Apa Pandangan Gereja Katolik tentang Euthanasia?

Prinsip Umum

Gereja Katolik sungguh menjunjung tinggi kehidupan, karena kehidupan manusia diberikan dari Allah. Paus Yohanes Paulus II dalam Evangelium Vitae, menyatakan secara definitif bahwa pembunuhan seorang manusia yang tak bersalah selalu merupakan perbuatan imoral/ tidak bermoral. Pernyataan ini bersifat infallible atau tidak dapat sesat. Dalam artikel 57 dari dokumen Evangelium Vitae, dituliskan sebagai berikut:

“Jadi, dengan otoritas yang diberikan Kristus kepada Petrus dan para penerusnya, dan di dalam persekutuan dengan para uskup Gereja Katolik, saya menegaskan bahwa tindakan pembunuhan seorang manusia tak bersalah selalu merupakan tindakan yang sungguh tidak bermoral. Pengajaran ini, berdasarkan hukum yang tidak tertulis, di mana manusia dalam terang akal budi, menemukannya dalam hatinya (lih. Rm 2:14-15), ditegaskan kembali oleh Kitab Suci, diteruskan oleh Tradisi Gereja dan diajarkan oleh Magisterium biasa dan universal” (Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatik tentang Gereja, Lumen Gentium, 25).

Selanjutnya Kongregasi Doktrin Iman menjelaskan lebih lanjut, demikian:

“Keputusan sengaja untuk merampas kehidupan seorang manusia selalu merupakan kejahatan moral dan tidak akan dapat dianggap licit (sesuai aturan), baik sebagai tujuan ataupun sebagai cara untuk mencapai sebuah tujuan yang baik. Nyatanya, itu adalah tindakan berat yang menyangkut ketidaktaatan kepada hukum moral, dan sungguh kepada Tuhan sendiri, Pencipta dan Penjamin hukum tersebut; [tindakan itu] bertentangan dengan kebajikan mendasar tentang keadilan dan cinta kasih. Tak ada sesuatupun dan tak seorangpun dapat dengan cara apapun mengizinkan pembunuhan seorang manusia, apakah itu dalam bentuk janin atau embrio, seorang bayi ataupun dewasa, seorang tua, atau seseorang yang menderita karena penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau seseorang yang dalam keadaan sekarat. Selanjutnya, tak seorangpun diizinkan untuk meminta dilakukannya tindakan pembunuhan ini, entah bagi dirinya sendiri atau untuk orang lain yang dipercayakan kepadanya, atau tak seorangpun dapat menyetujuinya, baik secara eksplisit ataupun implisit. Tidak juga ada otoritas legitim apapun yang dapat merekomendasikan ataupun mengizinkan tindakan tersebut” (diterjemahkan dari Congregation for the Doctrine of the Faith (CDF), Declaration on Euthanasia Iura et Bona (5 May 1980), II: AAS 72 (1980), 546).

Selanjutnya, Paus Yohanes Paulus II mengatakan, “Euthanasia dalam artinya yang sesungguhnya dimengerti sebagai sebuah tindakan atau pengabaian yang dilakukan dengan tujuan untuk menyebabkan kematian, dengan maksud untuk meniadakan semua penderitaan…. Sesuai dengan pengajaran Magisterium dari para pendahulu saya, dan dalam persekutuan dengan para uskup Gereja Katolik, saya menegaskan bahwa euthanasia adalah pelanggaran yang berat terhadap hukum Tuhan, sebab hal tersebut merupakan pembunuhan seorang manusia secara disengaja dan secara moral tidak dapat dibenarkan. Ajaran ini berdasarkan hukum kodrat dan sabda Allah yang tertulis, yang diteruskan oleh Tradisi Suci Gereja, dan diajarkan oleh Magisterium Gereja” (Evangelium Vitae 65).

Namun surat ensiklik Evangelium Vitae tersebut juga menjelaskan bahwa euthanasia berbeda artinya dengan keputusan untuk tidak melakukan perawatan medis yang agresif/ “aggressive medical treatment“:

“[Perawatan ini adalah] prosedur- prosedur medis yang sebenarnya sudah tidak lagi cocok dengan keadaan riil pasien, karena prosedur tersebut sudah tidak proporsional dengan hasil yang diharapkan, atau prosedur tersebut memaksakan beban yang terlalu berlebihan kepada pasien dan keluarganya. Dalam keadaan- keadaan seperti ini, ketika kematian sudah jelas tidak terhindari, seseorang dengan hati nuraninya dapat “menolak bentuk- bentuk perawatan yang hanya menjamin perpanjangan hidup yang tak menentu dan sangat membebani, sepanjang perawatan normal yang layak bagi pasien pada kasus- kasus serupa tidak dihentikan.” (CDF, Ibid., IV: loc. cit, 551). Sudah pasti ada keharusan moral untuk merawat diri sendiri dan membiarkan diri dirawat orang lain, tetapi tugas ini harus dilakukan dengan memperhatikan kondisi- kondisi konkret. Harus ditentukan apakah perawatan yang ada secara obyektif proprosional dengan kemungkinan penyembuhan. Menolak cara yang berlebihan dan tidak proporsional tidak sama dengan bunuh diri atau euthanasia; melainkan itu mencerminkan penerimaan kondisi manusia menghadapi maut.” (Ibid., seperti dikutip dalam Evangelium Vitae 65)

Paus Yohanes Paulus II mengajarkan bahwa walaupun dalam kondisi ‘vegetatif’ sekalipun, manusia tetap mempunyai martabat yang utuh, dan karenanya harus diperlakukan sebagai manusia. Bahkan ketika kematian sudah di ambang pintu, para pasien, tetap harus diperlakukan sesuai dengan martabatnya, dengan terus diberikan perlakuan yang umum dan layak. Dokumen untuk Para Petugas Kesehatan, The Charter for Health Care Workers (yang dikeluarkan oleh Pontifical Council for Pastoral Assistance for Health Care Workers, 1995) mengatakan bahwa perlakuan yang layak tersebut termasuk perawatan, kebersihan, pengurangan rasa sakit, pemberian makanan dan air, baik melalui mulut atau dengan infus, jika ini dapat mendukung kehidupan pasien tanpa menimbulkan beban yang serius kepada pasien. Maka persyaratan umum adalah menghindari kematian pasien yang disebabkan oleh kelaparan dan kehausan. Namun, jika kasus yang terjadi malah sebaliknya, yaitu jika pasien telah menjelang ajal, di mana pemberian makanan dan air malah menimbulkan kesulitan yang lebih besar daripada kegunaannya, maka mereka yang bertugas menjaga dan merawat pasien tersebut, dapat memberhentikan pemberian tersebut (lih. National Conference of Catholic Bishops, Ethical and Religious Directives for Catholic Health Care Services, no. 58).

Contoh Kasus

Berikut ini adalah contoh beberapa kasus yang dikemukakan oleh pembaca Katolisitas:

1. Seorang pasien di ICU karena kecelakaan parah, berakibat batang otaknya terkena, sehingga dinyatakan meninggal secara medis. Bolehkah keluarga, atas saran dari rumah sakit, mencabut alat bantu pernafasan (ventilator)?

Tanggapan kami:

Jika seorang telah dinyatakan meninggal secara medis, maka meskipun orang itu diberi alat bantu pernafasan, sebenarnya bukan orang itu sendiri yang bernafas, melainkan efek bernafas semata diakibatkan oleh alat bantu saja. Kondisi ini sebenarnya sudah tidak riil lagi bagi kesembuhan pasien. Dengan demikian, jika alat bantu pernafasan dicabut, itu bukan tindakan euthanasia, sebab sebenarnya pasien tersebut sudah meninggal dunia secara medis.

2. Seorang pasien di ICU karena stroke, dan mengalami koma. Biaya di ICU yang mencapai sekitar 6 juta per hari sangat membebani keluarga sederhana itu. Sedangkan kondisi koma sudah berlangsung 2 minggu tanpa batas waktu. Akhirnya karena biaya yang sudah sangat tinggi dan tidak tertanggungkan lagi, keluarga mencabut seluruh alat bantu di tubuh pasien dan pasien tersebut dibawa pulang. Akibatnya sudah bisa dipastikan, pasien meninggal tak lama setelah alat bantu pernafasan dicabut.

Tanggapan kami:
Perihal pasien yang dirawat di ICU dan koma dengan biaya sangat besar, tanpa batas waktu dengan segala alat bantu: Jika para dokter yang menanganinyapun tidak dapat menjamin bahwa alat bantu tersebut dapat berguna bagi pemulihan pasien, maka dapat dikatakan bahwa segala treatment tersebut sudah tidak lagi proporsional dengan hasil yang diharapkan. Dalam hal ini, keluarga berhak dengan hati nurani mereka untuk menolak melanjutkan penanganan di ICU; namun selayaknya tetap memberikan makanan dan air sebagai syarat minimum bagi kehidupan manusia (infus makanan dan air tidak boleh dicabut). Sehingga sekalipun sampai pasien itu wafat, ia wafat dalam keadaan wajar.

3. Seorang manula berusia di atas 75 tahun, dengan kondisi baru terkena serangan jantung, gejala stroke, kondisi ginjal sangat buruk. Dirawat di ICU selama 1 bulan, dengan biaya yang luar biasa besar. Alat bantu pernafasan (ventilator) dan suntikan vascon (meningkatkan tekanan darah) tak pernah lepas. Kondisi pasien up and down, kadang setengah sadar kadang tidak sadar. Ketika kondisi memburuk, terjadi perbedaan pendapat antara para dokter, satu pihak akan melakukan HD (Hemodialysis)/ cuci darah, pendapat lain menyarankan untuk tidak melakukan tindakan agresif. Akhirnya keluarga tidak melakukan HD, dan hanya berselang 4 hari sejak keputusan menolak HD, kondisi pasien memburuk dengan cepat dan akhirnya meninggal.

Tanggapan kami:

Serupa dengan kasus sebelumnya, walaupun memang mungkin masih dapat didiskusikan, terutama, jika menurut dokter terdapat kemungkinan pemulihan melalui HD. Namun sepanjang pengetahuan kami, begitu dilakukan HD, kemungkinan besar hidup pasien tersebut selamanya akan tergantung dari HD, dan dengan demikian menjadi cara prolongation of life, yang melibatkan ketergantungan dan beban yang besar, tidak saja bagi keluarga, tetapi juga bagi pasien tersebut, mengingat usianya yang sudah lanjut. Maka dalam kondisi ini jika sampai pasien tersebut ataupun keluarganya memutuskan untuk tidak melakukan HD, juga keputusan tersebut dapat dibenarkan secara moral. Lain halnya jika secara medis, dokter masih melihat kemungkinan pemulihan lewat HD, dan keluarganya mampu membiayai. Jika demikian kasusnya, maka kemungkinan tersebut sesungguhnya dapat dan layak dicoba.

Sebagai kesimpulan, akhirnya harap diingat bahwa dalam keadaan apapun yang terpenting adalah mengusahakan perawatan/ pertolongan terhadap pasien sebaik mungkin. Jika semua treatment sudah dilakukan namun kondisi pasien terus memburuk, maka memang akhirnya harus diterima bahwa sakit penyakitnya itu kemungkinan tidak dapat tertolong; dan ia sedang menjelang ajal. Yang terpenting proses tersebut jangan sampai terjadi dengan tidak normal, misalnya disengaja (dengan maksud agar lebih ‘lekas’ mati), seperti yang banyak terjadi di negara maju, entah dengan suntikan atau dengan mencabut infus makanan dan air. Euthanasia semacam ini sungguh bertentangan dengan ajaran iman Katolik, karena bertentangan dengan hukum Tuhan. Namun, penolakan akan treatment yang berlebihan, seperti yang telah disebutkan di atas, tidak termasuk katagori euthanasia. Dalam hal ini, segala kemungkinan perlu didiskusikan dengan para tim medis dan keluarga pasien tersebut.

4.4 8 votes
Article Rating
19/12/2018
3 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
Charlessitumorang
Charlessitumorang
9 years ago

Saya mau tanya, kalau bayi dalam kandungan adalah onvalikel dan ektopic cordis namun masih bergerak wajar dalam kandungan. Namun mnrt dokter ibu bisa berbahaya karena pendarahan. Apakah diijinkan untuk terminasi sesuai anjuran dokter ? Trims

[dari katolisitas: Anda dapat melihat prinsip akibat ganda di sini – silakan klik]

Sartika
Sartika
10 years ago

Yth, Team Katolitas, Saya hendak bertanya perihal: “Euthanasie Terhadap mans dan oleh mans”. 0.1)Bagaimana menurut doktrin/dogma/ Ajaran Kristiani, dalam hal ini: Kristen Katolik ?, 0.2) Bagaimana menurut pandangan secara Gereja ( dalam hal ini: Gereja Katolik ) ? , 0.3) Adakah perbedaan secara Ajaran kristiani antara: Krisen katolik dan kristen Non katolik perihal tsb ? , 0.4) Demikian pula , Apakah ada perbedaan / ke tidak samaan Pandangan Gereja dari gereja Kristen katolik dan Gereja kristen Non katolik thd perihal tsb ? 0.5) Dikategorikan manakah Euthanasi tsb, artinya: apakah termasuk juga sebagai “Bunuh diri” atau dikategorikan sebagai : perihal lain… Read more »

Ingrid Listiati
Reply to  Sartika
10 years ago

Shalom Sartika, Silakan pertama-tama membaca terlebih dahulu, prinsip pandangan Gereja Katolik tentang euthanasia, silakan klik. Selanjutnya, berikut ini adalah tanggapan kami atas pertanyaan Anda: 1&2. Ajaran Gereja Katolik tentang Euthanasia, sudah disampaikan di artikel di atas. 3&4. Kami tidak dapat memberi perbandingan antara ajaran Gereja Katolik dan gereja-gereja non Katolik tentang euthanasia, sebab kemungkinan ada perbedaan ajaran antara denominasi yang satu dengan yang lainnya. Hal ini dimungkinkan karena pada mereka, tidak ada Magisterium yang mengajarkan keseragaman ajaran, seperti halnya pada Gereja Katolik. 5. Jika euthanasia dikehendaki oleh orang yang bersangkutan, ya, itu termasuk dalam tindakan bunuh diri. Namun ada kalanya… Read more »

Romo pembimbing: Rm. Prof. DR. B.S. Mardiatmadja SJ. | Bidang Hukum Gereja dan Perkawinan : RD. Dr. D. Gusti Bagus Kusumawanta, Pr. | Bidang Sakramen dan Liturgi: Rm. Dr. Bernardus Boli Ujan, SVD | Bidang OMK: Rm. Yohanes Dwi Harsanto, Pr. | Bidang Keluarga : Rm. Dr. Bernardinus Realino Agung Prihartana, MSF, Maria Brownell, M.T.S. | Pembimbing teologis: Dr. Lawrence Feingold, S.T.D. | Pembimbing bidang Kitab Suci: Dr. David J. Twellman, D.Min.,Th.M.| Bidang Spiritualitas: Romo Alfonsus Widhiwiryawan, SX. STL | Bidang Pelayanan: Romo Felix Supranto, SS.CC |Staf Tetap dan Penulis: Caecilia Triastuti | Bidang Sistematik Teologi & Penanggung jawab: Stefanus Tay, M.T.S dan Ingrid Listiati Tay, M.T.S.
top
@Copyright katolisitas - 2008-2018 All rights reserved. Silakan memakai material yang ada di website ini, tapi harus mencantumkan "www.katolisitas.org", kecuali pemakaian dokumen Gereja. Tidak diperkenankan untuk memperbanyak sebagian atau seluruh tulisan dari website ini untuk kepentingan komersial Katolisitas.org adalah karya kerasulan yang berfokus dalam bidang evangelisasi dan katekese, yang memaparkan ajaran Gereja Katolik berdasarkan Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja. Situs ini dimulai tanggal 31 Mei 2008, pesta Bunda Maria mengunjungi Elizabeth. Semoga situs katolisitas dapat menyampaikan kabar gembira Kristus. 
3
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x