Tiga Hukum dalam Perjanjian Lama

Banyak orang salah paham apakah hukum-hukum dan peraturan-peraturan di dalam Perjanjian Lama masih berlaku atau sebenarnya tidak berlaku lagi. Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus membedakan hukum-hukum di Perjanjian Lama dan senantiasa membaca segala sesuatu di dalam Perjanjian Lama dalam terang Perjanjian Baru. St. Thomas Aquinas (ST, I-II, q. 98-108) mengatakan bahwa ada 3 macam hukum di dalam Perjanjian Lama, yaitu:

1. Hukum Moral (Moral Law)

Moral Law atau hukum moral adalah menjadi bagian dari hukum kodrati, hukum yang menjadi bagian dari kodrat manusia, sehingga Rasul Paulus mengatakan “Sebab dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela” (Rom 2:15). Contoh dari hukum ini adalah yang tertulis di 10 perintah Allah, dimana terdiri dari dua loh batu, yang mencerminkan kasih kepada Allah (perintah 1-3) dan juga kasih kepada sesama (perintah 4-10). Hukum kodrati ini adalah hukum yang tetap mengikat (bahkan sampai sekarang) dan dipenuhi dengan kedatangan Kristus, karena hukum kodrati ini adalah merupakan partisipasi di dalam hukum Tuhan.

2. Hukum Seremonial (Ceremonial law)

Hukum ini merupakan ekspresi untuk memisahkan sesuatu yang sakral dari yang duniawi yang juga berdasarkan prinsip hukum kodrat, seperti: hukum persembahan, tentang kesakralan, proses penyucian untuk persembahan, tentang makanan, pakaian, sikap, dll. Hukum ini tidak lagi berlaku dengan kedatangan Kristus, karena Kristus sendiri adalah persembahan yang sempurna; sebab Kristus menjadi Anak Domba Allah yang dikurbankan demi menebus dosa-dosa dunia. Maka kurban sembelihan seperti yang disyaratkan di dalam Perjanjian Lama tidak lagi diperlukan, karena telah disempurnakan di dalam kurban Kristus di dalam Perjanjian Baru. Itulah sebabnya di Gereja Katolik sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Yesus dan juga para rasul (Petrus dan Paulus) tidak mempermasalahkan makanan-makanan persembahan, karena bukan yang masuk yang najis, namun yang keluar.

3. Hukum Yudisial (Judicial Law)

Ini adalah merupakan suatu ketentuan yang menetapkan hukuman (sangsi) sehingga peraturan dapat dijalankan dengan baik. Oleh karena itu, maka peraturan ini sangat rinci, terutama untuk mengatur hubungan dengan sesama, seperti: peraturan untuk penguasa, bagaimana memperlakukan orang asing, dll. Dalam Perjanjian Lama, Judicial law ini ditetapkan sesuai dengan tradisi bangsa Yahudi. Contoh dari judicial law: kalau mencuri domba harus dikembalikan empat kali lipat (Kel 22:1), hukum cambuk tidak boleh lebih dari empat puluh kali (Ul 25:3), memberikan persembahan persepuluhan (Mal 3:6-12). Setelah kedatangan Kristus di Perjanjian Baru, maka hukum yudisial/ judicial law ini tidak berlaku lagi; sebab Kristus membuka pintu keselamatan bagi bangsa-bangsa lain, sehingga ketentuan hukuman (sangsi) diserahkan kepada pemerintahan bangsa-bangsa lain tersebut, dan di dalam konteks umat Kristiani, maka hukum yudisial/  judicial law ditetapkan oleh Gereja Katolik yang memiliki anggota dari seluruh bangsa.

Hukum Moral adalah tetap dan yang lain dapat berubah

Kalau kita perhatikan, hukum seremonial dan hukum yudisial senantiasa bersumber dari hukum moral. Dan hukum moral inilah yang terus tetap ada dan harus terus dijalankan, karena hukum moral adalah partisipasi dalam hukum Tuhan.  Manifestasi sempurna dari hukum moral adalah sebagaimana nyata dalam 10 perintah Allah, yang terdiri dari dua perintah utama, yaitu: Mengasihi Tuhan lebih dari segala sesuatu dan mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri. Sedangkan hukum seremonial, segala yang bersifat kurban sembelihan/ kurban bakaran atau kurban sesajian bagi perayaan ibadah, tidak lagi disyaratkan, sebab dalam kurban Kristus, segala kurban Perjanjian Lama tersebut telah sempurna digenapi. Maka kurban yang kita hantarkan dalam ibadah  adalah kurban kita yang kita persatukan dengan kurban Kristus. Demikian juga hukum yudisial, setelah Kristus naik ke Surga, maka tugas pengaturan hukum yudisial  di Gereja diberikan kepada para pemimpin Gereja, sedangkan hukum yudisial di luar Gereja, kepada negara dengan hukum yang dijiwai oleh nilai-nilai keadilan dan kasih sebagaimana diajarkan oleh Kristus.

 

4.2 5 votes
Article Rating
3 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
Romo pembimbing: Rm. Prof. DR. B.S. Mardiatmadja SJ. | Bidang Hukum Gereja dan Perkawinan : RD. Dr. D. Gusti Bagus Kusumawanta, Pr. | Bidang Sakramen dan Liturgi: Rm. Dr. Bernardus Boli Ujan, SVD | Bidang OMK: Rm. Yohanes Dwi Harsanto, Pr. | Bidang Keluarga : Rm. Dr. Bernardinus Realino Agung Prihartana, MSF, Maria Brownell, M.T.S. | Pembimbing teologis: Dr. Lawrence Feingold, S.T.D. | Pembimbing bidang Kitab Suci: Dr. David J. Twellman, D.Min.,Th.M.| Bidang Spiritualitas: Romo Alfonsus Widhiwiryawan, SX. STL | Bidang Pelayanan: Romo Felix Supranto, SS.CC |Staf Tetap dan Penulis: Caecilia Triastuti | Bidang Sistematik Teologi & Penanggung jawab: Stefanus Tay, M.T.S dan Ingrid Listiati Tay, M.T.S.
top
@Copyright katolisitas - 2008-2018 All rights reserved. Silakan memakai material yang ada di website ini, tapi harus mencantumkan "www.katolisitas.org", kecuali pemakaian dokumen Gereja. Tidak diperkenankan untuk memperbanyak sebagian atau seluruh tulisan dari website ini untuk kepentingan komersial Katolisitas.org adalah karya kerasulan yang berfokus dalam bidang evangelisasi dan katekese, yang memaparkan ajaran Gereja Katolik berdasarkan Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja. Situs ini dimulai tanggal 31 Mei 2008, pesta Bunda Maria mengunjungi Elizabeth. Semoga situs katolisitas dapat menyampaikan kabar gembira Kristus. 
3
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x