Sebenarnya istilah yang lebih tepat bukan prodiakon tetapi adalah Pelayan Pembagi Komuni Tak Lazim (Extra-ordinary minister of the Holy Communion). ‘Diakon’ (permanent deacon) adalah pelayan tertahbis, dan ini tidak ada yang wanita. Sedangkan wanita dapat ditunjuk oleh imam paroki untuk menjadi petugas Pelayan Pembagi Komuni Tak Lazim, dan jika demikian, ia diizinkan untuk membagikan Komuni kudus dalam kondisi tak lazim, yaitu jika tidak terdapat cukup Pelayan yang Lazim [yaitu uskup/imam/diakon tertahbis] untuk membagikan Komuni. Ketentuan ini berlaku juga bagi semua Pelayan Pembagi Komuni Tak Lazim (termasuk pria). Jadi misalnya pada misa konselebrasi, saat jumlah imamnya cukup, atau pada saat Misa harian pagi hari, saat jumlah umat tidak terlalu banyak, maka tidak diperlukan pelayan pembagi Komuni Tak Lazim untuk bertugas. Jadi pada prinsipnya petugas Pelayan Pembagi Komuni Tak Lazim bertugas hanya jika keadaannya tak lazim (misalnya Misa dihadiri oleh banyak orang sehingga kuranglah jumlah Pelayan Pembagi Komuni yang Lazim untuk melayani umat).

Pertanyaan serupa pernah ditanyakan kepada Konsili Pontifikal tentang topik yang sedang kita bicarakan ini, dan demikianlah jawaban resmi dari Konsili Pontifikal tersebut, yang memberikan interpretasi yang otentik tentang teks legislatif tersebut:

1. KHK kan. 230.2: Kaum awam, laki-laki dan perempuan, dapat memenuhi tugas-tugas liturgis tertentu.

Pertanyaan: Dapatkah pelayanan di altar juga dianggap sebagai tugas-tugas liturgis sehingga kaum awam, baik perempuan atau laki-laki, dapat memenuhi/ melaksanakannya sesuai dengan Kan 230.2?

Jawab: Ya, sesuai dengan instruksi yang diberikan oleh Tahta Suci.

11 Juli 1992
AAS 86 (1994) 541-542. Communicationes 26 (1994) 159-160. Origins 23 (1994) 777-779

2. KHK kann. 910 dan 230.3: Tentang Pelayan Pembagi Komuni Tak Lazim

Pertanyaan: Apakah Pelayan Pembagi Komuni Tak Lazim, yang ditugaskan sesuai dengan ketentuan Kann 910.2 dan 230.3, dapat melaksanakan tugas mereka (baik yang laki-laki ataupun yang perempuan) untuk membantu bahkan ketika (para) Pelayan yang Lazim, yang tidak terhalang, hadir di gereja meskipun tidak mengambil bagian di dalam perayaan Ekaristi?

Jawaban: Tidak.

1 Juni 1988
AAS 80 (1988) 1373. Periodica 78 (1989) 269-277

Dengan demikian, menurut Konsili Pontifikal, jika keadaannya tak lazim dan diperlukan petugas tambahan untuk membagikan Komuni, maka para Pelayan Pembagi Komuni Tak Lazim (baik pria maupun wanita) dapat melaksanakan tugasnya untuk membagikan Komuni. Tetapi jika keadaaannya tidak memerlukan (karena jumlah imamnya cukup atau kalau jumlah umatnya tidak banyak) maka Pelayan Pembagi Komuni Tak Lazim tidak perlu bertugas.

 

5 COMMENTS

  1. Nimbrung dikit, tentang prodiakonis(wanita) boleh bertugas membagi komuni pada umat, dengan dasar (1) KHK seperti telah diuraikan: (2) Surat pengangkat Prodiakon dan Prodiakonis dari Bapak Uskup setempat dengan tugas utama membantu Imam membagi komuni dalam perayaan Ekaristi, terutama pada hari Minggu. melaksanakan tugas yang diberikan oleh pastor paroki, untuk melayani komuni, orang sakit, di RS maupun di rumah, di penjara/lembaga pemasyarakatan, memimpin ibadat di lingkungan, ibadat di rumah duka, pelepasan jenasah, penguburan, kremasi, pelarungan. Dan untuk di paroki yang kekurangan imamnya, prodiakon.prodiakonis bisa mempimpin ibadat hari Minggu, lengkap dangan kotbah/renungan. mungkin juga dilanjutkan dengan pembagian komuni untuk umat. Mudah-mudah tribungan ini dapat menambah pengetahuan pawa awam Katolik.

    • Kalau menurut pendapat saya, ada ketentuan tersendiri jika prodiakonis membagikan komuni. Komuni adalah salah satu rangkaian peristiwa yang suci. Bagi prodiakonis, disaat baru berhalangan/menstruasi, hendaknya menyadari bahwa dirinya sedang dalam keadaan yang tidak bersih secara phisik, maka sebaiknya tidak mengerjakan atau tidak bertugas dulu untuk digantikan sementara waktu dengan prodiakon/prodiakonis yang lainnya yang tidak sedang berhalangan. Kita harus menghormati baik itu hosti maupun yang kita anggap sakral dan suci dengan membersihkan badan dan hati serta pikiran yang kotor, disaat kita mau membagikan bahkan mengangkat hosti/roti itupun kita harus berhati-hati sekali. Ini pendapat saya, maaf saya hanya urun rembug saja.

      • Shalom Fransiskus,

        Kitab Suci mengajarkan kepada kita, bahwa dalam Perjanjian Baru, memang hal-hal pelaksanaan hukum Taurat yang sifatnya lahiriah tidaklah berlaku lagi, melainkan telah digenapi dengan persyaratan yang sifatnya rohani dan menyeluruh. Demikianlah mengapa hukum sunat dalam Perjanjian Baru tidak lagi menjadi syarat yang harus dipenuhi untuk keselamatan, namun telah disempurnakan dengan Baptisan. Baptisan yang mempunyai makna pertobatan, adalah penanggalan manusia lama (bukan hanya penanggalan kulit jasmani pada bagian tubuh tertentu) beserta dengan segala dosanya. Maka yang diajarkan dalam Perjanjian Baru ini adalah sunat rohani/ sunat di dalam hati (Rm 2:9), dan bukan sunat jasmani. Sunat rohani ini nampak dari ibadah oleh Roh Allah, dan bukan dari tindakan pemotongan kulit lahiriah. Bacaan pertama pada hari ini yang diambil dari surat Rasul Paulus kepada jemaat di Filipi mengatakan, “karena kitalah orang-orang bersunat, yang beribadah oleh Roh Allah, dan bermegah dalam Kristus Yesus dan tidak menaruh percaya pada hal-hal lahiriah….” (Flp 3:3).

        Dengan prinsip yang sama, Perjanjian Baru tidak lagi mensyaratkan bermacam persyaratan lahiriah yang disebutkan dalam Perjanjian Lama, seperti halnya keadaan najis bagi perempuan yang sedang mengalami menstruasi. Magisterium Gereja Katolik tidak menyebutkan larangan membagikan Komuni kepada petugas wanita pembagi Komuni tak lazim (extra-ordinary minister of Holy Communion), jika ia sedang mengalami menstruasi. Jika Gereja tidak melarangnya, maka kita tidak selayaknya membuat ketentuan sendiri sehubungan dengan pemahaman pribadi. Mari memusatkan perhatian kita kepada persiapan hati sehubungan dengan penerimaan Komuni, bagi kita yang menerima, maupun persiapan hati untuk menjadi pelayan tak lazim yang membagikan Komuni, bagi mereka yang bertugas membagikannya.

        Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
        Ingrid Listiati- katolisitas.org

  2. Ibu Ingrid,
    1. Mohon dijelaskan apakah prodiakon wanita tidak boleh menerimakan hosti ? Kalau tidak boleh apakah dasarnya ?

    [dari Katolisitas: silakan membaca penjelasannya di artikel di atas, silakan klik]

    2. Apakah bedanya pastor SJ dng PR ?

    Salam
    Elisabeth A.

    • Salam Elisabeth,

      “Pr” di Indonesia khususnya di keuskupan-keuskupan yang terpengaruh bahasa Jawa, ialah istilah untuk menyebut imam-imam keuskupan. “Pr” kependekan dari “Praja”. Arti “Praja” ialah kota, negeri atau rakyat yang mendiami suatu wilayah (Kamus Umum Bahasa Indonesia). Istilah “Praja” atau imam “Pr” menunjukkan bahwa imam tersebut milik keuskupan. Dia bertugas di wilayah keuskupan itu, taat pada uskup sang pemiliknya, dan bertugas melayani umat di paroki-paroki penggembalaan di wilayah keuskupan itu. Imam keuskupan ini bisa saja dipindahkan ke keuskupan lain jika uskup menghendaki untuk membantu uskup keuskupan lain yang membutuhkan tambahan tenaga imam, namun tugas pokoknya ialah di keuskupannya sendiri tempat ia diinkardinasi (digabungkan). Imam “Pr” disebut juga imam diosesan (dioses artinya keuskupan). Para imam keuskupan ini di Indonesia membentuk paguyuban persaudaraan yang disebut “Unio” http://www.unio-indonesia.org/

      Sebenarnya, singkatan “Pr” yang awal ialah “Presbyter” (kata Yunani) yang artinya “Imam”. Di luar Indonesia, tidak ada istilah Praja. Mereka hanya mengenal kata imam keuskupan (Diocesan Priest – bhs Inggris atau diozesanpriester – bhs Jerman, atau sacerdote diocesano – bhs Itali, atau petre diocesain – bhs Prancis). Di luar Indonesia, penulisan nama imam ini tidak diakhiri dengan “Pr”. Jika di luar Indonesia, misalnya di negara berbahasa Inggris nama saya ditulis Rev. Father Harsanto, atau R.D. Harsanto tanpa embel-embel “Pr”. RD artinya “Reverendus Dominus” suatu sapaan hormat bagi imam. Hanya di Indonesia sering ditulis embel-embel “Pr” di belakang nama imam diosesan. Imam taat pada uskup. Tiap uskup ialah pemilik imam-imam diosesan di wilayah keuskupannya.

      Selain imam milik keuskupan, ada pula imam yang berasal dari tarekat religius. Mereka ialah kaum religius (biarawan). Mereka ditahbiskan menjadi imam untuk turut membantu keuskupan-keuskupan dalam melayani sakramen-sakramen bagi umat dan membantu menggembalakan umat dalam berbagai karya. Sejarahnya, antara lain, karena pada suatu masa di abad lalu, banyak keuskupan kekurangan imam. Maka kemudian biarawan-biarawan ini ditahbiskan. Kelompok biarawan itu banyak jenisnya. Tiap anggota kelompok biarawan (tarekat religius) menjalani kaul ketaatan, kemurnian, kemiskinan, ada pula yang menambahi kaul ketaatan kepada paus, dan sebagainya yang intinya hendak berkomitmen secara istimewa untuk membangun Gereja Katolik dan membangun kekudusan dalam Gereja, dengan ciri khas spiritualitas masing-masing.

      Salah satu kelompok tarekat religius ialah SJ. Nama imam atau bruder yang menjadi anggota tarekat religius biasanya ditambahi dengan embel-embel nama ordo atau kongregasinya itu. Yang dari SJ misalnya Romo Mardiatmadja SJ atau RP. Mardiatmadja SJ (RP singkatan dari “Reverendus Pater”, sapaan hormat bagi imam biarawan). SJ atau SI singkatan dari “Societatis Jesu” atau “Societatis Iesu”, atau “Society of Jesus” atau “Serikat Jesus”, atau sering juga SY, Serikat Yesus. Mereka ada yang ditahbiskan jadi imam ada pula yang biarawan yesuit saja (bruder). Serikat ini dibentuk oleh St Ignatius Loyola, tahun 1534. Sejarahnya silahkan klik di sini http://id.wikipedia.org/wiki/Yesuit

      Salam

      Yohanes Dwi Harsanto, Pr

Comments are closed.