juga jasmani. Dan hal itu sangat mungkin dilakukan oleh KBG. Oleh karea itu, maka:
1. Seriuskan kegiatan KBG
2. Dalam KBG harus diusahakan ada aksi konkrit yang nyata menyentuh persoalan hidup yang dihadapi umat; apa yang mereka butuhkan (terutama dulu bagi yang katolik)
3. Beri subsidi dana bagi KBG jika mereka membutuhkan dana guna membantu mengatasi persoalan hidup umat dalam hal ekonomi.
3. Beri pelatihan bagi para penggerak KBG
4. Para pastor harus turut terlibat dalam pertemuan-pertemuan KBG di lingkungan-lingkungan
Okey, saya yakin dengan beberapa cara tersebut, umat katolik akan merasakan keselamatan yang ditawarkan oleh Gereja Katolik.
Salam Kasih,
Ada satu poin penting kenapa byk orang katolik pindah ke non katolik yaitu kepuasan iman yang tidak bisa di dapat
di pengajaran gereja katolik
Dan ini bukan hanya isapan jempol teman2 saya orang italia yg pemegang iman Roman Katolik akhirnya meninggalkan iman katolik, ada beberapa orang Philipine
mengatakan hal yg sama:
tidak ada pertumbuhan iman,satu persamaan yang saya dapatkan dari mereka,mereka mengatakan kebenaran sudah membukan mata rohani mrk karena sebelumnya
iman mereka di atur oleh gereja tetapi ketika mereka membaca dan mencari kebenaran
setelah mengetahui dan melewati proses mereka lgs berbalik kpd Firman Tuhan
dan meninggalkan gereja katolik dan mereka pun membawa istri dan anak2 mereka utk meninggalkan gereja katolik
Shalom kay Roven,
Terima kasih atas masukannya tentang proses katakese. Harus diakui ada sebagaian umat yang “merasa” tidak dapat bertumbuh di dalam Gereja Katolik. Namun, bukan berarti bahwa Gereja Katolik tidak mempunyai warisan iman yang baik. Justru sebaliknya kita percaya bahwa kepenuhan kebenaran ada di dalam Gereja Katolik. Kalau ada orang yang merasa seperti ini, maka tantangannya ada di dua pihak.
Pihak pertama: orang tersebut harus benar-benar berusaha agar lebih dapat mengerti tentang iman Katolik. Pengertian yang benar akan membawa pada kasih terhadap iman yang dipercaya, yang pada akhirnya dapat memberikan pertumbuhan iman. Ini berarti orang ini harus secara aktif mencari dan berusaha untuk terus bertumbuh dalam iman Katoliknya.
Pihak kedua: Pihak Gereja dan orang-orang yang terlibat dalam proses evangelisasi dan katekese. Semua yang terlihat harus secara pro-aktif menjangkau umat yang mempunyai kerinduan untuk bertumbuh dalam iman. Beberapa hal yang dapat dijalankan adalah mengaktifkan komunitas basis dan perbaikan proses katekese, sehingga umat mempunyai pondasi iman yang kokoh dan pada akhirnya tidak mudah terombang-ambing.
Mari, dalam kapasitas kita masing-masing, kita bersama-sama saling membantu agar semua umat Allah dapat bertumbuh di dalam Gereja Katolik, Tubuh Mistik Kristus yang kita kasihi.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
saya pengin tanya, apa saja yang menjadi spiritualitas katekese umat
Shalom Hendro,
Terima kasih atas pertanyaannya tentang spiritualitas katekese. Untuk mengerti spiritualitas katekese, maka kita harus mengerti definisi dari katekese itu sendiri, yang telah dijabarkan di sini – silakan klik, di mana didefinisikan sebagai”pembinaan anak-anak, kaum muda dan orang dewasa dalam iman, yang pada khususnya mencakup penyampaian ajaran Kristen, dan yang pada umumnya diberikan secara organis dan sistematis dengan maksud mengantar para pendengar memasuki kepenuhan kehidupan Kristen” (KGK, 5). Kristus menjadi pusat dari proses katekese (lih. KGK, 426-427).” Lihat juga keterangan di sini – silakan klik.
Dengan demikian, spiritualitas dari katekese umat adalah berpusat pada Kristus, sehingga dapat menuntun seseorang kepada kepenuhan kehidupan Kristen, yaitu kekudusan – mengasihi Tuhan dan sesama atas dasar kasih kepada Allah. Oleh karena itu, seorang katekis harus terlebih dahulu mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama, dan seluruh kehidupannya berpusat pada Kristus. Tentu saja manifestasi dari prinsip ini harus dijabarkan lebih lanjut, seperti: kalau seorang katekis berpusat pada Kristus, maka yang diajarkan haruslah semua perintah Kristus – yang telah diajarkan oleh Magisterium Gereja; mengajarkan kebenaran tanpa ada kompromi atau discount, karena kalau kita mengasihi Kristus, maka kita harus menjalankan semua perintah-Nya (lih. 1 Yoh 5:2), dll. Kalau seorang katekis mengasihi sesama – yaitu para katekumen, maka dia harus mempersiapkan pelajaran dengan baik, sehingga para katekumen dapat mengerti kebenaran secara penuh; rela berkorban – baik waktu dan tenaga; dengan sabar membimbing para katekumen yang dipercayakan oleh Tuhan kepadanya, dll. Semoga penjabaran singkat ini dapat berguna.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
syalom romo..saya menulis skripsi tentang katekese sakramen tobat sebagai upaya meningkatkan kesadaran iman kaum muda…. nah yang ingin saya tanyakan adalah bagaimana proses katekesenya yang baik dan model katekese apa yang cocok di gunakan? terima kasih sebelumnya atas jawabanya..
Shalom Sugeng,
Terima kasih kasih atas pertanyaannya. Karena Romo Wanta sedang retret, maka saya akan mencoba untuk menjawabnya.
1. Menurut saya, apapun katekese yang digunakan, maka akan senantiasa terbagi menjadi dua, yaitu penekanan pada metode (method) pengajaran dan penekanan pada isi (content) dari pengajaran. Keduanya haruslah seimbang. Namun, kalau harus memilih, maka saya lebih memilih isi pengajaran. Jadi, apapun cara katekese untuk Sakramen Tobat, maka tidak boleh mengalahkan isi dari kebenaran yang ingin disampaikan. Untuk menerangkan Sakramen Tobat, mungkin, kita harus menyentuh kebenaran-kebenaran lain yang berhubungan dengan hal tersebut, seperti: kerendahan hati, yang dapat didefinisikan sebagai Allah yang adalah segalanya dan manusia yang berdosa. Kesadaran inilah yang akan menimbulkan adanya pertobatan yang terus menerus. Jadi, pada akhirnya cara dan isi pada akhirnya harus menunjang tercapainya pertobatan yang terus menerus.
2. . Tentu saja, kalau waktunya memungkinkankan, dapat saja dibuat metode yang menarik, sesuai dengan dinamika anak muda, misalkan: drama tentang anak yang hilang (Lk 15:11-22), yang kemudian dapat dihubungkan dengan Sakramen Tobat. Untuk tambahan referensi, silakan melihat beberapa artikel tentang Sakramen Tobat (bagian 1, 2, 3, 4). Semoga dapat membantu. Kalau menurut Sugeng, metode apakah yang terbaik?
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Shalom pak stefanus dan bu ingrid.
Terima kasih atas penjelasannya untuk pertanyaan saya waktu itu.
Kali ini saya ingin menanyakan tentang pengajaran iman Katolik terhadap anak-anak. Saya pernah melihat di beberapa gereja (dalam hal ini gereja non-Katolik), mereka mengajarkan tentang firman Tuhan kepada umat atau anak-anak sekolah minggu melalui magic/sulap, dan mereka menyebutnya Gospel Magic/Magic Bible. Yang jadi pertanyaan saya, apakah hal seperti itu boleh dilakukan dalam gereja Katolik? Khususnya untuk Bina Iman Anak/Sekolah Minggu? Karena saya belum pernah menemukan gereja Katolik yang melakukan Gospel Magic seperti itu.
Sebenarnya saya pernah ingin mencoba hal itu untuk BIA/Sekolah Minggu yang saya ajar, walaupun saya sadar kalau magic/sulap itu cukup bertolak belakang dengan pengajaran firman Tuhan. Saya pernah menanyakan hal ini ke Pastor di Paroki saya, tetapi karena saya belum mendapatkan tanggapan serta kepastian diperbolehkan atau tidaknya hal itu dilakukan, saya mengurungkan niat saya sampai saat ini.
Mohon bantuan dan penjelasannya.
Tuhan memberkati…
Shalom Ign. Ferdy Okta,
Terima kasih atas pertanyaannya sehubungan dengan penggunaan sulap dalam sekolah Minggu. Tidak ada yang salah dalam sulap, sejauh hal tersebut hanya merupakan trik dan tidak berhubungan dengan roh-roh. Yang menjadi masalah di sini adalah anak-anak belum terlalu dapat membedakan antara yang hanya merupakan “fantasi” dan “kenyataan“. Dengan menggunakan sulap, maka yang perlu dipikirkan adalah bagaimana anak-anak dapat menangkap bahwa sulap tersebut hanyalah sarana dan pesan dari Alkitab adalah benar-benar pesan moral yang harus diikuti sebagai suatu kebenaran? Demikian pendapat yang dapat saya berikan. Cobalah diskusikan hal ini dengan pastor paroki dan kalau mau dilaksanakan, perlu dipikirkan untuk menghindari efek-efek negatifnya. Semoga dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Apa yang harus diperbaiki dalam proses katekese?
Dear Katolisitas
Aku termasuk satu dari sekian umat Katolik yang prihatin dengan keadaan katekese pada calon baptis. Adanya fenomena indifferentist yang meluas, keluar Gereja dan masuk ke jemaat non-Katolik, hingga menjual iman, semua ini tentu dapat dirunut berakar pada proses katekese yang buruk. Mohon maaf jika aku menyinggung diluar topik perihal gerakan Karismatik dalam Gereja Katolik. Gerakan ini memang tidak dapat dipungkiri berasal dari sekte evangelis / Pentakostal, bukan dari Gereja sendiri. Kini gerakan ini cukup merambah populer di kota-kota besar seperti Jakarta dan membawa beberapa buah positif juga dalam hidup beriman. Tetapi karena proses katekese yang sangat jelek terutama pada para pengajar dalam gerakan tersebut, maka gerakan ini yang masih belum sepenuhnya murni berimankan Katolik, juga menyumbangkan pembentukan sikap indifferentist pada sementara pengikutnya. Padahal ditinjau dari semangatnya, gerakan ini jika memiliki kekuatan katekese yang benar sekaligus pemahaman akan Liturgi yang benar pula dapat menjadi garis depan dalam katekese serta penopang kekuatan Gereja saat ini. Sekali lagi, yaitu berakar dari proses katekese yang buruk.
Masukan dariku mengenai perihal katekese, terdapat beberapa pokok elemen yang harus ditinjau; yaitu segi pengajar, materi, dan peserta didik.
1. Segi Pengajar
Sudah tentu pengajar haruslah menguasai materi secara baik, dan tentunya juga semua ini didasarkan pada peminatan. Materi katekisasi tentu haruslah bersumber dari Katekismus Gereja Katolik dan segala dokumen Gereja. Tetapi materi ini begitu luas, maka hendaknya dihimpun para pengajar yang menguasai pada bidang-bidang tertentu tersebut. Hal lain yang perlu ditinjau adalah keselarasan paham dengan ajaran Gereja. Sudah barang tentu kita tidak mengharapkan hadirnya katekis yang mengajarkan sesat, heretik, yang bertentangan dengan ajaran Gereja. Terutama yang mengakui adanya Keselamatan di Luar Gereja atau Kontra Extra Ecclesiam Nulla Salus (Kontra EENS). Maka mungkin akan lebih jika pada level Tahta Suci dari segala Kongregasi semisal Congregatio Doctrina Fidei, Congregatio de Cultu Divino et Discplina Sacramentorum (Kongregasi Ibadat dan Tata-tertib Sakramen), dan lain sebagainya bisa memberikan sebuah butir-butir kompetensi para pengajar sekaligus sertifikasi untuk memastikan pengajar tersebut tidak mengajarkan yang bertentangan dengan iman dan otomatis, Katekismus.
2. Segi Materi
Materi bisa dimulai dari;
• Proses pengenalan Allah
Yaitu alasan-alasan mengapa sebagai umat beriman harus percaya akan adanya Allah. Bagaimana Allah menyongsong manusia dan manusia menanggapi segenap sapaanNya. Tak kalah penting lagi ialah pada misteri penyelamatan dalam penyelenggaraan Ilahi yang bertahap hingga menuju kesempurnaannya. Hal ini harus diberikan, karena untuk menangkal bahaya atheisme sebagai buah rasionalisme dan tentunya juga, filsafat modernisme di era modern dan sains saat ini. Juga katekese sebagai langkah penerimaan baptisan, sudah barang tentu harus menerima tanpa keraguan akan Allah, sebagai asal dan tujuan semuanya.
• Wahyu Ilahi
Yaitu proses pewahyuan Ilahi, di sini ditekankan adanya Tradisi dan Kitab Suci sebagai sumber iman Katolik. Mempelajari beberapa dokumen-dokumen penting konsili dari abad permulaan, hingga yang termutakhir yaitu Konsili Vatikan II secara garis besar dengan penekanan doktriner. Lebih lanjut baru akan melangkah pada sifat-sifat Gereja, yang harus dijelaskan perlahan satu demi satu akan keempat sifat Gereja. Juga menyadarkan akan pentingnya sebagai umat Katolik secara kritis membaca dan mempelajari surat Ensiklik, Surat Gembala Keuskupan, juga hasil-hasil Sinode para Uskup sebagai bagian dari pengajaran Magisterium yang di dalamnya terdapat ajaran-ajaran moral dan sosial Gereja.
• Gereja
Di sini dijelaskan tentang sifat Gereja yang Satu, Kudus, Katolik, dan Apostolik, keempat sifat tak terpisahkan. Adanya ritus-ritus di luar ritus Romawi yang ada dalam kesatuan penuh dengan Gereja Katolik. Dalam bab ini akan ditekankan tradisi Apostolik Gereja, wewenang secara hirarkis, dsb.
• Misteri Keselamatan
Pada bab ini dijelaskan karya keselamatan oleh Yesus Kristus, karya penebusan dosa. Misteri sengsara, wafat dan kebangkitan sebagai sumber iman Kristen.
• Tujuh Sakramen
Penjelasan secara jelas arti sakramen, pentingnya sebagai sarana keselamatan satu per satu, di dalamnya terdapat Sakramen Perkawinan, suatu bab yang akan dijelaskan secara khusus. Dosa berat dan dosa ringan, perannya dalam keselamatan, harus dijelaskan secara lugas. Hendaknya katekisasi janganlah mengajarkan hal-hal profan yang terjebak dalam ranah humanisme praktis seperti lingkungan hidup, dsb. Sebab seluruh penderitaan, bahkan kerusakan lingkungan hidup, semua itu adalah akibat dosa. Jika umat sudah menyadari pertama kali akan hal ini, sudah barang tentu dengan sendirinya akan mencari dan berperan dalam pelestarian lingkungan hidup. Jadi Gereja sekali lagi kembali pada hakikatnya sebagai sarana dan pewartaan keselamatan kekal, menuju kemuliaan surgawi Allah sebagai tujuan akhir penyelenggaraan Ilahi sebagaimana dijanjikan pertama kali sejak manusia pertama jatuh ke dalam dosa. Bukan sebaliknya mengesampingkan peran utama tersebut dengan mengambil peran-peran duniawi yang hanya bersifat temporer belaka. Maka dari itu sungguh amat menggelikan jika seorang anggota Gereja lebih berat dengan kegiatan sosial jika di saat yang sama adalah jadwalnya memberikan pengajaran katekisasi, sebab sudah menjadi tugasnyalah menggembalakan domba-dombanya bersama jajaran hirarkis menuju tanah surgawi dengan pemahaman perintah-perintah Allah yang tertuang dalam doktrin Gereja, bukan meninggalkan atau membawa kawanan domba tersebut berjalan-jalan mengelilingi padang rumput duniawi yang akan tiada juga pada akhirnya. Misi sosial hendaknya tidak mengesampingkan segi-segi doktriner iman Kristiani, melainkan harus bersumber padanya.
• Liturgi
Penjelasan perihal liturgi, arti dan makna setiap bagian dalam liturgi Ekaristi sekaligus sosialisasi norma-norma liturgi yang benar dari pokok-pokok PUMR (Pedoman Umum Missale Romawi). Hal ini penting mengingat banyaknya kebobrokan pelaksanaan liturgi Ekaristi yang sangat memprihatinkan karena minimnya pengetahuan umat akan liturgi, atau menganggap liturgi adalah sebuah rutinitas kaku dan kuno belaka.
• Syahadat dan Doa
Rumusan syahadat Nicea-Konstantinopel dijelaskan satu per satu, sebagai keseluruhan doktrin dan iman, dengan demikian para calon baptis siap menerima baptisannya secara penuh makna.
• Ujian Kompetensi
Seluruh materi yang telah diajarkan hendaknya dijadikan menjadi ujian tertulis dan lisan bagi para calon baptis agar menjadi umat Katolik yang berkualitas, tidak hanya mengejar kuantitas. Ujian ini tentu haruslah bersifat mutlak bagi calon baptis usia pelajar terutama pelajar. Sedangkan kelompok lain yang dianggap kurang memenuhi syarat untuk ujian tertulis dapat digantikan dengan cara lain yang secara bijak dapat dianggap sepadan dan pantas.
3. Peserta Didik
Hendaknya peserta didik digolongkan berdasarkan usia dan pendidikan, sehingga pemberian materi dapat disesuaikan caranya, dan penyampaiannya.
Sekian masukan dari saya perihal proses katekisasi. Mari kita wujudkan umat katolik yang “katekis”, tidak hanya sebatas identitas KTP saja, tetapi identitas yang sesungguhnya.
Pax Christe
Julius Paulo
Shalom Julius Paulo,
Terima kasih atas masukannya yang cukup detail. Semoga para katekis menyadari bahwa tugas yang diembannya sesungguhnya sangat berat. Dengan demikian, para katekis dapat benar-benar mempersiapkan diri dan senantiasa mendalami iman Katolik, sehingga mereka dapat memberikan pengajaran tentang iman Katolik dengan sebaik-baiknya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Syalom.
Saya baru tahu tentang katolisitas.org, tapi saya bangga dengan adanya website ini. Sebagai orang katolik kerinduan akan pengetahuan iman saya terus bertambah.Saya punya pertanyaan:
1. Kegiatan apa yang cocok bagi anak muda (17 – 35th) tetapi sekaligus mendalami kitab suci?
2. Tema atau bahan apa yang cocok dalam pendalaman alkitab anak muda?
3. Cara atau teknik apa yang cocok agar anak muda dapat berkumpul dan menggali kitab suci?
Trimakasih & Tuhan memberkati.
Shalom Joe,
1. Sebaiknya anda mengumpulkan dahulu beberapa tokoh anak muda tersebut, dan diskusikan juga dengan mereka. Sebab dinamika dalam setiap komunitas amak muda itu kadang berbeda-beda di setiap kota/ tempat.
Kegiatan yang bisa dilakukan misalnya adalah semacam gabungan antara persekutuan doa dan bible study/ bible sharing. Adalah baik jika pertemuan dibuka dengan puji-pujian dan doa bersama, baru kemudian disambung dengan merenungkan Kitab Suci. Bisa berupa sharing yang terpimpin, atau pendalaman Kitab Suci oleh seorang pembicara. Topiknya dapat ditentukan bersama, atau bisa mengikuti topik bacaan Injil/ KS pada hari Minggu berikutnya, supaya pada saat Misa hari Minggu tersebut, para mudika lebih menghayatinya.
2. Tema pendalaman iman bisa banyak sekali, misalnya,dari Topik yang khusus seperti “bagaimana hidup kudus sebagai anak muda?”, membahas riwayat hidup orang kudus (Santa/ Santo) atau topik yang lebih umum, seperti mengenal iman Katolik. Jika demikian yang dipilih, silakan mengambil topik- topik yang pernah dibahas di situs ini, dan silakan anda menyertakan sumbernya, yaitu Katolisitas, supaya jika ada pertanyaan, mereka dapat menghubungi kami.
3. Cara dan teknik bagi anak muda, mungkin harus yang sifatnya dinamis, harus melibatkan dialog supaya suasan lebih hidup. Dan jika anda tertarik untuk mengorganisasikannya, saya mengusulkan memang ada baiknya jika di akhir pertemuan ada acara makan sederhana bersama-sama. Sebab biasanya justru pada saat makan bersama tersebut, suasana menjadi akrab dan tiap peserta menjadi semakin terbuka dan menjadi seperti keluarga.
Jangan lupa mendaftar mereka, dengan nomor telpon/ alamat yang bisa dihubungi, supaya dapat anda hubungi kembali untuk pertemuan berikutnya. Dapat pula diadakan semacam “undian doa” sehingga para perserta dapat mengenal satu sama lain dan saling mendoakan setiap hari sampai pertemuan berikutnya.
Sedapat mungkin usahakan agar setiap anggota diberi buku renungan harian, supaya mereka dibiasakan untuk merenungkan Kitab Suci setiap hari. Dan jika perlu didorong agar merenungkan satu topik saja dalam minggu itu. Misalnya topik, kesabaran, atau pengendalian diri, atau kemurahan hati, dst, terus untuk disharingkan dalam kelompok kecil pada minggu berikutnya, bagaimana perjuanganku minggu ini untuk sabar/ murah hati/ mengendalikan diri, dst.
Salamat melayani, semoga Tuhan memberkati.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Terimakasih atas jawabannya, Tuhan memberkati.
Salam.
Joe
Shalom,
Saya baru dibaptis tahun ini. Keputusan saya untuk dibaptis secara Katolik adalah dari hati saya sendiri. Tanpa ada paksaan. Setelah tentunya melalui proses katekese yang berlansung selama 6 bulan (saja?). Kesulitan saya dapatkan justru setelah dibaptis. Mungkin juga karena proses katekese yg terlalu singkat (walaupun sebenarnya saya juga tidak mengharapkan lebih lama lagi), mungkin juga dikarenakan dalam keluarga hanya saya sendiri yang Katolik (keluarga saya bukan Kristen) dan saya hidup di lingkungan protestan, saat ini saya seakan2 clueless dalam menjalankan kehidupan gerejani. Contoh: pada masa Adven kemarin, seharusnya itu merupakan kesempatan bagi saya untuk melakukan sakramen pengakuan dosa saya yang pertama. Namun saya urungkan niat, karena tidak tahu caranya atau tidak yakin dengan apa yang harus saya lakukan. Saya merasa lebih nyaman ketika masih belajar. Mungkin di akhir proses katekese sebaiknya disertakan guideline ‘what to do?’ atau ‘where to go?’ agar baptisan baru tidak kebingungan.
Dari pengalaman saya, sebaiknya proses katekese dilakukan secara real time. Minimal 1 tahun. Sehingga seluruh pengalaman gerejani dapat dipraktekkan langsung. :)
Demikian yang dapat saya sampaikan.
Tuhan Yesus memberkati.
Shalom Santiago,
Terima kasih atas sarannya tentang proses katekese. Memang sebaiknya pelajaran agama ditempuh dalam waktu satu tahun. Bagi yang belum siap, memang tidak harus dibaptis, walaupun telah menjalani satu tahun pelajaran agama. Saya tidak tahu apakah selama 6 bulan proses katekese, Santiago mendapatkan pelajaran tentang Sakramen Pengakuan Dosa atau tidak. Seharusnya di dalam pelajaran agama, hal ini dibahas. Kalau masih kurang jelas, silakan membaca artikel dan diskusi tentang Sakramen Tobat (bagian 1, 2, 3, 4). Semoga artikel-artikel tersebut dapat membantu.
Usulan tentang apa yang harus dilakukan setelah dibaptis adalah baik sekali. Akan baik sekali kalau ada pengenalan tentang kegiatan-kegiatan di paroki, lingkungan, dll. Di level lingkungan sebaiknya juga menyambut baptisan baru, sehingga mereka dapat menjadi bagian dari lingkungan dan secara aktif turut berpartisipasi dalam kegiatan lingkungan.
Dan akhirnya seorang yang dibaptis harus tahu apa yang menjadi kewajiban dan haknya sebagai umat Katolik. Dengan demikian, orang yang dibaptis dapat terus bertumbuh dalam kekudusan. Kalau ada pertanyaan-pertanyaan yang lain, yang dapat membantu perkembangan iman Santiago, kami dari katolisitas.org, dengan senang hati akan berusaha menjawabnya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Salam Damai,
Sungguh suatu realita bahwa banyak umat Katolik setelah di baptis (baru or lama) yang berpindah gereja bahkan iman ?
Walaupun lebih besar umat yang tetap setia pada Gereja Katolik namun juga tidak dapat dipungkiri banyak umat kalau tidak mau dikatakan mayoritas sebagai umat Liturgis ( termasuk saya) dalam artian hanya mengikuti Ekaristi Kudus dalam tataran tatacara, tindakan dan tidak masuk dalam tataran makna karena minimnya pengertian dan pemaknaan akan hal tersebut. Demikian juga lemahnya pengetahuan akan tugas Trisuci yang diterima pada saat pembaptisan.
Saran perbaikan katekise sebatas pengetahuan saya yang minim :
1. Katekise tidak berhenti pada Mistagogi.
2. Katekise berkesinambungan dalam beberapa bidang pastoral : Kitab Suci, Misioner, Keluarga, Liturgi, Moral dsb
3. Sarana penyampaian mengikuti kemajuan teknologi misalnya : slide, film, dsb
4. Katekis tidak hanya mampu menyampaikan materi secara sistimatis dan MENARIK namun juga harus menjadi pelaku (walau berproses) dari apa yang diajarkan. Jadi diperlukan retret / up grading para katekis secara periodik.?
5.Materi pelajaran sudah di ketahui oleh katekumen misalnya satu bulan atau minimal satu minggu sebelum masuk kelas.
demikian, maaf seandainya ada yang tidak nyambung.
Semoga KasihNya Membimbing kita senantiasa.
Berkah Dalem pak stef…
Sebelumnya saya ucapkan banyak terima kasih boleh ikut hadir di komentar ini. Saya tertarik untuk mencari gambar-gambar maupun film mengenai sikap yang harus dilakukan umat katolik ketika pergi pada perayaan ekaristi mulai dari masuk gereja , mengingat banyak umat yang belum memahami betul akan sikap tersebut. Misalnya ketika dipintu masuk gereja banyak umat membuat tanda salib seenaknya sambil ngobrol. maksud saya mencari gambar atau film tersebut ingin saya gunakan sebagai bahan bimbingan katekumen ditempat saya sehingga para calon baptis paham dan mengetahui lebih detail mengenai sikap yang harus dilakukan selama perayaan ekaristi. Semoga perkembangan daripada katekese menjadi lebih komplit dan menambah wawasan semua umat. Terima kasih…
Shalom Vinsensius,
Terima kasih atas pertanyaannya. Saya minta maaf bahwa saya tidak mempunyai gambar-gambar atau film tentang sikap yang harus dilakukan pada saat Misa Kudus di dalam elektronik format. Saya mempunyai buku tentang hal ini, namun misa Tridentine dan bukan Novus Ordo. Kalau memang Vincen tidak menemukan di internet, saya rasa tidak begitu sulit untuk membuatnya sendiri dan memotretnya sendiri. Diskusikan dengan pastor, sehingga dia mungkin bersedia untuk terlibat. Mungkin ada pembaca katolisitas yang tahu tentang informasi ini?
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Apakah yang harus diperbaiki dalam proses Katekese?
Syallom…..
Hal ini sudah lama menjadi beban pikiran saya pak stef, apalagi ketika saya mengikuti prosesnya secara langsung ketika saya mau menikah….
Ada beberapa hal yang menjadi ganjalan saya,
DAN INI ADALAH MASALAH nya :
1. Umat mengikuti Kursus Perkawinan (selanjutnya akan saya singkat KP) hanya untuk formalitas saja.
Ikut dengan ogah-ogahan.
2. Petugas yang memberikan materi tidak mempersiapkan dengan baik, hal ini mungkin karena pekerjaan tersebut merupakan rutinitas atau mungkin mereka juga berpikir seperti pesertanya, hanya untuk formalitas belaka. Parahnya lagi, kadang mereka tidak menguasai dengan baik materinya, jadi ada kesan asal jawab saja. Dan yang makin parah, materi yang harusnya diberikan oleh Pastur, karena Pastur berhalangan, diisi oleh kaum awam yang tidak punya back ground yang sama, jadi “kurang” menguasai materi. Saat ada pertanyaan, jawabannya adalah… nanti saya tanyakan ke Pastur dulu…, trus kapan menjawabnya???? kalau orang jawa bilang, benar2 cilaka dua belas…. hehehehe…
3. Umat yang terpilih menjadi pembantu Pastur(diakon, ketua lingkungan, dewan paroki), umumnya “gila hormat” dan egonya semakin menjadi-jadi, kurang mau menerima saran maupun masukan dari sesama umat apalagi melayani, (mungkin mereka lupa ajaran Tuhan Yesus yang membasuh para kaki murid-muridNya). Mereka tidak peduli dengan KP. Hati ini rasanya kheki dan sedihhh banget….
Maaf, agak terbawa suasana pak Stef…. hehehehe..
Apa yang terjadi, kita sedang mengalami stagnasi atau bahkan kemunduran IMAN… (maaf, saya berbicara untuk wilayah Kalimantan, karena saat ini saya tinggal di Kalimantan pak Stef). Sangat mengkuatirkan.
Kalau kita perduli, maka kita harus mulai dari sekarang. Dari mana? ya, betul, DARI proses KATEKESE nya (KP). Karena dari KP ini akan membawa pengaruh kemana-mana… ya ke keluarga, ke lingkungan, ke Gereja, dan ke masyarakat umum.
Kalau boleh SARAN :
GEREJA “HARUS” menyadari dan mau mengembalikan suasana MISTIC/ MISTIS nya PERKAWINAN.. bukan di teori saja, bukan di kotbah saja, tapi terlibat langsung. Karena perkawinan adalah salah satu dari 7 Sakramen, tanda kehadiran Tuhan. Umat disadarkan bahwa PERKAWINAN di GEREJA (PEMBERKATAN) adalah sesuatu YANG SANGAT (1000X) PENTING !!!!!! menyangkut KESELAMATAN.
Selama ini kita lebih terfokus ke RESEPSI nya, dan dibuat meriah (dan “gereja” pun terlena), mengapa tidak kita balik pemikiran kita yang salah???? harusnya : PEMBERKATAN di GEREJA dibuat MERIAH. Dengan cara, UMAT diundang sebanyak mungkin, Hiasannya dibuat lebih hidup, kalau perlu ada FOTO mempelai, lagu-lagu sudah dipersiapkan dengan baik oleh team koor yang benar-benar siap.
SOLUSI nya bagaimana ???????
Ya, KP nya dibuat agar :
1. umat/ peserta mengerti dan memahami betul hakekat perkawinan menurut ajaran Gereja Katolik. (tidak text book)
2. umat/ peserta mengerti dan memahami betul, nantinya realitas (tujuan dan cara menjalaninya) dari perkawinan itu seperti apa (siap dengan segala resikonya).
3. umat/ peserta mengerti dan memahami apa itu KELUARGA, baik dari sisi gereja dan REALITA-NYA.
4. umat/ peserta mengerti dan memahami cara-cara mendidik dan mengarahkan anak (tidak hanya dengan teori) dengan ajaran CINTA KASIH.
5. umat/ peserta bisa belajar terbuka, mau mendengarkan dan didengarkan, menerima saudara lain dengan tulus dan apa adanya. (menyeimbangkan EGO).
JADI TUGAS KITA MEMBUAT PESERTA KP MERASA RUGI KALAU TIDAK HADIR DALAM SETIAP MATERI.
METODE nya :
1. Penyampaian materi disiapkan oleh TEAM, pada tiap sesi berlangsung seluruh TEAM harus hadir dan terlibat. Tiap angkatan, ANGGOTA team bisa berganti-ganti (sebagai PELATIHAN juga).
2. Penyampaian materi harus semenarik mungkin, kalau perlu dengan atau diselingi permainan (anggota Team juga bisa terlibat).
3. Peserta dibuat AKRAB, mengenal dengan dekat antara satu dengan yang lain, juga dengan anggota team.
4. SELURUH PESERTA dan TEAM akan menjadi PANITIA untuk acara Perkawinan/ Pemberkatan di GEREJA pada saat ada peserta yang akan melangsungkan perkawinan. Nantinya yang sudah menikah juga menjadi panitia untuk ANGGOTA yang lain. Jadi peserta menjadi seperti keluarga besar. Jika perlu ada penggalangan dana (yang tidak mampu pun dapat ikut menikmati suasana PEMBERKATAN yang meriah).
5. Peserta dikenalkan dengan kegiatan-kegiatan/ kelompok-kelompok yang ada di gereja… sehingga pada saat mereka sudah menjadi KELUARGA, mereka tahu harus AKTIF atau bergabung di kelompok mana. Dan Gereja akan menjadi RUMAH KEDUA bagi umatnya.
DENGAN DEMIKIAN GEREJA DAPAT MENGETAHUI TALENTA MASING2 UMAT, UNTUK DISALURKAN, DIKEMBANGKAN DAN DIGUNAKAN UNTUK KEPENTINGAN BERSAMA, SEHINGGA SEMUA AKAN BERTUMBUH.
DARI KEGIATAN DIATAS, KALAU DIJALANKAN DENGAN BENAR KITA DAPAT MEMBAYANGKAN PENGARUHNYA SEPERTI APA. UMAT BISA SALING TOLONG MENOLONG…KEGIATAN APAPUN AKAN DAPAT TERLAKSANA DENGAN BAIK.
COBA KITA BAYANGKAN JUGA SAAT JEMAAT MULA-MULA TERBENTUK… PASTI INDAH SEKALI…
INTI dari SEMUANYA adalah CINTA KASIH.
YA.. CINTA KASIH.
CATATAN TAMBAHAN :
* JIKA KITA INGIN MERUBAH/MENGUBAH SESUATU, MAKA PERTAMA-TAMA YANG HARUS BERUBAH ADALAH DIRI KITA (CARA BERPIKIR DAN BERTINDAK KITA).
PERAN SUAMI DAN ISTRI :
Kejadian 2:18
Tuhan Allah berfirman : “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.”
Laki-laki diciptakan lebih kuat, dan punya logika lebih KUAT, oleh sebab itu dia harus menjadi PELINDUNG dan PENUNTUN bagi ISTRI dan KELUARGAnya. Sehingga istri dan anak-anaknya merasa aman, nyaman dan tentram.
Wanita diciptakan lebih TAHAN(sabar) dan BERPERASAAN KUAT, oleh sebab itu dia akan menjadi PENOLONG/ PENYELAMAT bagi SUAMI dan KELUARGAnya.
Jika suami dapat menjalankan perannya dengan semestinya, maka ISTRI pun akan dapat menjalankan perannya dengan baik, yaitu akan menjadi PENOLONG/ penyelamat bagi SUAMI dan keluarganya. AMIN.
Markus 10:9
“Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidah boleh dicerakan manusia.”
Semoga ini dapat menjadi WACANA baru.
Tuhan Yesus memberkati.
Georgius dan keluarga.
Shalom Georgius,
Terima kasih atas masukannya tentang proses katekese. Memang para katekis (yang memberikan pengajaran dalam proses katekese / pelajaran agama), baik dalam persiapan Sakramen Baptis maupun Sakramen Perkawinan harus menguasai materi. Dan ini menjadi tantangan bagi semua katekis, dan juga bagi orang-orang yang memberikan pembinaan para katekis.
Mengenai orang-orang yang terlibat di dalam pelayanan (dalam hal ini apostolate) harus mengasihi iman Katolik, yang berarti dengan segala hati, pikiran, dan kekuatan berjuang untuk menerapkan iman Katolik dalam kehidupan sehari-hari. Ini juga menjadi tantangan bagi kita semua, termasuk saya sendiri. Mungkin Georgius dapat memberikan masukan kepada mereka dengan dasar kasih. Memberikan usulan-usulan untuk perbaikan proses kepada mereka. Kalau penyimpangannya serius dan dapat membahayakan kepentingan bersama, Gregorius dapat membawa permasalahan ini kepada pastor setempat.
Untuk usulan-usulannya tentang: mengembalikan kesakralan Sakramen Perkawinan sungguh sangat baik. Dan mengenai isi dari proses katekese memang harus ada keseimbangan antara isi (content) dan metode atau cara menyampaikan materi. Dan usulan-usulan praktisnya juga dapat dipikirkan lebih lanjut, sehingga dapat diterapkan dalam pelaksanaannya. Mungkin pada tahap awal, perlu dipikirkan bagaimana para peserta benar- benar dapat merasakan menjadi anggota komunitas (community = common unity). Dengan demikian setelah proses katekese, para peserta tidak tercerai berai dan hilang begitu saja, namun turut membangun Gereja.
Terima kasih dan Tuhan memberkati.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Syallom,
Terima kasih atas tanggapannya pak Stef…
Semoga pembahasan ini tidak berhenti sampai disini saja ya pak Stef (hanya wacana sesaat).
O ya, rencananya awal bulan ini kami akan ada pembicaraan mengenai proses KATEKESE dengan suster pembina katekese di ke-uskupan Samarinda. Karena beliau pun sangat prihatin dengan kondisi yang ada selama ini. Jika pak Stef n team ada pemikiran atau perencanaan, tolong kami diberikan masukan. Terima kasih sebelumnya. Semoga ini nantinya menjadi awal yang baik.
Tuhan Yesus memberkati.
Georgius dan keluarga.
Syalom.
Saya belum lama tahu tentang katolisitas.org, tapi saya bangga dengan adanya website ini. Sebagai orang katolik ada kerinduan dari diri saya untuk menambah pengetahuan iman saya. Dan saya sebelumnya banyak terbantu dengan ekaristi.org dimana sejak lama saya selalu mengakses berbagai perkembangan yang ada di dalam gereja dan sungguh sangat banyak pengetahuan iman yang saya dapatkan dan saya semakin cinta dengan gereja katolik. Ini pengalaman pribadi saya, yang ingin saya sharingkan dan terbukti cukup efektif. Dengan adanya katolisitas .org semakin melengkapi dan memperkaya khasanah referensi tentang iman katolik. Dengan dukungan magisterium gereja dan ahli-ahli yang memang kompeten di dalam bidangnya (kitab susci, teologi, ahli hukum gereja, kitab suci) saya percaya tentang isinya. Tentang materi sudah sangat baik, tetapi menurut saya sebaik apapun materi kalau tidak pernah dikunjungi akan sama saja. Yang terpenting adalah bagaimana media katakese ini dapat menjadi bagian dalam pengajaran gereja sehingga akan banyak jiwa-jiwa yang rindu akan Tuhan kita Yesus Kristus dapat mengunjugi situs ini. Baik apabila media ini dapat disosialisasikan ke gereja-gereja. Saya yakin Tuhan Yesus akan menolong kita.
Tuhan Yesus Memberkati.
Shalom Bambang HT,
Terima kasih atas dukungannya atas situs ini. Kalau ada pengunjung situs ini yang merasa bahwa situs ini dapat membantu perkembangan iman Katolik, maka kami dari katolisitas.org sangat berterimakasih kalau teman-teman mau secara aktif menyebarkan keberadaan situs ini. Dan mohon juga doanya agar situs ini dapat menjadi alat Tuhan untuk menyebarkan kebenaran.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Shalom semuanya. Menurut saya, materi katekese kita mesti ditambahi dengan materi “sejarah Gereja universal”, dan “sejarah Gereja lokal”/ keuskupan masing-masing. Secara singkat saja diterangkan bagaimana perpecahan melanda Gereja, dan bagaimana Katolik menghadapi pengajaran sesat sejak abad I sampai abad 21. Sejarah keuskupan membuat para calon baptis mengenal ruang lingkup kekatolikan yang nyata yaitu di keuskupan dan paroki.
Shaloom
Isa
Syalom,Menurut saya pengajaran seseorang yang mau menjadi Katolik hanya 1 th dan 3 bln ketika akan menerima Sakramen Krisma,kurang memadai(minimal/basic).Perlu diadakan pengajaran lanjutan setelah umat menerima Sakramen Krisma dan anak yang menerima Komuni Pertama.Seksi pewartaan paroki harus aktif mengadakan rekoleksi,retret,pendalaman Kitab Suci dsbnya.Berdasarkan pengalaman saya pribadi,banyak pemahaman tentang iman Katolik yang diperoleh melalui kegiatan tersebut diatas ditambah dgn bacaan buku rohani.Jadi pemahaman iman Katolik yang diperoleh secara resmi dari Gereja selama ini perlu di revisi,supaya umat yang telah di baptis secara Katolik tidak menyebrang ke iman lainnya,dikarenakan pemahamannya yang sangat mendasar sekali.Tuhan memberkati.
Perlu diakui bahwa katekese kita lemah, sehingga banyak yang meninggalkan gereja katolik. Katekis purna waktu sangat dibutuhkan, karena mereka yang nantinya selalu siap untuk diterjunkan.Tidak lupa juga para prodiakon paroki perlu terus menerus dibekali pengetahuan yang layak sehingga dapat membantu proses katekese.
Cara,proses dan sistemnya perlu dievaluasi agar berdaya guna dan berhasilguna.
Ini PR kita bersama dan perlu kerja keras bersama untuk menyelesaikannya. Keterlibatan kaum awam memang penting, dan ini perlu penyadaran agar mereka mau terlibat dalam proses katekese.
GBU
Mimpi saya : pasukan infanteri ibu-ibu akar rumput
Saya percaya bahwa ibu-ibu usia 45 thn keatas adalah kekuatan gereja yang urung digarap – asumsi saya mereka punya ekstra waktu, punya talenta (mereka adalah bunda dengan pengalaman hidup lumayan banyak) dan punya kemauan – yang diperlukan adalah pendampingan dan dorongan belaka
Imagine : 10 ibu-ibu di training untuk jadi penggiat umat di kring – mereka kita bekali dengan sejumput teknik mempelajari Kitab Suci, teologi/karekese, teknik dinamika kelompok, public speaking, counseling. Lantas mereka kita ajak bertemu rutin katakan 1/2 tahun untuk memantapkan motivasi dan training – setelah itu mereka kita minta berkarya di kring mereka sendiri dan tahun depannya setiap dari mereka kita bantu mengkader 10 orang lagi – dalam tempo singkat saya yakin umat basis menjadi lebih dinamis dan hidup
AMDG
salam untuk semua…
tadi pagi setelah misa ke-2, ada pertemuan tim HAK KAS dengan KERAMAS dan OMK. sebagai salah satu bagian dari DKP, HAK punya peran banyak dalam membangun dialog antar umat beragama. dalam uraiannya, Rm. Aloys Budi Purnomo (Ketua Komisi HAK KAS) mengatakan, saat ini rekan-rekan muda Muslim entah dari Muhamadiyah juga PKS banyak belajar dari dokumen gereja dan misionaris gereja dulu dalam setiap kegiatan mereka. yang membuat trenyuh, saat ada pertemuan lintas agama salah seorang peserta rekan muda muslim bertanya pada rekan muda katolik apa beda PL dan PB. jawabnya membuat sedih dan prihatin; Kitab Suci PB adalah hasil editing Kitab Suci PL…
sebegitu parahkah pengetahuan Kaum Muda Katolik tentang Kitab Sucinya sendiri?
bulan Maria ini mengajak Kaum Muda untuk mencintai Devosi dan Ekaristi…tapi pelaksanaannya lebih banyak bapak ibu yang mau setia hadir daripada Kaum Mudanya.
di lingkungan kami, aksi nyata APP (masih dalam bentuk proposal)akan diwujudkan dalam kegiatan penanaman pohon sepanjang bantaran sungai dan pengecatan jembatan.yang akan melibatkan remaja masjid di lingk sekitar dan warga dari 2 RW. tidak muluk2, kami mencoba dari hal yang bisa dilihat dulu dan untuk kepentingan bersama. sementara untuk liturgi, kami sering kumpul bareng, share atau curhat masalah pribadi kemudian didokan, bisa dgn novena, litani atau doa spontan, kemudian kontemplasi…dari situ kami jadi tahu dan belajar tentang iman katolik, tata liturgi, dan kitab suci. berawal dari rosario keliling , cuma 4 orang, sekarang hampir 30 orang (dari 35 KK, 111 warga)ikut rosario tiap hari.
Shalom Christ,
Terima kasih atas masukannya. Memang menyedihkan kalau mendengar ceritanya. Namun kita jangan berputus asa, karena selalu ada harapan. Dalam kapasitas kita masing-masing, kita harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki hal ini. Diperlukan orang-orang yang mau membina anak-anak muda. Sebenarnya anak-anak muda umumnya mempunyai pertanyaan-pertanyaan yang bagus dan kritis. Jadi kalau kegiatan untuk anak-anak muda dapat berkesinambungan, maka anak-anak muda juga dapat mendalami iman Katolik. Mungkin untuk diskusi lintas agama harus ditunjuk anak muda yang mempunyai pengetahuan yang cukup akan iman Katolik serta mengasihi iman Katolik.
Kegiatan yang Christ lakukan baik sekali, baik dari pelayanan kemasyarakatan, maupun liturgi. Bersukurlah kepada Tuhan, sehingga kelompok doa rosariomya dapat berjalan dengan baik. Mungkin tahap lebih lanjut perlu dipikirkan bagaimana untuk menggabungkannya dengan belajar topik-topik tentang iman Katolik, misalkan, topik tentang Maria, keselamatan, sakramen, doa, dll. Nanti kalau ada pertanyaan yang belum bisa terjawab, silakan bertanya di katolisitas.org atau forum-forum katolik yang lain. Semoga Tuhan senantiasa memberkati pelayanan Christ dan teman-teman disana. Semoga Tuhan juga memberikan sukacita dalam mewartakan kebenaran dan kasih Tuhan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
kenyataannya memang demikian, jangankan kaum mudanya, banyak juga katekis, prodiakon, tokoh umat di lingkungan yang tidak memilki pengetahuan yang memadahi mengenai kitab suci (contohnya saya….)mengapa? karena tidak di biasakan…kita tidak dibiasakan untuk ‘biasa’ dengan kitab suci. di gereja umat tidak pernah membawa kitab suci. hanya teks yang sekilas di lihat lalu di buang. pembelajaran mengenai kitab suci hanya terjadi di ruang-ruang kuliah calon romo dan katekis. sementara BKS masih dalam tataran formalitas…umat di lingkungan juga tidak terlalu antusias ketika ada pendalaman kitab suci.
mungkin ada beberapa hal yang bisa di coba:
1. setiap misa umat di sarankan bawa kitab suci, bukan hanya madah bakti atau puji syukur.
2. tidak usah cetak teks misa, sebelum kitab suci dibacakan, imam memberi kesempatan umat untuk membuka kitab sucinya sendiri-sendiri…
3. bagikan sebanyak-banyaknya kitab suci gratis untuk umat dan buku-buku penunjangnya….(nek beli kitab suci juga buku-buku penunjangnya harganya relatif mahal…bisa jadi itu tidak masuk daftar belannjaan umat…
sekian dulu,,,lainnya menyusul…
Dalam pertemuan doa lingkungan sebenarnya terdapat kesempatan yang baik untuk memberikan pelajaran dan kesaksian tentang berbagai ajaran Katolik yang menarik seperti sola verbum dei, sejarah gereja dengan berbagai konsili yang menghasilkan kitab suci, hukum-hukum gereja yang menyangkut kehidupan umat dll. Namun, sayangnya kebanyakan prodiakon hanya memimpin doa dan membacakan arahan sesuai dengan pedoman/panduan dan tidak melengkapinya dengan pembelajaran di atas. Mungkin hal ini terjadi karena prodiakonnya tidak siap atau tidak sempat belajar tentang materi tersebut. Karena itu, kita tidak heran jika ada umat yang menganggap pertemuan doa lingkungan bersifat monoton dan membosankan. Umat yang berjiwa dinamis sering tidak bersemangat mengikuti doa lingkungan atau bahkan mereka menolak permintaan untuk pelaksanaan doa lingkungan di rumahnya. Padahal pertemuan lingkungan, menurut saya, merupakan bentuk persekutuan dan pembelajaran seperti diperintahkan oleh Yesus dalam Matius 28:20.
Shalom,
Saya tertarik mengomentari surat Andryhart tgl 9Mei serta Breakdance (ijinkan saya sebut BD saja agar lebih ‘pas’ tedengar di telinga saya) :
1. Ide Sdr Andryhart tampak baik, namun menurut pengalaman saya pihak otoritas gereja juga ada kekhawatiran terjadinya infiltrasi atau polusi ataupun kesalahan ajaran/doktrin yg tdk tepat dari org2 yg memimpin atau mengajar di doa2 lingkungan tsb. Latar belakang pengajar, pembawa kesaksian, pemimpin doa kadang2 tdk kita ketahui jelas shg menimbulkan ketdkpercayaan. Jika yg mengajar seorg Romo tentu umat menerima (suka ataupun tdk suka), tapi kita tau romo paroki waktunya terbatas, tdk mampu menjangkau sel2 basis lapisan bawah semacam ini. Karena itu sebagian ketua2 lingkungan cenderung bermain “aman’ tdk mau ambil resiko, lebih baik pakai buku panduan yg ada saja.
Tinggal sekarang bgm pimpinan2 gereja mau cukup cerdas (dan rajin) mau mengusahakan dan menyediakan materi2 dan pengajar yg kompeten utk maksud tujuan baik tsb. Mungkin para katekis, pro-diakon dan umat terdidik lainnya juga bisa mulai diajak partisipasinya utk mengajar di pertemuan2 lingkungan semacam ini.
Saya sendiri pernah menawarkan begini : Melalui ketua lingkungan materi diskusi yg ada ditawarkan dan dievaluasi dulu oleh Romo paroki utk disetujui dan diberi pengarahan sebelum dibawakan kpd umat lingkungan. Tapi sejauh ini usulan tsb belum ditanggapi serius. Sekali lagi, kesannya (bagi saya) mereka sbgn besar belum merasa memerlukan hal ini.
Mudah2an pandangan2 ini terbaca oleh umat disini yg kebetulan ketua/aktivis lingkungan supaya bisa di renungkan dan menjadi inspirasi.
2. Atas pengalaman BD, ijinkan saya ikut mengomentari. Menurut pendapat saya tujuan katekisasi dan kegiatan2 pendalaman iman disini adalah bukan menjadikan kita pandai berargumentasi (berdebat) dan hapal akan ayat2 alkitab. Saya sendiri hidup dlm lingkungan terdekat org2 protestan yg amat terdidik dan intelektual dlm pelajaran Alkitab, namun saya sama sekali tdk terkesan oleh kemampuan tsb. Membaca Alkitab menurut saya adalah memang mutlak wajib dan perlu, namun tujuannya bukan spy saya hapal alkitab, hapal tulisan2nya dan menjadikannya sbg ukuran bahwa kita ukuran iman saya lebih baik atau lebih besar dr orglain.
Romo Stefan Leks dari LBI pernah berkata : “anda membaca Alkitab atau membiarkan Alkitab yg “membacakan” sabdaNya utk anda?”. Org yg hapal semua ayat2 Alkitab belum tentu ia mempunyai tafsir yg benar. Karena itu kita membutuhkan pengajaran otoritas gereja, panduan2, dan proses belajar secara pribadi (belajar yg benar) utk tdk tersesat. Teman2 saya sesama org protestan, namun beda denominasi, banyak kali saling perang “adu ayat” krn mereka mempunyai penafsiran yg berbeda2..
Saya mengandaikan jika saya adalah seorg umat awam dari suatu gereja protestan. Setiap minggu saya ke gereja, mayoritas waktu yg saya habiskan di gereja adalah utk mendengarkan (ibadat)Sabda berupa pembacaan2 ayat alkitab dan tafsir2nya menurut si pengkhotbah. Rajin kegereja, sepintas akan membuat saya merasa saya sdh mengerti alkitab, padahal sebenarnya saya cuma (sering dengerin khotbah ayat alkitab lebih pasnya). Saya sbnrnya cuma pasif, datang duduk, dengar, mengingat, dan percaya. Kadang2 saya juga pindah ikut kebaktian di gereja lainnya, lalu kebetulan saya mendengarkan khotbah ttg ayat yang sama, tapi dengan tafsir yg berbeda lagi. Saya mulai bingung, akal budi dan naluri saya di hadapkan pd pilihan mau percaya yg mana? Mana yg lebih masuk akal? mana yg lebih sesuai selera saya? Semakin rajin saya “tour” mengelilingi gereja2 semakin banyak saya (pasif) mendengar tafsir2 yg saling berbeda. Kalau saya tidak sombong, mgkn akhirnya saya menjadi gentar, jangan2 saya sebenarnya amat cetek ilmunya soal tafsir dan pemahaman alkitab, kalau saya mau mencari pegangan dan kebenaran saya harus mulai belajar lebih dalam dan mencari otoritas pengajar yg bisa saya percaya. Lebih lanjut mungkin saya juga akan mendapati kenyataan bahwa doktrin yg berbeda akan menghasilkan cara tafsir alkitab yg berbeda pula, jadi selama ini buat apa saya adu urat perang ayat dgn saudara saya?
Seorg penulis terkenal Clive Staple Lewis (CS Lewis) dlm bukunya “Mere Christianity” menggambarkan perlunya ilmu teologi dan doktrin pokok dimiliki oleh setiap gereja utk diajarkan kpd umat. Dia menggambarkannya kira2 spt ini :
Anda semua tentu tahu yg namanya Lautan Atlantik.
Seseorg yg tinggal di pantai tepi lautan Atlantik, atau nelayan yg setiap hari berlayar mencari ikan di lautan ini akan dgn yakin menjawab: Oh ya, saya tau dan mengenal lautan Atlantik, saya setiap hari bersentuhan dgn pantai2, air dan ombaknya. Org2 ini masing2 memiliki pengalaman2 dan kesan2 pribadi ttg Atlantik. Ada ribuan, bahkan jutaan org2 seperti nelayan tsb dgn pengalaman dan deskripsi masing2 ttg Atlantik. Namun gambaran besar mengenai lautan Atlantik tsb akan sulit di pahami tanpa ada pihak yg bekerja mengumpulkan catatan2 pengalaman tsb dan menggambarkan dalam suatu bentuk PETA, ttg dimana dan bgm bentuknya Atlantik itu didalam peta bumi.
Jika saya ingin pergi ke New York, saya tdk bisa mengandalkan deskripsi2 dan pengalaman orang per orang, saya membutuhkan sebuah peta pokok besar untuk mengetahui arah mana yg saya harus tempuh. Peta ini adalah apa yg kita sebut Teologi/doktrin agama.
Jadi maksud saya, adalah penting dalam proses Katekisasi setiap org belajar dan memahami ttg peta besar/pokok gambaran Allah dan Jalan KeselamatanNya menurut ajaran gereja Katolik.
Saya sendiri pribadi tidak secara khusus berminat mendorong/mengajak teman2 protestan saya utk berpindah ke gereja Katolik, saya lebih berminat berdialog dan menjelaskan apa yg saya yakini/percaya dan telah diajarkan oleh gereja Katolik saya. Di katolisitas sendiri bbrp waktu lalu juga ada pandangan2/kritik keras dari saudara2 kita dari gereja dan agama lain, dan Bpk Stef dan ibu Inggrid berhasil menempatkannya pada wacana “dialog” untuk mempertahankan secara tegas apa yg kita yakini dalam iman Katolik. Saya yakin pd saat itu Stef dan Inggrid samasekali tdk mempunyai tujuan agar teman2 tersebut harus dipaksa percaya, lalu berpindah masuk gereja Katolik.
Ini pendapat saya, mohon maaf jika ada yg kurang tepat.
Semoga Tuhan memberkati.
antonius h
Shalom semuanya,
Terima kasih atas tangapan serta usulannya. Apa yang dikemukakan oleh Andryhart dan Antonius memang benar. Diperlukan suatu pemikiran bagaimana agar pertemuan lingkungan dapat mempunyai daya tarik dan bobot yang baik. Dan untuk menjalankan hal ini, maka ada beberapa hal yang diperlukan:
1) Dalam bulan-bulan tertentu, seperti: prapaskah, bulan Maria, Advent, biasanya dari keuskupan mengeluarkan bahan-bahan renungan yang dapat dipakai untuk pertemuan lingkungan. Apakah bahan-bahan tersebut menarik, menyentuh kehidupan umat, diperlukan pembahasan lebih lanjut. Dan saya percaya, bahwa dari pihak keuskupan juga mencoba dengan segenap hati untuk membuat topik-topik yang dapat menyentuh kehidupan umat. Sebagai usulan, mungkin dapat juga diberikan topik yang membahas iman Katolik. Sebagai contoh: pada masa Prapaskah, dimana keuskupan mempunyai bahan selama beberapa minggu, maka salah satu minggu diberikan bahan untuk menjelaskan iman Katolik, contoh: Yesus mati untuk keselamatan manusia. Bagaimanakah konsep keselamatan menurut Gereja Katolik?
Kemudian pada saat tidak ada materi dari keuskupan, maka dapat diusulkan materi-materi yang baik, tentu saja dengan persetujuan Romo dan juga dengan training yang baik sebelumnya untuk para pemandu lingkungan.
2) Tentang evangelisasi, memang dapat dilakukan beberapa cara yang berbeda-beda, dan setiap orang harus berpartisipasi dalam mengabarkan Kristus dan Tubuh Mistik Kristus. Ada yang mempunyai sikap untuk lebih frontal, ada yang mempunyai sikap lebih bertahan, namun yang penting jangan "tidak perduli". Sebagai contoh sikap yang frontal adalah berdiskusi dengan saudara kita di forum yang berbeda agama. Sikap yang bertahan adalah menunggu orang lain datang dan bertanya tentang iman Katolik, kemudian kita menjelaskannya. Dua hal ini menuntut kita untuk mengerti dan mengasihi iman Katolik kita. Tanpa dua hal tersebut, maka diskusi bukannya produktif namun akan membuat orang mengeraskan hati. Semua diskusi harus didasarkan kasih, menghormati perbedaan pendapat tanpa mengaburkan kebenaran. Diperlukan kebijaksanaan bagaimana untuk menyikapi perbedaan pendapat. Namun sikap tidak perduli adalah sikap yang harus dihindari, karena sikap ini tidak membuat orang untuk benar-benar berusaha untuk mengetahui dan mengasihi iman Katolik.
Di dalam diskusi dengan saudara/i kita dari Protestan diperlukan sikap diskusi yang jujur dan hormat dengan berlandaskan kasih. Kita harus menganggap mereka adalah saudara kita di dalam Kristus, walaupun tidak berada di dalam kesatuan penuh dengan Gereja Katolik. Tentu saja kita mencoba untuk menjelaskan apa yang dipercayai oleh Gereja Katolik. Dan setelah kita menjalankan bagian kita, maka kita perlu membawa orang-orang tersebut di dalam doa, dan membiarkan Roh Kudus sendiri yang bekerja. Orang yang benar-benar mencari kebenaran akan dapat mengikuti tuntunan Roh Kudus. Hanya Roh Kudus yang dapat mengubah hati seseorang dan kita tidak dapat memaksakannya kepada orang lain. Namun ini tidak berarti bahwa kita hanya berpangku tangan saja tanpa mengatakan kebenaran.
Kita juga perlu berdoa agar mereka suatu saat dapat sampai pada kebenaran di dalam Gereja Katolik, namun diperlukan kebijaksanaan untuk menyampaikannya. Jadi kalaupun mereka sampai berubah dan menjadi Katolik, kita hanya dapat mengucap syukur dan tidak dapat berbangga akan usaha kita.
Mari kita mengasihi Kristus dan Gereja-Nya dan turut berpartisipasi dalam karya keselamatan Kristus.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan.
stef – http://www.katolisitas.org
Shalom pak;
saya minta maaf dulu dengan memberikan sedikit masukan menurut pandangan saya (juga merupakan sebagian dari pengalaman saya), namun saya langsung mengomentari di bagian bawah tiap2 pokok bahasan, komentar saya akan tandai dengan Fx:
Stefanus Tay says:
May 10, 2009 at 2:43 pm
Shalom semuanya,
Terima kasih atas tangapan serta usulannya. Apa yang dikemukakan oleh Andryhart dan Antonius memang benar. Diperlukan suatu pemikiran bagaimana agar pertemuan lingkungan dapat mempunyai daya tarik dan bobot yang baik. Dan untuk menjalankan hal ini, maka ada beberapa hal yang diperlukan:
1) Dalam bulan-bulan tertentu, seperti: prapaskah, bulan Maria, Advent, biasanya dari keuskupan mengeluarkan bahan-bahan renungan yang dapat dipakai untuk pertemuan lingkungan. Apakah bahan-bahan tersebut menarik, menyentuh kehidupan umat, diperlukan pembahasan lebih lanjut. Dan saya percaya, bahwa dari pihak keuskupan juga mencoba dengan segenap hati untuk membuat topik-topik yang dapat menyentuh kehidupan umat. Sebagai usulan, mungkin dapat juga diberikan topik yang membahas iman Katolik. Sebagai contoh: pada masa Prapaskah, dimana keuskupan mempunyai bahan selama beberapa minggu, maka salah satu minggu diberikan bahan untuk menjelaskan iman Katolik, contoh: Yesus mati untuk keselamatan manusia. Bagaimanakah konsep keselamatan menurut Gereja Katolik?
Kemudian pada saat tidak ada materi dari keuskupan, maka dapat diusulkan materi-materi yang baik, tentu saja dengan persetujuan Romo dan juga dengan training yang baik sebelumnya untuk para pemandu lingkungan.
Fx: Prinsipnya saya setuju, pokok materi bahasan boleh di titik beratkan pada pembahasan iman Katolik, dan ini sangat penting sebab jangan di abaikan bahwa banyak umat yang di baptis sejak lahir dan sebenarnya iman mereka perlu diperkaya. agar pemahaman iman Katoik mereka terbentuk lebih mempunyai dasar yang kokoh.
Bagi umat yang telah di baptis sejak lahir, sebaiknya menerima pendidikan ketekumen dan di kelompokan untuk Remaja, Pranikah dan Umum.
Alasan saya, bagi yang remaja agar memiliki dasar iman yang benar, tidak gampang goyah jika suka2 di ajak ke gereja non Katolik yang serba ramah oleh teman2 sebayanya.
Bagi yang Pranikah, untuk mencermati kejadian bagi mereka setelah menikah malah diajak pasanganya menyeberang. malahan bilang iman mereka tumbuh di Gereja Protestan.
Kemudian bagi yang umum disini di maksudkan bagi mereka yang sadar akan kekurangannya masing2.
2) Tentang evangelisasi, memang dapat dilakukan beberapa cara yang berbeda-beda, dan setiap orang harus berpartisipasi dalam mengabarkan Kristus dan Tubuh Mistik Kristus. Ada yang mempunyai sikap untuk lebih frontal, ada yang mempunyai sikap lebih bertahan, namun yang penting jangan “tidak perduli”. Sebagai contoh sikap yang frontal adalah berdiskusi dengan saudara kita di forum yang berbeda agama. Sikap yang bertahan adalah menunggu orang lain datang dan bertanya tentang iman Katolik, kemudian kita menjelaskannya. Dua hal ini menuntut kita untuk mengerti dan mengasihi iman Katolik kita. Tanpa dua hal tersebut, maka diskusi bukannya produktif namun akan membuat orang mengeraskan hati. Semua diskusi harus didasarkan kasih, menghormati perbedaan pendapat tanpa mengaburkan kebenaran. Diperlukan kebijaksanaan bagaimana untuk menyikapi perbedaan pendapat. Namun sikap tidak perduli adalah sikap yang harus dihindari, karena sikap ini tidak membuat orang untuk benar-benar berusaha untuk mengetahui dan mengasihi iman Katolik.
Fx: Dalam hal evangelisasi, hendakya bekali diri kita masing2 dengan Pendalaman Iman program “Evangelisasi Pribadi” (Shekinah). Pengalaman saya adalah dasar iman Katolik saya tertanam kokoh, bukan di dalam hal menginjili orang lain, namun kita akan selalu terlatih untuk menginjili diri kta sendiri (inilah bekal agar supaya iman kita tidak gampang goyah). dan kita akan mengenal betul mana yang ajaran benar2 dari Tuhan dan yang mana datangnya ajaran dari manusia..(terutama hindari hal ‘Kesombongan Rohani”)
Di dalam diskusi dengan saudara/i kita dari Protestan diperlukan sikap diskusi yang jujur dan hormat dengan berlandaskan kasih. Kita harus menganggap mereka adalah saudara kita di dalam Kristus, walaupun tidak berada di dalam kesatuan penuh dengan Gereja Katolik. Tentu saja kita mencoba untuk menjelaskan apa yang dipercayai oleh Gereja Katolik. Dan setelah kita menjalankan bagian kita, maka kita perlu membawa orang-orang tersebut di dalam doa, dan membiarkan Roh Kudus sendiri yang bekerja. Orang yang benar-benar mencari kebenaran akan dapat mengikuti tuntunan Roh Kudus. Hanya Roh Kudus yang dapat mengubah hati seseorang dan kita tidak dapat memaksakannya kepada orang lain. Namun ini tidak berarti bahwa kita hanya berpangku tangan saja tanpa mengatakan kebenaran.
Fx: saya setuju sekali dengan yang di ceritakan diatas, namun harus mengingat bahwa saudar/i kita yang non Katolik pada umumnya angkuh (Karena menutup diri)..sebab mereka2 kebanyakkan alergi dengan penjelasan kita tentang Bunda Maria, Menyembah Patung, Pengampunan Dosa, Merobah/menambah Alkitab, tidak pernah membaca Alkitab, Menolak Tradisi Gereja (padahal yg mereka maksudkan Tradisi leluhur)
Kita juga perlu berdoa agar mereka suatu saat dapat sampai pada kebenaran di dalam Gereja Katolik, namun diperlukan kebijaksanaan untuk menyampaikannya. Jadi kalaupun mereka sampai berubah dan menjadi Katolik, kita hanya dapat mengucap syukur dan tidak dapat berbangga akan usaha kita.
Fx: Betul, dan sangat benar sekali untuk berdoa bagi mereka. Maka persiapkanlah diri kita dengan iman Katolik yang benar, dilandasi oleh “Kebenaran” yang di ajarkan oleh Kristus. sebab di dalam Alkitab terdapat begitu banyak kata ‘Kebenaran’ apabila kita perhatikan yang diartikan kaum protestan adalah Kebenaran yang tertulis di dalam firman namun di aplikasikan Kebenar menurut diri sendiri masing2 (bukan centre of Christ).
Demikaian komentar saya semoga bermanfaat bagi semua.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan.
Felix SB
Syalom,
Seorang ketua lingkungan dan prodiakon memang harus menjadi teladan dalam banyak hal dan salah satu di antaranya banyak membaca tulisan, buku atau situs yang resmi dari Gereja Katolik seperti http://www.katolisitas.org ini. Kadang-kadang karena berbagai alasan, orang yang terpilih tidak memiliki kebiasaan tersebut dan hanya melakukan tugasnya seperti guru yang mendikte murid-muridnya. Jadi, umat yang menjadi anggota lingkungan hanya diam dan pasif tanpa peningkatan pengetahuan tentang dasar pandangan gereja jika ada hal-hal yang menjadi pertanyaan dari umat Katolik maupun umat Gereja lain seperti misalnya pertanyaan mengapa dalam sakramen ekaristi tidak disertakan anggur yang merupakan wujud darah Kristus jika umat Katolik memang memandang roti sebagai tubuh Kristus. Mengapa sakramen pengakuan dosa harus minimal dua kali yaitu pada masa adven dan prapaskah? Apakah membuat tanda salib hanya cukup ketika kita masuk ke dalam gereja? Bagaimana cara menerima hosti yang benar? Bagaimana menjelaskan devosi Bunda Maria kepada umat Kristen lain? Apakah meditasi diperbolehkan dalam ibadah agama Katolik? dan banyak lagi pertanyaan lainnya. Di antara umat kadang-kadang terdapat mereka yang aktif dalam kelompok pencerahan Katolik seperti Shekinah, KTM Carmel dll, tetapi mereka biasanya tidak aktif berperan dalam memberikan pengetahuan tentang ajaran Gereja Katolik karena merasa tidak memiliki wewenang. Jika buku seperti yang ditulis oleh Pak Stef dan Bu Ingrid bisa diterbitkan dan disahkan sebagai salah satu buku referensi, barangkali sebagian persoalan di atas dapat terpecahkan.
Kalau saya mengikuti Perayaan Ekaristi, jarang sekali homili menyentuh sampai topik-topik Tritunggal Mahakudus, kemudian “Akulah Jalan Kebenaran dan Hidup”, dan beberapa topik lainnya yang sering muncul menjadi pertanyaan umat, umat sendiri jika bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dari saudara/i kita yang berkeyakinan lain, pasti sebelumnya sudah mempelajari, baik dengan membuka website seperti Katolisitas.org, mengikuti Kursus Evangelisasi Pribadi. Topik seperti itu saya rasa perlu disampaikan dalam homili dalam Misa (apabila Bacaan Misa Minggu yg tersebut membahas topik-topik seperti ini). Jadi setidak-tidaknya, minimal umat tahu apa itu Tritunggal Mahakudus, Perkawinan, kemudian Komuni Kudus, serta topik-topik lainnya yang sering diangkat ke permukaan. Kalau artikel-artikel di Katolisitas.org dibukukan, tentu makin banyak orang yang dapat membaca, karena saat ini masih ada umat yang tidak menjangkau teknologi internet.
Salam Chris
http://katolik.webgaul.net
Shalom Chris,
Terima kasih atas komentarnya. Mungkin umat dapat mengusulkan kepada pastor tentang kebutuhan umat sehingga pastor dapat juga berkotbah tentang beberapa topik mengenai iman Katolik yang sering ditanyakan. Hal lain yang dapat dilakukan adalah pastor dapat menulis artikel, atau mengambil dari sumber yang lain, dan kemudian ditaruh di dalam buletin paroki, sehingga umat dapat membacanya.
Untuk membukukan artikel-artikel yang ada di dalam katolisitas.org, penerbit Obor telah menghubungi kami. Semoga kalau sudah diterbitkan, buku-buku tersebut akan lebih banyak menjangkau umat Katolik. Mohon doanya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
1 bln lalu ada penawaran pembekalan katekese di kevikepan kedu, hanya dibatasi usianya dari 18-35 tahun. sepanjang pengalaman setelah mendalami ajaran katolik, sangat berat untuk benar-benar memahami dan melaksanakan jadi orang katolik. seorang teman bilang: ‘jadi Katolik itu berat, mau baptis harus ikut pelajaran, mau komuni harus ikut pelajaran, mau krisma apalagi…lebih berat pelajarannya, mau nikah juga pelajaran… makanya eman-man kalau tiba-tiba dengan alasan apapun kita keluar dari ajaran katolik.” tapi dalam prakteknya, memang masih banyak hal yang umat belum tahu makna ajaran katolik baik itu tentang liturgi, maupun tentang kitab suci. keluarga sebagai gereja kecil sering lalai untuk ikut serta membangun umat, apalagi jika lingkungan dan wilayah juga ogah-ogahan memperhatikan umat. patut disyukuri tahun ini adalah tahun kaum muda, yang diharapkan bisa menjadi penggerak dalam kegiatan berliturgi dan berdevosi. seorang katekis tidak hanya paham secara teori, tapi bagaimana dia mampu membagikan pengalaman imannya bagi katekumen.
Shalom Bpk2 : Stef, Christ, Bonar siahaan,.
Ijinkan saya ikutan komentar.
Sebaliknya yg saya alami di bbrp lingkungan dan paroki di Jkt, umat kebanyakan cenderung enggan dan malas utk belajar memperdalam pengetahuan Katoliknya, spt nya ada phobia kalo banyak belajar doktrin, kitab suci,dll pasti rumit, dan apa perlu?
Para katekis dan pastor2 di gereja sendiri apa sdh ada usaha mendorong umat kearah itu? Dan apa mereka juga merasa PERLU?
Saya pernah uji coba ajak bbrp rekan di gereja utk mengisi acara2 misa lingkungan atau gathering2 kelompok dgn variasi sharing pengetahuan dari buku2, dari artikel2 katolisitas, dll..ternyata tdk mendpt respon yg cukup. Ada yg berpendapat umat tdk mau berpikir yg rumit2 dan bertele2.
Dalam kelas penataran katekis maupun katekisasi juga, coba kita evaluasi berapa banyak lulusan2 yg benar2 menunjukkan minat dan mengerti mendalam ttg ajaran2/doktrin penting gereja Katolik,..ambilah contoh sederhana, misalnya kita tanyakan pd seorg teman ttg konsep keselamatan menurut gereja Katolik, ttg makna Ekaristi, ttg arti sakramen Penguatan,dll dll.
Sejauh ini (dari apa yg saya alami), seebagian kita mungkin lebih condong menghindari apa yg disebut “Faith seeking for understanding”, mungkin krn memang tidak merasa ada kebutuhan utk mencari “understanding” tsb.
Mungkin sebagian kita sdh merasa cukup puas dan selamat dgn menganut aliran “minimalis”..yang penting saya katolik, sdh dibaptis, rajin ke gereja dan ikut kegiatan gereja,doa rosario,dll, semua ini toh sdh cukup.
Saya sendiri kadang2 juga berpikir, apakah saya dan teman2 tanpa sadar sdh kebablasan menganut paham “Justification by works only” (padahal seringkali ukuran perbuatan baik/jahat menurut ukuran dan nurani sendiri),apakah kita peduli jika selama ini pemahaman iman kita ternyata salah! Seorg teman menjawab : ” ah, ga apa2, toh kita bukan teolog, bukan pastor. Tuhan akan maklum karena kita tdk mengerti,karena tdk diajarin”. Atau bahkan juga menganut aliran “relativisme”..semua dianggap sama, beragama mengikuti naluri saja tdk usah repot2. Dan jika kita mulai bicara doktrin gereja yg benar akan dianggap seorg fanatik atau fundamentalis. Tidak heran jika kita terjadi seorang Katolik berdialog dgn saudaranya yg Protestan, akhirnya si Katolik bersikap pasif dan dalam hatinya menganggap si Protestan adalah org fanatik yg tdk perlu didengarkan atau dijawab (padahal saya memang tidak mampu menjawab dan tdk minat mau cari tau kebenarannya).
Saya juga berpikir, apa sih susahnya jika dalam pengajaran2 kelas katekisasi misalnya, umat juga diberikan tambahan bacaan2 seperti yg ada di website ini (sebagian, hanya yg penting2)?
Tetapi ternyata jika ide2 semacam ini di utarakan kpd komisi Kateketik, wah cerita dan urusannya akan panjang sebelum mereka mau menerima.
Dengan situasi spt itu, jika benar, saya tdk heran jika orang2 katolik banyak yg kadang perlu “jajan” dan bahkan “menyeberang” ke gereja lain yg menjanjikan hiburan2 rohani yg bersifat instant dan penuh tontonan serta pengalaman2 mukjijat. (tidak usah berlelah-lelah berpikir tokh?)
Maafkan jika keprihatinan saya ternyata salah, silakan kritik.
Tuhan memberkati.
Antonius
Menarik apa yg dikatakan Bpk. Antonius dan memang itu yang terjadi di umat katolik. Pertanyaan “Apa perlu?” dan “cap fanatik atau fundamentalis” serta “penganut minimalis”, itu semua memang terjadi di sekitar kita. Mungkin dalam kelas katekisasi perlu dipikirkan cara pengajaran yang menarik, misalkan dengan dialog dua arah, kesaksian, apologetik, game atau cara yang lain sehingga kelas itu hidup dan katekumen merasa terlibat, namun materi katekisasi tetap tersampaikan dengan baik.
Terima kasih & GBU
Shalom semuanya,
Memang perlu dipikirkan langkah-langkah strategis untuk mengatasi permasalahan ini. Namun yang lebih penting adalah pelaku dari kegiatan pastoral dan juga dalam proses katekese mempunyai hubungan yang baik dengan Tuhan, sehingga para katekis dapat menjadi saksi yang hidup. Pada saat yang bersamaan para katekis juga harus menyadari bahwa Tuhan telah mempercayakan para katekumen kepada mereka, sehingga pada akhirnya para katekis juga mau untuk benar-benar mempelajari iman Katolik dengan benar. Dan akhirnya, mereka dapat menyampaikan iman Katolik dengan baik, karena mereka tahu secara benar, dan menjalankannya.
Metode juga diperlukan untuk membagikan iman Katolik, sehingga tidak membosankan dan dapat dicerna oleh para katekumen.
Namun jangan lupa, bahwa masing-masing dari kita juga mempunyai tanggung jawab untuk menyebarkan Kristus dalam kapasitas kita masing-masing. Semoga Tuhan memberikan kekuatan dan inspirasi, sehingga kita dapat menjalankan evangelisasi dengan baik demi kemuliaan nama Tuhan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Apa yang dikatakan saudara Antonius H. memang sangat benar dan terjadi di Paroki-ku yang adalah sebuah kota Kabupaten dengan 1 orang romo saja tanpa pendamping.
Saya adalah team pendalaman iman termuda. Tetapi sangat prihatin dengan rekan-rekan 1 team yang dalam segi pengetahuan Katekismus dan Hukum Kanonik sangat-sangat minim sekali.
Jadi saat doa lingkungan pemberian pengetahuan untuk menambah pendalaman alkitab menjadi hambar. Dan yang kedua adalah dari segi umat sendiri yang tidak mempunyai antusiasme . Ujung-ujung ke Kharismatik.
Saya adalah penganut Fundamentalis Katolik, karena sudah putus asa terhadap lingkungan sendiri, maka aku sendiri sekarang ikut / mengadakan Persekutuan Doa dengan Protestan Pantekosta.
Dan misiku adalah mengenalkan iman Katolik pada teman Pantekosta. Dalam bbrp bulan ini dari Natal 2008 s/d Paskah sudah meng evangelisasi 5 orang (sudah ketekisasi) dan besok pagi untuk pertama kali 1 orang lagi mau ke gereja (bukan Protestan). Aku sangat berterima kasih dengan web Katolisitas , Ekaristi dll sebab artikelnya banyak aku cetak dan sebarkan ke teman-teman Protestan.
Karena calon Katolik yang besok mau ikut mendapat evangelisasi dari aku dengan artikel dari WEB Katolik maka aku katakan dalam segi mengenal TRINITAS , Iman Katolik, Hukum Perkawinan termasuk buku – buku Scott Hahn dll. Maka dia saya yakin tanpa Katekisasi 1 tahun sudah boleh langsung di baptis.
Aku tidak mau mengajukan untuk di baptis sebab 1 orang ini dalam segi pendidikan dan pengetahuan agama sangat mendalam. ( bukan merendahkan kalau di Katekisasi maka bisa-bisa si Katekis pada ambrol, sebab teman saya ini orang yang sangat suka berdebat dan diskusi , alkitabnya sangat hapal bener)
1 kata terakhir adalah dari dia “saya akan jadi Kristen dan ke gereja yang tidak ada Trinitas” . Menjelaskan Trinitas pada seorang yang sudah punya dasar agama seberang sangatlah sulit.
Tetapi aku sangat yakin dengan pertolongan Roh Kudus ternyata dalam 1 tahun sudah mau ke gereja untuk pertama kalinya. Penjelasan Trinitas yang aku sampaikan diterima tanpa dapat disangkal lagi 2 hari lalu.
Sabtu 11:00 malam.
Tidur akh…sebab besok ada yang bertobat…tidak bisa bangun nanti….
Saya ingin bertanya
1. Terkadang saya mendengar dari temen saya “wah si A orangnya beriman ya, si B kurang” yang saya mau tanya Apakah Dasar Gereja Katolik melihat dan mengukur suatu Iman Katolik dan perkembangannya? Iman adalah sesuatu yang abstrak, terkadang dalam mulut bisa saja kita bilang kita Percaya Tuhan Yesus tetapi Hati kita tidak, nah bagaimana kita bisa mengetahui Iman seseorang? adakah ukuran yang digunakan?
2. Menurut saya bahan katekis juga perlu menerangkan satu sesi tenatnag perbedaan utama antara Gereja Katolik dengan Gereja yang lain, tujuan disini bukan untuk mempertentangkan gereja lain, tetapi untuk menjaga diri, apabila kita diserang oleh ajaran Gereja Lain kira Bisa bertahan. terima kasih
Shalom Ben,
Benar bahwa iman merupakan sesuatu yang timbul di dalam hati manusia, sehingga kita tidak dapat melihat/ mengukurnya seperti kita mengukur suatu barang yang kelihatan. Namun iman yang ada di dalam hati tersebut dapat memancar keluar sehingga memperlihatkan buah-buahnya, yaitu dalam perbuatan-perbuatan baik yang menunjukkan kasih. Oleh perbuatan-perbuatan inilah kita dapat melihat bagaimana penghayatan iman seseorang.
Maka, iman, menurut pengajaran Gereja Katolik yang berdasarkan Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium adalah:
1) Iman mengacu kepada ketaatan iman kepada apa yang diwahyukan Allah. Dei Verbum, 5 (Vatikan II, Konstitusi tentang Wahyu Ilahi) mengatakan, :
Kepada Allah yang menyampaikan wahyu manusia wajib menyatakan “ketaatan iman” (Rom16:26 ; lih. Rom1:5 ; 2Cor10:5-6). Demikianlah manusia dengan bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, dengan mempersembahkan “kepatuhan akalbudi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah yang mewahyukan”[4], dan dengan secara sukarela menerima sebagai kebenaran wahyu yang dikurniakan oleh-Nya. Supaya orang dapat beriman seperti itu, diperlukan rahmat Allah yang mendahului serta menolong, pun juga bantuan batin Roh Kudus, yang menggerakkan hati dan membalikkannya kepada Allah, membuka mata budi, dan menimbulkan “pada semua orang rasa manis dalam menyetujui dan mempercayai kebenaran”[5]. Supaya semakin mendalamlah pengertian akan wahyu, Roh Kudus itu juga senantiasa menyempurnakan iman melalui kurnia-kurnia-Nya.
Jadi di sini memang iman bagi kita orang Katolik sangat berkaitan dengan Kebenaran yang diwahyukan Allah, baik di dalam Kitab Suci maupun Tradisi Suci yang diajarkan oleh Gereja Katolik. Maka sudah menjadi tugas kita untuk berusaha memahami kebenaran itu, dengan akal budi kita, sehingga dengan demikian kita dapat mengatur hidup kita sesuai dengan apa yang kita imani. Dengan demikian iman bukan semata-mata perasaan/emosi yang dapat berubah-ubah, namun merupakan keputusan yang kita buat atas pertolongan Roh Kudus untuk menyerahkan diri kita sepenuhnya ke dalam pimpinan kehendak Allah- juga pada saat kita belum sepenuhnya mengerti akan rencana Allah. Dalam konteks inilah kita meneladani Bunda Maria, yang dengan ketaatannya menjawab, "Terjadilah padaku menurut perkataanMu", dan oleh iman Maria ini, Kristus Sang Putera Allah dapat menjelma menjadi manusia.
Contoh:
1) bahwa Tuhan Yesus menyatakan bentuk penyembahan dan syukur yang tertinggi kepada Allah adalah melalui Perayaan Ekaristi. Sudahkah kita dengan penuh ketaatan iman memahami perayaan Ekaristi ini, mempersiapkan diri sebelumnya, dan menghayatinya?
2) bahwa Tuhan Yesus mengatakan bahwa kita perlu mengaku dosa dalam Sakramen Tobat agar dosa kita dapat diampuni. Sudahkah kita dengan teratur datang ke Sakramen Tobat ini?
3) bahwa Tuhan menghendaki kita mengasihi dan mengampuni, bahkan mereka yang sangat menyakiti hati. Sudahkah kita menerapkannya?
4) bahwa Tuhan menjadikan Perkawinan adalah kudus, tak terceraikan, monogami, harus terbuka kepada kemungkinan kelahiran anak-anak; sehingga pemakaian alat kontrasepsi tidak dibenarkan. Sudahkah kita taat dan setia dalam hal ini?
5) bahwa Tuhan menginginkan para bapa menjadi kepala/ imam di dalam keluarga, yang harus memimpin seluruh keluarga menjadi semakin beirman dan mengasihi Tuhan dan sesama. Sudahkah para bapa dan ibu menjadi teladan dalam iman, pengharapan dan kasih kepada anak-anak?
Dan masih banyak contoh yang lainnya, yang tidak bisa saya tuliskan di sini satu-persatu, yang menunjukkan bahwa doktrin/ ajaran Gereja bukan hanya perlu diimani di dalam hati tapi juga perlu ditaati dan diterapkan dalam hidup sehari-hari.
2) Iman yang memancar keluar dalam bentuk perbuatan baik yang menunjukkan kasih:
Gal 5:6: "Sebab bagi orang-orang yang ada di dalam Kristus…, [hal yang mempunyai arti adalah] hanya iman yang bekerja oleh kasih.
1Kor 13:13: "Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih."
Yak 2:26, "Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati."
Maka kita ketahui di sini bahwa iman tak terlepas dari perbuatan kasih, karena tanpa perbuatan kasih maka iman itu mati. Oleh karena itu pula, seperti diajarkan oleh St. Maria Faustina Kowalska, kita diajarkan untuk berbuat kasih, setidaknya dalam tiga hal:
– dalam perbuatan: dengan langsung memberi pertolongan.
– dalam perkataan: dengan memberikan penghiburan, peneguhan, semangat, kata-kata yang bersifat membangun.
– dalam doa: jika tidak dimungkinkan menolong dengan perbuatan atau perkataan secara langsung, minimal kita dapat berdoa bagi orang yang membutuhkan bantuan.
Melihat uraian di atas, maka sebaiknya kita menilik ke dalam diri kita sendiri, sebelum mengomentari iman orang lain. Sebab jika kita telah dengan jujur melihat kondisi iman kita, maka kita akan lebih disibukkan untuk bertumbuh di dalam iman dan mengusahakan pertumbuhan iman bersama daripada sekedar mengomentari iman orang lain.
Mengenai usulan anda untuk mengikut sertakan topik Apologetik (untuk menjelaskan dan mempertahankan iman Katolik) akan kami perhatikan. Terima kasih.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati – http://www.katolisitas.org
Pak Stef,
Memang persoalan katekese dan katekis sepertinya menjadi persoalan besar di banyak Paroki dikeuskupan di Indonesia, entah itu soal jumlah petugas mauopun kwalitas pengetahuan (sementara saudara kita yang beragama dan gereja lainnya, dimana mereka sangat boleh secara bebas menerjemahkan Kitab Suci dibumbui semangat untuk menyelamaykan orang lain berani jualan keselamatan dan Tuhan/Yesus, beda dengan gereja kita yang memliki Magisterium), acapkali umat juga masih bertumpu dan mempunyai harapan sangat besar kepada Imam untuk hal ini. Saran saya, disamping memperbayak Katekis, tentu yang tak kalah penting adalah emnambah kwalitas pengetahuan, entah dari buku yang ada, dan tentunya juga, bagi yang sudah dapat mengakses website ini, dapat juga menggunakannya untuk menambah pengetahuan dengan mwmbaca dok gerja, artikel dll serta saling berbagi, cuma yang perlu dipikirkan ke depan, bagaimana dengan saudara saudari kita yang masih jauh dari pusat sumber informasi, mereka masih mengandalkan pengajaran lisan. sebagai contoh saja, di K A Medan, petugas yang aktif di Kom Kateketik – K A Medan hanya beberpa orang, di Paroki, gak jelas (walau selalu ada Seksi Katekese), kecuali hanya pengurus DPP atau Pengurus Lingkungan yang kebetulan punya hati mau menjadi pengurus dan belum sampai kepada penambahan/pengasahan kwalitas pengetahuan, ya masih lebih kepada pengalaman pribadi, pengajaran lisan dulu yang diterima dari pastor dan sedikit ditambah literatur yang diberikan oleh pastor paroki. Mudah mudahan para teman yang sudah jadi Katekis atau dalam tahap akan menjadi katekis tidak pudar semangatnya dengan tingkah laku umat dan atau katekumen, juga kedepan mudah mudahan semakin banyak buku yang dapat dibaca dan djangkau secara ekonomi untuk bahan katekese, entah oleh KWI, Imam Tarekat/Ordo maupun para imam diosesan. Doa dan sapaan sangat membantu dalam tugas ini meneguhkan para katekumen.
Salam kasih Kristus,
Bonar Siahaan
sampai saat ini bagi kita yang mencintai Iman Katolik sangat prihatin bahkan kadang bertanya mengapa. tetapi jika dilihat ternyata banyak hal yang harus kita perbaiki untuk menjawab kata mengapa. sesuai dengan pengalaman saya kita sebagai Katekis kurang mampu menjadi teladan hidup, terlalu banyak bicara tetapi perbuatan kosong.sikap mendengarkan juga sangat kurang terlalu banyak berbicara, dan membicarakan Tuhan tetapi berbicara kepada Tuhan nampaknya sangat minim, buktinya Katekis tidak tanggap apa yang dibutuhkan umat, tidak peka atas keadaan masing-masing.Yang tidak jarang lagi sikap berkorban sangat kurang artinya bukan hanya tidak berkorban untuk mendidik iman, tetapi juga untuk belajar banyak itu memuakkan sehingga katekis tidak mengetahui tuntutan jaman. Terimaksih semoga ini bermanfaat untuk kita, dan sangat penting karena saya juga sebagai calon Ketekis kiranya Tuhan memberkati usaha kita.
Shalom Kleopin,
Terima kasih atas masukannya. Memang satu hal yang paling penting adalah para katekumen (orang yang sedang belajar agama atau dalam proses katekese) harus melihat bahwa para katekis (yang mengajar katekumen) selain mengenal dan mempunyai pengetahuan yang baik akan iman Katolik, juga benar-benar mengasihi iman Katolik. Dengan mengenal dan mengasihi, maka para katekis dapat mempraktekkan apa yang diajarkan, sehingga mereka dapat menjadi saksi-saksi yang hidup. Seorang Paus mengatakan bahwa “dunia lebih membutuhkan dan mendengarkan saksi bukan guru. Kalaupun dunia mendengarkan guru, hal ini disebabkan guru tersebut juga menjadi saksi.”
Mari kita bersama-sama menjadi saksi Kristus yang hidup dengan cara hidup kudus. Dan yakinlah, sesuai dengan prinsip “bonum diffusivum sui” atau “kebaikan akan menyebar dengan sendirinya“, maka kekudusan akan juga mempengaruhi komunitas kita, seperti yang telah dicontohkan oleh para kudus.
Salam kasih dalam Kritus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Salam Kasih,
Terimakasih atas komentar ini
saya berkomitmen untuk menjadi katekis di KMK (keluarga mahasiswa katolik) , namun saya malu, saya masih jauh dari Imago Dei (menjadi seperti Kristus). Saya sangat sulit untuk berdoa dan konsentrasi , namun saya tetap melakukan rutin. Saya masih tergoda untuk mencicipi cawan maut (dosa).
Namun saya berusaha untuk memperbaiki terus diri sendiri.
doakan saya semoga saya dapat menjadi saksi Kristus
Shalom Kristofer,
Saya bersyukur bahwa Kristofer terpanggil untuk menjadi seorang katekis. Perjuangan untuk menjadi gambaran Allah dengan cara hidup kudus adalah perjuangan seumur hidup. Kita mencoba setiap hari untuk menjadi semakin mirip dengan Kristus. Tentu saja memang kita harus mempunyai keinginan untuk hidup kudus dan bertekad untuk tidak berbuat dosa. Hal ini tidak mungkin dengan kekuatan sendiri, namun adalah mungkin dengan mengandalkan rahmat Tuhan, dengan cara membina hubungan yang baik dengan Tuhan, seperti: doa, sakramen, mengasihi Maria dan para kudus, dll.
Pada saat kita jatuh ke dalam dosa, jangan berputus asa. Kita dapat meminta ampun kepada Tuhan dengan sesegera mungkin menerima Sakramen Tobat. Dan kita dapat memperbaharui kasih kita kepada Tuhan dan sesama, serta berjanji untuk tidak mengulangi dosa yang sama. Kita saling mendoakan, agar masing-masing dari kita dapat menjadi saluran kasih Tuhan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolitis.org
Menurut saya ada beberapa persoalan yang sering ditemui pada umat Katolik dewasa ini, seperti penjelasan tentang Tritunggal, kehadiran nyata Yesus dalam Misa Kudus, pengakuan dosa kepada imam, dan Devosi kepada Bunda maria dan orang-orang kudus.
Hal itu pula yang mengganggu saya, sehingga saya sempat meninggalkan Gereja Katolik selama hampir 1 tahun, hingga 5 bulan yang lalu saya mengalami berbagai peristiwa yang saya rasa itu adalah bimbingan Roh Kudus agar saya dapat kembali kepada Gereja Katolik.
Akan tetap, berapa banyak orang Katolik yang sedang kebingungan, merasakan sentuhan atau bimbingan Roh Kudus?
Berapa banyak umat katolik yang mengerti dan merasakan apa yang terjadi pada saat Misa Kudus? Banyak mukjizat yang sudah membuka mata kita tentang Misa Kudus akan tetapi masih banyak umat tak acuh.
Tidak ada gereja manapun selain Gereja Katolik yang mengalami hal ini, menurut saya ini merupakan hal yang paling penting dalam Gereja Katolik akan tetapi kesadaran umat Katolik akan hal ini sangat kurang.
Ini merupakan tugas kita semua sebagai orang Katolik, bukan hanya pengajar pelajaran agama.
Mari kita menjadi cahaya dunia, menyebarkan kasih Allah kepada saudara kita dengan bimbingan Tuhan kita Yesus Kristus.
Salam dalam kasih Kristus
Shalom..
Menurut pengalaman saya pribadi, sumber daya manusia yang akan memberikan katekese perlu memiliki skill “public speaking” yang baik..sehingga yang mendengarkan juga bersemangat dan tidak mengantuk. Selain itu metode penyampaiannya jangan melulu satu arah, perlu adanya diskusi kelompok diantara katekumenat (sehingga orang Katolik terbiasa juga mensharingkan imannya secara verbal tidak hanya dengan perbuatan, banyak orang Katolik yang malu untuk memimpin doa, dll)
selain memang materi katekese perlu diperdalam khusunya apologetik,.
banyak cerita dari teman2 yang berpindah ke protestan hanya karena belum mengenal iman Katolik dan terpesona oleh katekisasi dari gereja lain. hal ini sungguh menyedihkan hati saya…
Selain itu untuk anak-anak remaja dan pemuda perlu sedari kecil (bahkan dari sekolah minggu)memiliki wadah untuk sama2 mendalami alkitab. melalui kelompok umat basis, (Mudika, Remaka) dapat diberi input dan arahan dalam pertumbuhan rohani. Seringkali mudika dan remaka hanyalah sebagai ajang kumpul-kumpul saja,
Namun saya juga menyadari sebenarnya bukan saja masalah katekese namun umat Katolik itu sendiri, maukah ia mengenal imannya melalui bacaan-bacaan buku Katolik,bertanya pada romo/pembimbing rohani,dll. Melalui ini, saya menghimbau semua umat Katolik untuk mau peduli terhadap imannya dengan membaca. Melalui membaca buku2 Katolik sangat membantu dalam pertumbuhan rohani,.
Sekedar sharing dari pengalaman pribadi, sebenarnya teman2 protestan banyak yang mengagumi bunda Maria, namun jika kita tdk bisa mewartakannya, sungguh disayangkan sekali bukan? Melalui ini juga saya ingin meminta dukungan doa dari semua pembaca web ini untuk mendoakan teman protestan saya yang sedang bingung memilih gereja mana yg perlu diikuti (dia juga sedang belajar berdoa rosario..dan semoga saya dan teman2 Katolik dimampukan Tuhan sendiri untuk mengarahkannya pada pangkuan gereja Katolik.
Melalui sakramen Krisma dan pembabtisan yang telah kita terima, kita diutus untuk mewartakan iman kita.
Soli deo Glori..
GBU
Halo,
saya dibaptis ketika umur 10 tahun-an , dengan melewati katekis yang lebih dari satu tahun (1.5 tahun)
tapi saya tidak pernah diajarkan:
1. tata ibadat Gereja (doanya, dan mengapa tata ibadatnya seperti itu)
2. Gereja Katolik itu dibangun oleh Kristus, dan gak akan pernah salah karena dilindungiNya
3. hosti yang dibagikan itu Tubuh Tuhan
hingga, banyak sekali anak muda yang seangkatan denganku memudar imannya..
Shaloommmm Pak Tay & Bu Ingrid
Maaf pak Tay dan Bu Ingrid.
Saya mau tanya tentang KGK dan LG.
Apak itu KGK & LG? Dimana saya bisa dapat ke dua materi tsb?
Terima kasih sebelumnya.
BGU
Charles
Shalom Charles,
Terima kasih atas pertanyaannya. Saya minta maaf kalau ada di beberapa jawaban atau artikel tidak menerangkan kepanjangan dari KGK dan LG. KGK adalah singkatan dari Katekismus Gereja Katolik, dimana Charles dapat mengaksesnya di ekaristi.org (klik disini). Sedangkan LG adalah kependekan dari Lumen Gentium, salah satu dari dokumen Vatikan II. Dokumen Vatikan II ini dapat dibaca di katolisitas (klik disini). Semoga dapat berguna.
Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
stef & ingrid
Semoga Terang Kristus bersama kita selalu,
Menurut saya materi katekese sudah baik, hanya cara penyampaian atau redaksinya saja yg perlu berubah mengikuti perkembanganm jaman.
Masalah perpindahan umat, menurut saya bukannya karena katekese tetapi karena komunitas Katolik yg kurang menarik atau kurang merekat sehingga terjadi perpindahan serta cara-cara gereja membina umatnya kurang solid dan keteteran karena kurangnya personil.
Melibatkan awam seperti dalam KEP (Kursus Evangelisasi Pribadi – lihat http://kep.web.id ) mungkin sedikit memecahkan masalah perpindahan umat Katolik ke agama lain.
Syalom.
Salam kasih,
Berdasarkan pengalaman dan pengamatan, saya setuju berpendapat kualitas Katekisasi yang ada sekarang perlu di evaluasi baik katekisasi calon baptis dewasa maupun anak (komuni pertama). Perlu ada tekanan yg seimbang dalam berbagai pengajaran aspek2 liturgis, doktrin Katolik, dll, supaya seseorg disiapkan mampu makin memperdalam dan bertumbuh dalam Imannya di dalam gereja Katolik setelah ia dibaptis.
Orang2 dewasa muda sekarang telah terbentuk oleh jaman pasca-modern, mereka cenderung memilih yg praktis dan langsung, tidak rumit2, sebagian penginjil2 (tdk terbatas satu atau dua gereja tertentu saja) lebih suka memakai sarana kesaksian2(langsung dan tdk langsung), pengalaman2 pribadi,terapi2, manipulasi2 suasana ibadat (musik, sajian visual,dll,)..semuanya lebih di beratkan kepada upaya menyenangkan calon baptis. Sebagian mungkin sudah enggan mengajarkan dan belajar doktrin, bahkan Alkitab, maksudnya supaya ke Kristenan dapat ditampilkan sbg kisah gambar besar heroik, tempat segala kisah dan pengalaman2 pribadi dapat ditemukan. Konsep ini menurut saya mempunyai sisi kelemahan, yaitu melahirkan agnotisisme – ketidakmampuan mengetahui kebenaran, bahkan di dalam gerejanya sendiri. Yesus dapat menjadi tawanan pengalaman2 pribadi.
Atau sebaliknya memang apa yang ada sekarang dianggap sudah sesuai dan cukup oleh gereja?
Mudah2an pendapat saya ada gunanya.
Shalom,
Antonius H
Shalom Antonius,
Terima kasih atas masukannya. Saya rasa semua umat setuju bahwa kualitas katekis memang perlu ditingkatkan. Dan ini juga berlaku buat semua orang, termasuk saya sendiri, agar senantiasa belajar dengan lebih lagi, sehingga dapat semakin mendalami iman Katolik. Mungkin perlu dipikirkan bagaimana untuk membuat suatu standarisasi akan kualitas dari katekis. Oleh karena itu perlu dipikirkan suatu pendidikan khusus untuk para katekis.
Hal yang lain yang diusulkan oleh Antonius adalah suatu hal yang baik, karena banyak orang menekankan metodologi namun lupa kepada materi (content) dalam proses katekese. Pada akhirnya, kita harus menyadari bahwa memang pengalaman pribadi atau hubungan pribadi dengan Yesus (love) memang penting sekali. Namun hubungan kasih yang dewasa memerlukan kebenaran (truth), dimana melibatkan begitu banyak pokok-pokok iman. Oleh karena itu, “love” dan “truth” tidak boleh bertentangan, namun saling mendukung, karena berasal dari sumber yang sama, yaitu Tuhan sendiri. Hal ini dikarenakan Tuhan adalah kasih dan kebenaran.
Penerapan kedua hal ini harus nyata di dalam proses katekese, sehingga para katekumen dapat mengalami kebenaran yang juga dapat dialami dalam kehidupan sehari-hari. Kebenaran harus benar-benar menyentuh kehidupan sehari-hari, sehingga tidak ada jurang yang dalam antara iman dan keseharian.
Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
stef
syaloom,
saya melayani sebagai katekis otodidak di salah satu paroki di kota palembang.
Dari pengalaman selama kurang lebih 9 th,memang ada beberapa kendala.
Salah satunya adalah pendalaman materi yg mesti di selami oleh para katekis sebelum di bagikan pada para katekumen.
Improvisasi yg tentunya di imbangi dengan pengetahuan yang cukup amat di butuhkan disini,karena banyak simbol dan tafsir yang mesti di jabarkan dalam bahasa sehari hari yg sederhana.
Karena bila tidak,para katekumen akan ‘mengambang’ saat masuk pada materi2 khas Khatolik seperti bunda Maria,Trinitas,sakramen tobat dan inkarnasi.
Kebingungan mereka inilah yang sering menjadi titik lemah yang kemudian membuat goyah dan akhirnya pindah agama.
Satu contoh kecil saja,ada umat di paroki kami yg baru 3 bulan di baptis sdh pindah agama,hanya gara gara terpengaruh bisikan tetangga bahwa baptisannya tidak sah karna hanya kepala yang di siram dan bukan direndam spt baptisan Yohanes.
Saya amat setuju bila ada pembinaan yg lebih intensif bagi para tenaga katekese,termasuk forum u saling berbagi seperti disini.
Namun kalo saya boleh membuka agak lebih luas,dari yang saya tahu,umat yang pindah itu bukan melulu masalah katekese yg lemah,namun lebih pada faktor perhatian entah itu dari kita sebagai sesama umat,jajaran pengurus maupun dari pastor paroki nya sendiri..untuk di kota kota besar,hal ini nampaknya kurang di perhitungkan.
mungkin topik ini akan menjadi pokok renungan kembali tetang 5 pilar gereja,sehingga pembenahan baiknya meliputi keseluruhan,sebab meskipun nantinya tim katekesenya “jago” semua,namun kalau persaudaraan lemah,alias semua acuh tak acuh satu sama lain,hasilnya juga kurang maksimal.
Berkah Dalem.
Shalom PIH,
Terima kasih atas masukannya. Memang diperlukan suatu materi dan metodologi yang baik untuk proses katekese sehingga para katekis dapat mengajar dengan baik dan para katekumen dapat belajar dengan efektif, sehingga mereka dapat benar-benar mengetahui dan mengasihi iman Katolik.
Saya juga menyadari bahwa banyak yang pindah dari Gereja Katolik ke gereja yang lain karena alasan yang sifatnya pribadi, seperti komunitas yang lebih hangat, kotbah yang lebih baik, dll. Mungkin perlu dipikirkan, bagaimana dalam menyampaikan iman Katolik selama satu tahun dalam proses katekese dapat juga menjadi suatu sarana untuk membentuk komunitas yang hangat.
Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
stef
1. Materi dan proses katekese yang sudah ada selama ini sebenarnya sudah bagus. Persoalannya terletak pada para katekisnya yang tidak semua berlatar belakang kateketik ataupun teologi pastoral. Jadi komisi kateketik perlu lebih aktif untuk membina para katekis volunteer ( katekis sukarela ) untuk diberi pembekalan
2. Katekese Inisiasi kiranya perlu mendapat porsi yang cukup besar dalam kegiatan katekese pada umumnya.
Terima kasih, salam dari Purworejo
Shalom Wahyu,
Kalau boleh saya ingin tahu, materi apakah yang dipakai dalam proses katekese? Judul buku-bukunya, metodenya, dll.
Terima kasih atas masukannya. Memang sumber daya para katekis perlu ditingkatkan.
Katekese inisiasi memang sering menjadi masalah, karena memang umat Katolik menjadi agak bingung mengapa Sakramen Baptis, Penguatan dan Ekaristi menjadi sakramen inisiasi, namun jarang sekali yang menerima ketiga sakramen ini secara bersama-sama. Ada sejarah panjang yang melatarbelakangi hal ini, yang mungkin nanti suatu saat dapat kita bahas bersama.
salam kasih dari http://www.katolisitas.org
stef
Shalom Saudara Stef.
Berdasarkan pengalaman yang saya lakukan sebagai katekis materi yang digunakan dalam proses katekese meliputi hal-hal berikut ini:
1. Sejarah Keselamatan dalam Kitab Suci Perjanjian Lama
2. Sejaah Keselamatan dalam Kitab Suci Perjanjian Baru
3. Tradisi Gereja, Ajaran Sosial Gereja maupun Dogama – dogma Gereja
4. Sakramen-sakramen ( khususnya untuk katekese persiapan penerimaan sakramen )
5. Pengalaman manusia sebagai karya keselamatan Allah.
Persoalannya buku-buku yang ada (baik itu menyangkut Teologi, Tafsir Kitab Suci, Ajaran Sosial – Moral Gereja, dll)nampaknya lebih difokuskan untuk mereka yang berlatar belakang filsafat-teologi. Artinya umat awam sering kesulitan untuk mencerna buku-buku tersebut. Untuk itu kiranya para penulis perlu menulis bahan-bahan katekese yang lebih “mendunia / membumi ” sehingga pesan yang mau disampaikan dapat dipahamai dengan lebih mudah. Ada banyak model katekese yang telah dikembangkan, antara lain : Katekese Umat, Katekese Analisa Sosial, Katekese dengan metode Spiral Pastoral, katekese yang lebih menekankan Aksi – Reflesi Iman – Aksi.
Sebagai orang yang ada di lapangan, saya sangat terbantu bila para pengasuh website itu bisa menyiapkan bahan-bahan jadi untuk bekal kami berkatekese baik di sekolah maupun di lingkungan umat.
Demikian Saudaraku, Selamat berkarya untuk Gereja dan Dunia. Tuhan memberkati
Shalom Wahyu,
Terima kasih atas informasi dan sumbang sarannya. Bolehkah saya tahu buku apa yang dipakai dalam proses katekese? Memang menjadi tantangan dalam proses katekese bahwa metode apapun juga yang dipakai tidak boleh mengurangi doktrin yang harus diajarkan. Namun tidak boleh juga mengajarkan doktrin yang membuat orang tidak mengerti. Jadi harus ada keseimbangan antara metode dan materi. Terlalu menekankan metode, membuat orang tidak terlalu mengerti akan ajaran-ajaran Katolik.
Semoga saja, buku-buku yang nanti akan ditulis oleh katolisitas.org akan dapat memberikan sedikit kontribusi untuk proses katekese.
Semoga Tuhan memberkati setiap pelayanan yang kita lakukan.
Salam kasih dalam Kristus,
stef – http://www.katolisitas.org
Apakah mungkin diadakan wadah para katekis, agar dapat diperoleh kerja sama yang baik, misal tukar menukar pengalaman ataupun bahan pengajaran yang lebih baik yang menjawab banyak pertanyaan umat seputar iman Katolik?
Comments are closed.