Semangat Iman dari World Youth Day, Rio De Janeiro, yang kubawa ke Papua

Pengantar dari Editor:

Ignatia Karina adalah seorang dokter muda asli Jakarta yang sedang menjalani tugas di Bintuni, Papua Barat, keuskupan Manokwari-Sorong. Karina juga orang muda Katolik yang mengikuti Hari Orang Muda Katolik Sedunia “World Youth Day” (WYD) di Rio de Janeiro, Brasil, bulan Juli tahun 2013 yang lalu. Pengalaman imannya dalam WYD menggerakkan pemudi ini untuk melakukan sesuatu di tempatnya berkarya. Terimakasih kepada Karina yang telah rela membagikan pengalamannya yang sungguh berharga ini. Betapa kita bersyukur kepada Tuhan, atas pribadi-pribadi yang terbuka kepada sapaan Tuhan, untuk melayani penuh ketulusan dan semangat pengorbanan karena kasih dan imannya pada Tuhan, percaya sepenuhnya Tuhan akan selalu menyediakan dan menyempurnakan di tengah segala keterbatasan. Semoga menyemangati OMK Indonesia dan di mana-mana agar menjadi misonaris, seperti tema WYD 2013 “Pergilah. jadikanlah semua bangsa murid-Ku” (bdk. Mat 28:19).
Terpanggil untuk berbagi berkat dari WYD Rio, 2013

Saudara-saudara yang terkasih dalam Kristus,

Sebagai Orang Muda Katolik (OMK) yang sudah mengikuti World Youth Day (WYD), 2013 saya tertantang melihat sosialisasi “OMK Gathering” yang akan diadakan di Jakarta untuk OMK Keuskupan Agung Jakarta, Keuskupan Bandung dan Keuskupan Bogor tanggal 23 November 2013.

Sejak mengalami WYD 2013, rasanya ingin ikut acara-acara OMK lainnya, sejalan dengan tema WYD: “Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku”.

Dengan semangat dari WYD 2013 itulah, perkenankanlah saya menceritakan pengalaman selama di Papua Barat, tepatnya di Bintuni. Saya mulai bertugas sebagai dokter PTT Daerah di Bintuni, Papua Barat, sejak bulan Mei 2013. Puji Tuhan pada bulan Juli lalu bisa mendapat cuti 1 bulan untuk mengikuti WYD.

Setiap orang yang tahu saya pergi ke Brasil untuk mengikuti WYD 2013 bertanya “Apa yang kamu dapat dari acara tersebut?”. Untuk pertanyaan itu, saya mempunyai jawaban utama yaitu: pengalaman iman yang sangat berkesan. Saya bertemu dengan berjuta rekan seiman dan terutama melihat langsung, walau dari jauh, pemegang takhta tertinggi dalam hierarki Gereja Kristus, penerus St Petrus, Paus Fransiskus I.

Belum ada yang bertanya apa yang akan saya lakukan setelah pengalaman yang sudah saya dapat. Dan saya juga tidak pernah memikirkan dapat melakukan sesuatu untuk Gereja. Pendek kata, pengalaman tersebut saya simpan untuk diri sendiri.

Namun, saya rasakan Tuhan punya kehendak agar pengalaman yang saya dapat selama di Brasil boleh menjadi berkat juga untuk yang lain, yang belum mendapat kesempatan untuk mengikuti acara WYD.

Sepulang dari Brasil, setelah saya kembali ke Papua, saya diminta tolong untuk mendampingi kelompok remaja Katolik yang disingkat menjadi Remakat. Kelompok Remakat ini baru terbentuk selama 1 bulan karena baru saja dipisahkan dari Kelompok Sekami (Serikat Kepausan Anak-Remaja Misioner) yang sebelumnya beranggotakan anak-anak dari tingkat SD hingga SMP. Namun karena transisi dari Sekami ke OMK dirasakan terlalu cepat, maka dicetuskanlah kelompok Remakat sebagai jembatan perpindahan dari Sekami menuju OMK. Dengan demikian, sebagai wadah kegiatan untuk anak-anak,  mulai bulan Agustus 2013, Paroki Bintuni memiliki 3 kelompok: Sekami untuk anak-anak SD, Remakat untuk anak-anak SMP hingga 1 SMA, dan OMK untuk yang sudah SMA kelas 2 ke atas.

Awalnya saya terima tugas tersebut dengan setengah-setengah. Setengah bangga karena dipercaya menjadi pendamping para remaja Katolik, juga setengah takut karena belum pernah menjadi pendamping sebuah kelompok pembinaan dalam Gereja.Tetapi pengalaman saya mengikuti Persekutuan Doa selama di Jawa dan kemudian mengikuti WYD mengingatkan betapa hidup saya terasa berarti dengan mencintai dan mengimani Yesus Kristus. Saya diingatkan bahwa tidak semua mendapat kesempatan seperti saya untuk belajar dan mendapatkan pengajaran mengenai iman Katolik secara mendalam. Saya bersyukur memiliki orangtua yang mewajibkan saya sejak kecil agar ke gereja. Saat kuliah ada teman-teman yang rajin mengajak saya mengikuti Persekutuan Doa dan belajar Firman. Hingga yang termuktahir adalah melihat sendiri perayaan iman sedunia oleh  kaum muda Katolik. Karena itu, saya tertantang untuk membagikan rahmat yang sudah saya terima.

Prihatin akan Kekerasan

Di Papua Barat, hal pertama yang saya temui adalah kekerasan. Sering saya mendapat pasien, kebanyakan perempuan, yang badannya lebam dan jalannya tertatih-tatih, karena habis dipukuli. Biasanya mereka bercerita bahwa mereka baru dipukul oleh saudara atau keluarga. Kalau ditanya kenapa dipukuli, maka jawaban yang paling sering didengar adalah karena yang memukul itu sedang mabuk. Ya, mabuk oleh minuman keras.

Belum habis keheranan saya merawat pasien-pasien yang terluka karena dipukuli, pada suatu hari, saya melihat sendiri seorang perempuan dihajar oleh sekelompok orang.  Saat itu saya dalam perjalanan menuju persekutuan doa  OMK yang rutin diadakan tiap Sabtu sore.  Perempuan itu dipukul beramai-ramai pada  malam Minggu itu karena anaknya meninggal dunia. Aneh memang. Sebagai ibu, tentu si perempuan itu sedih karena anaknya meninggal. Bukannya dihibur, dia malah mendapat hajaran.  Melihat itu, hati rasanya ingin membela, tapi akal saya menahannya. Saya takut kkalau-kalau kemarahan massa beralih pada saya. Sejak saya bertugas di Papua ini, memang saya merasa takut setiap kali berjumpa dengan orang  yang sedang marah karena mabuk. Sudah banyak cerita tentang kekerasan yang saya dengar mengenai orang mabuk di Papua. Ada yang menusuk polisi, ada yang memecahkan rak-rak kaca tempat jualan para pedagang di pasar, ada yang berkelahi dan akhirnya berakhir di UGD RSU Bintuni.

Kadang saya menjawab takut bila ditanya, bagaimana kabar di Papua? Papa saya pernah bertanya mengenai keadaan saya. Maka saya ceritakan yang saya rasakan di sini. Papa menantang saya: “Bagaimana caranya supaya kekerasan berhenti di wilayahmu? Kamu bisa berbuat apa?” Glek! Pertanyaan yang susah saya jawab. Akhirnya saya jawab, “Papa, mungkin butuh puluhan tahun untuk bikin kekerasan hilang dari Papua dan perlu kerja sama banyak orang. Tugas Rina sendiri pasti tidak lama di Papua Barat, nggak mungkin bisa bikin kekerasan hilang dalam sekejap.”  Papa saya menantang lagi. “Cobalah kamu kerja sama dengan Gereja”  Saya menjawab lagi: “Tiap hari minggu itu Pater John dan Pater Damas berkali-kali khotbah mengajak umat jangan mabuk, jangan main pukul, jangan percaya sewanggi*”  Supaya papa saya jangan terlalu mengejar lagi, saya bilang, “Ya mungkin nanti bisa saya buat poster, Pa..” Sampai sekarang, saya belum membuat poster-poster  seruan agar masyarakat tidak membuat kekerasan itu. Mungkin nanti.

Kekerasan memang marak di Papua Barat terutama di kalangan kaum muda. Padahal saya mendengar bahwa orang Papua sebenarnya penuh kasih. Ada seorang bidan senior asli Papua berkata pada saya, “Dokter, orang Papua itu memang kelihatannya seram. Tetapi hati kami sangat penuh kasih.” Bidan itu mengatakan  kalimat itu sambil makan pinang, jadi gigi dan gusinya terlihat merah-merah. Cukup seram kelihatannya sehingga saya agak meragukan ucapannya. Namun akhirnya saya bisa merasakan sendiri watak asli orang Papua.  Mungkin raut muka mereka terkesan seram, tetapi, mereka punya semangat yang tinggi. ” Jangan ditanya kawan, kalau tong sudah punya mau, tong jalan sudah”.

Mendampingi Remaja Katolik

Semangat tersebut saya rasakan pertama kali saat mendampingi Remakat. Menurut panduan dari paroki, tugas utama pendamping adalah memimpin kegiatan ibadah yang menjadi agenda rutin setiap minggu. Karena ibadah pertama kali diadakan bulan September, maka acuan yang dipakai adalah Panduan Pertemuan Bulan Kitab Suci Nasional 2013.

Pada pertemuan ibadah pertama, mereka tampak antusias melihat saya sebagai orang baru ikut duduk menunggu dimulainya ibadah. Saya resah, karena saya didaulat untuk memimpin ibadah. Temanya: Bapak Abraham, Bapak Orang Beriman. Tema yang syukurlah, sangat cocok untuk memulai pertemanan saya dengan kawan-kawan baru yang umurnya baru setengah umur saya. Dalam pertemuan pertama itu, saya tanya siapa yang berdoa tiap hari. Tidak sampai 10 orang yang mengangkat tangan, dari 24 orang yang datang. Padahal yang tercatat sebagai anggota Remakat katanya ada sekitar 50 orang. Didampingi oleh Suster Ernestine, suster tarekat TMM yang juga ditugaskan gereja sebagai pendamping Remakat, kami berdua berusaha mengajak mereka untuk menjadikan doa Bapa Kami, Salam Maria, dan Kemuliaan sebagai dasar doa harian. Kemudian disusul membaca Kitab Suci sebagai aktivitas harian. Kami tantang mereka untuk menemukan ayat Kitab Suci favorit.

Beberapa minggu setelah pertemuan rutin mingguan, saya cukup kaget mengetahui bahwa ada beberapa anak yang sekarang rutin mengunjungi  gereja setiap siang setelah pulang sekolah untuk berdoa.  Dari beberapa ibadah, saya melihat bahwa banyak anak yang bukan asli Papua. Mereka ialah dari Toraja, Flores, dan Maluku. Memang tanah Papua dikatakan seperti tanah terjanji, lahan basah, sehingga banyak pendatang di sini. Sayangnya, di Bintuni, bagian dari tanah terjanji ini, listrik belum 24 jam menyala. Malah kadang-kadang  24 jam tidak menyala.

Jumlah remaja Katolik yang datang untuk beribadah sempat menurun. Semangat saya untuk mendampingi mereka pun sempat menurun. Saya merasa, saya datang ke Papua sebagai dokter. Mengapa waktu saya lebih banyak saya habiskan bukan untuk hal-hal medis? Awalnya saya seharusnya ditugaskan ke puskesmas di daerah terpencil di Bintuni. Namun akhirnya saya mendapat pilihan untuk menerima nota tugas khusus bekerja di klinik gereja paroki Banyak yang bilang, sayang saya tidak pernah merasakan bekerja di puskesmas. Dan jujur sampai sekarang itu masih menjadi pergumulan saya.

Tuhan lebih tahu mengapa saya sampai ke Papua

Pada hari pembukaan bulan rosario yang dirayakan dengan perayaan Ekaristi di Gua Maria Manimeri yang berjarak puluhan kilometer dari Bintuni. sambil menunggu umat datang, Pater Damas mengatakan pada saya dan suster: “Tanggal 15 Oktober ialah tanggal merah, Idhul Adha. Jangan sampai lewat begitu saja!”. Saat itu saya diam saja, Suster Ernestine juga diam saja. Namun 3 hari setelahnya, tanggal 4 Oktober saat hari Jumat pertama, tiba-tiba saja saya dan Suster mempunyai ide yang sama untuk menanggapi ucapan Pater: ‘Mari adakan rekoleksi untuk anak-anak Remakat’. Ya, rekoleksi pertama kali untuk remaja Katolik di Bintuni!

Akhirnya sore hari saat ibadat Remakat, saya beri tahu pada anak-anak ide mengenai rekoleksi itu. Tidak disangka, mereka semangat bukan main. Akhirnya mereka menentukan sendiri tanggal 12-13 Oktober sebagai hari untuk rekoleksi. Saat diminta kesediaanya untuk berembuk bersama Pater, maka mereka bersemangat.  Hari minggu siang itu pastoran penuh dengan anak-anak Remakat menjumpai Pater Damas. Semua ribut, minta bicara. Pater dari tersenyum sampai geleng-geleng kepala. Kemudian ada anak yang bertanya, “Apa tema rekoleksinya?” Spontan saya menjawab, “100% Muda, 100% Katolik. Terinspirasi dari jargon “100% Katolik, 100% Indonesia” yang sering saya dengar selama persiapan WYD. Pater acungkan jempol tanda setuju. Anak-anak juga tepuk tangan, satu hati dengan tema tersebut. Ada yang tanya lagi: “Apa tujuan acara rekoleksi ini?” Saya menjawab agak terbata-bata kali ini. Tapi akhirnya berhasil dirangkum menjadi: pendalaman iman dan belajar organisasi. Semua mengangguk-angguk.

Persiapan singkat dan kilat selama 1 minggu. Saya minta sukarelawan untuk memasak. Semua anak perempuan angkat tangan. Saya minta sukarelawan untuk belanja keperluan. Semua anak perempuan dan sebagian anak laki-laki angkat tangan. Saya minta sukarelawan untuk survey tempat acara, semua anak angkat tangan. Sampai akhirnya harus ditarik undi untuk menentukan siapa yang berangkat survey.  Pater sudah menunjuk tempat di SP 5 yang berjarak 20 kilometer dari pusat kota Bintuni. Tempat tersebut adalah gereja stasi yang di sampingnya berdiri bangunan sekolah untuk taman kanak-kanak.

Satu minggu persiapan, kami target peserta 40-60 orang. Ternyata OMK juga mempunyai acara di tanggal yang sama dengan tanggal pelaksanaaan rekoleksi Remakat. Akhirnya disepakati Suster Ernestine turun tangan menyiapkan rekoleksi OMK, saya sendiri menyiapkan rekoleksi Remakat. Namun ternyata Tuhan tidak kekurangan orang untuk rekoleksi Remakat ini. Tiba-tiba saja ada dua orang menghampiri saya. Mereka sering saya lihat di gereja dan pernah sekali dua kali mengobrol. Saat diumumkan di gereja mengenai acara rekoleksi remakat ini, mereka berdua mengatakan siap membantu. Namanya Kak Mukti dan Fajar. Mereka bukan orang asli Bintuni. Kak Mukti berasal dari Bandung dan Fajar berdarah Batak dan besar di Fak-Fak tapi sempat mengenyam pendidikan di Jawa. Mereka datang ke Bintuni dengan cita-cita tinggi, memajukan kualitas sumber daya manusia Bintuni.

Semua persiapan akhirnya berjalan dengan lancar. Sampai di hari H, alat transportasi yang ditunggu tidak kunjung datang. Kami menunggu dua jam lebih. Anak-anak sempat kehilangan semangat karena terlalu lama menunggu. Saya pun sempat patah arang. Kesal karena seharusnya kami sudah di tempat acara tapi sampai saat itu malah masih duduk menunggu. Syukurlah dua teman saya yang ikut mendampingi acara rekoleksi ini tidak patah semangat. Mereka bilang, ada aral melintang itu biasa. Pacar juga ikut menyemangati walau dari jauh. Dapat suntikan semangat dari sana-sini, saya kembali pasrahkan acara ini padaNya sampai kendaraan datang. Kami memulai ibadat pembukaan diterangi cahaya lilin karena listrik belum menyala. Tidak ada yang mandi. Konsumsi pun yang sudah disiapkan dari siang, mulai terasa berkurang enaknya Namun, jadwal acara di hari pertama berjalan luar biasa. Saat saya duduk sejenak untuk beristirahat saat makan malam, terdengar latihan yel-yel dari seluruh peserta yang berjumlah 55 orang yang terbagi menjadi 5 kelompok. Langit penuh bintang, bulan juga menyala cukup terang. Udara sudah mulai sejuk malam. Jangkrik juga mulai bersuara. Dalam hati saya hanya bisa bersyukur pernah mengalami situasi rekoleksi yang seadanya namun sarat makna.

Sebagai penutup acara di hari pertama, Kak Mukti dan Fajar kemudian menyiapkan ruangan untuk doa Taize. Lampu dimatikan, cahaya hanya dari lilin-lilin yang dinyalakan. Kami mencoba mengenalkan doa tersebut kepada mereka sebagai daya tarik rekoleksi. Respon anak-anak cukup positif. Ternyata semua menikmati saat-saat hening dimana hanya lagu-lagu meditatif Taize mengalun dari laptop dan speaker yang disiapkan Kak Mukti dan Fajar. Saat kami mengajak mereka menyanyikan Magnificat, semua angkat suara walau masih ragu karena mengumandangkan lagu yang bukan bahasa Indonesia. Tapi sungguh terdengar syahdu.
Setelah doa Taize yang ditutup renungan malam, semua masih mempunyai energi. Kami bilang yang penting jam 11 malam harus tidur untuk bersiap besoknya bangun jam 5 pagi karena jam setengah 6 ada olah raga pagi bersama. Anak-anak ternyata siap dengan acara “talent show ” sebagai penutup hari sebelum tidur. Setelah menyanyikan lagu dangdut bersama, ada yang siap menyajikan tontonan bela diri taekwondo dan pencak silat.

Hari berikutnya lebih membuat saya kaget karena kagum. Tiada anak  yang protes walau harus tidur di lantai karena fasilitas yang seadanya. Anak-anak putri sudah bangun dari jam setengah lima. Saya yang tidur bersama mereka terbangun kaget saat mereka mulai ribut bersiap-siap. Saya pikir tidak mendengar alarm dan kesiangan. Saat melihat jam, masih setengah 5. Alamak… baru kali ini saya mengikuti rekoleksi di mana pesertanya diminta bangun jam 5, semua sudah bangun jam setengah 5. Bahkan katanya ada anak putra yang bangun jam 3 pagi. Entah karena mereka terlalu bersemangat atau tidak bisa tidur karena alas lantai.

Bagian yang paling kami takuti adalah acara mandi. Ada acara ibadat jam 8. Waktu mandi sekitar 2 jam untuk 55 peserta dengan 3 kamar mandi. Kamar mandi untuk putri ada 2 dan hanya mengandalkan air tampungan hujan. Sayangnya sudah beberapa hari hujan tidak turun sehingga persediaan air terbatas. Sementara kamar mandi untuk putra hanya satu, dengan persediaan air yang cukup banyak karena dipompa dari tanah. Sayangnya airnya kekuningan dan kalah bersih dari air hujan. Syukurlah, beberapa peserta dari SP 5 berinisiatif untuk pulang mandi di rumah masing-masing yang jaraknya dekat dengan lokasi rekoleksi. Melihat ada yang pulang ke rumah untuk mandi, beberapa peserta dari Bintuni ikut menumpang mandi untuk menghemat waktu, juga untuk mendapat air yang kualitasnya lebih baik.

Akhirnya, semua peserta sudah rapi jali menjelang jam 8. Ketika menurut saat disuruh berbaris dan memasuki gereja dengan teratur, bisa dilihat mata semua umat yang datang tertuju pada mereka. Melihat diri mereka menjadi perhatian para umat yang datang, kebanggaan cukup jelas terpancar dari wajah mereka.

Materi selama rekoleksi ada 3, dibagi menjadi pendalaman iman, agenda organisasi, dan promosi kesehatan. Materi pertama mengenai pendalaman iman saya ambil dari catatan Romo Benny Phang O.Carm yang dimuat di majalah renungan harian Cafe Rohani bulan September 2013. Mengenai Gereja yang kudus dan umatnya yang pendosa, tantangan untuk hidup kudus di tengah dunia. Ditambah bagaimana agar tidak lupa dengan Tuhan dalam keseharian kita yang saya kutip dari email Romo Santo yang meneruskan dari web katolisitas. Saya bukan pembicara terbaik, saya sadari itu. Catatan sudah dipegang di tangan, tapi lebih banyak lupanya daripada ingatnya. Namun, percaya saja, Tuhan yang menyempurnakan.

Materi agenda organisasi juga ditanggapi dengan semangat. Ternyata mereka memiliki mimpi yang cukup tinggi untuk kemajuan iman dan hidup mereka. Kami para pembimbing cukup terharu saat banyak yang mengusulkan untuk diadakan ibadat doa Taize di ruang doa gereja sebagai kelanjutan dari ibadat yang mereka ikuti semalam. Ada yang meminta seminar mengenai tujuan hidup, juga seminar tentang orang tua. Tidak saya sangka, cukup banyak yang berasal dari keluarga yang bercerai, bahkan ada orang tua yang sampai pindah agama. Anak-anak ini merasa kehilangan harapan saat orang tua mereka bercerai dan kemudian tidak bisa lagi bersama-sama dengan seluruh keluarga pergi ke gereja. Kemudian beberapa yang berasal dari luar Papua, tinggal di Papua dititipkan di wali, mengalami masalah komunikasi dengan orang tua mereka di tanah asal, sehingga mereka merasa terabaikan.

Masalah pernikahan memang menjadi persoalan yang cukup rumit di Papua. Saya mendengar banyak pasangan suami istri Katolik di sini bercerai karena yang suami tukang minum, atau tukang pukul, atau tukang minum dan tukang pukul, atau tukang judi togel.

Terakhir masalah promosi kesehatan yang dibantu oleh teman-teman sejawat saya, dokter puskesmas lain yang ikut bersedia membantu memberi materi tanpa dibayar.

Masalah yang diangkat tentang kesehatan alat reproduksi. Topik ini kami angkat karena masalah seks bebas juga menjadi perhatian utama para tenaga kesehatan di sini. Dan, jujur, cukup banyak putra-putri Katolik di Papua yang menikah karena yang perempuan terlanjur hamil. Mungkin inilah kesempatan kami untuk memotong kebiasaan yang semakin marak tersebut, dengan mengenalkan seksualitas mereka sedari remaja. Semua tampak antusias, bahkan sampai dua teman saya yang menyampaikan materi mengakui bahwa baru kali ini mereka mendapat penonton yang sangat responsif dan paling banyak bertanya.

Saya minta maaf bila bercerita terlalu panjang. Namun, saya ingin membagikan semangat anak-anak ini. Sampai sekarang, seminggu setelah rekoleksi, jumlah yang mengikuti ibadat Remakat menjadi hampir dua kali lipat biasa. Kami biasa beribadat dari rumah ke rumah anak-anak. Kali ini saya cukup kaget, ada anak yang dari SP 5 datang menempuh puluhan kilo untuk ikut beribadat bersama. Jumlah anak asal Papua pun sudah meningkat jauh lebih banyak dibandingkan sebelum rekoleksi. Saya hanya bisa bersyukur bisa melihat anak-anak ini merasakan semangat saat mengenal Yesus dan kekatolikan lebih dalam.

Sekarang Gereja mempunyai misi lain untuk pemuda-pemudi Bintuni. Kali ini mungkin terkesan lebih ambisius: Youth Camp untuk OMK Paroki Bintuni beserta seluruh stasi yang rencananya diadakan tanggal 27-29 Desember 2013. Target peserta: 200 orang. Pater kemudian menunjuk saya yang pernah mengikuti WYD untuk menyiapkan kemasan acara. Sungguh suatu kebanggaan bahwa pengalaman saya sebagai peserta WYD dapat menjadi inspirasi untuk mengadakan Youth Camp di sini. Sabtu lalu dalam ibadah OMK dilanjutkan pertemuan  untuk membentuk panitia inti. Cukup banyak yang meragukan kelancaran acara ini bila persiapan hanya selama 2 bulan. Saya sendiri sadar beban acara Youth Camp sebenarnya sangat berat. Mulai dari menentukan materi, menentukan lokasi Youth Camp karena terbatasnya fasilitas di Bintuni, mengumpulkan dana puluhan juta dalam 2 bulan, juga termasuk mengundang nara sumber dari luar. Tapi entah kenapa, ada dorongan untuk percaya saja dan terus maju hingga akhirnya saya memilih ikut terlibat dalam Youth Camp perdana di Bintuni. Perdebatan akhirnya segera berakhir. Mengutip slogan Gubernur Papua Barat, seorang OMK menyerukan, “Kalau bukan sekarang, kapan lagi. Kalau bukan kitorang, siapa lagi.” Dan dialah yang kemudian terpilih menjadi ketua panitia Youth Camp Bintuni 2013, putra asli Papua, Piuz Morotim.

Saya tidak pernah bermimpi bahwa suara saya dalam Gereja akan didengar sampai sedemikian rupa seperti sekarang di Bintuni, pun tidak pernah tahu bahwa saya dapat membantu Gereja selain di bidang musik dalam arti mengiringi koor di gereja. Namun pengalaman saya mengikuti WYD mungkin menjadi modal awal saya untuk berani menjawab panggilan Tuhan untuk pergi dan jadikan semua bangsa murid-Nya, termasuk di Papua.
Saya tidak lagi merasa enggan pada orang Papua, karena merasakan sendiri kehangatan mereka, saat kami tertawa bersama-sama, menertawakan kelucuan Pater, Suster, atau sesama teman-teman OMK. Saya bisa rasakan semangat mereka, untuk membuat acara perayaan iman untuk muda-mudi, untuk mengenalNya lebih dalam, untuk membawa perubahan pada hidup, membawa perubahan pada Papua.

Akhir cerita, seperti semua OMK Jakarta, Bandung, dan Bogor menantikan OMK Gathering di Jakarta, kami di sini sangat menantikan Youth Camp tanggal 27-29 Desember nanti. Tema acara sudah ditentukan: ‘Bersatu dan Bergerak’. Bergerak menuju pembangunan iman kaum muda di Papua. Sampai sekarang, acara secara garis besar dimaksudkan sebagai pendalaman iman dan motivasi – agar kaum muda di sini dapat berharap dan mengimani bahwa Papua dapat menjadi lebih baik melalui karya mereka.

Berbeda dengan persiapan rekoleksi Remakat yang hanya digawangi segelintir pendamping, kali ini persiapan Youth Camp Bintuni dikeroyok oleh hampir semua OMK di Bintuni. Para mantan OMK pun turun tangan. Demikian juga pihak pembesar dan pemerintahan yang menganut Katolik sedang dilobi untuk ikut terlibat. Syukurlah ada harapan yang mulai muncul dalam kaum muda Gereja, untuk bersama-sama bersatu dan bergerak menuju Papua yang lebih baik, di mana kekerasan ditinggalkan dan kasih ditebarkan.

Tong mohon doanya, kawan…

 

Keterangan istilah:
Sewanggi : istilah untuk ilmu hitam di Papua
Tong: kami / kita
Kitorang: kita orang

SP 5: Satuan Pemukiman 5. Di beberapa daerah di luar Jawa, nama wilayah diberi nama seperti itu: SP 1, SP 2, SP 3, dst.

 

DOA
Allah Bapa Mahakasih, kami bersyukur menjadi murid Kristus Putera-Mu. Curahkanlah Roh Kudus-Mu kepada OMK agar mereka menjadi misionaris yang mewartakan kabar gembira-Mu agar masa depan Gereja-Mu cerah selalu. Berkatilah OMK agar selalu bertumbuh dalam iman kepadaMu, dalam Yesus Kristus sahabat sejati OMK. Amin.

Oleh: Ignatia Karina

5 2 votes
Article Rating
19/12/2018
10 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
Armand Liwan
Armand Liwan
10 years ago

Salam kenal dr. Karina.. sangat inspiratif kesaksiannya.. saya adalah seorang dokter muda dari Sorong yg juga mendaftar PTT periode Juni 2013 namun tidak tembus.. saya cukup senang mengetahui kegiatan OMK yang aktif di Bintuni. Sempat diajak sama teman asal Fak2 yang ketemu di Pertapaan Karmel, Tumpang, Malang untuk mengadakan retret di Bintuni bln November tetapi tidak jadi karena retret tersebut dibatalkan. Saya mempunyai kerinduan untuk mengaktifkan persekutuan muda mudi Katolik di Sorong yang keliatannya kurang berjalan dan tidak tahu harus mulai dari mana. Saya tertarik seperti topik2 tentang Theology of the Body dan ingin memahami lebih lanjut tentang Creighton model.… Read more »

Ignatia Karina
Ignatia Karina
10 years ago

Terima kasih untuk semua dukungan dari teman-teman. Saya menjadi dikuatkan saat membaca semua komentar.   Izinkan sy meng-update sedikit ttg persiapan Youth Camp disini.   Terima kasih kepada Rm. Santo dan Kak Marinus Lambi yg sudah memberikan usulan u/ pengajuan proposal demi dana penyelenggaraan Youth Camp. Saat ini kedua Pater di Paroki Bintuni sepakat untuk meminta para OMK bekerja dulu mencari uang sebelum mengajukan proposal ke berbagai pihak.   Usaha yg ditempuh antara lain membantu penyelenggaraan lomba futsal perdana di Teluk Bintuni yg digelar oleh AMPI (Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia) – ormas partai Golkar u/ DPD Partai Golkar Teluk Bintuni… Read more »

Sebastianus Theodorus Suandy
Sebastianus Theodorus Suandy
10 years ago

Dear Dr. Karina, tulisan ini sangat inspiratif. Terima kasih.
Semoga semakin banyak orang yg tergerak hatinya untuk berbuat …, demi membantu saudara2 kita di Papua khususnya OMK, generasi penerus kita.

Idealnya OMK dibekali juga dgn ketrampilan2 praktis, yg bisa menjadi bekal buat masa depan.

Tetap sehat, tetap semangat buat Dr. Karina.

Salam,

Sebastianus
Makassar

Markus Bonorianto
Markus Bonorianto
10 years ago

Syalom Dr. Karina dan team Katolisitas, maaf, adakah cara saya untuk bisa mengontak Karina? Saya hanya ingin menyampaikan beberapa hal yang mungkin secara riil dapat membantu kiprah Karina di Papua. Saya sendiri Katolik dan ini tidak ada aspek komersial. Terima kasih, Tuhan memberkati selalu!

[dari Katolisitas: info mengenai no kontak dr Karina sudah kami kirimkan kepada Anda melalui email, semoga bermanfaat dan terima kasih atas perhatiannya, semoga Tuhan memberkati]

Lexi Lena
Lexi Lena
10 years ago

Salam OMK dr. Karina. Setelah membaca pengalaman dr. Karina saya merasa bahwa anda adalah orang yang paling berbahagia. Suatu pengalaman iman yang sangat luar biasa, mungkin saja tidak pernah dialami oleh sebagian besar OMK di Indonesia. Memang benar bahwa “banyak yang dipanggil tetapi sedikit yang dipilih” dan salah satu yang dipilih oleh Tuhan adalah dr. Karina…

Marinus Lambi
Marinus Lambi
10 years ago

Terima kasih saudariku Ignatia Karina atas karya yang telah diberikan utk gereja dan khususnya buat tanah Papua. Terharu saya membaca kesaksian dari karya yang telah dan akan kamu lakukan di Bintuni. Kondisi Papua yang Kaya bin Raya memang saat ini tidak sejalan dengan kondisi mental dan kemakmuran rakyatnya, Papua dalam banyak hal masih sangat tertinggal dengan daerah lain di Indonesia khususnya pulau Jawa. Jujur saya sangat kagum dan bangga kepadamu. Saat pertama kali kamu menginjakkan kaki di Manokwari, di bandara Rendani Manokwari, sempat saya meragukan kamu, apakah nantinya kamu bisa bertahan berkarya di kabupaten Bintuni apalagi rencana awal di distrik… Read more »

yusup sumarno
yusup sumarno
10 years ago

Dr Karina , terima kasih atas sharing pengalaman ini. Sepertinya dr sudah menemukan keindahan Papua. Bagi saya sendiri Papua memang indah. Banyak orang takut dgn Papua, padahal sangat indah. Semoga dr makin kerasan di Papua barat. Kayaknya begitu, tampak dari penggunaan bahasa bahasa setempat. Salam dari Timika, Papua.

Dendi Sujono
Dendi Sujono
10 years ago

Kisah ini sangat inspiratif buat orang muda. Terima kasih dr. Karina atas pengalaman imannya yang mengaggumkan. Semoga Tuhan terus berkarya dalam dirimu untk membawa pesan kasihnya dalam karya nyata di tanah Papua. Tuhan memberkatimu.

Florry Koban
10 years ago

Luar biasa, walaupun kaki belum terlalu panas di Tanah Papua, namun dokter Ignatia Karina telah membagikan refleksi yang berharga untuk kita semua. Yah…benar sekali kata dokter dahwa hati orang Papua sangat lembut seperti layaknya semua manusia di muka bumi ini, walau tampangnya meragukan. Di Papua tidak ada budaya MIRAS ( minuman keras ). MIRAS adalah kebiasaan yang dipaksakan oleh para pebisnis yang mencari keuntungan berlipat ganda di Tanah Papua dengan cara memasok minuman keras. Selain itu banyak kebijakan Pemerintah Pusat yang terlalu dipaksakan ke dalam budaya Papua, padahal tidak sesuai dengan konteks budaya Papua yang jelas2 Melanesia Negroid. Gereja terkadang… Read more »

Santosa Wijaya
Santosa Wijaya
10 years ago

Shaloom Karina, saya mengucapkan kekaguman dan hormat saya yang mana saya orang tua ini merasa yang Anda lakukan berkenan pada Tuhan Yesus. Anda muda sekali sudah jadi misionaris awam. Saya doakan Anda tetap begitu. “Janganlah ada yg menganggap rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang percaya”(1Timotius 4:12). HIDUP OMK!

Romo pembimbing: Rm. Prof. DR. B.S. Mardiatmadja SJ. | Bidang Hukum Gereja dan Perkawinan : RD. Dr. D. Gusti Bagus Kusumawanta, Pr. | Bidang Sakramen dan Liturgi: Rm. Dr. Bernardus Boli Ujan, SVD | Bidang OMK: Rm. Yohanes Dwi Harsanto, Pr. | Bidang Keluarga : Rm. Dr. Bernardinus Realino Agung Prihartana, MSF, Maria Brownell, M.T.S. | Pembimbing teologis: Dr. Lawrence Feingold, S.T.D. | Pembimbing bidang Kitab Suci: Dr. David J. Twellman, D.Min.,Th.M.| Bidang Spiritualitas: Romo Alfonsus Widhiwiryawan, SX. STL | Bidang Pelayanan: Romo Felix Supranto, SS.CC |Staf Tetap dan Penulis: Caecilia Triastuti | Bidang Sistematik Teologi & Penanggung jawab: Stefanus Tay, M.T.S dan Ingrid Listiati Tay, M.T.S.
top
@Copyright katolisitas - 2008-2018 All rights reserved. Silakan memakai material yang ada di website ini, tapi harus mencantumkan "www.katolisitas.org", kecuali pemakaian dokumen Gereja. Tidak diperkenankan untuk memperbanyak sebagian atau seluruh tulisan dari website ini untuk kepentingan komersial Katolisitas.org adalah karya kerasulan yang berfokus dalam bidang evangelisasi dan katekese, yang memaparkan ajaran Gereja Katolik berdasarkan Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja. Situs ini dimulai tanggal 31 Mei 2008, pesta Bunda Maria mengunjungi Elizabeth. Semoga situs katolisitas dapat menyampaikan kabar gembira Kristus. 
10
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x